THE DEAL BY ELLE KENNEDY - BAB 2

May 9, 20150 comments


Teman-teman sekamarku sangat mabuk saat aku berjalan ke ruang tamu setelah kelompok belajar. Meja kopi diluapi dengan kaleng-kaleng bir kosong, bersama dengan botol Jack yang hampir habis yang kutahu punya Logan karena dia berlangganan filosofi bir untuk kewanitaan. Kata-katanya, bukan kata-kataku.
Saat itu, Logan dan Tucker saling berperang di game panas Ice Pro, pandangan mereka menempel di layar datar sementara dengan marah mereka mengklik pengaturnya. Pandangan Logan bergeser saat ia memperhatikanku di pintu, dan pengalihan beberapa detiknya merugikannya.
“Yeah!” Tuck bangga saat pembelanya mengibaskan tembakan pergelangan tangan melewati kiper Logan dan papan angka menyala.
“Aw, demi sialan!” Logan menjeda game dan melontarkan pelototan gelap padaku. “Apa-apaan sih, G? Aku baru saja terbuang karena kau.”
Aku tak menjawab, karena sekarang aku teralihkan—oleh sesi make out setengah telanjang di sudut ruangan. Dean lagi. Dada telanjang dan kaki telanjang, dia terlentang di kursi tangan sementara seorang berambut pirang tak mengenakan apapun kecuali bra berenda dan celana pendek seksi sepantat duduk mengangkanginya dan menggerinda selangkangannya.
Mata biru gelap menatap tajam di atas bahu gadis itu, dan Dean tersenyum menyeringai ke arahku. “Graham! Kemana saja kau, man?” cercanya. 
Dia berbalik mencium si rambut pirang sebelum aku bisa menjawab pertanyaan mabuknya.
Untuk beberapa alasan, Dean suka bercumbu dimanapun kecuali tempat tidurnya. Serius. Tiap kali aku berbalik, dia di tengah-tengah pesta pora. Di atas konter dapur, sofa ruang tamu, meja ruang makan—laki-laki itu bergairah di setiap inci rumah di luar kampus yang ditempati kami berempat. Dia benar-benar pelacur dan seutuhnya tak termaafkan.
Terkabul, aku bukan salah satunya yang dibicarakan. Aku bukan biarawan, begitu juga dengan Logan dan Tuck. Apa yang bisa kukatakan? Pemain Hockey selalu horny. Saat kami sedang tak berada di atas es, kami biasanya ditemukan sedang bercumbu dengan satu atau dua kelinci jahat. Atau tiga, jika namamu adalah Tucker dan itu Perayaan Tahun Baru tahun kemarin.
“Aku sudah mengirimi SMS satu jam yang lalu, man,” Logan memberitahuku.
Bahu raksasanya membungkuk ke depan saat ia menyingkirkan botol wiski dari meja kopi. Logan penjaga jago berkelahi, salah satu yang terbaik yang pernah bermain denganku, dan juga teman terbaik yang pernah kumiliki. Nama depannya adalah John, tapi kami memanggilnya Logan karena membuatnya lebih mudah untuk membedakannya dari Tucker, yang nama depannya juga John. Beruntungnya, Dean hanyalah Dean, jadi kami tak harus memanggilnya dengan nama terakhir semulut penuhnya: Heyward-Di Laurentis.
“Serius, kemana saja kau?” omel Logan.
“Kelompok belajar.” Aku mengambil bir Bud Light dari meja dan menyerudukkan labelnya. “Rahasia apa yang terus saja kau bicarakan ini?”
Aku bisa selalu bilang betapa mabuknya Logan berdasarkan pada tatabahasa di pesannya. Dan malam ini dia pasti terlalu mabuk, karena aku harus menjadi Sherlock sepenuhnya untuk memecahkan pesan-pesannya. Suprz artinya kejutan. Gyabh butuh waktu lebih lama untuk menguraikan kodenya, tapi kupikir artinya bawa pantatmu kembali ke sini (get your ass back here)? Tapi siapa yang tahu dengan Logan?
Dari tenggerannya di sofa, seringainya sangat lebar, mengherankan rahangnya tidak lepas. Dia menyentakkan ibu jarinya ke langit-langit dan berkata, “Pergilah ke lantai atas dan lihatlah sendiri.”
Aku menyipitkan mataku. “Kenapa? Siapa yang berada di atas sana?”
Logan terkekeh. “Jika kubilang, tak akan menjadi kejutan.”
“Kenapa aku merasa kau sedang menyembunyikan sesuatu?”
“Jeez,” Tucker mulai bicara. “Kau sudah punya beberapa masalah kepercayaan yang utama, G.”
“Kata orang tolol yang meninggalkan rakun hidup di tempat tidurku di hari pertama semester.”
Tucker menyeringai. “Oh, ayolah, Bandit sialan manis sekali. Dia adalah sambutan kembali untuk hadiah sekolah.”
Aku mengacungkan jari tengahku. “Yah, baiklah, hadiahmu adalah jalang untuk disingkirkan.” Aku membersut padanya karena aku masih ingat bagaimana itu memerlukan tiga orang pengontrol hama untuk membersihkan rakun di kamarku.
“Demi sialan,” Logan mengerang. “Pergi saja ke atas. Percayalah, kau akan berterima kasih pada kami nanti.”
Perubahan pandangan yang kutahu mengurangi kecurigaanku. Semacam itu. Maksudku, aku tak akan menurunkan kewaspadaanku sepenuhnya, tidak di sekitar orang-orang tolol ini.
Aku mencuri dua kaleng botol lagi di jalan keluar. Aku tak banyak minum selama musim, tapi Pelatih memberi kami liburan untuk berlajar ujian tengah semester dan kami masih punya dua hari kebebasan yang tersisa. Teman-teman setimku, bajingan beruntung, kelihatannya tak punya masalah menjatuhkan dua belas bir dan bermain seperti juara di hari berikutnya. Aku? Bahkan sebuah dengungan membuatku sakit kepala luar biasa pag setelahnya, dan kemudian aku berselancar seperti anak kecil yang baru belajar berjalan dengan sepasang Bauers pertamanya.
Pernah kami kembali ke jadwal latihan enam hari seminggu, konsumsi alkoholku akan turun ke batas 1/5. Satu minuman pada latihan malam hati, lima setelah pertandingan. Tak ada pengecualian.
Aku berencana mengambil keuntungan penuh dari waktuku yang tersisa.
Bersenjatakan bir, aku menuju ke atas ke kamarku. Tempat tidur tuan rumah. Yup, aku tidak memainkan kartu aku-adalah-kaptenmu untuk menghalanginya, dan percayalah, itu menghargai argumen yang dipasang teman setimku. Kamar mandi pribadi, sayang.
Pintuku sedikit terbuka, pemandangan yang menakutiku kembali ke mode curiga. Aku mengamati bingkainya dengan hati-hati untuk memastikan tak ada seember darah di atas sana, lalu mendorong kecil pintunya. Itu memberikan jalan dan aku seinchi melewatinya, mempersiapkan sepenuhnya untuk sebuah jebakan.
Aku mendapatkan satu.
Kecuali itu lebih ke jebakan visual, karena sial, gadis di atas ranjangku kelihatan seperti melangkah keluar dari katalog Victoria’s Secret.
Sekarang aku adalah seorang pria. Aku tak tahu nama dari setengah omong kosong yang ia pakai. Aku melihat renda putih dan pita merah muda dan banyak kulit. Dan aku bahagia.
“Menunggumu cukup lama.” Kendall memberiku senyum seksi yang mengatakan kau akan mendapatkan keberuntungan, bocah besar, dan burungku bereaksi karena itu, menebal di bawah resletingku. “Aku memberimu lima menit lagi sebelum aku pergi.”
“Aku membuatnya tepat waktu kalau begitu.” Pandanganku menyapu ke pakaian layak yang menggiurkan, lalu aku berkata perlahan-lahan. “Aw, sayang, apa itu semua untukku?”
Mata birunya menggelap dengan menggairahkan. “Kau tahu itu, batang.”
Aku sadar dengan baik bahwa kami terdengar seperti karakter dari porno yang buruk. Tapi ayolah, saat seorang pria berjalan ke dalam kamar tidurnya dan menemukan seorang wanita yang kelihatan seperti ini? Dia bersedia untuk melakukan kembali adegan tak bermutu apapun yang wanita itu inginkan, bahkan salah satunya yang melibatkannya berpura-pura menjadi pria pizza yang mengirimkan kue pie ke seorang ibu yang ingin kusetubuhi.
Kendall dan aku pertama kali bercumbu selepas musim panas, diluar dari waktu yang tepat lebih dari apapun lainnya karena kami berdua berada di area selama istirahat. Kami mengunjungi bar beberapa kali, satu hal mengarah ke hal lainnya, dan hal berikutnya yang kutahu aku bermain-main dengan seorang gadis mahasiswa yang menggiurkan. Tapi itu gagal sebelum ujian tengah semester dimulai, dan disamping dari beberapa pesan mesum di sini dan di sana, aku belum bertemu Kendall sampai sekarang.
“Aku mengira kau mungkin ingin bersenang-senang sebelum latihan dimulai lagi,” ujarnya, jari-jari terawatnya bermain dengan pita kecil merah muda di tengah-tengah bra-nya.
“Kau mengiranya dengan tepat.”
Sebuah senyuman melengkungkan bibirnya dan dia bangkit di lututnya. Sial, payudaranya hampir saja tumpah dari benda berenda yang ia kenakan. Dia melengkungkan sebuah jarinya padaku. “Kemarilah.”
Aku tak membuang-buang waktu melangkah ke arahnya. Karena...lagi...aku adalah seorang pria.
“Kupikir kau berpakaian secara berlebihan,” ucapnya, lalu merenggut ikat pinggang celana jeansku dan menggoda kancingnya terbuka. Dia menyentakkan resletingnya dan sedetik kemudian kejantananku mencuat ke tangannya yang menunggu. Aku belum mencuci pakaian kotor selama berminggu-minggu jadi aku telah sedang menjadi prajurit penyerang sampai aku mendapatkan omong kosongku bersama-sama, dan dari cara matanya menyala dengan panas, aku bisa bilang dia setuju dengan segala hal tak memakai celana dalam.
Saat ia membungkuskan jari-jarinya ke sekelilingku, sebuah erangan meluncur dari tenggorokanku. Oh yah. Tak ada yang lebih baik daripada rasa tangan seorang wanita di burungmu.
Tidak, aku salah. Lidah Kendall datang untuk bermain, dan sial, itu jauh lebih baik daripada tangannya.
SATU JAM KEMUDIAN, Kendall merapat di sampingku dan menyandarkan kepalanya di atas dadaku. Lingerie-nya dan pakaianku bertebaran di atas lantai kamar tidur, bersama dengan dua bungkus kondom kosong dan botol minyak pelumas yang tidak perlu kami buka.
Pelukan ini membuatku khawatir, tapi aku tak bisa tepatnya mendorongnya menjauh dengan kasar dan menuntut dia segera pergi, tidak saat ia dengan jelas mengerahkan banyak usaha ke penggodaan ini.
Tapi itu mencemaskanku juga.
Wanita tak akan berdandan dalam lingeri mahal untuk berhubungan intim, kan? Aku sedang berpikir tidak, dan kata-kata Kendall berikutnya mengesahkan pemikiran-pemikiran gelisahku.
“Aku merindukanmu, sayang.”
Pemikiran pertamaku adalah sial.
Pemikiran keduaku adalah kenapa?
Karena di semua waktu kami berhubungan intim, Kendall tak berusaha sedikitpun untuk mengenalku. Jika kami tak berhubungan intim, dia hanya membicarakan dirinya sendiri tanpa henti. Serius, aku tak berpikir dia menanyakanku pertanyaan pribadi tentang diriku sendiri sejak kami bertemu.
“Uh...” aku bersusah payah untuk mencari kata-kata, rangkaian apapun dari mereka yang tidak terdiri dari Aku, merindukan, kamu, dan juga. “Aku sedang sibuk. Kau tahu, ujian tengah semester.”
“Tak pelak lagi. Kita pergi ke kampus yang sama. Aku sedang belajar, juga.” Ada ketajaman di nadanya sekarang. “Apa kau merindukanku?”
Setubuhi aku dari samping. Apa yang harus kukatakan tentang itu? Aku tak akan berbohong, karena itu hanya akan menempatkan dia pada banyak usaha. Tapi aku tak bisa menjadi bajingan dan mengakui dia bahkan tak terlintas di pikiranku sejak terakhir kali kami berhubungan intim.
Kendall duduk dan menyipitkan matanya. “Itu adalah pertanyaan ya atau tidak, Garret. Apa. Kau. Merindukan. Aku.”
Pandanganku bergerak dengan cepat ke jendela. Yup, aku berada di lantai dua dan benar-benar merenungkan untuk melompat keluar jendela sialan itu. Itulah seberapa parahnya aku ingin menghindari percakapan ini.
Tapi kediamanku mengatakan banyak hal. Tiba-tiba saja Kendall turun dari ranjang, rambut pirangnya mencuat ke segala arah saat ia merebut semua pakaiannya. “Ya Tuha. Kau adalah orang yang bodoh! Kau tak peduli padaku sama sekali, kan, Garret?”
Aku berdiri dan berjalan langsung ke celana jeansku yang terbuang. “Aku peduli padamu,” protesku. “Tapi...”
Ia mendorong celana dalamnya dengan marah. “Tapi apa?”
“Tapi kupikir kita sudah jelas tentang apa ini. Aku tak ingin apapun yang serius.” Aku menatapnya tajam. “Aku sudah mengatakan padamu hal itu sejak awal.”
Ekspresinya melembut saat ia menggigit bibirnya. “Aku tahu, tapi...kupikir...”
Aku tahu tepatnya apa yang ia pikirkan—bahwa aku telah sangat jatuh cinta padanya, dan hubungan intim sambil lalu kami akan berubah menjadi Notebook sialan.
Sejujurnya, aku tak tahu kenapa aku bersusah-susah memasang peraturan-peraturan lagi. Dalam pengalamanku, tak ada wanita yang masuk kedalam masa bebas percaya itu akan tetap dalam masa bebas. Dia mungkin berkata sebaliknya, mungkin bahkan meyakinkan dirinya sendiri dia tenang dengan hubungan seks rutin tanpa ikatan, tapi di dalam, ia berharap dan berdoa itu akan menuju ke sesuatu yang lebih dalam.
Dan kemudian aku, bajingan di roman komedi pribadinya, menukik dan meledakkan gelembung harapan itu, meskipun kenyataan bahwa aku tak pernah berbohong tentang tujuanku atau menyesatkannya, bahkan tidak dalam sedetik.
“Hockey adalah seluruh hidupku,” kataku dengan keras. “Aku latihan enam hari seminggu, bermain dua puluh pertandingan setahun—lebih jika kami membuatnya ke musim semula. Aku tak punya waktu untuk seorang pacar, Kendall. Dan kau berhak mendapatkan jauh lebih luar biasa daripada yang bisa kuberikan padamu.”
Ketidaksenangan meredupkan matanya. “Aku tak mau masa bebas sambil lalu lagi. Aku ingin menjadi pacarmu.”
Kenapa yang lain hampir saja keluar dari mulutku, tapi aku menggigit lidahku. Jika dia menunjukkan ketertarikan padaku di luar perasaan jasmani, mungkin aku mempercayainya, tapi kenyataan bahwa dia belum membuatku kagum jika satu-satunya alasan dia ingin berhubungan denganku adalah karena aku semacam simbol status untuknya.
Aku menelan frustrasiku dan dan memberikan permintaan maaf canggung lagi. “Aku minta maaf. Tapi itulah dimana aku berada saat ini.”
Saat aku meresletingkan celana jeansku, dia memfokuskan kembali perhatiannya pada mengenakan pakaiannya. Meski pakaian sedikit terjangkau—semua yang ia kenakan adalah lingerie dan jas hujan. Yang menjelaskan kenapa Logan dan Tucker menyeringai seperti idiot saat aku pulang. Karena saat seorang gadis muncul di pintumu dalam sebuah jas hujan, kau tahu dengan baik tak ada banyak yang lainnya di bawahnya.
“Aku tak bisa melihatmu lagi,” ucapnya pada akhirnya, pandangannya menemukanku. “Jika kita tetap melakukan...ini...aku hanya akan semakin terikat.”
Aku tak bisa berdebat dengan itu, jadi aku tak melakukannya. “Kita bersenang-senang, kan?”
Setelah sejenak, dia tersenyum. “Yeah, kita bersenang-senang.”
Dia menutup jarak di antara kami dan berjinjit untuk menciumku. Aku menciumnya balik, tapi tidak dengan kadar gairah yang sama seperti sebelumnya. Aku tetap membuatnya terang. Sopan. Masa bebas sudah berlari pergi, dan aku tak akan membuatnya berusaha lagi.
“Dengan itu mengatakan...” Matanya bersinar dengan nakal. “Biarkan aku tahu jika kau mengubah pikiranmu tentang hal pacar.”
“Kau akan menjadi orang pertama yang kupanggil,” janjiku.
“Bagus.”
Dia mengecup pipiku dan berjalan keluar pintu, meninggalkanku kagum betapa mudahnya hal itu berjalan. Aku sudah membajai diriku terhadap pertengkaran, tapi di samping dari ledakan amarah pada awalnya, Kendall telah menerima situasi itu seperti seorang ahli.
Jika saja semua wanita semenyenangkan dia.
Yup, seluruhnya tusukan atas Hannah di sana.
Seks selalu mengaduk nafsu makanku, jadi aku menuju ke lantai bawah untuk mencari makanan, dan aku senang menemukan masih ada sisa nasi dan ayam goreng kebaikan dati Tuck, koki residen kami karena kami yang tersisa tak bisa merebus air tanpa membakarnya. Tuck, di sisi lain, tumbuh di Texas dengan seorang ibu tak bersuami yang mengajarkannya memasak saat ia masih memakai popok.
Aku menetap di konter makan, mendorong sepotong ayam di mulutku saat berjalan-jalan tanpa mengenakan apapun kecuali boxer kotak-kotak.
Ia menaikkan sebelah alisnya saat melihatku. “Hey. Aku tak mengira akan melihatmu lagi malam ini. Mengira kau pasti VBF.”
“VBF?” tanyaku di antara mulut penuhku. Logan suka membuak akronim dengan harapan kami akan mulai menggunakan mereka sebagai kata slang, tapi separuh waktu aku tak punya ide apa yang diocehkannya.
Ia menyeringai. “Sangan sibuk menyetubuhi (very busy fucking).”
Aku memutar mataku dan memakan segarpu penuh nasi liar.
“Serius, si pirang sudah pergi?”
“Yup.” Aku mengunyah sebelum melanjutkan. “Dia tahu skornya.” Skornya menjadi, tak ada pacar dan dengan pasti tak ada menginap di rumah.
Logan meletakkan lengan bawahnya di konter, mata birunya berkilat saat ia mengubah persoalannya. “Aku sudah tak sabar untuk pertandingan St. Anthony akhir pekan ini. Kau sudah mendengarnya? Penskorsan Braxton sudah berakhir.”
Itu mendapatkan perhatianku. “Tidak sialan. Dia akan bermain pada hari Sabtu?”
“Pastinya.” Ekspresi Logan berubah tegas dengan riang gembira. “Aku akan menikmati menabrakkan wajah orang tolol itu ke papan.”
Greg Braxton adalah bintang sayap kiri St. Anthony dan sepotong lengkap kotoran manusia. Orang itu punya lapisan sadis bahwa ia tak takut melepaskan tali di atas es, dan saat tim kami berhadapan di sebelum musim, dia mengirimkan salah satu mahasiswa keren tingkat kedua kami ke ruang gawat darurat dengan sebuah lengan patah. Maka tiga permainan penskorsannya, meski jika itu tergantung padaku, psikopat itu akan ditampar dengan larangan seumur hidup dari hockey universitas.
“Kau perlu melempar ke bawah, aku akan tepat berada di sana denganmu,” janjiku.
“Aku memegangmu untuk itu. Oh, dan minggu depan kita punya Eastwood menuju ke jalan kita.”
Aku benar-benar harus lebih memperhatikan jadwal kami. Universitas Eastwood nomor dua di kongres kami (kedua pada kami, tentu saja) dan kecocokan kami selalu penggigit kuku.
Dan sial, tiba-tiba saja itu menyingsing padaku bahwa jika aku tidak melewati perbaikan Etika, aku tak akan berada di atas es pada pertandingan Eastwood.  
“Sial,” omelku.
Logan mencuri sepotong ayam di piringku menyerudukkannya ke dalam mulutnya. “Apa?”
Aku belum memberitahu teman-teman setimku tentang keadaan nilaiku aku sudah berharap nilai ujian tengah semesterku tak akan menyakitiku terlalu buruk, tapi sekarang kelihatannya mengaku tak bisa dielakkan.
Jadi dengan desahan, aku mengatakan pada Logan tentang nilai F-ku di Etika dan apa yang itu bisa berarti untuk tim. 
“Coret mata pelajarannya,” ucapnya dengan serta merta.
“Tak bisa. Aku melewati batas waktu.”
“Sial.”
“Yup.”
Kami bertukar pandangan murung, dan kemudian Logan terduduk di kursi tanpa sandaran di sampingku dan menggarukkan tangannya melewati rambutnya. “Lantas kau harus membentuknya, man. Belajarlah dan lewati bajingan ini.”
“Aku tahu.” Aku menggenggam garpuku dengan frustrasi, lalu meletakkannya, nafsu makanku lenyap. Ini adalah tahun pertamaku sebagai kapten, yang mana adalah kehormatan utama mengingat aku hanyalah junior. Aku seharusnya mengikuti langkah pendahuluku dan memastikan timku ke kejuaraan nasional lain, tapi bagaimana bisa aku melakukannya jika aku tak berada di atas es bersama mereka?
“Aku sudah mendapatkan seorang tutor,” aku menjamin rekan setimku. “Dia benar-benar jenius.”
“Bagus. Bayar dia apapun yang ia mau. Aku akan menyumbang jika kau mau.”
Aku tak bisa menahan seringai. “Wow. Kau menawarkan bagian dengan semua uang manismu? Kau pasti benar-benar menginginkanku bermain.”
“Sungguh-sungguh. Ini semua tentang mimpi, man. Kau dan aku di kaos sepak bola Bruins, ingat?”
Harus kuakui, itu adalah mimpi yang menyenangkan. Itulah yang aku dan Logan bicarakan sejak kami ditugaskan sebagai teman sekamar di tahun mahasiswa tingkat pertama. Tak ada keraguan di pikiranku bahwa aku akan menjadi ahli setelah aku lulus. Tak ada keraguan tentang Logan yang menggaris besarkannya, salah satunya. Pria itu lebih cepat daripada kilat dan binatang buas sialan di atas es.
“Naikkan nilai sialannya, G,” perintahnya. “Sebaliknya aku akan menendang bokongmu.”
“Pelatih akan menendangnya lebih keras.” Aku mengerahkan sebuah senyuman. “Jangan khawatir, aku sedang dalam hal itu.”
“Bagus.” Logan mencuri potongan ayam lagi sebelum menggeluyur keluar dari dapur.
Aku menutupi sisa makananku, lalu kembali ke atas untuk menemukan ponselku. Sekarang waktunya meningkatkan tekanan pada Hannah-tidak-dengan-sebuah-M.
***

Originally Translated by Alya Feliz
Mei 2015

Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger