SANG WAKTU - Bab 6

February 14, 20155comments

Cover Sang Waktu
Dua hari pertama di Madrid hanya dihabiskan Aster di Barajas untuk mengurusi kopernya yang hilang. Pihak bandara mengatakan bahwa kopernya kemungkinan masih tertinggal di Bandara Changi Singapura, dan petugas di sana masih menelusuri keberadaan kopernya. Karena ribuan bagasi yang akan diberangkatkan pada hari yang sama, pencarian itu memakan waktu lama. Dengan sangat terpaksa ia menambah hari menginap di hotel dan membeli koper baru untuk menampung pakaian-pakaiannya yang baru. 

"Bisakah anda menghubungiku di nomor ini jika koperku ditemukan? Ponselku yang lama hilang beserta nomornya," ujarnya pada petugas bagian kehilangan sambil memberikan nomornya yang baru.

Kemarin saat membeli beberapa pakaian, ia sekalian membeli ponsel baru beserta nomornya. Karena membeli dengan terburu-buru, ia mendapatkan pondel dengan harga mahal tanpa sempat mengecek harga dengan penjual lain. Lagipula dia tak begitu mengerti dengan harga ponsel, sehingga langsung membelinya tanpa berpikir panjang. Setelah petugas itu selesai mencatat nomor ponselnya yang baru dan mencoret yang lama, ia segera mencari agen tiket bus di Terminal 1 bandara yang akan mengantarkannya ke Salamanca. Staff hotel menyarankannya untuk berangkat dari bandara, karena bus dari sana langsung mengantarkannya ke distrik itu dalam waktu kurang lebih 2 jam 45 menit. Seandainya saja dia tidak bertanya terlebih dulu, sudah pasti ia akan mengambil jalan pintas dengan menaiki taksi.

"Hei, bisakah bus mengantarkanku ke jalan Hermosilla? Di hotel ini lebih tepatnya," tanyanya pada wanita yang baru saja memberikan tiket bus padanya. Ia menyerahkan selembar kertas berisi alamat hotel tempatnya menginap nanti.

Petugas itu melihat alamat yang tertera beserta nama hotelnya. "Nanti bus akan berhenti di halte dekat hotel itu. Tinggal berjalan kaki beberapa menit dan kau akan sampai. Jangan sungkan untuk bertanya saat sudah sampai di sana. Atau berikan saja alamat ini pada supir, nanti dia akan memberitahumu kalau sudah sampai," jawabnya dengan ramah.

"Terima kasih, Nyonya. Kau sangat membantuku," ucap Aster dengan hati lega, karena ternyata untuk mencapai hotel itu tidaklah sulit.

"Sama-sama, Cantik. Semoga perjalananmu menyenangkan," jawab wanita itu.

Meskipun hatinya masih tidak rela kopernya belum ditemukan, tapi ia tidak bisa terus menghabiskan waktu di bandara. Waktu satu bulan yang dihabiskannya secara diam-diam untuk mengurusi visa ke Spanyol akan sia-sia saja. Begitu juga dengan waktu yang ia habiskan untuk mengumpulkan uang, dengan menerima semua tawaran pemotretan dan menjadi MC di berbagai acara. Ia tidak boleh menyerah begitu saja hanya karena masalah seperti ini. Yang harus ia lakukan sekarang adalah mencari ayahnya dulu, urusan liburan bisa nanti saja. Dengan langkah gontai, ia menunggu keberangkatan bus di area yang sudah disediakan. Untungnya cuaca saat ini tidak begitu panas, jadi dia bisa mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya yang berkeringat. Tak ada waktu untuk memikirkan Hando, atau apakah lelaki itu sedang bersenang-senang dengan Canna sesuka hati. Ia benar-benar tidak peduli untuk saat ini.

Ketika sedang melihat-lihat ke sekeliling untuk menghilangkan kebosanan, seorang gadis berambut ikal berwarna hitam duduk di sampingnya sambil berbicara melalui ponsel. Sepertinya gadis itu asli warga Spanyol.

"Hei, kau mau ke Salamanca juga?" tanya Aster memberanikan diri setelah gadis itu selesai dengan urusannya.

"Hai! Yup, aku mau ke Salamanca juga. Kau...sepertinya kau dari jauh. Tapi kau terlihat seperti orang sini," jawab gadis itu sambil melihat koper hitam besar miliknya.

"Oh, aku dari Jakarta. Kau tahu Jakarta? Ngomong-ngomong namaku Aster, Aster Morales," jawabnya sambil mengulurkan tangannya.

Gadis itu terlihat terkejut. "Aster? Namaku adalah Ester, Ester Garcia. Nama kita hampir mirip. Oh, astaga! Aku belum pernah mengalami hal yang seperti ini sebelumnya," jawab gadis itu sambil menyambut uluran tangannya, terlihat sangat antusias.

"Oh, aku pernah mendengar tentang Jakarta. Itu di...umm...dekatnya Bali, kan?" lanjut Ester dengan kening berkerut.

Aster menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa kecil. "Bukan, Jakarta adalah ibukota Indonesia, sedangkan Bali adalah salah satu propinsi di sana. Kau tahu Australia, kan? Atau mungkin Singapura? Indonesia dekat dengan kedua negara itu, tepatnya berada di Asia Tenggara. Negaraku memiliki banyak pulau dan keindahan alam yang tak kalah dengan negara-negara lain. Lain kali kau harus ke sana, banyak sekali tempat-tempat yang bagus dan masih alami."

Ester mengangguk-angguk dengan mata berbinar. "Kelihatannya menarik dan menyenangkan. Aku belum pernah berlibur ke Asia selama ini. Nanti aku akan ke sana saat musim panas tiba. Ngomong-ngomong, kau ke sini untuk liburan?"

Aster kembali menggeleng. "Sebenarnya aku ke sini  untuk mencari ayahku. Beliau bercerai dengan ibuku sejak usiaku 5 tahun, dan sejak saat itu aku tidak pernah tahu bagaimana kabarnya. Kami benar-benar kehilangan kontak."

Ester mengerutkan keningnya, kemudian menoleh pada bus yang menghampiri mereka. "Itu busnya sudah datang. Ayo kita masuk."

Ia mengikuti Ester yang berjalan terlebih dulu menuju ke sebuah bus berwarna merah. Banyak kursi yang sudah terisi, dan ia memilih untuk duduk di dekat Ester. Bus itu terasa nyaman dan bersih. Beberapa penumpang memasang headset yang disediakan di dekat kursi, ada juga yang sibuk dengan ponsel masing-masing, dan yang lainnya melihat film yang diputar di monitor layar datar dekat dengan supir.

"Kedengarannya aneh sekali ayahmu tak pernah menghubungimu. Maksudku, ayah dan ibuku juga bercerai, tapi ibuku masih sering menelponku dan mengunjungiku di sini," kata Ester saat bus mulai berjalan.

"Itulah yang ingin kucari tahu. Kakek dan nenekku tak ada yang mau memberitahuku, begitu juga dengan saudara-saudara ibuku. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku dan itu benar-benar mengganggu. Mereka bahkan tak juga mau menceritakan apapun, meski aku sering sakit-sakitan saat kecil dulu," jawab Aster sambil merebahkan kepalanya di sandaran kursi, merasa lelah dengan pengelakan ibunya beserta keluarga besarnya.

"Kau benar, ada yang mereka sembunyikan darimu dan kelihatannya sangat penting. Tapi apapun itu, kuharap kau bisa segera menemukan ayahmu. Maaf aku tidak bisa membantumu, karena besok aku harus membantu ibu tiriku menyiapkan pesta ulang tahun adik tiriku," kata Ester dengan wajah tak enak.

"Tidak apa-apa, aku akan berusaha mencarinya sendiri. Lagipula alamat yang diberikan ibuku jelas, jadi aku bisa menanyakannya pada orang-orang di sana, bukan?" ujar Aster sambil tersenyum.

"Tapi kau bisa menghubungiku setiap kali kau ingin membutuhkan sesuatu. Hei, kita harus bertukar nomor telepon. Rasanya menyenangkan berbincang denganmu. Aku adalah tipe orang yang susah bergaul, jadi saat aku bisa berbicara banyak seperti ini, berarti aku merasa nyaman berteman denganmu," kata Ester sambil menyentuh layar ponselnya.

Mereka berdua kemudian saling bertukar nomor telepon, sambil berbincang mengenai hal lain yang biasanya dibicarakan oleh anak muda. Aster merasa beruntung karena akhirnya mendapatkan kenalan di negara ini. Meskipun setelah ini ia akan tinggal di hotel, tapi setidaknya ia bisa menghubungi Ester. Gadis itu mau mengajaknya mengelilingi Madrid saat malam hari jika sedang tidak memiliki urusan lain.

"Kau menginap di mana nanti?" tanya Ester sambil menyalakan koneksi Wi-Fi yang tersedia di bus pada ponselnya.

"Ibuku sudah memesankan hotel yang ada di jalan Hermosilla. Kata petugas agen tiket bus, nanti aku bisa turun di halte dekat hotel," jawab Aster.

"Hmm, aku tahu hotel itu. Letaknya ada di samping Hard Rock Cafe Madrid. Temanku ada yang pernah menginap di sana, dia bilang sangat menyenangkan dan pelayanannya sangat memuaskan," kata Ester sambil mengutak-atik ponselnya, kemudian menunjukkan gambar hotel itu.

"Benarkah? Oh, wow! Kelihatannya memang menyenangkan," sahut Aster sambil mengamati hotel itu dengan seksama. "Sepertinya aku akan betah menginap di sana meskipun hanya sendirian."

Ester tertawa, kemudian menyimpan ponselnya ke dalam saku celananya.

"Sepertinya aku belum tahu kau baru dari mana tadi. Maksudku, kau di bandara dan membawa koper berukuran sedang," kata Aster saat baru mengingatnya.

"Aku baru saja dari Perancis. Ibuku menikah lagi dengan orang sana, dan aku lebih suka tinggal dengan ayahku. Kemarin aku berlibur di sana selama seminggu, tapi aku lebih suka menikmati perayaan festival di sini," jawab Ester.

"Aku pernah mendengar soal festival juga sebelumnya dari petugas bandara. Sebenarnya ada festival apa?" tanya Aster bingung sekaligus tertarik.

"Sebenarnya itu adalah pesta untuk memperingati perjuangan penduduk Madrid melawan tentara perancis di tahun 1808, tepatnya pada hari ini. Lihat! Mereka sudah beramai-ramai akan pergi ke Plaza Mayor untuk menikmati pertunjukan adu banteng. Kau harus pergi ke sana malam ini," jelas Ester sambil menunjuk ke luar jendela bus yang sangat ramai. Bus sempat berhenti beberapa kali dan Aster begitu tertarik melihat pemandangan itu.

Banyak penduduk Madrid yang turun ke jalanan dari berbagai usia. Beberapa di antara mereka meneriakkan kata "Hola!" atau "Hola, hermosa niña!" saat Aster menoleh pada mereka.

"Mereka memanggilmu gadis cantik." Ester terkekeh. "Tapi kau memang cantik."

Aster hanya mendengus sambil tetap memperhatikan kerumunan warga itu. Terlihat sekali kegembiraan di wajah mereka, dan itu membuatnya melupakan sejenak permasalahan yang menimpanya. Ia ingin sekali bergabung bersama mereka dan pergi beramai-ramai menuju ke tempat perayaan pesta itu. "Sepertinya menyenangkan. Aku tak pernah melihat yang seperti ini di ibukota negaraku. Selalu macet dan macet yang tampak di mataku," gumamnya.

"Kami gemar sekali berpesta. Nanti malam datanglah ke Plaza Mayor. Di sana akan ada pertunjukan musik dan tari. Besok kami akan merayakan fiesta San Isidro selama satu minggu penuh. Rasanya benar-benar menyenangkan saat memasuki bulan Mei seperti ini. Oh, kau bisa naik Metro untuk pergi ke Plaza Mayor, jika berangkat dari hotel tempatmu menginap. Ada stasiun Metro Colon di dekat sana," jelas Ester dengan senyum tak lepas dari bibirnya.

"Sepertinya aku akan betah tinggal berlama-lama di negara ini. Orang-orangnya ramah dan kota ini begitu indah," kata Aster setelah merebahkan kembali punggungnya ke sandaran kursi, sambil mengingat-ingat nama stasiun yang tadi disebutkan oleh Ester.


"Aku akan sangat senang jika kau tinggal di sini. Kita bisa menjadi sahabat," sahut Ester sambil tersenyum lebar, membuat Aster terkekeh kecil.

***
Setengah jam berlalu dan Aster masih saja mengaduk-aduk makan malamnya. Seporsi besar Paella yang mirip seperti nasi kuning, hanya saja ada campuran paha ayam, seafood, dan sayuran yang dimasak menjadi satu beserta nasinya. Awalnya ia merasa aneh dan langsung bergidik ngeri saat melihat potongan tomat, wortel dan paprika tercampur dalam nasi. Ia tidak menyukai sayur-sayuran itu, sehingga menyingkirkannya dulu ke pinggir piring sebelum menyantapnya.

"Permisi, bolehkah aku duduk di sini? Di dalam sudah penuh," tanya seorang laki-laki yang membuatnya mendongak.

Ia mengangguk, kemudian kembali mengaduk-aduk Paella-nya dengan tidak bersemangat. Sesekali ia menyuapkan Paella itu dan keningnya sedikit mengernyit.

"Apakah makanannya tidak enak? Kau terlihat seperti tidak menyukai makanan itu," tanya laki-laki itu lagi.

"Tidak, tidak. Makanan ini lumayan enak, hanya saja aku sudah terbiasa memakan nasi kuning. Aku sudah menghabiskan setengah porsi makanan ini, tapi rasanya lidahku masih belum terbiasa. Rasanya ...." Aster baru sadar kalau ia sendirian di negara ini, bukan bersama Glenn atau Hando. Ia kembali mendongak dan melihat seorang laki-laki yang umurnya kira-kira jauh di atasnya sedang tersenyum sambil menikmati makan malamnya.

"Oh, maaf. Aku kira aku masih berada di Indonesia saat ini. Kau tahu, aku bahkan....hei, aku baru sadar kalau kau berbahasa Inggris. Oh, akhirnya. Rasanya aku benar-benar pusing mendengar orang-orang berbicara dengan bahasa Spanyol. Gosh, mereka cepat sekali kalau berbicara. Aku seringkali kebingungan dalam memahaminya," lanjutnya lagi sambil menyingkirkan piring makanannya ke samping. Seorang staff mendatanginya dan mengambil piring itu, sempat menawarkan wine namun langsung ditolaknya. 

Laki-laki itu tertawa setelah meminum segelas air. Ia menatap Aster sejenak, kemudian berdehem. "Kau terlihat kebingungan. Apa kau sendirian di sini? Kau tadi bilang apa? Indonesia? Aku kira kau asli orang sini."

Aster mendesah. "Kau orang kesekian yang mengatakan hal itu. Ayahku orang Madrid, jadi aku memiliki wajah seperti ini darinya." Ia meminum jus jeruk kesukaannya sejenak, menikmati rasa asam bercampur manis yang begitu menyegarkan di tenggorokannya.

"Cantik," gumam laki-laki itu dengan suara lirih.

"Maaf? Kau bilang apa tadi?" tanya Aster sambil sedikit mencondongkan tubuhnya, merasa mendengar lelaki itu mengucapkan sesuatu namun tidak begitu jelas.

"Tidak bilang apa-apa. Jadi, kau sedang liburan?" tanya laki-laki itu. "Oh, panggil aku Husein. Aku dari Pakistan."

Aster mengangkat sebelah alisnya, sempat berpikir kalau laki-laki di depannya berasal dari India atau mungkin Arab. "Namaku Aster. Aku ke sini untuk mencari ayahku, dan setelah itu liburan. Tapi sejak tiba di bandara, aku sudah mendapat masalah. Koperku hilang, ponselku hilang, kartu kreditku ikut hilang, dan tadi aku harus membayar kamar hotel untuk dua malam yang tidak kutempati sama sekali karena kemarin aku masih di Barajas. Bukankah itu menyebalkan?"

Ia memijit pelipisnya, kemudian mengeluarkan ponsel barunya. Beberapa kali menekan-nekan tombol angka, kemudian menghapusnya lagi. Tadi ia terpaksa harus membayar total biaya menginap dengan menggunakan kartu debitnya sebesar hampir 1700 euro. Jumlah yang membuatnya pusing di saat hanya kartu itu yang dimilikinya sekarang. Seharusnya ia pindah saja dari hotel itu, tapi pihak hotel akan mengenakan denda dan lagipula ia tidak akan berlama-lama di sini. Benar-benar manajemen keuangan yang buruk untuk orang yang pertama kali melakukan perjalanan ke luar negeri. Tapi seandainya saja kopernya tidak hilang, ia bisa membayar biaya hotel itu dengan menggunakan kartu kredit milik ibunya. 

Husein tersenyum melihat tingkah laku Aster yang terlihat sekali sedang frustrasi. Tanpa sadar gadis itu mengacak-acak rambutnya dan kembali memasukkan ponselnya ke saku jaket. Hal itu tak lepas dari pengamatan lelaki itu.

"Tenangkan dirimu, jangan memikirkannya terlalu keras. Jadi kopermu sudah ditemukan? Lantas itu ponselmu yang hilang tadi?" tanya Husein.

Aster menggeleng. "Ini baru kubeli tadi di Barajas, dan koperku masih belum ditemukan juga sampai saat ini," jawabnya dengan wajah lelah. "Hei, kau sendiri sedang apa di sini? Apakah sedang liburan atau..."

"Aku ke sini untuk urusan bisnis," jawab Husein kemudian mengedikkan bahunya. "Tapi sudah selesai. Aku sudah lama tinggal di negara ini, dan sesekali ingin menghabiskan waktu untuk bersantai sejenak."

"Oh, aku kira kau adalah seorang aktor atau mungkin model. Penampilanmu sama sekali tak menunjukkan layaknya seorang pebisnis," ujar Aster sambil mengamati t-shirt abu-abu yang dipakai lelaki itu. 

"Aku lebih nyaman berpakaian seperti ini," jawab Husein sebelum melanjutkan makan malamnya.

Aster menyipitkan matanya dan mengamati lelaki itu. Kalau diperhatikan secara fisik, Husein memang jauh lebih tampan dibandingkan dengan Hando. Apalagi di sekitar dagu dan rahangnya ditumbuhi bulu yang masih tipis, menambah kesan maskulin dan dewasa. Tapi bukankah ketampanan seorang pria itu relatif? Bisa jadi tingkah laku Husein jauh lebih buruk ketimbang Hando mengenai wanita. Tapi sekali lagi ia tidak bisa menilai seseorang dari keindahan fisiknya, bukan? Salahkan saja novel-novel yang pernah dibacanya dan mendeskripsikan semua pria tampan selalu saja penyuka free sex. Secara otomatis ia berpikiran kalau Husein juga seperti pria-pria fiktif itu, karena Hando juga seperti itu. Sejenak hatinya merasa nyeri saat mengingat Hando, namun tidak separah beberapa hari yang lalu. Rasanya aneh bisa sempat melupakan lelaki itu setelah tiba di negara ini.

"Apa?" tanya Husein sedikit salah tingkah saat Aster memerhatikannya dengan intens. Ia buru-buru menyelesaikan makan malamnya sebelum menyingkirkan piring itu ke samping, merasa risih karena Aster tak juga mengalihkan pandangannya darinya.

"Eh? Tidak, aku hanya..." Aster sempat kebingungan harus menjawab apa. Matanya mengejap sekali, merasakan panas di kedua pipinya karena malu sudah tertangkap basah. Tak mungkin ia mengatakan pada lelaki itu kalau baru saja ia membandingkannya dengan tunangannya, apalagi menuduhnya penyuka hubungan bebas tanpa alasan yang jelas. Bisa-bisa lelaki itu mengiranya aneh dan tak sopan. Untungnya ia segera teringat sesuatu untuk menghilangkan kekikukannya. Dikeluarkannya sebuah kertas dari saku celananya beserta sebuah foto yang sudah agak usang berukuran 4x6.

"Kau tahu tidak alamat ini? Ini alamat rumah ayahku dan ini fotonya," ujarnya sambil menyerahkan kertas berisi alamat lengkap rumah ayahnya beserta fotonya.

Husein membaca alamat itu sambil mengingat-ingat. "Jalan  Claudio Coello, dekat dengan stasiun Metro Serrano. Hmm, aku tahu stasiun itu. Letaknya cukup jauh dari sini. Untuk jalannya, aku belum pernah mendengarnya," kemudian ia mengamati foto itu. Keningnya langsung berkerut dalam.

"Kau yakin ayahmu tinggal di sana? Kalau boleh tahu, siapa nama ayahmu?" tanya lelaki itu sambil tetap mengamati foto berwarna yang terlihat pudar. Untungnya wajah di foto itu masih terlihat jelas.

"Ibuku bilang alamatnya memang di sana. Tapi entahlah, aku benar-benar bingung saat ini. Ayahku bernama Jose Morales, lengkapnya Jose Leandro Morales. Kau pernah melihatnya atau mendengar namanya? Foto itu saat aku berusia 5 tahun, jadi sekitar...16 tahun yang lalu," jawab Aster dengan pandangan penuh harap.

Husein mengeluarkan ponselnya kemudian memotret foto itu. "Aku akan menanyakannya pada teman-temanku, siapa tahu mereka pernah melihatnya atau bertemu dengannya. Tapi besok akan kuantarkan mencari alamat ini, kalau kau tidak keberatan."

Aster tersenyum lebar. "Tentu saja. Terima kasih banyak sudah mau repot-repot membantuku padahal kita baru saja saling kenal." Ia memejamkan matanya, menikmati hembusan angin malam di balkon yang menerbangkan sebagian rambutnya. Akhirnya secara perlahan-lahan ada yang membantunya, setelah dua hari harus berkutat di bandara sendirian demi kopernya.

Begitu membuka matanya, ia melihat gemerlapan bintang di langit dan gemerlap lampu yang berasal dari gedung-gedung di sekitar hotel. Suasana di hotel ini begitu nyaman, dengan dekorasi klasik bergaya Inggris dan pelayanan dari staffnya yang begitu ramah. Meskipun pada awalnya ia sempat merasa jengkel dengan ibunya, karena memesankan hotel bintang lima yang sangat mahal biaya per malamnya selama seminggu. Tapi setidaknya dia bisa menikmatinya sebelum kembali ke Indonesia. Dia juga sempat berkenalan dengan beberapa orang dari negara-negara lain, termasuk Husein. 

"Suasana di hotel ini benar-benar menyenangkan. Aku ingin sekali berbulan madu di sini saat menikah nanti," gumamnya tanpa sadar, kemudian mengalihkan pandangannya pada Husein yang menatapnya dengan sebelah alis terangkat.

"Oh, lupakan saja apa yang kau dengar tadi. Jadi, sekarang kita berteman? Aku suka sekali bisa mendapatkan teman dari berbagai negara. Tadi Ester, lalu Elizabeth, ada Jack dan Chester, kemudian kau. Aku berharap kita bisa menjadi teman yang menyenangkan, dan aku...."

Husein kembali tertawa mendengar kecerewetan gadis itu. Baru kenal selama beberapa menit saja, namun Aster memperlakukan orang baru seperti sudah mengenalnya selama bertahun-tahun. Senyumnya mengembang sejenak, sebelum gadis itu kembali menatapnya.


===0===
Made by Alya Feliz
13 Februari 2015

DILARANG KERAS MENJIPLAK ATAU MENGCOPY PASTE TULISAN INI DENGAN CARA APAPUN. HARGAI HASIL JERIH PAYAH ORANG LAIN DAN INGATLAH KARMA SELALU BERLAKU!




Share this article :

+ comments + 5 comments

Feb 14, 2015, 8:06:00 PM

Ahhhh, update jga... Msi nggk tau sih siapa peran cowo yg pasti buat aster, jdi d tgg lnjutannya mbaa :D

Feb 14, 2015, 8:49:00 PM

indah prima hihihi perjalanan masih panjaanng XD masih belum ketemu sama si ayah ini :D

Feb 18, 2015, 2:16:00 PM

mba kapan update, mba kapan update :( udh kepoooi u.u

Mar 4, 2015, 10:48:00 PM

Dear Author, cerita ini dimuat juga dunk di Wattpad. bagus ceritanya. lanjut Thor

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger