SANG WAKTU - BAB 10

May 7, 20154comments

Cover by Alya Feliz

"Pagi, Diana," sapa Aster begitu sampai di ruang makan. Tak dilihatnya Ester dimanapun, begitu juga dengan Marc dan Tuan Ivan Garcia. Baru dua hari ia berada di rumah ini dan mereka semua memperlakukannya seperti keluarga. Hal yang membuatya terharu sekaligus bahagia. Setidaknya ia tidak sendirian lagi dan tak terus-terusan memikirkan Husein. Keningnya berkerut dengan pemikiran itu.

"Pagi, Sayang. Kau ingin sarapan apa?" balas Diana dengan senyum mengembang. Wanita itu tengah menuangkan jus jeruk ke dalam gelas di depannya. "Ada roti panggang, omelet isi daging, makaroni, pilihlah sesukamu."

Aster memilih omelet isi daging berukuran besar dan menerima jus jeruk yang disodorkan oleh wanita itu.

"Kemana Ester?" Ia sudah mengira bahwa Marc pastilah sudah berangkat ke sekolah dan Tuan Ivan ke kantornya di perusahaan properti.

"Dia bilang harus mengumpulkan tugas dan berkonsultasi dengan Penasihat Akdemiknya," jawab wanita itu sambil mengelap konter dapur yang sudah terlihat licin dan mengkilap. "Kau yakin pergi sendirian? Aku bisa menemanimu," tawar wanita itu sembari menatapnya.

Aster menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tak ingin merepotkanmu. Lagipula aku juga ingin bertemu dengan temanku yang lain." Ia sengaja berbohong karena tak ingin membuat wanita itu kelelahan. Diana adalah tipe wanita rumahan yang lebih suka menunggu suami dan anak-anaknya di rumah, sambil membuat kue atau menulis cerita fiksi. Berlama-lama di luar tentulah bukan hal yang menyenangkan bagi wanita seperti dia.

"Kau tahu aku tak pernah merasa direpotkan," ujar wanita itu seraya berjalan mendekatinya. "Kau masih ingat dengan petunjuk yang diberikan Ivan kemarin? Jika kau kebingungan setelah keluar dari stasiun, bertanyalah pada orang-orang di sana."

"Ya, aku sudah menuliskannya di catatan kecil agar tak lupa. Terima kasih banyak karena telah membantuku," balasnya dengan tersenyum tulus. Ia sungguh bersyukur karena keluarga Garcia benar-benar ramah dengan tamu asing seperti dirinya.

Diana meremas tangannya sembari tersenyum hangat. "Jika kau butuh bantuan, telepon aku atau Ester, oke. Seandainya saja Ivan sedang libur, dia yang akan mengantarmu."

Aster mengangguk dan membalas remasan tangan wanita itu. Seandainya saja ibunya berada di sini, mereka akan cocok. Sama-sama suka membuat kue dan pecinta tanaman. Ia meminum jus jeruknya sampai habis, lalu berdiri dari kursinya.

"Aku akan berangkat sekarang agar nanti tidak kemalaman," pamitnya lalu mencium kedua pipi wanita itu.

"Kau yakin pergi sendirian? Bagaimana jika kau tersesat?" tanya Diana sekali lagi dengan raut wajah khawatir, membuat Aster tertawa kecil.

"Jika aku tersesat, aku akan menghubungi kalian atau meminta tolong pada warga sekitar seperti yang kau bilang tadi. Aku sudah 22 tahun, Diana." Ia kembali terkekeh. "Kau benar-benar mirip dengan ibuku."

Diana tersenyum, meskipun kekhawatiran tak lepas dari wajahnya. Wanita itu terlihat keberatan saat ia keluar rumah dan berjalan menuju ke stasiun terdekat. Seminggu melakukan perjalanan dengan Husein membuatnya tahu apa yang harus dilakukannya saat sudah sampai di stasiun dan menunggu Metro datang. Mengingat pria itu membuat wajahnya terasa panas, jantungnya berdebar, dan gelisah yang tak dimengertinya. Ajaib sekali, ia bahkan tak berusaha memikirkan Hando. Dilihatnya sekilas layar ponselnya, merasa kecewa karena Husein tak juga menghubunginya. Setelah berpikir sejenak, ragu-ragu ia mencari kontak Husein. Jari telunjuknya menggantung di atas nomor ponsel pria itu, bimbang apakah harus menghubunginya atau tidak. Tapi pengalamannya dengan Hando membuatnya mengurungkan niatnya. Hando tidak menyukai gadis yang agresif dan bergerak lebih dulu. Mungkin Husein juga seperti itu.

Cepat-cepat digelengkannya kepalanya, merasa konyol sekaligus malu dengan pemikiran itu. Memangnya siapa dia, sampai-sampai terlalu percaya diri menganggap bahwa Husein bahkan masih mengingatnya? Mungkin saja pria itu sekarang sudah kembali ke kehidupannya bersama...istrinya. Hatinya terasa mencelos dengan pemikirannya sendiri. Saat Metro sudah datang, ia bergegas masuk dan berusaha mengenyahkan kenangan dan bayangan apapun mengenai Husein. Ia tersenyum masam. Saat hatinya sakit karena Hando, Husein dengan mudahnya masuk untuk mengobati luka hatinya, tapi setelah itu pergi tanpa kabar dan meninggalkan luka baru yang sudah pasti tak disadari oleh pria itu. 

Sinar matahari terasa sedikit menyengat saat ia keluar dari stasiun. Dilihatnya lagi alamat terakhir yang baru disadarinya kemarin belum dikunjunginya. Hanya tinggal satu nama yang menjadi harapannya untuk menemukan sang ayah. Ia harus tetap optimis, agar saat pulang nanti membawa kabar gembira bagi ibunya dan juga Canna. Apapun yang terjadi diantara ibu dan ayahnya di masa lalu, ia masih tetap yakin bahwa ibunya masih merindukan pria itu. 

Dengan semangat yang masih tinggi, ia keluar dari area stasiun dan menyeberang jalan sesuai dengan arahan dari Tuan Garcia. Ia harus menemukan stadion yang letaknya tepat di sebelah persimpangan jalan melingkar yang tak jauh dari stasiun, lalu setelah itu....setelah itu apa? Tubuhnya membeku setelah berhasil menemukan stadion itu. Ia melihat lagi alamat yang tertera di kertas yang dipegangnya. Av De Concha Espina. Hanya itu saja, tanpa nomor jalannya. Pantas saja Tuan Garcia hanya memberinya petunjuk sampai di sini saja. Ia meneliti lagi kertas itu, tetap saja tak ada nomor yang tercantum di sana. Lantas ia harus mencari wanita itu dimana? Di sekitar sini tak ada perumahan, hanya ada stadion Santiago Bernabeu, nama yang pernah didengarnya saat Glenn dengan semangat menceritakan pengalamannya berkunjung ke sini untuk bertemu bintang idolanya, restoran, cafe, pertokoan, dan gedung-gedung tinggi lainnya. 

Ragu-ragu ia melangkahkan kakinya hendak menyeberang jalan, namun diurungkannya lagi niatnya. Untuk apa dia mau mendekati stadion itu? Tidak mungkin ada orang yang tinggal di dalam stadion bukan? Apalagi sepertinya akan ada pertandingan di dalam sana. Oh, setidaknya di sana ada cafe. Mungkin saja wanita yang dicarinya bekerja di cafe. Ia kembali melangkahkan kakinya, namun tiba-tiba saja sebuah bus yang tadi berhenti di depan restoran membunyikan belnya. Ia terkesiap dan langsung mundur, hingga tanpa sengaja tubuhnya menabrak seseorang. Atau sesuatu. Ia meringis karena yang ditabraknya terasa keras.

"Ada yang bisa kubantu, Nona? Sepertinya kau sedang mencari sesuatu," ucap seorang pria dengan suara berat di belakangnya.

Aster langsung berbalik untuk melihat siapa yang mengajaknya bicara. Dada yang bidang dan tubuh atletis. Ia mengerjapkan matanya, lantas mendongak untuk melihat pemilik tubuh atletis itu. Mulutnya sedikit menganga saat melihat pria itu begitu tinggi. Ia bahkan hanya setinggi dadanya dan terlihat begitu mungil. Terkadang ia lupa kenapa ia dulu bahkan menjadi seorang model. Oh, benar. Karena wajahnya imut dan eksotis, membuat agensi model seolah-olah menemukan berlian di gurun Sahara.

Pria berambut hitam itu memiringkan kepalanya sambil mengamatinya dari kepala sampai kaki, lantas mengerutkan keningnya. "Kau tidak masuk sekolah?"

Ia mematung di tempatnya, berusaha mencerna pertanyaan pria itu. "Sekolah? Tidak, aku sedang liburan...bukan, bukan, aku sedang mencari ayahku....umm, maksudku wanita yang nama belakangnya sama dengan ayahku?" jawabnya bingung, lalu mengusap dagunya sambil mengernyitkan alis.

Pria itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak sampai beberapa orang menoleh pada mereka. "Kau benar-benar lucu dan menggemaskan. Kemarilah, kita bicara di dalam saja."

Ia menatap pria tinggi itu kebingungan saat tangannya ditarik memasuki sebuah restoran di belakang mereka. Pria itu membawanya ke meja di dekat jendela kaca yang mengarah ke stadion.

"Baiklah, boleh kutahu namamu? Aku Fernan, Fernan Guiza," ucap pia itu setelah duduk dengan nyaman.

"Haruskah aku menyebutkan namaku? Memangnya kenapa?" tanya Aster sambil menatap pria bernama Fernan itu dengan curiga sekaligus takut. Melihat tubuhnya yang tinggi besar membuatnya refleks mengambil ancang-ancang untuk pergi dari restoran itu.

"Whoa, jangan takut padaku. Aku hanya ingin membantumu," sahut Fernan sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada, lalu terkekeh kecil melihat gelagat Aster. "Aku hafal daerah sini."

Aster menatap pria itu ragu, lantas kembali duduk. Jika dilihat dari penampilannya, sepertinya pria itu baru saja selesai berolahraga. T-shirt yang dipakainya melekat di tubuhnya, memperlihatkan ukiran-ukiran yang biasanya dimiliki oleh model atau atlet. Tapi olahraga di jam 10 pagi? Oh, mungkin saja pria itu baru saja jalan-jalan atau memang t-shirt yang dipakainya sedikit ketat.

"Aku Aster Morales. Aku sedang mencari seseorang yang tinggal di daerah sini, tapi aku tak begitu tahu persisnya," ujarnya lantas menyerahkan kertas yang tadi dipegangnya pada pria itu.

Fernan melihat kertas itu dengan kedua alis terangkat. Rahang pria itu dihiasi bakal janggut, sepertinya baru saja bercukur. "Tidak ada nomornya," gumamnya. "Aku juga tak mengenal wanita ini."

Aster menghembuskan nafas pasrah. Rasanya ia ingin menyerah saja sampai di sini, lalu pulang ke Indonesia. Sudah tak ada lagi petunjuk yang tersisa.

"Sebentar, biar kutanyakan pada pemilik restoran ini. Siapa tahu saja dia mengenal wanita ini," ucap Fernan lantas bangkit dari kursinya, namun buru-buru berucap kembali. "Kau tunggu saja di sini, jangan kemana-mana."

Ia memperhatikan pria itu yang tengah berjalan ke bagian belakang restoran. Beberapa wanita sempat menghadangnya untuk meminta tanda tangan dan berfoto bersama. Ia mengerutkan keningnya heran. Apa Fernan adalah seorang artis? Tapi pria itu tak berpenampilan seperti seorang artis pada umumnya. Ia mengalihkan pandangannya pada sisi meja milik Fernan. Secangkir kopi yang sudah kosong isinya, begitu juga dengan dua piring yang ada di sebelahnya. Mungkin pria itu sedang sarapan di sini saat melihatnya kebingungan di depan restoran. Beberapa saat kemudian, Fernan kembali dengan senyum di bibirnya. Bibirnya mirip seperti deskripsi yang ada di cerita fiksi. Tebal di bagian bawahnya dan sedikit tipis di bagian atasnya.

"Mungkin ini adalah hari keberuntunganmu, tapi juga ketidak-beruntunganmu. Fiorenza Morales adalah istri dari pemilik restoran ini, tapi saat ini mereka berdua sedang ke luar kota," ucap Fernan begitu sudah duduk di kursinya. "Tapi kau bisa datang lagi kesini dua hari lagi. Pegawainya tak berani memberikan nomor telponnya dan mereka tak tahu alamat rumahnya."

Aster tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Terima kasih banyak sudah mau membantuku, padahal aku sempat mencurigaimu macam-macam tadi."

Fernan tertawa, lalu menatap meja di hadapan Aster yang kosong. "Kau ingin memesan sesuatu?"

"Tidak, aku sudah sarapan tadi. Mungkin aku akan kembali pulang," jawabnya.

"Hei, bolehkah aku meminta nomormu?" tanya Fernan begitu Aster hendak berdiri.

Aster menatap pria itu, berpikir sejenak apa yang harus diucapkannya. "Kenapa aku harus memberikan nomorku padamu?"

Lagi-lagi Fernan tertawa, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku sering ke restoran ini. Jika sewaktu-waktu aku melihat pemiliknya, aku bisa dengan mudah menghubungimu."

Ah, benar juga. Aster tak sampai berpikir sejauh itu. Ia meraih ponselnya dari tas kecilnya, lantas memberikan nomornya pada Fernan. Pria itu juga mengajaknya berfoto bersama dengan alasan agar tidak lupa dengan wajahnya. Meskipun alasannya terdengar mengada-ada, namun ia tetap mau-mau saja berfoto dengan pria itu. Toh setelah ini mereka tak akan bertemu lagi setelah ia berhasil bertemu dengan Fiorenza Morales. 

"Boleh aku bertanya sesuatu padamu?" tanya Aster setelah mereka keluar dari restoran dan Fernan selesai membayar tagihannya. Pria itu mengangguk sebagai jawabannya.

"Apa kau artis?"

Fernan menoleh padanya, lalu tersenyum miring. "Aku hanya penyuka sepak bola," jawabnya lalu melihat stadion di depan mereka. "Hei, kau mau masuk ke sana? Sebentar lagi akan ada pertandingan antara Real Madrid melawan Barcelona."

"Real Madrid?" Aster langsung teringat dengan Glenn, dan sekarang ia tahu bahwa stadion itu pastilah milik klub itu. Lautan manusia dengan kaos berwarna putih dan belang merah biru mulai memadati sekitar stadion."Wow, tadi sepertinya hanya ada beberapa orang saja."

"Yeah, ini adalah Big Match, semua orang sangat antusias dengan pertandingan ini," jawab Fernan lalu kembali menoleh padanya. "Jadi, kau mau masuk?"

"Aku tak punya tiket, jadi lebih baik..."

"Kebetulan aku memiliki satu tiket yang tak terpakai. Sepupuku memberiku dua tiket karena hari ini dia berulang tahun," potong Fernan sambil mengeluarkan dua lembar tiket dan melambaikannya di depannya.

"Oh, wow! Kau mendapatkan tiket VIP secara gratis?" tanya Aster setelah melihat tulisan VIP di tiket itu.

"Inilah enaknya jika kau memiliki sepupu seorang gelandang terkenal dengan gaji puluhan juta euro setiap tahunnya," jawab Fernan lalu terkekeh, sedangkan Aster membelalak kagum. Ia menggandeng tangan Aster dan menariknya untuk menyeberangi jalan. 

Mereka berdua mengikuti kerumunan yang sedang antri masuk ke dalam stadion. Beberapa suporter dari klub Barcelona menyanyikan entah lagu apa yang tak dimengerti oleh Aster.

"Kenapa kau tak bermain sepak bola saja?" tanya Aster saat mereka sudah masuk ke dalam stadion dan menuju ke sebuah ruangan yang terlihat mewah. Seorang wanita cantik seperti model menyambut mereka. Pandangannya tak lepas dari Fernan dan berusaha menarik perhatiannya, namun pria itu hanya tersenyum ramah padanya.

"Aku tak memiliki bakat di bidang itu. Hanya sesekali saja bermain sekedar untuk menyalurkan hobi," jawab Fernan. 

Mereka berdua mengikuti wanita cantik itu yang mengarahkannya ke area VIP. Wanita itu menawarkan makanan dan minuman pada Fernan sambil tetap tersenyum, sama sekali tak menggubris Aster. Tapi Fernan justru menawarkannya pada Aster, membuat senyum wanita itu sedikit memudar. 

"Dia berusaha menarik perhatianmu," kata Aster setelah mereka masuk ke dalam ruangan yang terdiri dari empat kursi empuk di bagian atas, dan empat kursi lagi di bagian bawahnya. Sudah ada enam orang yang duduk dengan nyaman di sana sambil berbincang dan sesekali tertawa. 

"Aku tak suka perempuan agresif," jawab Fernan singkat, lalu duduk di sebelah seorang pria yang mengenakan kaos polo putih dan celana pendek khaki. Mereka melakukan salam ala pria, lalu pria itu melirik Aster.

"Ah, dia adalah temanku," Fernan menjeda sejenak sambil menoleh pada Aster yang baru saja duduk di kursi paling pinggir yang dekat dengan dinding berlapis cermin. "Sedang liburan sekolah untuk mencari ayahnya...umm, wanita yang nama belakangnya mirip dengan milik ayahnya."

Aster menoleh pada Fernan dengan wajah polos. "Sebenarnya aku berusia 23 tahun sebulan lagi. Oh, dan aku baru mengenal Fernan setengah jam yang lalu."

Pria di sebelah Fernan tersedak soda yang sedang diminumnya, diikuti dengan tawa dari pria di sebelahnya lagi. Mereka bertiga terlihat seperti sekumpulan model dengan pakaian serba mahal. Hanya Fernan saja yang tak begitu memperhatikan penampilannya.

"Sepertinya model kita harus berjuang ekstra," celetuk pria di sebelah pria yang tersedak tadi.

Aster langsung mengangakan mulutnya. "Jadi kau adalah seorang model? Bukan tokoh fiksi yang sering diceritakan di novel-novel?" Ia mengamati Fernan dari rambut sampai sepatunya. Postur tubuhnya persis seperti yang digambarkan di novel-novel roman dewasa yang pernah dibacanya. Ia menyipitkan matanya. "Kau yakin namamu Fernan Guiza? Bukan Ferran Calderon?"

Kedua pria di sebelah Fernan meledakkan tawanya sampai membungkuk, membuat keempat orang di depan mereka menoleh ke belakang. Fernan mengusap tengkuknya salah tingkah, lalu menatap Aster dengan wajah malu sekaligus gemas. "Sejak lahir namaku Fernan Guiza, bukan Ferran Calderon. Gosh, jadi kau menyamakanku dengan model seperti dia? Jelas-jelas aku jauh lebih seksi dan tampan daripada dia."

"Ugh, menjijikkan," seru pria di sebelah Fernan lalu mendengus dan berkonsentrasi pada lapangan hijau di depan mereka. Ternyata pertandingan sudah dimulai.

"Kita harus membicarakan tentang hal ini nanti waktu makan siang," gumam Fernan, lalu cepat-cepat menambahkan saat Aster membuka mulutnya. "Tak ada penolakan, gadis sekolah. Atau akan menyuruh pemilik restoran itu menyembunyikan istrinya agar kau tak pernah bisa menemukannya."

Aster menyentakkan kepalanya ke belakang. "Ferran Calderon wannabe yang narsis dan suka mengancam. Ck, kuharap aku datang lebih lambat tadi agar tak bertemu denganmu."

"Ouh, benar-benar menyakitkan," balas Fernan pura-pura tersinggung, lalu terkekeh geli dan fokus pada pertandingan di depannya. 

Aster menggelengkan kepalanya. Hampir dua minggu berada di Madrid dan dia telah bertemu dengan tiga orang berbeda yang masing-masing membuatnya betah berada di kota ini. Ia tak begitu tertarik dengan sepak bola, jadi ia memilih untuk mengamati area VIP yang ditempatinya. Ruangan ini dilapisi kaca yang langsung mengarah pada lapangan di bawahnya. Ada televisi layar datar yang menempel di dinding atas bagian kanan, dan cermin panjang di dinding bagian kiri.  

Suara gemuruh penonton di tribun begitu riuh, begitu juga dengan para laki-laki di sekitarnya. Sebenarnya ia sama sekali tak tahu apapun mengenai sepak bola. Yang ia sukai adalah MotoGP, dan ia berharap Jorge Lorenzo atau Marc Marquez tiba-tiba saja berada di sini untuk menonton pertandingan ini. Bunyi ponsel membuat perhatiannya teralihkan dari lapangan hijau itu. Satu pesan WhatsApp, mungkin saja dari Ester. Ia membukanya dan mendapati satu pesan dari nomor asing.

+6281335787878 : Sweetheart, gue lagi nunggu pesawat take off di Changi. Sebutin alamat dimana lo tinggal dong

Ia mengerutkan keningnya. Nomor Indonesia. Diliriknya foto profil dari si pengirim dan matanya langsung membelalak. Hatinya begitu senang karena Glenn akhirnya menghubunginya.

Aster : Gimana kabar ibuku? Nanti aku jemput kamu kalo udah nyampe Barajas.
Glenn : Ibu kaget banget waktu gue bilang lo masih hidup. Tapi beliau setuju buat pura2 nggak tahu setelah kuceritain masalah Canna. Kami sama2 pengen tahu apa tujuan dia. Lo lagi ngapain sekarang?
Aster : Syukur deh. Bilangin ibu, aku kangen banget. Lagi ada di Santiago Bernabeu, nonton Real Madrid vs Barcelona.
Glenn : SERIUS??? Jangan becanda dong!

Aster terkikik geli melihat tanggapan Glenn. Pria itu pasti sedang menggerutu sekarang. 

Aster : Nih, aku lagi lihat pemainnya main di lapangan. Mau nitip tanda tangan nggak?

Lalu ia memfoto lapangan hijau beserta tribun di depannya dan mengirimkannya pada Glenn.

Glenn : Mau banget! Kalau perlu lo foto sama semua pemainnya. Eh, emangnya lo kesana sama siapa? Lo nggak suka bola, kan?

Aster menoleh ke sampingnya, mendapati tiga pria macho yang sedang fokus melihat sepak bola di depan mereka. Ia menggelengkan kepalanya. Iseng, ia memotret figur mereka dari samping, setelah itu mengirimkannya pada Glenn. 

Glenn : Gila lu ada di ruang VIP? Itu cowok-cowok hot banget dapet darimana? Eh, lo nggak becanda kan satu ruangan sama Fernan Guiza dan Jeronimo Kortez? Mereka supermodel internasional gila! Lu beruntung banget sih? Nggak mau tahu, pokoknya kenalin sama mereka atau salah satunya!

Ia menyentakkan kepalanya ke belakang, lalu tersenyum masam. Glenn akan selalu seperti itu jika melihat pria tampan dan seksi. Tapi setidaknya ia yakin bahwa yang ada di sebelahnya adalah Fernan Guiza, bukan Ferran Calderon seperti yang tadi dipikirkannya. Dibacanya sekali lagi pesan dari Glenn, dan hatinya langsung menghangat saat mengetahui bahwa ibunya sekarang tak lagi bersedih. Rasa bersalah itu muncul. Seandainya saja ia tak memaksakan diri untuk datang ke sini dan lebih mendengarkan keberatan ibunya, mungkin berita itu tak akan membuat wanita kesayangannya sedih dan menderita. Tapi ia juga tak mau membuang-buang waktu lebih lama lagi. Ia sangat merindukan ayahnya. Dimanapun pria itu berada, ia yakin ayahnya juga merindukannya. 

"Hei, kau tak apa-apa?" suara Fernan membuatnya terkesiap. Ia menoleh pada pria yang baru dikenalnya beberapa saat yang lalu. Sungguh lucu sekali, ia bahkan dengan mudahnya akrab dengan orang asing di negara ini, namun kesulitan membuat pertemanan dengan orang-orang di negaranya sendiri yang sudah bertahun-tahun dikenalnya.

"Tak apa-apa. Hanya merindukan ayahku," jawabnya dengan senyum dipaksakan, lalu membelalakkan matanya saat pria itu mengusap pipinya. Ia baru sadar bahwa ternyata air matanya keluar saat memikirkan tentang ibu dan ayahnya.

"Mungkin ini terdengar aneh, tapi...kita bisa menjadi teman, kan? Maksudku, kaulah satu-satunya wanita yang tak perlu berakting untuk menarik perhatianku. Aku hanya membutuhkan teman sepertimu," ucap pria itu dengan sungguh-sungguh.

Aster menggigit bibir bawahnya. Tiba-tiba teringat dengan Husein dan kenangan mereka pergi ke berbagai tempat selama seminggu kemarin. Pria itu membuktikan padanya bahwa ia layak diperlakukan seperti itu, membuatnya merasa berharga dan tak lagi minder karena dikatai macam-macam oleh orang-orang di sekitarnya dulu. Dengan tersenyum, ia mengangguk.

"Bagus. Aku berjanji akan membantumu mencari ayahmu....atau wanita yang nama belakangnya mirip ayahmu, terserahlah, sampai kau menemukannya. Aku sudah tak sabar untuk memulai perjalanan nanti," sahut Fernan sambil menggosok-gosokkan tangannya.

"Memangnya kau tak ada jadwal pemotretan atau show?" tanya Aster heran. Seingatnya Glenn sangat sibuk, begitu juga dengan dirinya dulu saat masih menjadi model.

Fernan mengangkat bahu. "Sebentar lagi musim panas."

Aster mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu menatap ponselnya yang kembali berbunyi. Ada tiga pesan. Dari Glenn, Ester, dan...Husein. Mendadak semua yang ada di sekitarnya menjadi tak menarik lagi sekarang. Jantungnya berdebar dan tangannya sedikit gemetar saat membuka pesan dari pria itu.

Husein : Hei, maaf tak pamit. Keberatan jika nanti malam kutelpon?

Rasa hangat langsung mengaliri tubuhnya hingga ke wajahnya. Seandainya saja tak mengingat sedang berada di mana ia sekarang, sudah pasti ia akan melompat-lompat kegirangan atau berteriak-teriak memalukan. Cepat-cepat ia membalas pesan dari pria itu.

Aster : Tentu. Aku masih berada di Madrid. Sedang mencari orang terakhir yang memiliki nama belakang Morales.

Senyumnya terus mengembang saat pesan itu terkirim dan sudah dibaca oleh Husein. Mendadak ia tak ingin hari ini cepat-cepat berakhir. 

***
"Terima kasih untuk hari ini. Oh, dan salam kenal. Hari ini benar-benar menyenangkan. Setidaknya aku bisa berfoto dengan Christiano Ronaldo dan Iker Casillas yang asli, juga sepupumu yang imut itu," ucap Aster saat sudah berada di depan rumah keluarga Garcia.

Fernan terkekeh mendengar perkataannya. "Kau terlihat bahagia hari ini. Itu membuatku senang."

Aster tersenyum, lalu menoleh ke rumah di belakangnya. Seolah-olah mengerti dengan apa yang dipikirkannya, Fernan langsung pamit dan masuk ke mobilnya. "Selamat malam, gadis sekolah."

Ia tertawa saat mobil Fernan sudah berlalu dari hadapannya, kemudian masuk ke rumah Ester dengan senyum yang masih mengembang di bibirnya. Suasana rumah terlihat sepi, mungkin keluarga ini sedang berkumpul di ruang keluarga seperti malam-malam sebelumnya. Terdengar suara canda tawa dari ruang tamu, menandakan bahwa perkiraannya benar. Ia langsung masuk begitu saja ke ruang keluarga yang merangkap perapian, membuat semua yang ada di sana langsung terdiam saat melihatnya. Ia menelan ludah gugup, sadar bahwa ia adalah tamu di rumah ini, jadi seharusnya ia tak bertingkah seolah-olah ini adalah rumahnya sendiri. Ester menatapnya dengan seringai menggoda, sedangkan Diana bangkit dari duduknya dan mendekatinya. 

"Sayang, ada yang ingin bertemu denganmu. Tadi mereka datang bersama Ivan karena sudah tak sabar untuk bertemu denganmu," ucap wanita itu lantas berbalik pada seorang wanita yang usianya kira-kira pertengahan tiga puluhan. Wanita berambut coklat itu begitu cantik. "Eliana, ini dia Aster Morales...umm, siapa nama lengkapmu, Sayang? Aster Russelia Morales?'

Aster mengangguk, lalu pandangannya bertemu dengan wanita bernama Eliana itu. Wanita itu terkesiap dan langsung berpegangan pada lengan pria di sampingnya. Sebelah tangannya yang lain menutup mulutnya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Dia benar-benar ada di sini," gumam wanita itu sembari menatap pria di sebelahnya, lalu kembali menatapnya.

Ia mengerutkan keningnya bingung pada Diana, lalu menatap Ester dengan pandangan tanya. Eliana mendekatinya dengan cepat, hingga akhirnya ia bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu. Wajah itu terlihat familiar, dan mendadak jantungnya berdegup kencang saat menyadari kedua mata hazel yang sangat dihafalnya.

"Ah, kita melupakan sesuatu. Dia adalah Fiorenza Morales yang kau cari tadi, Aster," ucap Tuan Garcia yang duduk di sebelah Marc.

"Apa?" gumamnya tak percaya.

"Selamat datang, Sayang. Aku sudah lama ingin sekali bertemu denganmu," kata Eliana lalu memeluknya dengan erat seraya menangis bahagia.

Ia masih belum mengerti dengan apa yang terjadi, sampai tatapannya bertemu dengan Diana yang mengusap air matanya sambil tersenyum haru. "Dia adalah bibimu, Sayang."

Waktu seolah-olah berhenti saat itu juga, dan lidahnya terasa kelu. "Bibi?" bisiknya dengan bibir bergetar. Hatinya seperti dipenuhi oleh sesuatu tak kasatmata yang membuatnya kebingungan.

***

Created by Alya Feliz
Mei 2015 





Share this article :

+ comments + 4 comments

May 7, 2015, 5:00:00 PM

Huaaa, akhirnya ktemu jga biarpun bru ktemu bibinya, bkn ayahnya :3

May 7, 2015, 6:13:00 PM

OMG,,, akhirnya ketemu juga,,,,, husein juga da kabarnya,,, balik gak bilang2 iih huseinnya
sudah gak sabar lihat aster ketemu ayahnya,,,, but alhamdulillah yaaa aster ketemu orang2 baik di madrid,,,,,,,
semangat kak,, n makasih dah update...aq tiap hari buka blognya kakak cuma buat ngintip pa sang waktu da update-an terbaru... hihihihi
izin share d facebook boleh gak??

May 8, 2015, 7:51:00 AM

fitri annisha Boleh banget hehehe. Thanks udah mau share ya :) Doain moga2 modd bagus biar bisa cepet update

May 8, 2015, 8:49:00 AM

indah primahahaha....kalau tiba2 ketemu ayahnya kan aneh :D

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger