SANG WAKTU - Bab 7

March 27, 20151comments


Di pagi hari yang cerah setelah sarapan di hotel, Aster sudah siap dengan ranselnya bersama Husein di stasiun Metro Colón. Stasiun kereta yang berada di bawah tanah itu terlihat begitu bersih, rapi, dan modern, sangat berbeda dengan di Indonesia. Husein mengajaknya menuju ke mesin tiket yang berbentuk seperti mesin ATM, hanya saja lebih besar. 

"Aku lebih menyukai transportasi umum daripada menaiki mobil pribadi. Meski Metro tidak cocok untuk orang yang sedang terburu-buru, namun aku lebih menyukainya," ujar Husein setelah mengambil dua lembar tiket yang keluar dari mesin itu dan menyerahkan selembar pada Aster.

"Katakan aku kuno, tapi aku belum pernah membeli tiket melalui mesin tiket dan naik kereta bawah tanah sebelumnya. Di negaraku belum ada yang seperti ini. Semoga saja ke depannya seluruh stasiun kereta di sana bisa seperti ini," kata Aster sambil mengikuti lelaki itu menuju ke tempat untuk menunggu datangnya kereta di pinggir rel.

"Indonesia masih negara berkembang, bukan? Semua pasti ada waktunya. Yang penting kau jangan menjelek-jelekkan negara ibumu, karena itu tidak baik," balas lelaki itu.

Aster terkekeh geli mendengar penuturan Husein. Benar-benar seperti kakak yang sedang menasihati adiknya. "Rasanya aneh aku bisa langsung mempercayaimu begitu saja, padahal baru kemarin malam kita berkenalan. Dengan cara yang aneh pula."

"Karena kau memang aneh. Mana ada orang yang tiba-tiba mencurahkan masalahnya pada orang asing saat makan malam? Kau ini, jangan terlalu mudah percaya pada orang yang baru kau kenal," tegur Husein sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ck, kau benar-benar mirip seperti Glenn, temanku di Indonesia. Dia selalu cerewet saat aku melakukan hal-hal bodoh dan menurutnya memalukan." Aster mendesah. "Apakah ini yang menyebabkan aku tak memiliki banyak teman? Glenn bilang aku benar-benar menyebalkan."

Husein tertawa sambil menoleh pada gadis itu. "Menurutku kau tidak menyebalkan, tapi menggemaskan. Maksudku kau terlalu mudah percaya pada orang lain dan polos. Apa kau selalu seperti itu? Seharusnya teman-temanmu di sana senang mendapatkan teman sepertimu. Kau bertingkah apa adanya dan tidak berpura-pura seperti gadis-gadis lain yang pernah kulihat."

Kereta yang mereka tunggu akhirnya datang. Husein masuk terlebih dulu sambil menyuruh Aster untuk cepat-cepat masuk agar tidak terpisah. "Mereka bilang aku egois, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan sombong. Padahal aku hanya peduli dengan urusanku sendiri. Apa aku salah bersikap seperti itu? Aku benar-benar malas mencampuri urusan orang lain ataupun sekedar ingin tahu saja." Gadis itu mengedikkan bahunya sekilas. 

"Justru itu sangat bagus. Lihatlah sekarang, kau berani ke negara ini sendirian dan tak acuh dengan masalah yang menimpamu kemarin." Husein kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gadis yang mandiri."

"Hei, jangan memujiku! Aku justru sedang belajar menjadi gadis yang tegar dan mandiri. Tak mungkin selamanya aku bergantung pada orang lain, bukan?" jawab Aster sambil melihat suasana kereta yang bersih dan nyaman. Para penumpang sibuk dengan urusan masing-masing. "Kenapa kereta ini berjalan lambat? Bukankah seharusnya cepat seperti yang diberitakan di internet?"

"Kau sering melihat iklan, bukan? Begitulah media bekerja. Jika diberitakan apa adanya, mana ada orang yang mau membeli sesuatu atau menggunakan fasilitas umum? Sama seperti bagaimana kita melihat orang dari penampilan dan keindahan fisiknya saja. Pada pandangan pertama langsung menghakimi, tapi begitu berkenalan langsung dan akrab, banyak yang menyesal karena sudah salah menilai," jawab Husein.

Aster menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku merasa sedang bepergian bersama Glenn saat ini. Tapi terima kasih, karena sekarang aku juga menyesal telah menilaimu buruk kemarin."

Husein langsung menoleh dan sedikit membelalakkan matanya. "Maaf? Apa kau bilang tadi?"

Aster cengengesan dan merasa malu. "Aku pikir kau tipe pria yang...eh, itu...seperti, playboy?" Ia langsung menangkupkan kedua telapak tangannya untuk meminta maaf pada lelaki itu.

"Ck, dasar wanita! Selalu saja mudah terpengaruh oleh apapun yang mereka dengar atau baca tanpa menelaan dulu," Husein menghela nafasnya, kemudian terkekeh kecil. "Lain kali kau tidak boleh langsung menyamaratakan orang yang kau jumpai hanya berdasarkan dari pengalaman buruk atau cerita dari orang lain.

"Siap, Tuan!" jawab Aster sambil meletakkan telapak tangannya di depan dahi seperti seorang tentara menghormati atasannya.

"Sepertinya aku akan benar-benar merindukanmu saat kita berpisah nanti," gumam lelaki itu dengan lirih, sehingga Aster tak mendengarnya.

Saat kereta berhenti di stasiun yang dituju, mereka segera keluar dari kereta itu dan bergegas keluar dari stasiun. 

"Aku heran kenapa kita tidak menaiki bus saja?" tanya Aster sambil mengejar langkah kaki Husein sehingga bisa berjalan di sampingnya.

"Karena aku tak mau duduk berdekatan denganmu di tempat yang sempit seperti itu," jawab Husein sambil melihat kembali alamat yang dibawa Aster.

Aster berhenti sejenak sambil mengerutkan keningnya, bingung dengan maksud dari lelaki itu. "Hei, apa maksudnya? Tadi kita juga duduk berdekatan," teriaknya sambil mengejar Husein yang sudah cukup jauh.

"Kau tak tahu bagaimana cara setan bekerja? Di bus begitu sempit dan terlalu dekat, sedangkan di kereta lebih luas dan banyak orang," jawab lelaki itu tanpa sekalipun menoleh padanya.

"Apa? Tapi..." belum sempat ia menyuarakan protesnya, Husein sudah berhenti berjalan dan mengangkat sebelah tangannya agar Aster diam.

"Sepertinya kita punya masalah," gumam lelaki itu.

Aster melihat ke sekeliling mereka dan tanpa sadar mengangakan mulutnya. Sejauh mata memandang, hanya ada gedung-gedung bertingkat lima atau enam dengan warna coklat muda, krem, putih, atau coklat tua. Deretan gedung itu seperti tidak memiliki celah, saling berdempetan dengan jejeran pohon kecil setinggi dua meter di depan semua gedung. Jalanan terlihat sempit karena di kiri dan kanan jalan dipenuhi oleh mobil yang terparkir. Hanya ada beberapa pejalan kaki yang lewat di depan deretan gedung. Sama sekali jauh dari bayangannya tentang deretan rumah seperti di Indonesia pada umumnya. Suasana yang begitu sepi membuatnya sedikit merapat pada Husein. Setidaknya udaranya terasa bersih dan udaranya sejuk, tidak seperti di Jakarta yang sangat panas dan penuh polusi.

"Kenapa sepanjang jalan hanya ada gedung-gedung tinggi? Apa kesemuanya adalah apartemen atau flat?" gumam Aster sambil melihat ke gedung di sampingnya, berharap menemukan angka yang menempel di sana.

"Umm...aku baru ingat kalau ini adalah area shopping untuk para turis. Tapi ada flat dan apartemen juga sepertinya. Lihatlah di sebelah kirimu adalah restoran," sahut Husein. Ia menarik lengan Aster untuk mendekati sepasang suami istri tua yang sedang berjalan di seberang mereka.

"Selamat pagi. Maaf, apa kalian tahu jalan ini? Kami sedang mencari seseorang, ini fotonya. Kalian pernah melihatnya?" tanya Husein begitu sampai di depan mereka.

"Selamat pagi, Nak. Coba sini kulihat sebentar," jawab si laki-laki sambil mengambil kertas yang disodorkan oleh Husein.

Pasangan itu saling pandang dengan kening berkerut, kemudian menoleh pada mereka berdua. "Coba kau berjalan terus sampai ke ujung sana, Nak. Alamat ini ada di sekitar sana. Aku dulu kenal dengan orang ini, namanya...Jose..."

"Jose Leandro Morales," sahut Aster dengan jantung berdebar.

"Ah, ya aku ingat. Dulu dia suka sekali bermain ke rumahku bersama temannya. Sekarang kami sudah tidak pernah lagi bertemu dengannya. Cobalah kau cari di sana," jawab laki-laki itu.

"Terima kasih banyak, Kek. Semoga harimu menyenangkan," kata Husein sebelum berpisah dengan mereka. Pasangan itu tersenyum sambil melambaikan tangannya, kemudian melanjutkan perjalanan.

"Serius kita akan berjalan kaki sampai ke sana? Tak adakah kendaraan umum atau paling tidak taksi?" keluh Aster sambil mengikuti Husein dengan bahu lunglai.

"Oh, ayolah! Ini masih jam 9 pagi dan kau sudah mengeluh. Anggap saja ini olahraga untuk membakar lemak di tubuhmu," jawab Husein sambil menarik lengan jaket tipis yang dikenakan oleh gadis itu.

"Aku kira akan semudah itu mencari rumah ayahku. Ugh, kalau tahu begini lebih baik aku menyewa taksi dari hotel ketimbang ikut denganmu naik kereta," lanjut Aster sambil berjalan dengan cepat hingga mendahului Husein. Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan terkekeh kecil.

"Jangan banyak mengeluh, Tuan Putri manja. Ayo, kau pasti bisa. Anggap saja kau sedang berburu pakaian atau barang-barang kesukaanmu. Hei, lihatlah! Banyak toko di sini," teriak Husein di sela-sela tawanya.

"Aku anggap kau mengatakan bahwa ayahku tinggal di pertokoan. Ini lebih dari sekedar ratusan meter, Husein!" sergah Aster sambil terus berjalan dengan bibir cemberut.


***
Sudah dua hari ini Canna terus saja bermimpi mengenai Aster. Bukan hanya mimpi buruk, melainkan juga mimpi mengenai kebersamaan mereka. Sempat ia mengira kalau itu semua nyata, apalagi suara tawa adiknya masih terngiang dengan jelas di benaknya. Air matanya kembali mengalir. Tak ada yang tahu siapa dan bagaimana Aster sesungguhnya kecuali dia. Bahkan ibu mereka tak begitu mengerti karena sibuk mencari nafkah untuk mereka. Ia ingat betul bagaimana gadis itu merengek ingin bertemu sang ayah. Bagaimana gadis itu sering sakit-sakitan saat masih kecil hingga duduk di bangku SMP, karena terlalu merindukan ayah yang tiba-tiba saja menghilang setelah bercerai dengan ibunya. Bagaimana gadis itu menginginkan sosok kekasih seperti sang ayah yang selalu melindunginya.

Kemudian muncullah Hando yang sedikit demi sedikit bisa mengembalikan keceriaan gadis itu. Berkali-kali Aster bilang kalau Hando adalah sosok yang dicarinya yang bisa menggantikan posisi ayah di hatinya. Dan dengan bodohnya dia menuruti egonya dengan menerima ajakan lelaki itu berpacaran di belakang Aster. Lebih bodoh lagi saat ia mau-mau saja menyerahkan hartanya di hari itu, sebelum Aster berangkat ke Madrid. Ia benar-benar sudah terlalu mencintai Hando. Bohong kalau mencintai lelaki itu baru pada saat kuliah. Yang benar adalah beberapa bulan setelah mengenalnya.

Rasa cemburu akibat perhatian sang ayah lebih sering terlimpah pada Aster membuatnya menutup mata hati. Ia ingin memiliki Hando untuk dirinya sendiri, tak ingin berbagi. Perkataan Aster saat mereka masih sama-sama kuliah seakan-akan menohok jantungnya.

"Kak, kenapa banyak yang benci aku? Aku sering denger gosip, kalau mereka benci aku karena aku berpura-pura sok naif dan sok suci biar banyak cowok yang tertarik. Maksudnya yang gimana? Apa karena aku nggak pernah ciuman? Atau karena aku nggak mau tidur sama cowok-cowok ganteng yang deketin aku? Bukannya berhubungan seks cuma boleh dilakuin sama suami-istri ya? Mereka bilang aku juga egois. Serius aku nggak ngerti, aku egois dalam hal apa ya?

Dulu ia sempat muak dengan sikap sok polos dan lugu dari Aster, karena hatinya sudah terlalu lama terjangkit penyakit hati berupa cemburu. Seharusnya ia tak ikut-ikutan orang lain membencinya hanya karena penyakit hatinya. Dan sekarang ia benar-benar menyesal, karena baru menyadari kalau memang pada kenyataannya Aster memang masih polos dan lugu, melakukan dan mengatakan sesuatu apa adanya bukan dibuat-buat. Kenangan mengenai Aster kembali menyeruak di otaknya.

"Kamu kenapa sih pake acara jadi model segala? Mau jadi tenar biar banyak cowok yang kagum sama kamu? Mau pamer bentuk tubuh kamu dengan pakaian kayak gitu?" tanya Hando waktu mereka sedang menghabiskan waktu di Lombok empat tahun yang lalu.

"Hah? Oh, aku mau ngumpulin uang biar bisa nyusul Papa ke Madrid. Kalau Papa nggak bisa ke sini lagi, biar aku aja yang ke sana," jawab Aster waktu itu.

"Kenapa nggak pas kita sama-sama udah kerja aja abis lulus kuliah? Kita bisa ke sana buat nyari Papa bareng-bareng," sahutnya.

Aster menggelengkan kepalanya. "Terlalu lama, Kak. Udah 14 tahun aku kangen sama Papa, aku udah nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Kalau perlu aku mau tinggal sama Papa aja, Kak Canna yang tinggal sama Mama. Atau kita bikin mereka balikan lagi aja."

"Hush, kamu ngomong apa, sih? Kamu mau ninggalin Mama kalau tinggal di sana?" tanyanya dengan wajah gusar.

"Ya nggaklah. Dua tahun lagi semuanya pasti berubah. Aku sama kamu udah cukup dewasa, dan Mama pasti maklum kalau aku mau tinggal sama Papa." Aster memegang tangannya dan Hando. "Kalau saat itu benar-benar terjadi, aku bakal sering ngabarin kalian. Kali aja aku dapet jodoh orang sana, trus tahu-tahu kalian berdua nikah dan punya anak. Duh, seneng banget kalau sampe kayak gitu.

"Canna? Kamu udah baikan?" suara Hando membuyarkan lamunan Canna dari masa lalu mereka. Cepat-cepat ia mengusap air matanya dan tersenyum pada lelaki itu.

"Masih nggak bisa lepas dari bayangan Aster. Aku masih nggak mau percaya kalau dia udah..." Ia tak sanggup melanjutkan kalimat itu. Saat pihak bandara sudah benar-benar menyatakan bahwa semua penumpang meninggal karena pesawat meledak, ia kembali menangis histeris. Separuh jiwanya seperti hilang dan hatinya terasa sangat sakit. Penyesalan karena tidak memperlakukan Aster dengan cukup baik membuat tubuhnya limbung. Ia benar-benar ingin mengulang waktu yang terbuang untuk memperbaiki semuanya.

"Sstt, kalau mau nangis, nangis aja. Aku juga nggak mau percaya kalau dia udah meninggal, tapi mereka semua bilang kayak gitu." Hando memeluk gadis itu dengan erat, berusaha menutupi rasa kalut luar biasa yang membuatnya ingin kembali menangis. Bayangan tubuh Aster hancur bersama dengan pesawat itu membuat matanya berkaca-kaca, namun sebisa mungkin ditahannya.

"Aku sayang sama dia, Ndo. Harusnya kami jadi saudara yang kompak. Tapi aku mengacaukan semuanya. Aku...aku menyesal," ujar Canna di tengah-tengah isakannya.

Hando mengangguk-angguk, kemudia mengelus rambut gadis itu untuk menenangkannya. Hatinya benar-benar resah saat ini. Tak mungkin ia memberitahukan fakta bahwa Aster sudah mengetahui semuanya sebelum berangkat ke Madrid. Ia tak mau membuat Canna jatuh ke titik terendahnya.

"Jangan tinggalin aku, Ndo," pinta Canna sambil memeluk tubuh lelaki itu.

Hando menggigit bibir bagian dalamnya. Perasaan cintanya pada Canna memang belum hilang, tapi rasanya sudah tidak sama lagi seperti dulu. Kebersamaannya dengan Aster dalam sekejap saja bagaikan plot twist dalam sebuah cerita. Tapi kalau ia meninggalkan Canna hanya demi egonya, berarti dia adalah pengecut. Bagaimanapun ia sudah merenggut mahkota gadis itu. Hatinya benar-benar bimbang saat ini. Ingin rasanya ia kembali ke Bekasi dan mengingat segala hal mengenai Aster sendirian, tanpa perlu mendampingi Canna.

"Ndo, orang-orang mau sholat gaib di bawah. Kamu ikut apa nggak?" suara Bu Marla yang terdengar bindeng membuat mereka melepaskan pelukan masing-masing.

Hando mengangguk sambil menghampiri Bu Marla yang terlihat sembab kedua matanya. Perempuan itu memegang lengannya dengan air mata berkaca-kaca. "Tante minta maaf udah menggagalkan pernikahan kamu sama Aster. Semua salah Tante. Seharusnya sejak dulu..."

"Marla, udah jangan diterusin lagi. Kita ke kamar ya," potong seorang perempuan yang berwajah sama dengan Bu Marla sambil menghampiri perempuan itu.

"Tapi ini gara-gara aku, Car. Seharusnya Aster nggak perlu..."

"Ini semua karena aku. Aku mohon jangan nyalahin diri kamu sendiri terus." Carla, adik kembar Bu Marla menuntun perempuan itu menuju ke kamarnya.

Hando melihat bagaimana rapuhnya perempuan itu karena kehilangan salah seorang anaknya. Beberapa kali mengejapkan mata sejenak, ia menuruni tangga untuk bergabung dengan beberapa orang laki-laki baik dari keluarga besar Bu Marla maupun para tetangga. Suasana duka menyelimuti rumah ini, dan itu membuat lubang besar di dalam hatinya kembali terasa. Rasanya ingin berteriak karena tak bisa melampiaskan rindu pada sosok yang sudah mencuri hatinya. 

Sementara itu di ambang pintu kamarnya, Canna memperhatikan ibu dan bibinya memasuki sebuah kamar yang sangat dihafalnya. Perkataan Bibi Carla benar-benar membuatnya penasaran. Apa sebenarnya yang mereka sembunyikan selama ini? Kenapa ibu dan bibinya saling menyalahkan diri sendiri karena adiknya sudah tiada? Tak ingin hanya mengira-ngira saja, ia bergegas mendekati kamar ibunya untuk menanyakan hal itu. Namun belum sempat ia mencapai pintu, tangannya ditarik dari belakang. Dilihatnya Bu Diana yang tengah menggelengkap kepala padanya.

"Jangan mengganggu mereka," ucapnya perempuan itu.

"Tapi Tante..."

"Nanti pasti ada waktunya ibumu ngasih tahu sesuatu. Sekarang ayo kita turun dan ikut mendoakan Aster." Bu Diana menggandeng lengan Canna dan mengajaknya menuruni tangga.

Rasa penasaran itu semakin menjadi-jadi. Firasatnya mengatakan apapun yang mereka sembunyikan bukanlah hal yang enak didengar, dan itu bisa jadi ada hubungannya dengan Aster dan....ayahnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengusir perasaan tak enak yang mendadak menggelayuti hatinya. Yang terpenting sekarang adalah dia harus mendoakan adiknya agar tenang di alam sana, dan semua amal ibadahnya diterima di sisi-Nya.


***
Matahari semakin terik meskipun tidak sepanas di daerah tropis, namun Aster tetap pada posisinya bersandar di dinding salah satu gedung yang merupakan sebuah butik. Ia meneguk sebotol air mineral berukuran besar hingga tersisa setengahnya. Husein yang melihatnya hanya bisa menghela nafas panjang. Setiap seratus meter mereka selalu berhenti karena Aster terus mengeluh kecapekan. Apalagi jalanan yang dilalui mulai menaik saat sudah mencapai lima ratus meter.

"Masih capek?" tanya Husein sambil melihat jam tangannya. "Ayo kita lanjutkan, sebentar lagi jam 11 siang."

"Bisakah kita...mencari makanan? Aku benar-benar kelaparan." Aster terengah-engah dan berkali-kali mengusap peluh di dahinya. "Ini masih....nomor 138. Aku sudah tidak sanggup."

Husein mendecak dan ikut bersandar di samping gadis itu. Beberapa kali membalas sapaan orang-orang yang lewat. "Kau terlalu sering berhenti dan sibuk mengeluh, maka dari itu kita belum juga sampai."

Aster mendengus, kemudian membuka resleting jaketnya. "Oke, kita lanjutkan lagi. Tapi jika aku benar-benar kelaparan, kita segera masuk ke restoran terdekat," ujarnya dengan bahu naik turun dan sesekali menghela nafas panjang untuk meraup oksigen sebanyak mungkin.

Husein mengangguk, dan mereka kembali melanjutkan perjalanan tanpa melihat nomor bangunan lagi agar cepat sampai. Sesekali lelaki itu melontarkan lelucon untuk mengalihkan perhatian Aster dari rasa capek dan peluh yang terus mengalir di dahinya. Sudah dua botol air mineral yang dihabiskan oleh gadis itu, dan beberapa kali mengeluh kepalanya pusing. Tapi Husein tetap memberikan semangat agar ia tak gampang menyerah, demi mencari sang ayah.

"Bagaimana kalau ternyata ayahmu belum juga ditemukan?" tanya Husein saat keheningan melanda mereka.

"Aku akan mencarinya sampai ketemu, meskipun itu berarti harus tinggal lebih lama lagi di sini," jawab Aster sambil memegang kedua tali ranselnya, merasakan pegal di pundaknya. Husein segera mengambil alih tas ransel itu dan meletakkannya di bahunya.

"Bagaimana dengan ibumu atau keluargamu yang lain di Indonesia? Sebenarnya aku masih bingung, kenapa kau mencarinya sendirian. Apa ibumu atau ayahmu tak pernah mengajakmu ke sini?" tanya Husein lagi, membuat Aster berhenti berjalan. Ia menoleh pada lelaki itu sejenak, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

"Entahlah, ada banyak rahasia yang disembunyikan oleh ibuku. Akhir-akhir ini aku merasa kalau selama ini ibuku sengaja menjauhkanku dari ayahku. Menurutmu, apakah wajar jika tiba-tiba ayahku tak pernah menghubungiku setelah dia berpisah dari ibuku? Dia sangat menyayangiku, begitu juga denganku. Aku yakin dia tak akan keberatan jika harus menelponku atau mengunjungiku," jawab Aster sambil melihat jalanan di bawahnya, merasa begitu sedih karena tak bisa merasakan kasih sayang sang ayah.

Husein terdiam cukup lama, sampai-sampai Aster mengira kalau lelaki itu menghilang dari sampingnya. Saat ia menoleh, lelaki itu sedang menatapnya. "Kemungkinan ibumu sengaja memutuskan komunikasi dengan ayahmu. Entahlah, aku hanya mengira-ngira saja. Tapi sepertinya kedua orang tuamu memiliki masalah yang cukup serius, sampai-sampai ibumu tak mau bertemu atau mendengar suara ayahmu lagi."

Aster mengerutkan keningnya, mencoba menganalisis perkataan lelaki itu. "Tapi itu hanya dugaanku saja, jangan terlalu diambil serius. Semoga saja bukan itu masalahnya. Tetaplah berpikir positif," lanjut Husein saat melihat ekspresi kecewa dan sedih di wajah gadis itu. Untungnya Aster segera mengangguk, meski terlihat dengan jelas kalau gadis itu tetap saja memikirkan perkataan Husein.

Menit-menit selanjutnya terasa sangat lama, karena mereka kembali dalam keheningan. Apalagi sepanjang jalan yang sangat sepi, hanya ada beberapa orang saja yang berjalan kaki seperti mereka. Sampai pada akhirnya mereka sudah hampir sampai di penghujung jalan, barulah mereka berhenti. Beberapa meter di depan mereka ada pertigaan, dan sebuah bus melintas menuju ke jalan yang menyerong di sebelah pertigaan. Aster melihat ke samping kirinya, sebuah tempat bertuliskan La Carioca PUB yang berada di bawah apartemen berwarna merah bata, dan di sebelahnya adalah pintu masuk apartemen dari besi dan kaca berwarna hitam. Kemudian ia melihat ke sebelah kanan, tiga buah apartemen dengan warna merah bata, putih, dan putih tulang yang terlihat begitu sepi. Hatinya terasa mencelos saat melihat angka 130 di apartemen yang dindingnya dari bata putih dan sudah terlihat kusam.

"Jadi, sekarang bagaimana?" tanyanya pada Husein. Lelaki itu mendekati seorang laki-laki berkepala botak yang mengenakan pakaian serba hitam dan tengah memegang rokok. Mereka terlihat berbincang sambil sesekali melihat kertas dan foto yang disodorkan oleh Husein, sampai akhirnya Husein mengangguk dan memberikan salam pada laki-laki itu dan kembali mendekatinya.

"Orang tadi bilang bahwa alamat yang kita cari adalah apartemen yang ada di sebelah kirimu. Dia bilang kita langsung masuk saja dan bertanya pada resepsionis yang sedang bertugas," kata Husein sambil memberi kode pada Aster dengan kepalanya untuk mengikutinya masuk.

Aster mengikuti lelaki itu dan berhadapan dengan seorang resepsionis perempuan yang umurnya sekitar 40 tahunan. Perempuan itu tersenyum dengan ramah dan menyapa mereka dengan Bahasa Spanyol, membuat Aster menghela nafas lelah. Ternyata benar kata orang-orang yang pernah berkunjung ke negara ini, bahwa kebanyakan warga Spanyol tidak bisa berbahasa Inggris. Dia sebenarnya masih belum terbiasa berbicara dengan bahasa Spanyol, apalagi Husein sering menahan tawa saat mendengarnya sudah berbicara menggunakan bahasa itu. Lelaki itu bilang dia terdengar begitu kaku dan beberapa kali salah dalam mengucapkan kata-katanya.

"Permisi, kami sedang mencari seseorang bernama Jose Leandro Morales. Benarkah laki-laki itu tinggal di sini?" tanya Husein dengan bahasa Spanyol yang begitu fasih.

Perempuan itu melihat foto yang disodorkan Husein sambil mengerutkan keningnya. Beberapa saat kemudian ia memeriksa komputernya dan mengetikan sesuatu di sana. Satu menit berlalu, hingga akhirnya perempuan itu menggeleng. Aster langsung merasa kecewa dan putus asa saat melihat respon perempuan itu. Sekarang tak ada lagi harapan untuk bisa bertemu dengan ayahnya jika laki-laki itu bahkan tak berada di sini. 

"Tak adakah data mengenai dia yang masih tersimpan di sini? Seharusnya masih tersimpan di komputermu, kan?" tanya Aster dengan sedikit harapan yang tersisa. Perempuan itu kembali mengetikkan sesuatu di komputernya, dan kali ini agak lama. Namun kembali gelengan yang didapatkan Aster.

Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan di sini, karena perempuan itu juga tak tahu mengenai alamat ayah Aster yang lain. Sebelum mereka benar-benar keluar dari apartemen itu, resepsionis itu kembali memanggil mereka.

"Aku tak tahu apakah ini bisa membantu atau tidak, tapi aku mendapatkan beberapa orang yang memiliki nama belakang Morales. Siapa tahu kalian bisa menemukan orang yang kalian cari dengan mengunjungi rumah mereka," kata perempuan itu sambil menyerahkan kertas yang baru keluar dari printer.

Aster menerima kertas itu dan membaca nama-nama beserta alamatnya. Setidaknya cara ini bisa dicoba, meskipun mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama.

"Terima kasih, Nyonya. Kami permisi dulu. Selamat siang," pamit Husein pada resepsionis itu, kemudian menarik lengan Aster keluar dari apartemen.

"Kau sudah capek?" tanya lelaki itu, yang dijawab dengan anggukan oleh Aster. "Ayo ikut aku. Akan kutunjukkan sebuah tempat yang bisa membuatmu merasa damai dan melupakan sejenak semua permasalahanmu."

"Tapi tidak berjalan kaki lagi kan?" tanya Aster sambil memaksa kakinya untuk tetap melangkah.

"Tenang saja, kita naik bus dan Metro untuk bisa sampai ke sana. Ayo," ajak Husein.

"Aku harap bukan tempat yang ramai dan bising, karena saat ini kepalaku benar-benar pusing sekali," gumam Aster dengan setengah hati.

"Besok aku akan membawa mobil, biar aku tak perlu mendengarmu terus-terusan mengeluh," ucap Husein sambil lalu, namun berhasil membuat kedua mata Aster berbinar-binar. Gadis itu bergegas menyusul Husein yang sudah berbelok ke kiri.

"Benarkah? Ugh, kenapa tidak daritadi saja? Ah, akhirnyaaa. Terima kasih banyak kalau begitu," seru Aster dengan girang, sampai-sampai ia refleks memeluk Husein dari samping hingga lelaki itu mematung di tempatnya. 

Saat gadis itu sadar dengan perbuatannya, cepat-cepat ia melepaskan pelukannya dan tersenyum kikuk. "Eh, maaf. Aku...aku terbiasa seperti itu kalau sedang bersama Glenn. Jadi..."

Husein menggelengkan kepalanya dan kembali menerusakan langkahnya. Berusaha mengabaikan kejadian tadi dan terus berpikir bahwa gadis itu masih labil, jadi masih belum bisa mengontrol emosinya. Dia adalah laki-laki dewasa, tidak seperti gadis itu yang masih ingin bersenang-senang dan...

"Husein? Kenapa kau terus memejamkan mata sejak tadi?" pertanyaan Aster membuat lelaki itu menghela nafas panjang. Baru sehari dan dia sudah tahu bahwa gadis itu memang benar-benar tidak peka.

"Lain kali kau harus menikah denganku dulu agar bisa memelukku seenaknya," gumam Husein sambil meneruskan langkahnya menuju ke halte bus yang hanya berjarak beberapa meter lagi.

"Eh? Benarkah harus seperti itu? Jadi aku harus menikah denganmu dulu begitu?"

"Diamlah, Aster! Kau membuatku pusing!" Husein menutup wajahnya dengan sebelah tangan, bersyukur mereka menggunakan Bahasa Inggris dan hanya beberapa orang saja yang berjalan di pinggir jalan.

Share this article :

+ comments + 1 comments

Apr 20, 2015, 12:11:00 PM

belum ada lanjutannya ka?? bagus banget critanya

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger