THE BETTER TO BITE BY CYNTHIA - BAB 5

May 24, 20152comments


Aku membuka mataku dalam kegelapan total. Kegelapan...dan rasa sakit. Aku mendorong ke atas dengan tanganku, dan sesuatu yang keras dan tajam—kaca?—jatuh dari jari-jariku.
Mataku menyesuaikan dengan lambat, dan aku bisa melihat interior mobil Brent yang hancur. Aku memutar kepalaku ke kiri dan mendesis karena rasa sakit yang menyelimutiku.
Sebuah pohon terdorong melewati kaca depan dan masuk ke kursi pengemudi.
Jantungku berhenti. “Brent!”
Dia tak sedang berada di tempat duduk itu, terima kasih Tuhan, tapi kaca ada di mana-mana dan darah menetes ke mataku. “Brent, dimana kau?”
Hilang...sebuah bayangan meng-klik di pikiranku dengan segera. Aku melihat tubuh Brent, tergolek dengan wajah menghadap ke bawah, dekat sekelompok pohon pinus. Apa dia bergerak? Apa dia hidup? Aku harus mendekatinya!
Mobil miring dan sabuk pengaman mengekang dadaku. Aku melepaskannya, dan tubuh bagian atasku dengan segera jatuh ke depan dan menghantam dasbor. Aku sedikit merasakan pengaruhnya. Harusnya itu menjadi hal yang buruk. Aku seharusnya sudah merasakannya.
Aku berusaha mendorong pintuku. Seperti kaca depan, jendela kursi penumpangku juga pecah. Saat aku meletakkan tanganku di pintu, potongan kecil kaca menggoresku.
Dan pintu sialan itu tak mau membuka.
“Brent!”
Jika aku tak bisa membuka pintu itu, aku harus merangkak keluar.
Itu saat aku menyadari kakiku tak bergerak.
Aku bisa merasakan kakiku, bisa menggoyangkan jari-jari kakiku, tapi dasbornya sangat terdorong ke dalam yang membuatku terjepit dan tak peduli berapa banyak aku berputar dan berbalik, aku tak bisa bebas. Kantong udara, sekarang kempis, bersandar di depan dasbor, dan rasanya seperti menyelimutiku.
Harus keluar.
Aku memukul kantong dan dasbor itu. Aku berusaha menyentakkan kaki kiriku, tapi tersangkut pada sesuatu yang tajam dan kulitku robek.
Tidak!
Nafas memberat, pandanganku bergerak cepat ke sekeliling mobil. Di sana...di sana! Tasku tersangkut di sekitar persneling. Aku mengambilnya, meraba dengan jari-jari yang licin, dan merenggut teleponku. Aku akan menelpon ayahku. Ayahku akan menolong, lagi.
Aku mengangkat telepon dan melihat layarnya yang menyala. Ya, terima kasih...
Tak ada layanan.
Tak ada batang sinyal, dan aku tak bisa mendapatkan nada panggilan. Kami terguling—aku bahkan tak tahu sudah berapa lama—tapi kami jauh dari jalanan, dan telepon sialanku tak berfungsi.
Lalu aku menjerit, dalam kegusaran dan ketakutan, saat aku duduk terjepit di mobil itu. Aku tahu tak seorangpun di jalan utama yang akan melihat mobil ini. Terlalu gelap, tak ada cahaya di sini, dan kami hilang tepat di atas tebing.
Jeritanku menggema di sekelilingku, dan kemudian aku mendengar lolongan.
Lolongan ngeri panjang yang sama yang kudengar sebelum kecelakaan.
Jantungnya berpacu sekarang, berpacu sangat kencang hingga dadaku sakit. Jari-jariku meraba-raba tasku lagi, dan pendengaranku tampaknya menjadi sangat akut karena aku bisa bersumpah bahwa aku mendengar bunyi langkah kaki serigala itu di atas tanah. Sebuah ranting berderak.
Pandanganku bergerak cepat ke kiri, ke kanan, dan kakiku mencoba menendang—tak berhasil. Aku terjebak di sana dan setiap kali aku berusaha bergerak, aku memotong dagingku. Jika aku menendang terlalu keras, aku akan mematahkan kaki.
Tapi apa yang lebih buruk...kaki patah atau—
Aku bisa mendengar nafas serigala itu. Terengah-engah.
Aku melihat ke kanan, mengerling melalui jendelaku yang pecah, dan aku melihat pandangan kuning bersinar dari serigala itu.
Aku melemparkan ponselku ke serigala itu. “Menjauh dariku!”
Ponsel itu melambung ke kepalanya. Serigala itu menggeram dan melangkah lebih dekat.
“Jangan mendekat!” Tanganku berada di dalam tasku—terima kasih Tuhan tas itu terjepit denganku—dan serigala itu menjilat bibirnya dan menggeram padaku. Tubuhnya merunduk ke tanah saat menutup jarak di antara kami.
Aku mengingat semua pejalan kaki itu. Sheriff Brantley. Semua mati. Ya, oh, ya, ada yang ditakuti di hutan, dan sesuatu itu sedang datang tepat padaku.
Aku mengejap, dan serigala itu lenyap.
Apa? Tidak, tidak, itu tidak mungkin, dia tidak—
 Kepala serigala itu muncul melalui jendela yang pecah, dan giginya menggigit, nyaris kehilangan lenganku. Aku berteriak keras saat tangan kiriku mendekat dan menyemprotkan semprotan ladaku—Aku berhutang padamu, Yah—tepat ke mata kuning jelek serigala itu.
Serigala itu melolong lagi, tapi kali ini lolongan itu penuh rasa sakit.
Aku berharap serigala itu berbalik, dan memang, tapi...asap muncul dari mata binatang itu. Warna kuningnya menggelap ke warna abu-abu saat aku melihatnya. Seolah-olah mata itu terbakar.
Asapnya menebal. Binatang itu melolong lagi, lalu ia berbalik dan berlari ke dalam kegelapan.
Aku menatapnya, tercengang. Astaga. Hanya...astaga.
Pandanganku kembali ke semprotan ladaku. Apa yang ada di dalam kaleng ini?
Ranting lainnya berderak dan dalam sekejap, aku kembali mengacungkan semprotan ladaku. “Tetaplah menjauh dariku!” Akulah satu-satunya yang membentak sekarang. “Atau aku akan menyemprotmu sampai matamu terbakar habis!” Tak ada seorangpun yang akan menggigitku.
Hening.
Debaran jantungku memenuhi telingaku. Serigala tak seharusnya menyerang seperti itu, bukan? Maksudku siapa yang pernah mendengar seekor serigala menyerang sebuah mobil, lalu mengikuti rongsokannya dan menyerang orang yang selamat?
Benar-benar tak masuk akal.
Aku menjilat bibirku. Aku bisa merasakan ketakutan di lidahku. Aku tak tahu apa yang sebaiknya kulakukan. Seberapa lama semprotan ladanya akan habis? Serigala biasanya bergerak dalam kawanan, kan?
Aku akan berakhir seperti para pejalan kaki itu...tengkorak yang ditutupi dedaunan.
Nafas kasarku menyakiti paru-paruku.
“Anna!”
Kupikir aku sudah membayangkan suara itu pada awalnya, tapi aku masih memanggil, “Brent?”
Lalu harapan menghantamku. Dia sudah bangun. Dia baru saja terlempar dari mobil, mungkin tak berdaya selama sesaat, dia—
Rafe muncul hanya beberapa kaki jauhnya. Bahkan dalam kegelapan, aku tahu itu dia, bukan Brent. Dia lebih tinggi, bahunya lebih lebar, dan ia berlari cepat saat berpacu ke arahku.
Aku menjatuhkan semprotan ladaku. “Rafe!” Mataku ingin menangis tapi aku mengejapkan mata. “Brent...dia ada di luar sana, dekat pepohonan pinus di sebelah kanan! Dia terlempar dari mobil dan, oh, Tuhan, seekor serigala tadi di sini! Dia berusaha menggigitku dan...” Kata-kataku meluncur terlalu cepat. Aku tak bisa menahannya. “Aku menyemprot serigala itu, dan dia terbakar.”
“Shh...tenang.” Rafe berada di sebelah mobil sekarang. “Jika seekor serigala ada di sekitar, kita tentu tak ingin memanggilnya kembali.”
Tidak.
“Kau terluka?” tanyanya, wajahnya terkena bayangan dan kegelapan.
“Tak ada yang terlalu buruk.” Goresan akan sembuh, darah akan berhenti. Aku akan baik-baik saja. “Aku hanya tak bisa keluar. Pintunya tak akan terbuka dan kakiku terjepit!” Rafe tak akan mampu menolongku. Aku mungkin membutuhkan rahang kehidupan untuk keluar dari mobil itu. Aku membutuhkan pegangan dan berpikir. “Kau harus menemukan Brent. Pastikan dia baik-baik saja. Kau bisa mengeceknya lalu pergi mencari pertolongan untukku.”
Tangannya terjulur melewati jendela dan memegang daguku. “Aku tak akan meninggalkanmu.”
“Aku terjebak.” Dia harus meninggalkanku. Tak ada pilihan. Sebanyak apapun aku ingin menangkapnya dan memegang erat-erat...itu bukan pilihan. “Aku akan baik-baik saja.” Kuharap. “Hanya...”
Tangannya menjauh dariku, dan dia melangkah mundur.
Aku mengangkat daguku, dan suaraku bergetar saat aku berucap, “T-terima kasih.” Aku tak tahu bagaimana dia menemukan kami, tapi aku sangat berterima kasih, meskipun dia akan segera meninggalkanku sendiri dalam gelap.
Tapi aku tak takut gelap. Atau setidaknya, aku belum takut sebelumnya.
Tangan kanan Rafe mendorong kaca dari jendela, dan dia mencengkeram pintunya. Tangan kirinya terkunci di sekeliling pegangannya.
“Rafe?”
Logam mengerang dan berderit dan pintunya—kelihatannya jatuh ke belakang padanya.
Tidak mungkin.
Aku sadar aku tak bernafas.
“Mestinya telah lepas dari kecelakaan,” katanya saat ia mendorong dengan kasar pintu itu ke tanah. “Aku hanya harus mengambilnya dari sudut yang tepat.”
Aku masih tidak bernafas.
Lalu dia condong ke dalam mobil dan meletakkan tangannya ke dasbor. “Aku akan mendorong,” ucapnya. “dan saat aku melakukannya, kau menarik kakimu ke atas, mengerti?”
Aku mengangguk.
Dia mendorong. Bukan, mendorong secara kasar, dan dasbor itu penyok dalam pijakan yang bagus.
Kakiku melayang dan dia memegangku. Rafe mengunci lengannya di sekelilingku dan menarikku keluar dari mobil. Aku berpegangan padanya seerat yang kubisa. Aku mungkin pendarahan pada pria ini, tapi aku tak peduli. Dia kuat dan hangat, dan dia sudah mengeluarkanku dari rongsokan yang terguling itu.
Dia tidak meninggalkanku sendiri.
Pegangannya benar-benar kuat padaku. “Kau harus keluar dari sini,” ucapnya padaku, kata-katanya membisik ke telingaku.
Aku mengerling dari atas bahuku. Oh, wow, mobil itu hancur sama sekali. Aku tak bisa percaya bahwa aku benar-benar sudah keluar dari tumpukan kacau itu hidup-hidup.
“Brent,” kataku, sedikit menggelengkan kepalaku. “Kita harus menolong...”
Kepala Rafe terangkat, dan dia menunduk untuk menatapku. Matanya tajam, berkelip.
Aku menelan ludah.
“Aku melihat Brent saat aku datang padamu.” Rafe menunjuk ke kerumunan pepohonan. “Dia masih hidup, tapi dingin.”
Bahuku terkulai, dan aku berusaha menarik kembali. Pegangan Rafe mengetat. “Rafe?” Khawatir atau takut atau sesuatu membuatku tegang.
Setelah sesaat tegang, ia membiarkanku pergi.
Aku tergesa-gesa menghampiri Brent. Ia terlentang di atas tanah, lima belas kaki utuh dari mobil. Kemejanya robek, hampir terkoyak semuanya. Aku menyentuh lengannya. “Brent, bangun!”
Ia tidak bergerak.
Aku mengguncangnya. “Brent!”
Bulu matanya berkedip-kedip. “Ap-apa?” Ia mengejap. “Anna? Kenapa kau berdarah?”
Dia bisa bilang aku berdarah dalam gelap? Butuh waktu sejenak bagiku untuk mampu melihat apapun.
Rafe berdiri di belakangku. Aku senang dia mendekat. Tepat kemudian, aku sepenuhnya menganut pada banyak ide keselamatan.
“Dia berdarah,” bentak Rafe, “karena kau mengendarai mobilmu di sisi luar jalan dan hampir membunuhnya, tolol.”
Mata Brent melebar. Ia mendorong dengan kasar dalam sekejap. Benar-benar sebuah gerakan cepat untuk seseorang yang sudah mati sesaat tadi. Ia mengumpat dan menyentuh bagian belakang kepalanya. Kali ini, akulah satu-satunya yang melihat darah yang menodai ujung jari-jarinya.
Tapi ia hanya menyeka darah itu di celana jeansnya dan mendorong kakinya. Saat ia mencoba untuk mengambil langkah, ia tersandung karena kaki kanannya nampak membuka jauh di bawahnya. Tanda yang sangat buruk. Aku menangkapnya sebelum dia menghantam tanah lagi. Rafe tak bergerak untuk menolong Brent.
“Kau harus mengeluarkannya dari sini,” kata Brent, meringis, dan aku tahu ada sesuatu yang salah dengan kakinya. Sesuatu yang akan membuat keluar dari sini terlalu susah. “Rafe, man, bawa dia kembali ke jalan.”
“Ada serigala di luar sana.” Aku mengalungkan lengannya di atas bahuku. “Tak seorangpun yang tertinggal di belakang, mengerti?”
Rafe dan Brent saling melihat satu sama lain. Oke, ada apa dengan pandangan yang hampir marah itu? Jika aku tak sedang berdarah, terluka, dan takut, aku akan berteriak pada mereka berdua. Oh, kenapa tidak? “Kita semua bergerak!” Suaraku pastinya dekat dengan teriakan. 
“Biarkan aku memegangnya.” Rafe dengan halus mendorongku kembali dan menjauhkan lengan Brent dariku. “Pergelangan kaki atau lututmu?”
“Keduanya,” gertak Brent. “Tapi beri saja aku beberapa waktu, dan aku akan baik-baik saja.”
Benar. Beberapa waktu, dokter, dan menginap di rumah sakit. “Katakan padaku sepeda motormu terletak di dekat sini,” kataku pada Rafe.
 Ia menggelengkan kepalanya. “Tak cukup dekat.”
Apa? “Lalu bagaimana kau menemukanku? Bagaimana...” Lupakan saja. Aku berdarah, serigala itu bisa kembali kapan saja, dan satu-satunya prioritas adalah mendapatkan keamanan sesegera mungkin. “Katakan padaku siapa yang memiliki rumah paling dekat atau nama pomp bensin terdekat atau...”
“Apa?” Brent terdengar hilang.
Bagus. Segera, aku tak akan hilang. “Bilang padaku.”
“Rumah Brent yang terdekat,” ucap Rafe padaku. “Itu di atas...”
Rumah Brent. Aku menutup mataku hanya selama satu detik. “Aku tahu.” Lalu aku berjuang kembali ke mobil. Menemukan semprotan lada setiaku—seorang gadis tak bisa meninggalkan rumah tanpa itu—dan aku mulai berjalan. “Ayo!” Suaraku dengan pasti membentak kemudian. Tak bisa menahannya. Aku berlari dalam asap. “Ikuti aku!”
“Ia tak tahu kemana ia akan pergi,” ucap Brent, suaranya rendah. “Kau harus membawanya...”
Aku mengerling dan bertemu dengan matanya. “Aku tahu. Sekarang percaya saja padaku, dan ayo. Aku bertaruh aku tahu bagaimana sampai ke sana lebih cepat dari yang kalian lakukan.”
Mereka tak berbicara.
Tapi Rafe mencondongkan kepalanya. Bagus. Kelegaan membuatku merasa sedikit pusing. Atau mungkin itu karena kehilangan darah.
Aku mengambil posisi di bawah bahu kiri Brent, ingin membantu, dan kami mulai bergerak.
Nafasku nampaknya terlalu keras di telingaku seolah-olah menggergaji dari mulutku. Rafe dan Brent hampir terlalu diam. Aku mengerling pada Brent dan melihat garis-garis kesakitan di wajahnya.
Aku memandu mereka, membawa mereka ke atas lebih tinggi, lebih tinggi, sampai kami berbelok melewati pepohonan.
“Bagaimana kau tahu kemana harus pergi?” Pertanyaan itu datang dari Rafe. Aku tak menjawab. Hanya terus berjalan. Menjelaskan hanya akan mengambil nafas dan energi yang tak kumiliki.
Segera kami mendengar irama sayup-sayup musik dan melihat lampu dari rumah Brent melewati pepohonan. Aku memanggil, berteriak untuk meminta bantuan, tapi tak seorangpun datang terburu-buru ke arah kami.
“Mereka tak akan mendengarmu,” kata Rafe. “Tidak dengan pesta berlangsung.”
Aku berteriak untuk meminta bantuan. Sudah tak ada tanda dari serigala itu lagi, tapi aku yakin sudah melihat dari atas bahuku. Tegaknya bulu roma di lenganku memberitahuku bahwa aku sedang diawasi.
Tidak, bukan hanya diawasi, diburu.
Kami menghambur dari pepohonan. Rumah Brent—lebih seperti mansion dengan dinding kaca yang melewati lereng—tampaknya menerangi area itu. Aku bisa melihat orang-orang melalui kaca itu. Jenny, Troy...sekitar tiga puluh lebih anak-anak. Menari. Tertawa. Tak memperhatikan kami saat aku berteriak, dan kami terburu-buru melangkah maju.
Lalu kami berada di pintu. Rafe menendangnya hingga terbuka, dan kami masuk ke dalam.
Gelak tawa berhenti. Musik terus meraung, tapi semua mata berputar pada kami.
Aku bahkan tak berusaha menyeka darahku yang menetes di pipiku. Apa gunanya? Sekarang ini, aku tertutupi oleh darah dan kotoran.
“Panggil ambulans!” bentak Rafe.
Troy meraih telepon terdekat.
Orang-orang buru-buru ke arah kami dan memegang Brent. Mereka menempatkannya di atas sofa. Jenny menatapku, matanya sangat besar yang hampir menelan wajahnya. “YaTuhan! Apa yang terjadi denganmu?”
Aku melihat ke sekilas dari atas bahuku, kembali ke hutan yang gelap. Tak ada serigala yang melolong sekarang. Tapi kau dekat, bukan? 
Aku hampir bisa merasakannya.
Aku menunduk. Aku berdarah di karpet putih mahal milik Brent. Tetesannya mengotori lantai.
“Kesinilah.” Rafe memegang lenganku. “Kau harus duduk sebelum terjatuh.”
Brent sudah ditempatkan di atas sofa. Semua pemain football berkerumun di sekelilingnya, dan mereka terlihat takut.
“Tak usah mencemaskannya.” Rafe menuntunku ke sebuah kursi. Dia membungkuk di depanku, memblokirku dari yang lainnya. “Percaya padaku, Brent akan baik-baik saja.” Ia menjilat bibirnya. “Dengar, kau harus berhati-hati dengan apa yang kau katakan...”
“Anna!” Kepala Jenny muncul di sebelah Rafe. “Katakan padaku apa yang terjadi!”
Aku menelan ludah untuk meredakan tenggorokan keringku. Kering seperti padang pasir. Mungkin karena semua teriakan tak berguna itu. “S-serigala.”
Jika mungkin, mata Jenny bahkan bisa lebih besar. “Tak mungkin.”
“Seekor serigala hitam besar.” Suaraku lebih kuat sekarang saat aku mengepalkan tanganku. Sekarang aku akan meninggal dan berdarah di atas kursi juga. Aku sudah meninggalkan tandaku di mana-mana. “Ia menyerang kami. Brent membanting mobilnya, dan kami kecelakaan.” Lalu serigala itu datang untuk menggigitku.
Hening. Jenis yang benar-benar tebal dan tak nyaman.
Pandanganku bergerak cepat ke Rafe. Sebuah otot tersentak di rahangnya. “Dia memukul kepalanya,” katanya pada keheningan itu. “Ia tak tahu apa yang terjadi. Beri saja dia sedikit jarak, oke?” Suaranya pecah lebih keras dari cambuk manapun.
Jenny melompat ke belakang.
Aku mengerutkan kening pada Rafe. “Aku tahu tepatnya apa yang kulihat.” Aku tidak bingung atau histeris. Takut, yeah, tapi dalam kontrol.
Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku dan menyeka rambutku ke belakang. Mulutnya mendekat di telingaku dan berbisik, “Kau harus sangat berhati-hati dengan apa yang kau katakan.”
Aku mengejap. Tapi lalu orang lain yang berbicara.
“Serigala...”
“Bung, kau pikir mereka benar?”
“Bagaimana dengan cerita itu, apa kau...”
Suara-suara di sekitarku berdengung.
Rafe menarik tubuhnya kembali, wajahnya datar dan keras. Ia tak berbicara lagi. Tidak sampai pekikan sirine memenuhi malam. Ia menarikku, menjaga pegangannya di tanganku, dan menuntunku ke pintu yang terbuka.
“Kau tak pernah bilang...” Suaranya rendah, “Bagaimana kau membawa kita ke rumah Brent.”
Ayahku melompat dari mobilnya dan berlari ke arahku. “Anna!”
Aku menarik diri dari Rafe dan buru-buru ke ayahku. Hanya saat lengannya melingkupiku—hanya kemudian—akhirnya aku merasa aman.
Ambulans meraung ke tempat itu. Para petugas mengangkat Brent, dan ayahku memaksaku untuk masuk ke dalam kendaraan itu juga. Aku berusaha mengatakan padanya bahwa aku baik-baik saja, tapi ia memberiku pandangan itu.
“Kau akan diperiksa, sayang.” Aku bisa mendengar kekhawatiran dalam suaranya. “Lalu kau akan mengatakan padaku apa yang terjadi di luar sana malam ini.” 
Aku mendapati diriku di bagian belakang ambulans. Aku mendongak, dan Rafe diapit oleh dua deputi yang berdiri di kedua sisinya.
Aku belum bilang pada Rafe tentang perbedaanku. Aku berlari untuk melepaskan diri darinya dan kebenaran itu. Dia akan bertanya lagi, aku tahu itu. Tapi ia juga tak mengatakan padaku bagaimana ia berakhir di hutan itu. 
Aku menggigil saat pintu ambulans menutup.
***


Originally Translated by Alya Feliz

Share this article :

+ comments + 2 comments

Jul 25, 2020, 2:45:00 PM

share ilmunya banyak bermanfaat, trims

Anonymous
Mar 23, 2022, 6:02:00 PM

The Better To Bite By Cynthia - Bab 5 - Open Minded >>>>> Download Now

>>>>> Download Full

The Better To Bite By Cynthia - Bab 5 - Open Minded >>>>> Download LINK

>>>>> Download Now

The Better To Bite By Cynthia - Bab 5 - Open Minded >>>>> Download Full

>>>>> Download LINK

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger