THE BETTER TO BITE BY CYNTHIA EDEN - BAB 3

May 5, 20150 comments



“Kau tahu dimana mereka,” kata ayahku.
Kami sedang berada di rumah, di beranda, dan matahari terletak di hutan belakang rumah. Warnanya yang kabur tampak seperti lintasan darah di langit.
Aku mengangguk. Aku punya benjolan sebesar telur angsa besar di belakang kepalaku, dan walaupun kenyataan bahwa aku sudah memegang bungkusan es pada benjolan itu sampai jari-jariku kebas, rasanya masih sakit.
Ia menghembuskan nafas. “Aku seharusnya sudah memindahkan gambar-gambar sialan itu.” Aku bisa mendengar kemarahan dalam suaranya.
Karena ayahku tahu bagaimana aku. Bagian dari diriku yang “berbeda”. Jika aku tahu sesuatu itu hilang, itu seperti semacam tombol yang memutar di dalamku. Katakan “hilang” dan dengan seketika aku bertempat di apapun itu yang hilang. Perhiasan, cinderamata...orang.
Gigi belakangku mengetat. “Tiga dari mereka...aku melihat tiga tubuh.” Aku sudah akan melihat lebih banyak, aku tahu itu—aku sudah bisa melihat mereka semua. Tapi aku telah terfokus pada tiga dari mereka yang paling banyak gambaran-gambarannya datang padaku. Seandainya aku mempelajari nama-nama yang lainnya...
Aku akan melihat lebih banyak tubuh.
Tidak, bukan tubuh. Aku sebenarnya tidak melihat tubuh. Aku berdeham. “Tulang belulang.”
Ia mengumpat. Ayahku benci menemukan korban terlalu telat. Aku tahu dia tidak suka hanya menangkap para pembunuh—meski dia yakin akan menceburkan diri dengan melakukannya kembali di Chicago. Dia ingin benar-benar menyelamatkan orang. Dia telah terlalu terlambat untuk menyelamatkan mereka kembali kerumah. Dia terlalu terlambat untuk menyelamatnya orang-orang ini sekarang.
“Julia Hall berada di bawah pohon oak. Susie Harper di dalam sungai kecil, and Jason Tanner.” Aku tak bisa mengeluarkan gambaran tengkoraknya dari pikiranku, “dia di atas lereng, di bawah beberapa pohon dengan daun-daun besar berwarna kuning.” Aku tak bisa memberikan ayahku lokasi tepatnya karena itu tak seperti aku punya koordinat yang mengambang di kepalaku. Aku tidak sebagus itu. Tapi jika aku berada di luar sana, berjalan di hutan, aku akan ditarik tepat ke tubuh yang kupikirkan. Aku akan ditarik sampai aku menemukan apa—siapa—yang hilang.
Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku meluruskan bahuku. Hisap itu dan lakukan apa yang harus diselesaikan. “Yah, besok kita bisa...”
“Tidak!” gertakan penyangkalannya dengan segera.
Aku mendorong kakiku, ketegangan terasa kuat dalam tubuhku. “Aku bisa membawamu pada mereka.” Dia tahu aku bisa. Kami tak bisa hanya membiarkan tulang-tulang itu di luar sana. Orang-orang itu punya keluarga yang mengkhawatirkan mereka. Keluarga yang mungkin berharap mereka akan ditemukan, hidup.
Tak akan terjadi.
Ayah berbalik menghadapku. Dia masih memakai seragam sheriffnya. Matanya terlihat lelah. Saat aku bangun kembali di pangkalan, ketakutan telah ada di tatapan mata hijaunya. Aku benci saat dia mengkhawatirkanku. Sayangnya, dia kelihatan khawatir sepanjang waktu.
Lebih banyak sekarang sejak ibu meninggal.
Dia menghembuskan nafas frustrasi. “Jika kau pergi ke luar sana, dan dengan segera kau memunculkan tiga tubuh...” mulainya.
Aku menelan kembali respon instanku atas Bukan tubuh, hanya tulang belulang.
“Tidakkah kau berpikir,” lanjutnya dengan diam-diam, “orang-orang itu akan heran bagaimana kita menemukan mereka bertiga dengan sangat cepat?”
Tentu saja mereka akan heran, tapi aku memaksa diriku untuk tersenyum. “Tidak. Mereka hanya akan berpikir kau benar-benar sheriff yang mengagumkan, yang memecahkan kasus tiga orang hilang dalam waktu seminggu dari penerimaan pekerjaan baru.”
Dia tidak tersenyum balik padaku. Dia sudah menerima penghargaan atas salah satu dari “penemuanku” sekali, dan aku telah melihat kesalahan menggerogotinya.
“Ada terlalu banyak,” ucapnya padaku, pandangannya intens. “Orang-orang di sini tidaklah bodoh, mereka akan mulai penasaran.” 
Tentangku.
“Mereka mati, Anna.” Kesedihan meredupkan kata-kata itu. “Kita tidak bisa bergegas keluar ke dalam hutan dan menyelamatkan mereka.”
“Tidak, tapi kita bisa memberikan keluarga mereka tubuhnya.” Penutupan, yah, aku tahu betapa pentingnya itu. Seorang psikiater telah memberitahuku segala hal tentang itu sekali. Rupanya, aku tak mendapatkan penutupan yang cukup dalam hidupku.
Psikiater telah penuh dengan omong kosong. Jadi aku punya pemikiran pertama kali, bagaimanapun.
Aku menatap hutan itu. Sangat gelap. Itu sedang mendekat. Kenapa aku tak bisa mengeluarkan kata-kata wanita gila itu dari kepalaku? “Kita tak bisa hanya meninggalkan mereka di luar sana selamanya.” Itu hanya tak benar.
Ayah melengkungkan tangannya di atas bahuku. “Kita tidak akan. Aku akan menarik beberapa peta dari area itu. Aku akan berbicara pada pasukan keamanan yang berpatroli di luar sana. Berdasarkan atas apa yang kau katakan padaku, aku akan memberikan mereka deskripsi areanya yang kemungkinan paling besar bagi kami untuk menemukan pejalan kaki yang hilang...kami akan menemukan mereka, aku menjanjikanmu itu.”
Hanya bukan saat ini juga. Mungkin bahkan bukan besok. Tidak terlalu cepat. Dia tak ingin membuat orang-orang melihatku dan berkata, “Aneh.”
Dia membalikkanku agar aku menghadapnya. “Mereka sudah mati, Anna. Tak ada yang bisa melukai mereka sekarang.”
Kuharap aku bisa berhenti memikirkan mereka.
“Aku akan menemukan mereka,” ucapnya lagi, dan aku tahu dia memaksudkannya. Ayah selalu menepati janjinya padaku. Selalu.
Aku mengangguk dan berusaha untuk tidak melihat kembali ke hutan. Jika aku pergi ke luar sana, aku bisa menemukannya...
“Tidak.”
Pandanganku beralih kembali padanya karena telah ada kemarahan yang sesungguhnya dalam suaranya. Ayah tidak biasanya marah padaku.
“Aku sedang mengatasinya.” Sekarang ada baja dalam kata-katanya. “Itu adalah pekerjaanku, ingat?”
Benar. Dia punya bintang yang berkilauan. Aku tidak.
“Cobalah untuk tidur,” ucapnya padaku, seolah-olah suaranya melembut. “Pada pagi hari, semuanya akan menjadi lebih baik.”
Itulah yang selalu dikatakannya.
Dan aku tak pernah menyebutnya pembohong. Setelah semuanya, dia adalah ayahku.
***
Terkadang kau tahu kau sedang bermimpi, tapi tak ada yang bisa kau lakukan untuk melarikan diri dari mimpi itu, tak peduli seberapa kerasnya kau berusaha.
Kau hanya tak bisa bangun.
Aku tahu aku sedang bermimpi. Maksudku, kenapa lagi aku akan berjalan dengan bertelanjang kaki melalui hutan? Kegelapan yang mengelilingiku bahkan seperti bintang-bintang yang berkelip-kelip di atasku.
Aku bisa mendengar jangkerik. Hama. Dan...Lolongan.
Ketakutan terpompa melalui diriku, dan aku memanggil, tapi tak ada yang menjawabku.
Lalu aku melihat serigala. Serigala hitam yang sama yang telah mengirisku sebelumnya. Ia berdiri di atas pohon yang roboh. Rahangnya membuka, menunjukkan gigi tajamnya yang membahayakan, dan mata kuning bersinarnya terkunci padaku.
Aku berbalik dan lari. Serigala itu menggertak dan mengejar di belakangku. Aku menjerit, tapi tak ada seorangpun yang menolongku.
Tak ada seorangpun.
Aku tersandung dan jatuh...jatuh ke dalam tumpukan tulang-tulang putih yang sebenarnya. Sebuah tengkorak menatap balik padaku.
Serigala itu menenggelamkan giginya ke dalam kakiku. Aku berputar, menggeser dengan putus asa ke sekitar untuk berusaha dan berjuang melawan serigala itu.
Giginya menusuk lebih dalam.
“Rafe!” Namanya-lah yang kuteriakkan dalam mimpiku.
Lalu dia berada di sana. Berdiri di belakang serigala itu. Menatap padaku.
“Tolong aku!” Dia tak bisa hanya berdiri di sana saja...
Hanya mimpi.
Tapi ia menggelengkan kepalanya. “Aku sudah memberitahumu untuk tidak kembali ke dalam hutan. Sekarang sudah terlalu terlambat.” Ia berbalik menjauh dariku.
Aku mendorong melawan serigala itu, tapi binatang liar itu menggertak dan datang tepat di tenggorokanku.
“Tidak!”
Pekikanku pecah dariku seperti sebuah bisikan, tapi suara kecil itu akhirnya cukup untuk mendorong kembali mimpi buruk ini. Aku bangun, basah kuyup dalam keringat, dengan jantungku berpacu terlalu cepat.
Lenganku berdenyut. Aku menyalakan lampuku dengan jari-jari gemetar, dan aku merenggut pembalut yang menutupi tanda cakaran itu.
Tak ada lagi darah. Hanya daging merah yang timbul dan terlihat mengamcam.
Dalam pikiranku, aku masih bisa melihat mata serigala itu.
Aku tak kembali tidur dalam waktu yang sangat, sangat lama.
***
Saat aku turun untuk sarapan pagi berikutnya, aku punya hadiah yang menungguku. Aku menatap tabung hitam kecil di piringku, lalu memandang ayahku. “Gee, kau tak seharusnya.”
Kupikir ayahku berkata, “Orang bodoh yang pintar”—itu adalah julukan yang penuh kasih sayang untukku, ngomong-ngomong. Aku bahkan pernah mendengar para guru menggerutukan itu saat mereka pikir aku tak bisa mendengarnya.
Aku mengambil kejutanku dan melepaskan kaitan bungkus kulit bercahaya yang menutupi kaleng semprotan lada. “Aku masih punya persediaan yang cukup baik di sekitar sini,” kataku padanya. Persediaan yang tak terbungkus. Ada kota tak terbungkus yang tersembunyi di bawah ranjangku dan di dalam toiletku. Aku tidak terburu-buru mengatasi mereka tepatnya. Aku masih menyesuaikan gagasan tinggal di rumah baru—rumah milik nenek yang tak pernah kutemui—dan membongkar lebih banyak kotak bukanlah hal yang besar di daftar prioritasku.
“Aku ingin kau menggunakannya dari sekarang.” Ayah meletakkan beberapa bacon di atas meja untukku. “Hanya saja jangan membawanya ke dalam sekolah.”
Aku hampir memutar mataku. Seakan-akan aku perlu diberitahu akan hal itu. Bahkan menjadi anak sheriff tak akan menyelamatkanku dari masalah yang akan ditimbulkan oleh membawa kaleng semprotan lada ke sekolah.
Ibu jariku menelusuri puncak semprotan lada itu. Aku tak melihat labelnya dimanapun pada benda itu. “Darimana kau mendapatkan ini?” Ini lebih berat daripada semprotan ladaku yang lain.
“Tempat biasa.”
Ayahku bisa menjadi orang bodoh yang pintar juga. Ciri khas keluarga.
Ia menodongkan garpunya padaku. “Ada banyak binatang buas yang berlari bebas di hutan-hutan itu. Jika sesuatu pernah datang padamu, semprotkan itu tepat di matanya.”
Aku sangat bisa mengatasi itu. Lengan dalam masa penyembuhanku sedikit tegang. “Apa ini berarti aku harus memimpin ke dalam hutan dan...”
“Tidak.” Dengan segera.
Berpola. Pria itu tak tahu bagaimana menikung. “Itu berarti jika kau berjalan pulang atau ke rumah teman...”
Dia punya semacam obsesi dengan aku membuat pertemanan.
“Lalu yakinkan kau terlindungi, Anna, mengerti?”
“Baik, jika kau memberikanku mobil,” saat aku melihat sebuah lowongan, aku tahu bagaimana mengambilnya. “lalu aku tak harus berjalan kemanapun.” Dan semprotan lada di hutan itu tak akan menjadi penting.
Garpu jatuh di atas piringnya. Ayahku memberikan senyum setengah. “Aku sedang mengusahakannya.”
Rahangku jatung persis seperti garpu itu. “Serius?” Dan sungguh, jujur pada Tuhan pekikan meledak dariku. Aku melompat, berlari mengelilingi meja, dan memeluknya sekeras yang kubisa.
Dan, yah, inilah bagaimana kebahagiaan itu terasa.
Sebuah mobil—akhirnya. Oh, manis. Pria itu tahu persis bagaimana caranya membuatku senang. Aku merasa sangat baik yang mana aku hampir bisa melupakan mimpi buruk yang menghantuiku sepanjang malam. 
Hampir.
***
“Jadi...apa urusannya?” tanyaku pada Jenny saat makan siang ketika aku mengangguk ke arah Cassidy. Hujan deras telah memaksa semua orang berada di dalam kantin hari ini, dan aku melihat Cassidy duduk di meja dengan sepupunya, Daging Segar.
Um, James. James Colter. Aku buruk hampir sebanyak Troy tepatnya.
“Siapa?” Jenny sedang menatap meja Brent dengan sedikit ekspresi kerinduan di wajahnya. Aku melambaikan tanganku di depan matanya. Dia mengerjap seperti burung hantu.
“Gadis di sebelah sana,” jelasku, cukup sia-sia, kupikir. “Cassidy.”
“Oh.” Aku berharap dia mengatakan kebiasaannya, “YaTuhan!” Tapi dia tak melakukannya. Malahan, dia mencondongkan tubuhnya ke depan, yang sekarang kutahu adalah gerakan aku-sedang-membagikan-gosip, dan mengatakan padaku, wajahnya benar-benar serius. “Dia adalah seorang penyihir.”
Sekarang, sungguh, orang-orang tak seharusnya bercanda tentang hal-hal seperti itu. Mereka tak pernah tahu kapan seorang penyihir berada di sekitar—orang yang terganggu karena sedang dibicarakan.
Tapi aku tersenyum dan berteriak, “Omong kosong.”
Pengawas makan siang, guru sejarah kami Nyonya Cavanaugh, menyentakkan kepalanya ke arah meja. Dia mengerutkan keningnya padaku.
Aku tetap tersenyum.
“Tidak, dia memang penyihir.” Jenny mencondongkan tubuhnya lebih dekat. “Sudahkah kau melihat toko yang dijalankan oleh neneknya? Kau bisa membeli apapun di sana. Bahkan...obat pembangkit cinta.”
Seseorang menyelamatkanku. “Kutebak kau membelinya.”
Pandangannya bergerak cepat kembali ke meja VIP. Bukan pada Brent, tapi pada Troy. Serius? Oh, itu adalah rencana yang buruk.
Dan dia tak menjawabku. Leluconku tiba-tiba saja tidak seperti lucu. Aku meletakkan sodaku. “Katakan padaku kau tak melakukannya.”
Ia mengangkat bahu dan tak akan melihat padaku. “Banyak orang membeli banyak hal dari Nenek Helen.”
Nenek Helen. Oke. Itu akan menjadi wanita yang sangat tidak manis yang berusaha merenggut lenganku. “Dan Cassidy bilang dia adalah penyihir? Dia benar-benar mengatakan itu pada orang-orang?”
“Baiklah, tidak, tapi...”
Mataku ingin menyilang.
“Tapi dia bekerja di toko itu, jadi dia pasti adalah salah satunya, kan?”
Salah. “Dia bisa saja hanya seorang gadis yang bekerja di toko neneknya.” Gadis yang menyeramkan. Dan setiap kali aku melihatnya, aku terus berpikir...aku bisa jadi berhubungan.
Jadi dia menjadi aneh kemarin. Aku tahu aneh. Hari ini, aku memperhatikan cara anak-anak lain melihatnya. Senyum sedikit mengejek di bibir mereka. Tatapan geli. Aku telah menangkap terlalu banyak pandangan itu sekali waktu.
Cassidy mendongak dan bertemu dengan pandanganku kemudian. Dia sedikit mengangguk padaku sebagai balasan.
“Bagaimana kau mengenalnya?” Jenny ingin tahu. Beberapa gadis lain berada di meja dengan kami, semuanya teman Jenny, tapi mereka sedang berbincang tentang pertandingan sepak bola Jumat malam mendatang dan sepenuhnya mengabaikan kami.
“Aku berada di tokonya kemarin.” Bagaimana menjadi sopan? “Itu adalah sebuah...tempat yang menarik.”
Matanya membelalak. “Kau membeli mantra cinta?”
Sekarang semua gadis sedang melihatku karena Jenny baru saja melakukan bisikan melengkingnya—dengan penekanan pada lengkingan.
“Tidak, tidak, aku...”
“Siapa yang akan kau pakaian mantra itu?” Pandangannya bergerak cepat ke meja VIP. Baik, itulah bagaimana aku sedang memikirkan meja Brent dan Troy, bagaimanapun. “Tunggu,” ucapnya. “Biar kutebak...”
Aku meraih tangannya. “Aku tak membeli mantra!” Pada titik ini, aku seharusnya tahu lebih baik daripada bermain-main dengan omong kosong itu.
Aku seharusnya sudah tahu.
Matanya melotot, dan aku sadar aku mungkin memegang pergelangan tangannya dengan terlalu erat. Aku mengurangi cengkeramanku. “Aku penasaran dengan tempat itu. Aku hanya masuk ke dalam jadi aku bisa melihat seperti apa tokonya.”
“Apa Nenek Helen memberitahumu tentang masa depanmu?” Salah satu dari gadis-gadis di meja ingin tahu. Suzy. Suzy dengan rambut kepang Prancis panjang yang tampaknya dia mainkan sepanjang waktu.
Aku mengerutkan kening pada kata-katanya. Masa depanku?
Kegelapan sedang mendekat.
“Dia bilang padaku aku akan mendapat beasiswa musik yang kubutuhkan.” Bahu Suzy menegak. “Dan aku sangat mendapatkannya.”
“Dia bilang padaku untuk berhati-hati saat aku mengendarai mobil ayahku,” gadis lain bergumam dengan meringis. Heather? Yah, itulah namanya. Heather dengan highlight pirang di rambutnya. “Aku tidak berhati-hati. Aku menabrakannya tepat ke pohon di Tikungan Orang Mati.”
Jenny menatapku dengan satu alis terangkat. Bagaiman dia bahkan melakukannya? Bagaimana bisa seseorang menaikkan hanya satu alis?
“Apa yang sudah dia katakan padamu?” Jenny ingin tahu.
Aku tersenyum. “Tak ada.” Aku menarik tanganku kembali. Jadi Nenek Helen bersenang-senang bermain-main dengan warga setempat. Dia bisa melakukan gigitannya dan...
“Hi...ini...Anna, kan?”
Jenny mencicit.
Aku melihat ke arah kiri, mengikuti pandangan terkejutnya, dan di sana, melihat semua pemain gelandang khusus dan terlalu manis dengan seringai berlesung pipinya, adalah Brent.
Aku mengangguk. “Yah, itu aku.”
Kepalanya miring seolah-olah ia mempelajariku. Pandangannya terlihat terlalu menaksir, dan aku khawatir bahwa dia sedang melihat...terlalu banyak dariku. “Aku punya pesta di rumahku setelah pertandingan di hari Jumat...kupikir aku akan melihat jika kau ingin mampir.”
Tunggu. Tahan. Apa salah satu dari anggota VIP baru saja memintaku untuk...
Aku mengambil resiko memandang cepat pada Jenny. Cukup yakin, dia mengucapkan kata yang dibuat-buat YaTuhan.
Lalu aku melihat kembali ke meja VIP. Valeria tak ada di sana. Menarik. Apa urusannya? Apa pemuda ini memintaku berkencan, atau ini semacam ramah tamah menolong-gadis-baru?
“Kau datang ke pertandingan sepak bola di hari Jumat, kan?” tanyanya sementara alis pirangnya sedikit berkerut.
Sejujurnya, aku belum merencanakan itu.
Seseorang menendangku di bawah meja. Pasti Jenny. Sandalnya sedikit berujung tajam hari ini, dan aku yakin merasakan ujung tajamnya menyengat kulitku. Aku mengangguk dan berpura-pura seperti aku peduli tentang sepakbola. “Tak akan melewatkannya.”
“Hebat.” Senyumnya menyentak dalam tegangan. Pemuda ini hanyalah paket Semua-Orang Amerika. Dan dia sangat banyak diambil. Benarkan?
Selalu menyebalkan saat pria-pria menggiurkan sudah diambil.
Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku, dan aku menangkap aroma segar dan kering, benar-benar bau parfum yang enak. “Jika kau mau, aku bisa mengantarkanmu ke tempatku. Tetap saja berada di sekitar sejenak setelah pertandingan, dan aku akan memberikanmu tumpangan. Dengan begitu, kau tak akan tersesat.”
Bukan masalah. Aku mengintip lagi untuk melihat Valerie. Tak melihatnya. Jadi aku bertanya saja. “Um, apa Valerie akan naik bersama kita?”
Matanya dingin karena itu. “Tidak. Dia dengan pasti tak akan ikut.”
Baiklah, baiklah....tidak diambil.
“Jadi apakah ini kencan?” Dia ingin tahu.
Ah, ada kata dengan empat huruf besar itu. Kencan (Date). Tapi kenapa tidak? “Tentu.” Bahkan aku tahu bahwa jika tangkapan besar di sekolah meminta untuk berkencan, seorang gadis setidaknya memberinya kesempatan.
Dia mengetukkan buku-buku jarinya di atas meja. “Wow, biasanya aku mendapatkan respon yang lebih dari itu.”
Seringainya memintaku untuk tersenyum balik padanya.
Jantungku melompat sedikit cepat. Aku yakin bisa melihat tentang apa yang diributkan dengannya. “Kau harus tahu, aku tak akan menjadi tipe gadismu yang biasanya.” Peringatan yang adil untuknya.
“Bagus. Aku lelah dengan gadis semacam itu. Aku siap untuk kejutan.”
Aku bagus dalam kejutan.
Bel berdering kemudian, dan Brent melangkah mundur. “Sampai jumpa lagi.”
Aku mengangguk.
Jenny menendangku lagi, tapi kupikir itu hanya tendangan gembira waktu itu. Lebih dari gerakan refleks. Khususnya karena ia menindaklanjuti tendangan itu dengan, “Kau sama sekali tak membutuhkan mantra cinta.”
Sebelum dia bisa berkata lebih dari itu, aku berdiri, siap untuk membuang nampanku dan menuju ke kelasku berikutnya. Troy telah menyerobot Brent, dan mereka berbincang tentang latihan yang dibatalkan hari ini karena ada sesuatu yang salah dengan pelatih dan...
Pandanganku bertabrakan dengan pandangan Rafe. Dia berdiri berlawanan dengan dinding belakang kantin, dengan kedua lengan tersilang di depan dada. Wajahnya kelihatan keras, sejenis marah, dan tatapannya terkunci tepat padaku.
Aku melakukan gerakan Cassidy, aku mencondongkan kepalaku ke arahnya dalam anggukan samar sementara tanganku mengetat di nampanku.
“Hei, kuambil itu,” ucap Brent, muncul lagi, dan dia mengambil nampanku. Seringainya muncul sekali lagi. “Aku bisa bermain jentelmen.”
Aku mengkomat-kamit ucapan terima kasihku dan memandang cepat lagi pada Rafe.
Aku menyuruhmu untuk tetap berada di luar hutan.
Dia sudah pergi.
***
Bis besar oranye/kuning menungguku. Terima kasih untuk episode kecilku di pangkalan sheriff kemarin, ayahku sudah menyuruhku untuk pulang ke rumah setelah sekolah hari ini. Tak ada penurunan di pangkalan untuk melihat foto-foto orang hilang untukku.
Aku tahu dia sedang “Anna membuktikan” tempat itu hari ini. Mendapatkan apapun yang bisa bermain-main dengan kepalaku dari jalan agar aku akan jelas untuk mampir di masa depan. Tapi, untuk sekarang, dia sudah memberikan perintah bahwa aku pulang ke rumah naik bus.
Pria itu benar-benar harus cepat-cepat dan membeli mobilku. Aku sudah bisa mencium bau busuk kaos kaki gym tua yang berasal dari bus. Hari kedua dari sekolah, dan sudah ada hal yang berbau busuk. Mungkin itu selalu berbau seperti itu.
Aku menyeret langkahku ke depan, siap untuk naik ke dalam dan memulai pencarian putus asa untuk tempat duduk yang tidak buruk, tapi kemudian aku mendengar gemuruh geraman rendah.
Tubuhku menegang dan kepalaku menoleh ke kiri.
Geraman itu beralih menjadi raungan dan sebuah sepeda motor menikung melewati lahan parkir. Seorang pemuda berada di atasnya, pemuda dengan bahu lebar dan helm hitam gelap.
“Dia sangat menggiurkan,” kata seorang gadis dari belakangku.
Segala sesuatu menjadi benar-benar aneh kemudian...karena pemuda di ats sepeda motor itu mengerem dan berputar kembali untuk melihat jalan bus.
Aku bersumpah rasanya seperti dia sedang melihat tepat ke arahku.
Dia mengarahkan sepedanya dan memutarnya, dan mulai berkendara dengan perlahan ke arah jalan.
Gadis di belakangku menabrak ranselku, dan aku sadar itu adalah giliranku untuk masuk ke bus. Aku menggelengkan kepalaku dan melangkah maju.
Sepeda motor itu mengerem dua kaki jauhnya. Aku tak melihat pemuda itu saat aku meraih pegangan bus.
“Hei, Anna...”
Suara Rafe. Seperti aku pernah bisa melupakan gemuruh rendah itu. Dan dia benar-benar memanggilku Anna, bukan Chicago. Aku melihat sekarang, tak mampu menahan diriku sendiri. Dia menyelipkan helmnya di bawah lengannya, dan mata biru cerahnya sedang menatapku.
Dia tak kelihatan marah lagi, dan hanya menatapnya memberiku kilasan aneh dari mimpiku.
Dia telah meninggalkanku untuk mati dalam mimpi itu.
“Apa kau masuk ke dalam bus, nona?” Pertanyaan yang sedikit mengganggu ini datang dari si supir, pria paruh baya dengan rambut tipis yang mengerutkan keningnya padaku.
Aku menggelengkan kepalaku, berusaha membersihkan mimpi itu. “Ah, ya, aku...”
“Aku bisa memberimu tumpangan,” ucap Rafe padaku.
Aku tak yakin apa yang harus dikatakan. Para gadis di belakangku menyelinap ke sekitarku dan terburu-buru ke dalam bus.
“Ayolah, Anna...” Suara Rafe hampir menggoda. “Aku tak akan menggigit.”
Kau yakin dengan hal itu?
Aku melangkah menjauhi bus dan hampir bisa mendengar ayahku berteriak di kepalaku.
Ide buruk. Buruk.
Tapi dia menggiurkan. Begitu juga dengan sepeda motornya.
“Terima kasih,” ucapku padanya, dengan menyesal. “tapi aku akan mengambil....”
“Rumahku tepat di sebelah tempat nenekmu. Baiklah, tidak tepat di sebelahnya,” jelasnya dengan mengangkat bahu, “tapi sekitar satu mil jauhnya. Aku tetangga terdekat yang kau punya.”
Itu membuatku merasa...aku tak tahu. Aneh. Tonjolan dingin naik ke lenganku.
“Masuk atau keluar?” tuntut supir bus, dengan pasti jengkel denganku sekarang. Bus itu hampir penuh, dan dia dengan jelas siap untuk berangkat.
Sepeda motor itu menggeram dengan lembut. Aroma kaos kaki gym menyengat hidungku. Tak ada lagi tempat duduk bagus yang tertinggal. Hanya yang buruk yang akan membuatku terdorong terhadap beberapa “teman” baru yang tak benar-benar ingin kukenal.
Daguku terangkat. “Keluar,” ucapku, dan berbalik untuk menghadap sepenuhnya pada Rafe.
Senyum setengah terpasang di bibirnya kemudian. Lesung pipi tidak muncul—tidak seperti senyum milik Brent. Senyum Rafe lebih ke tepi yang berbahaya.
Masalah. Itulah tepatnya dirinya.
Dia memberiku helm tambahan. “Naiklah,” ucapnya padaku, “dan pegangan erat.”
Dia mendorong buku-buku dan ranselku ke dalam tas punggung kecil. Aku memakai rok lagi, mungkin bukan yang terbaik untuk mengendari sepeda motor, dan saat aku naik ke atas sepeda itu, kainnya sedikit terangkat.
“Bagus,” gumamnya, dan pandangannya terangkat dari kakiku ke wajahku.
Aku menempatkan lenganku ke sekelilingnya. Aku bisa merasakan ototnya di bawah tanganku.
Bagus. Aku mengatur untuk memegang kembali pujianku. Sedikit. Aku sedang mengusahakan pada kecenderungan untuk keceplosan. Ia mengenakan helmnya dan sepeda motor melaju ke depan. Aku berpegangan seerat yang kubisa, dan menyadari aku sedang tersenyum.
Wajah-wajah melewatiku dalam remang-remang cepat. Cassidy, Jenny, Valerie, Troy—lalu kami keluar dari lahan parkir, dan Rafe mengendarai motornya di sepanjang tikungan seperti ular mengarah kembali ke rumahku. Angin menebas berlawanan dengan tubuhku, dan aku merasa sangat baik yang membuatku ingin tertawa. Bersepeda gratis, cepat, oh, sempurna, sangat bagus.
Hutan-hutan mengelilingi perjalanan, kadang-kadang sangat menebal yang tampak seolah-olah kami bepergian melalui saluran pohon. Cahaya memudar ketika sinar matahari terjebak di puncak pepohonan. Dan sepeda motor masih memakan jalan.
Dia memelan di Tikungan Orang Mati—Jenny sudah memberitahuku itu dinamakan seperti itu karena semua kecelakaan di sana pada larut malam—tapi Rafe keluar dengan mudah dengan luncuran sempurna, dan terus berkendara dengan cepat.
Aku tidak berbicara. Tak ada intinya saat angin menderu di sekeliling kami. Aku hanya berpegangan, dan aku tidak mengkhawatirkan sesuatu.
Atau, setidaknya, aku tak khawatir, tidak sampai sepeda motor memelan, dan Rafe berputar di atas jalan kotor yang tua. Jalan yang tidak mengarah ke rumahku, jalan yang kelihatannya mengarah tepat ke dalam hutan.
Jangan pergi ke dalam hutan.
Dia mengerem, mematikan mesinnya, dan dia merenggut helmnya.
Dia melihatku dengan tatapan berkilauan. “Kita perlu bicara.”
Um, benar. Aku mengerti itu. Aku melepaskan helmku, jauh lebih perlahan dari yang dilakukannya. “Aku-aku pikir kau sedang mengantarku pulang.”
“Memang.” Sebuah otot menegang di rahangnya. “Tapi pertama aku perlu menanyakanmu sesuatu.”
Bahkan burung-burung kelihatannya sudah berhenti bersiul. “Tanyakan.” Jantungku berdebar terlalu keras di dadaku.
Pandangannya mencari milikku. “Kau berdarah saat aku menemukanmu di lain hari.”
Aku mengangguk. Aku tidak mengharapkan pertanyaan itu.
“Apa kau digigit?”
Kenapa, apa dia akan membawaku untuk tembakan rabies?
“Apa kau digigit?” Duduk bersama di atas sepeda motor, dia pasti menjadi dekat denganku. Hanya inchi yang memisahkan wajah kami. Emas di matanya terlihat lebih gelap dari sebelumnya.
“Tidak, tidak, aku tidak digigit.” Suaraku terdengar sedikit serak.
“Apa kau yakin?” Ada intensitas keras di suara dan matanya. “Ini benar-benar penting, dan aku harus tahu kebenarannya.”
Baik, baik. Aku menyentak lengan bajuku ke atas dan menunjukkannya pembalutku. “Hanya tanda cakaran, oke? Cakarnya menangkapku saat aku jatuh...”
Ia merenggut lenganku—dalam gerakan yang sangat, sangat cepat—dan menarik pembalutnya dalam sekejap.
“Hei!” berangku. “Apa yang kau...”
“Cakaran.” Nafasnya serak yang bisa jadi adalah desahan lega.
Aku mengamati lenganku. Tandanya tidak seperti merah sekarang. Garisnya benar-benar terlihat sudah sedikit berkurang. Meskipun masih timbul. Masing-masing tanda panjangnya beberapa inchi.
“Aku tidak sedang mendapatkan rabies atau apapun, oke? Kau tak harus khawatir tentang...”
“Aku tidak sedang mengkhawatirkan rabies.” Jari-jarinya tenang di atas lenganku. Ujung jari-jarinya terasa sedikit kasar, seperti dia punya kapal di atasnya.
Aku menelan ludah. “Lalu apa? Apa masalah besarnya?”
Tapi dia hanya menggelengkan kepalanya. Pemuda ini punya bulu mata yang sangat terlalu panjang. Aku tak bisa menahan untuk memperhatikan karena kami berciuman dekat.
Dia menjauh sedikit, memberi beberapa jarak di antara kami.
Aku mengambil nafas cepat dan sudah bisa bersumpah aku merasakannya.
“Jadi...” aku turun dari sepeda. Aku bisa melakukan jarak rutin juga. Aku berjalan menjauh beberapa kaki. “Apakah hanya pertanyaan itu yang ingin kau tanyakan padaku?”
“Tidak.”
Aku menunggu. Lihatlah aku tidak menceploskan apapun, hanya menunggu. Aku sudah membuat beberapa kemajuan yang serius.
“Kenapa kau akan pergi dengan Brent Peters?”
Aku sedikit meluncur ke belakang di atas tumitku. Apa dia cemburu? Mungkin. Mungkin tidak. “Karena aku ingin?”
Dia menendang jagang dan turun dari sepeda motor. “Kau perlu berhati-hati di sekitarnya.”
“Ada apa dengan orang-orang yang memberikanku peringatan di kota ini?” Sekarang aku jengkel. “Ini akan datang seperti kejutan, tapi aku benar-benar bisa menjaga diriku sendiri.” Aku punya sabuk hitam Karate. Ayahku telah memastikan aku tahu bagaimana melindungi diriku sendiri di usia dini. Aku boleh kelihatan kecil, tapi aku bisa membawa pukulan kasar.
Dan semua jarak pribadi yang bagus yang sudah kutempatkan di antara kami? Dia menghapusnya dalam waktu sekitar dua detik. Dia menangkap lenganku, pegangannya lembut meskipun jari-jarinya kasar. Tangannya terletak tepat di bawah lukaku. “Kau yakin dengan itu? Mungkin kau adalah orang bodoh yang buruk saat kembali ke rumah,” nadanya mengatakan ia meragukannya, “tapi, Chicago, kupikir kau keluar dari elemenmu di sini.”
Daguku—satu yang mungkin sedikit terlalu menunjuk—terangkat. “Kau tak tahu elemenku.”
Semua jejak kelucuan meninggalkan wajahnya. “Dan kau tak tahu berurusan dengan apa kau di sini di Haven. Jika kau tidak berhati-hati, kau bisa terluka.” Ibu jarinya melembut di atas lenganku. “Dan itu akan menjadi jauh lebih buruk seluruhnya daripada sebuah goresan kecil.”
“Aku tidak takut.” Tidak atas kota ini dan tidak atas dia. Tidak betul.
Lalu aku sadar...itu adalah kata-kata yang hampir sama yang sudah kukatakan pada Nenek Helen.
Dalam sekejap berikutnya, pemuda ini menyerang pikiranku karena ia berkata, “Brent pikir aku tertarik padamu, jadi dia berusaha mengalahkanku dengan pukulan.”
Tunggu, apa? Aku melakukan penafsiran cepat dan rahangku sedikit mengendur. “Kau bilang dia mengajakku keluar karena...”
“Karena dia pikir dia sedang mengambil sesuatu yang kuinginkan.”
Nafasku tertahan di tenggorokan.
Matanya berkilat padaku. “Dia sedang memanfaatkanmu, Anna,” ucapnya dengan datar. “Jangan biarkan dia melakukan itu.”
Aku membasahi bibirku. “Aku tak membiarkan siapapun memanfaatkanku.” Tapi itu bohong. Aku sudah sebelumnya...para polisi di Chicago sudah memanfaatkanku untuk kasus-kasus mereka, dan sekali, ayahku sudah memanfaatkan perbedaanku. Masih mendengar kata-kata itu dari Rafe, well, itu menggangguku. Tidak, dia menggangguku. “Dan kutebak fakta bahwa dia mungkin hanya menyukaiku tak pernah sekalipun terlintas di pikiranmu?’
Aku benar-benar mendengar giginya menggemertak. “Aku mengenalnya dengan baik,” gertaknya. “Brent bisa menjadi benar-benar brengsek.”
“Dan begitu juga denganmu.”
Ia mengerjap. “Aku sedang berusaha menolongmu.”
“Benarkah?” Tidak banyak kelihatan seperti itu dari tempatku berdiri. “Dari apa yang sudah kukumpulkan di sekolah, Brent adalah pemuda yang baik, sekelas pahlawan. Semua orang kelihatannya menyukainya.” Aku menatapnya balik. “Orang-orang tak begitu memuji tentangmu.”
“Jadi begitu?” Ia mengambil satu langkah mengikutiku.
Aku tidak kembali. Aku terlalu marah waktu itu. “Yah, begitulah.”
“Lalu kenapa kau di sini bersamaku?”
Karena aku idiot. “Karena aku butuh tumpangan, dan jika kau tak keberatan, aku benar-benar ingin menyelesaikan tumpangan itu dan pulang.” Dan jauh darimu. Aku tidak mengatakan bagian itu. Aku sedang menjadi wanita terhormat, tapi kukira kata-kata itu pasti cukup jelas terbaca di wajahku.
“Baik.”
Aku berbaris di sampingnya. Bahuku menyentuh bahunya.
“Aku tak ingin melihatmu terluka.” Kata-kata itu digeramkan padaku.
Aku mengerutkan keningku padanya. “Tak akan ada yang melukaiku.” Lantas, karena aku harus bertanya—hanya tak bisa membiarkannya begitu saja, kubilang. “Brent pikir kau menginginkanku? Apa kau...um, maksudku...” Hebat, sangat lancar. “Apa kau...”
Dia menggelengkan kepalanya dan memotong kata-kata tersendat-sendatku. Tatapan mata birunya kelihatan membakarku, tapi kemudian dia bilang padaku dengan gampang, “Aku tak bisa.”
Jawaban macam apa itu?
Dia kembali ke sepeda motornya dan menaikinya.
Kutebak itulah satu-satunya jawaban yang kudapatkan.
Aku tak bisa. Mungkin itu lebih baik daripada dia berkata, “Kau menyebalkan,” tapi aku masih menganggapnya sama. Aku menaiki sepeda di belakangnya, dan berusaha menjaga jarak di antara kami. “Antar aku pulang.” Aku mengenakan helm.
Kupikir Rafe mengatakan sesuatu yang lain, tapi aku tak bisa mendengarnya. Mungkin aku tak mau mendengarnya.
Dia memutar sepeda motornya. Hujan debu dan kotoran naik di sekeliling kami. Lalu sepeda itu bergerak maju, dan kami melewati jalan kecil yang berliku-liku itu. Jalan utama menikung dan agak lebar, dan dengan setiap gerakan, aku harus bergerak sedikit lebih dekat pada Rafe, harus berpegangan dengan sedikit lebih erat. Dia berkendara lebih cepat dari yang seharusnya, dan aku penasaran jika ia melakukan itu agar aku harus berpegangan erat.
Kami menempuh satu tikungan lagi, dan kemudian aku melihat kilasan lampu polisi. Dua mobil deputi. Ayahku berdiri di sebelah mobilnya, da dia mendongak pada suara raungan mesin sepeda motor.
Aku tahu masalah saat aku melihatnya. Begitu juga dengan ayahku.
Rafe mengerem, merenggut helmnya. Jauh, jauh lebih lambar, aku memindahkan helmku. “Apa yang terjadi?” tuntut Rafe dan kecemasan dalam suaranya memberiku jeda sejenak.
Tatapan dingin ayahku menyapunya, lalu beralih padaku. Alis pirangnya naik, dan aku tahu aku terpanggang. “Bus yang bagus, Anna.”
“Aku, um, ketinggalan bus?” Aku berusaha agar terlihat polos.
Kedua alis itu tidak merendah.
Aku mencoba lagi. “Dia tetangga kita, Yah, dia baru saja memberiku tumpangan...”
“Aku tahu persis siapa Rafe itu.” Terkadang, kebekuan bisa menetes dari suara ayahku.
Suara-suara lain naik turun, dan dua deputi muncul dari semak-semak. Mereka sedang membawa sebuah tas besar, semacam seperti yang orang-orang akan menaruh setelan mereka di dalamnya saat mereka bepergian. Panjang, hitam, tebal.
Perutku menegang.
“Apa yang ada di dalam tas itu?” tuntut Rafe.
Aku tahu apa yang ada di dalam tas itu, dan aku curiga Rafe tahu juga. Aku turun dari sepeda motor. Sekarang aku bisa melihat beberapa orang lagi di tempat itu. Seorang penjaga hutan berada di sebelah kanan, di dekat tepi jalan. Dia sedang berbicara ke telponnya.
“Seorang penjaga hutan menemukan sisa-sisanya di hutan hari ini.”
Aku penasaran siapa yang telah mereka temukan. Ayah tak akan memberitahuku, tidak di depan Rafe.
Sebelum aku bisa berkata, seorang deputi dan menepuk punggung ayahku. Deputi itu memiliki lebih dari sedikit tonjolan dekat perutnya—terlalu banyak donat—dan mata hitam kecil yang tajam. “Serangan binatang lagi, huh, Sheriff? Itu adalah mangsa kedua yang kita temukan minggu ini! Aku berpikir kita mungkin perlu membuka musim pemburuan lebih awal untuk kita di...”
“Deputi!”
Aku melihat Rafe menegang.
Ayahku menghela nafas panjang. “Deputi Hollis, amankan tempat itu.”
Deputi itu mengerling ke arahku, dan dia akhirnya tampak menyadari bahwa, whoops, penduduk sipil berada di sana. “Baik, Pak.”
Tas hitam itu diletakkan ke dalam bagian belakang van. Tunggu, apa itu van Pemeriksa Medis? Aku bahkan belum menyadari bahwa Haven punya Pemerika Medis sendiri. Hampir mengesankan.
“Tunggu di mobilku, Anna,” ayahku menyuruh dalam suara tak boleh mendebat dan seriusnya.
Aku mengerling padanya, lalu pada Rafe. Aku tahu kapan memilih peperanganku. Di samping itu, aku ingin pergi sejauh yang kubisa dari Rafe tepatnya kemudian.
Aku tak bisa. Betapa menghinanya itu? 
Di antara tubuhku dan kemarahanku yang mendidih, aku butuh pergi jauh dari semuanya tepatnya kemudian. “Terima kasih atas tumpangannya,” aku mengelola untuk mengatakannya pada Rafe.
Kepalanya condong. Aku disentuh olehnya.
Aku tak melihat balik, baiklah, tidak sampai aku berada di mobil ayahku. Lalu aku mengambil resiko melihat cepat di atas bahuku. Ayahku sudah mencodongkan tubuhnya benar-benar dekat pada Rafe, dan aku bisa mengatakan dari ekspresi di wajah mereka bahwa mereka berdua marah. Lalu Rafe berputar, melompat ke atas sepeda motornya, dan meraung ke jalanan.
Bukan langkah paling cerdas saat sangat banyak deputi berada di dekat sini. Anehnya, tak ada seorangpun yang mengejar.
Saat ayahku berbalik untuk melihatku, aku berharap melihat lebih banyak kemarahan di wajahnya. Malahan, aku hanya melihat ketakutan.
Kegelisahan berdesir di bawah kulitku saat aku penasaran apa yang bisa membuat ayahku—seorang pria yang sudah membawa para pembunuh berdarah dingin—takut?
Aku tak berpikir aku ingin tahu.


Originally Translated by Alya Feliz


Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger