SANG WAKTU - Bab 8

April 13, 20152comments


Aster memandang takjub pada sebuah masjid yang berdiri dengan megahnya di lereng bukit dekat pantai. Entah berada di mana tempat ini, yang jelas masjid itu bagaikan angin segar yang mampu menghalau seluruh rasa lelah dan kantuk yang menyerangnya. Tak pernah disangkanya jika ternyata di Negeri Matador ini memiliki tempat ibadah yang begitu indah.

"Wow! Ini...bagaimana bisa ada bangunan yang seindah ini di sini?" tanyanya pada Husein sembari mengamati arsitektur bangunannya. Memang terlihat seperti masjid-masjid pada umumnya, memiliki menara yang cukup tinggi dan kesemuanya berwarna putih. Tapi tetap saja, mendapati sebuah masjid yang berdiri kokoh di negara ini masih saja membuatnya kehilangan kata-kata. Salahkan saja pengetahuannya yang kurang, karena ia pikir seluruh penduduk di negara ini hanya menganut agama Nasrani.

"Indah, bukan? Namanya Masjid Tarek Ibn Ziad. Biasanya aku akan melarikan diri ke sini saat pikiranku suntuk. Apalagi hembusan angin laut yang begitu kencang, seolah-olah merontokkan semua masalah yang memusingkan," sahut Husein sambil mengamati masjid itu dari jalan yang sepi. "Ayo kita masuk. Sekarang sudah waktunya..." tiba-tiba saja lelaki itu menghentikan perkataannya, lantas menoleh pada Aster yang menunggu.

Seakan-akan mengerti dengan apa yang dipikirkan oleh lelaki itu, Aster buru-buru mengerjapkan matanya. "Oh, kau duluan saja. Aku masih mau melihat-lihat sebentar."

Husein tersenyum kikuk seraya mengusap leher belakangnya, setelah itu meninggalkan Aster sendirian di pinggir jalan yang dekat dengan pantai. Pria itu sama sekali tak menyadari bahwa Aster tersenyum dengan wajah memerah. Membayangkan bagaimana lelaki itu beribadah dengan khusuk tiba-tiba saja membuat hatinya menghangat, namun sekaligus malu. Entah sudah berapa lama ia tak menyapa Tuhannya karena disibukkan dengan urusan duniawi. Selama ini yang ia pikirkan hanyalah bagaimana caranya mengumpulkan uang untuk menyusul sang ayah, atau tidak menyakiti siapapun dengan perkataan dan perbuatannya. 

Tak ingin merasa lebih malu lagi, ia akhirnya melangkahkan kakinya mendekati masjid. Sesaat ia merasa ragu saat mencari-cari dimana letak tempat ibadah untuk wanita, sampai seorang wanita dengan hijab berwarna hitam yang menutupi seluruh tubuh bagian atasnya menghampirinya. Wanita itu terlihat seperti berusia 25 tahunan ke atas. Mengajaknya bicara dengan Bahasa Arab yang sama sekali tak dipahaminya. 

"Maaf, aku tidak berbicara Bahasa Arab," ucapnya dengan menggunakan Bahasa Spanyol, berharap wanita itu mengerti.

"Oh, maaf. Kau ingin shalat? Aku bisa meminjamkanmu mukenaku. Di sini tak disediakan mukena. Kebetulan sekali aku masih menunggu suamiku. Ayo, masuk saja. Pakailah punyaku," ajak wanita itu sembari menarik tangannya.

Aster benar-benar merasa malu karena penampilannya berbanding terbalik dengan wanita itu. Untungnya dia mengenakan kaos lengan panjang meskipun celana jinsnya ketat. Ibunya memang membiarkannya berbusana seperti itu meskipun mereka seagama, tapi ia ragu ayahnya akan setuju dengan caranya berpakaian meskipun pria itu berbeda agama. Setelah menyucikan diri di tempat yang ditunjukkan oleh wanita itu, ia menghadap Tuhannya. Menyampaikan rasa malunya karena telah mencari rupiah dengan mengumbar auratnya. Tanpa sadar air matanya mengalir tatkala mengingat apa saja yang diperbuatnya. Bahkan isakannya terdengar saat ia mengucapkan salam, karena teringat dengan apa yang telah dilakukan oleh Canna dan Hando. Suasana yang sepi, damai, dan sendirian itu digunakannya untuk menenangkan diri. Tiba-tiba merasakan kebingungan dengan keadaannya saat ini.

Di satu sisi ia masih ingin mencari keberadaan ayahnya, namun di sini lain ia teringat dengan statusnya. Seorang gadis yang belum menikah, yang rawan bahaya karena kemana-mana sendirian. Tapi mau bagaimana lagi? Seandainya saja Hando mau menikah dengannya, ia akan meminta pria itu menemaninya. Tapi semuanya sudah terjadi. Setelah meyakinkan keputusannya untuk tetap mencari sang ayah, ia mengakhiri kegiatannya dan melipat mukena itu seperti semula. Dicarinya wanita baik hati itu yang sedang menunggu di sudut ruangan. Sepertinya wanita itu benar-benar menjaga dirinya agar tidak terlihat oleh laki-laki lain yang bukan suaminya. Hal yang menohok jantungnya karena berbeda sekali dengannya.

"Hai, terima kasih banyak atas mukenanya. Kau masih akan di sini?" kata Aster setelah menghampiri wanita itu.

"Sebentar lagi ia akan datang. Kau sendiri bagaimana? Masih menunggu suamimu? Lebih baik tunggu saja di sini," jawab wanita itu sambil menerima mukenanya.

Wajah Aster langsung memerah mendengar sangkaan dari wanita itu. Apa dia terlihat sudah pantas menjadi seorang istri? Lebih tepatnya, apa Husein terlihat seperti suaminya?"

"Eh....itu..." Aster bingung harus menjawab apa disaat jantungnya berdegup kencang. Bayangan wajah Husein tiba-tiba terlintas di benaknya, namun cepat-cepat ditepisnya. Pria itu hanya membantunya, dan sebentar lagi mereka berpisah setelah urusan ini selesai. Dia hendak melanjutkan perkataannya, saat melihat Husein yang menoleh ke kanan-kiri seperti sedang mencari sesuatu.

"Ah, suamimu mencarimu. Cepatlah mendatanginya. Tidak baik membuat suami marah," saran wanita itu sembari tersenyum.

Aster menelan ludahnya dengan gugup, lantas mengangguk-angguk. "Aku permisi dulu. Terima kasih sekali lagi untuk mukenanya. Selamat siang, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalah Warahmatullah," jawab wanita itu dengan tersenyum lebar.

Buru-buru ia keluar dari masjid itu dan mencari sepatunya, bertepatan dengan seruan lega dari Husein yang langsung menyambut telinganya.

"Kukira kau menghilang atau jatuh dari tebing hingga tercebur ke laut. Kau dari mana saja? Aku tidak salah lihat kan, tadi kau baru saja dari dalam masjid?" terdengar nada lega dari suara pria itu, membuat degup jantung Aster semakin cepat.

"Hei, kau tak apa-apa? Wajahmu memerah. Apa kau demam atau kelelahan? Kita mencari hotel terdekat di sini agar kau bisa tidur sejenak. Perjalanan dari sini ke Salamanca lumayan jauh, aku takut kau pingsan. Maaf sudah membuatmu kelelahan," lanjut Husein, membuat Aster semakin tak berani menatap wajah pria itu.

Aster lebih memilih melihat lautan yang ombaknya tidak terlalu besar beberapa meter di depannya. Perkataan wanita berwajah Timur Tengah tadi terus saja terngiang-ngiang di benaknya, belum lagi nada khawatir dan kepanikan Husein karena tadi tak melihatnya.

"Aku...aku baik-baik saja. Mungkin...mungkin mencari penginapan di sekitar sini adalah hal yang bagus," ucapnya gugup tanpa sekalipun menoleh.

Tak didapatinya respon dari pria itu, sampai-sampai ia mengira bahwa Husein tengah tertidur atau sedang sibuk dengan hal lain. Ragu-ragu ia menoleh ke samping kanannya, dan harus mendapati tatapan heran sekaligus penasaran dari pria itu. Jantungnya semakin berpacu dan membuat kedua tangannya gemetar. Dia memang mencintai Hando, tapi dipandang sedemikian rupa oleh pria berwajah rupawan seperti Husein tetap saja membuatnya salah tingkah. Bagaimanapun juga dia hanyalah seorang wanita muda yang masih awam dengan hubungan lawan jenis.

"Ap...kenapa?" tanyanya gugup, dan wajahnya terlihat semakin merah.

"Kau...seorang muslimah?" tanya Husein ragu-ragu, namun matanya sedikit melebar seperti baru saja mengingat sesuatu. "Maksudku, sebelumnya kukira kau adalah seorang...."

"Ah, ya benar. Aku adalah seorang muslimah. Eh, maksudku, apa aku pantas disebut sebagai muslimah jika aku berpakaian seperti ini? Aku juga jarang shalat, maksudku sangat jarang sekali. Aku merasa tak pantas menyandang gelar itu," jawab Aster sembari menundukkan kepalanya, merasa malu dengan fakta yang baru saja diungkapkannya.

Husein tak menjawab selama beberapa detik, sampai suara kekehan terdengar di telinga Aster. "Tapi kau menyempatkan diri untuk bersembahyang di sini. Aku yakin bukan karena kau malu padaku, mengingat kita bahkan baru kenal. Aku bahkan mengira bahwa kau non Islam sebelumnya. Jadi pasti ada yang mendorongmu untuk mau melakukan shalat. Butuh niat dan usaha yang sangat besar untuk melakukan hal itu. Kau tahu, setan itu benar-benar pintar. Shalat bisa terlihat seperti menyeberangi lautan api dan meninggalkannya bisa terlihat seperti meminum susu dari surga."

Aster mati-matian meredam degup jantungnya sebelum membalas perkataan dari pria itu. Segala sesuatunya tak akan sama lagi gara-gara ucapan dari wanita tadi. Ia mengeluh dalam hati karena posisi mereka berdiri, sehingga kakinya mulai goyah karena gugup.

"Umm, mungkin...karena aku mendapat hidayah? Ibuku bilang, orang boleh beragama Islam di KTP-nya, tapi hatinya belum tentu Islam. Tapi aku senang karena akhirnya sadar sebelum terlambat," jawabnya dengan usaha ekstra untuk membuat suaranya tidak bergetar. Sekilas ia menoleh kembali pada Husein, dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa senyum yang terukir di bibir pria itu hanyalah senyum sambil lalu, bukan senyum kepuasan atau kesenangan. Ah, memikirkan hal itu membuat angan-angannya melambung tinggi. Ia harus fokus pada tujuannya di sini, bukan malah sibuk dengan urusan hati yang akan menyita banyak waktu dan tenaga.

"Kalau begitu kita harus cepat-cepat mencari hotel di sekitar sini. Kau tak mau membeli mukena dulu? Siapa tahu saja ada yang menjual di sekitar sini," ujar pria itu.

"Ah, ya kita cari saja setelah reservasi di hotel," jawab Aster sambil mengeratkan jaketnya untuk menutupi dadanya.

Ia mengikuti saja kemanapun Husein melangkah, karena ia tak tahu apapun mengenai daerah ini. Sikapnya tak lagi seperti sebelumnya, yang tak segan-segan bicara apapun pada Husein. Pastilah lelaki itu menyadari perubahan sikapnya, namun kelihatannya Husein tak keberatan. Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di salah satu hotel yang untungnya masih memiliki beberapa kamar kosong. Husein yang membayar kamar milik Aster dan menolak saat gadis itu memaksa untuk mengganti biaya sewanya. Pria itu menawarkan diri untuk mencarikan mukena bagi gadis itu dan menyuruhnya tidur. Aster hanya bisa mengangguk dalam diam, apalagi saat melihat wajah pria itu yang bercahaya dan terlihat sangat bahagia. Entah apa penyebab kebahagiaan itu, yang jelas Aster ingin cepat-cepat menghilang dari hadapan pria itu karena degup jantungnya selalu tak karuan jika berada di sekitarnya.

***
"Kau terlihat frustrasi," suara Husein menyambut telinga Aster saat dirinya sedang sibuk mengutak-atik ponsel barunya. "Karena belum juga menemukan ayahmu, atau karena keramaian dari konser tadi?"

Aster mendesah lelah, lalu meletakkan ponselnya di atas meja cafe outdoor. Setelah selesai konser yang diisi oleh penyanyi dan band-band lokal, halaman Plaza Mayor memang kembali seperti semula. Dalam artian kembali diubah menjadi cafe outdoor menjelang matahari terbenam seperti saat ini. Alun-alun berbentuk persegi panjang ini seharusnya memberi penyegaran pada Aster, karena bangunan 4 tingkatnya yang mengelilingi alun-alun memiliki pertokoan di lantai satu. Namun untuk saat ini, belanja bukanlah prioritasnya. Ia lebih penasaran dengan Gran Via daripada Plaza Mayor.  

"Ini sudah hampir seminggu, dan aku belum juga mendapatkan hasil. Haruskah aku menyerah saja? Tapi aku tak mau pulang dengan tangan hampa. Kau ada saran?" jawabnya seraya meminum kopi latte yang masih hangat.

"Kalau seandainya kau pulang dulu ke negaramu, lalu beberapa bulan lagi kembali kesini untuk mencari ayahmu lagi, apa kau mau? Aku masih menunggu kabar dari teman-temanku, siapa tahu saja mereka pernah melihatnya atau bahkan mengenalnya," saran Husein sembari mengamatinya.

Aster menggeleng-gelengkan kepalanya. Bayangan akan bertemu Hando dan Canna membuatnya begitu enggan untuk pulang. Seminggu pastinya bukan hal yang besar bagi mereka berdua jika ia tak berada di sekitar mereka. Justru mungkin saja mereka akan merasa senang luar biasa. Itulah alasannya kenapa dia memilih untuk tak memberitahukan kabarnya pada keluarganya. Di samping itu, ia memakai nomor Spanyol dan tak ingat nomor ibunya atau nomor Canna. Media sosial? Di saat seperti ini, mengupdate status atau bernarsis ria membuatnya muak. Yang ia inginkan sekarang hanyalah pergi menjauh dari semuanya dan apapun yang berhubungan dengan Indonesia. Dia lebih nyaman berada di sini. Meskipun Plaza Mayor begitu ramai dan arsitektur bangunannya begitu monoton menurutnya, tapi itu jauh lebih baik daripada kebisingan Jakarta dan segala permasalahannya. Setidaknya dia merasa berada di rumah sendiri di kota ini, dengan orang-orang yang kerapkali mengajaknya bergabung di pesta yang diadakan oleh warga sini, dan makanan gratis yang dengan senang hati mereka berikan.

"Kau tahu pasti aku lebih suka dengan warga sini," jawabnya tanpa berniat untuk menjelaskan lebih jauh.

Selama lima hari ini, ia memang kerapkali bercerita apapun pada Husein. Perasaan malu dan berdebar yang beberapa hari lalu dirasakannya, berusaha dikesampingkannya. Entah bagaimana pria itu bisa membuatnya nyaman, bahkan jauh lebih nyaman daripada saat bersama dengan Hando. Pria ini bisa menempatkan dirinya dengan baik. Terkadang menjadi temannya, kakaknya, atau bahkan ayahnya. Ia terkekeh dengan pemikiran itu.

"Ada yang lucu?" tanya Husein dengan kening berkerut.

Aster baru sadar bahwa pria itu masih memperhatikannya. Buru-buru diminumnya kopinya untuk menutupi salah tingkahnya. "Jadi, kau bekerja di perusahaan kilang minyak?"

"Ah, sebenarnya pekerjaanku lebih kepada perdagangan. Kilang minyak hanyalah sampingan, kau tahu, mencari tambahan modal. Aku lebih suka berdagang," jawab pria itu sembari memotong pizza di piringnya.

Aster mengerutkan keningnya mendengar pernyataan itu. Bukankah seharusnya terbalik? Berdagang adalah pekerjaan sampingan, kan? Seharusnya.

"Lantas kenapa kau masih bisa bersantai di sini?" tiba-tiba Aster membelalakkan matanya. "Kau sengaja meninggalkan pekerjaanmu demi aku?"

Husein tertawa terbahak-bahak, lalu menggelengkan kepalanya. "Aku sedang cuti. Seminggu tanpa kehadiranku tak akan membuat toko dan restoranku bangkrut."

Aster mengerutkan keningnya lagi, semakin heran dengan pernyataan pria itu. Sepertinya Husein memang sengaja merahasiakan pekerjaannya yang sebenarnya. Jawabannya masih simpang siur. Tapi apapun itu, dia tak ingin mengoreknya lebih jauh. Toh itu adalah urusan pribadi dari pria itu. Saat mereka berdua masih saja belum membuka pembicaraan lagi, tiba-tiba saja seorang gadis menyapanya. Aster mendongak dan tersenyum sumringah ketika melihat siapa gadis itu.

"Astaga, maaf kita baru bisa bertemu lagi sekarang. Kau tahu, aku benar-benar sibuk mencari ayahku," ucap Aster dengan wajah menyesal.

"Tak apa-apa. Lagipula aku juga masih sibuk dengan tugas-tugas kuliahku. Sebentar lagi aku harus mengerjakan skripsi," jawab gadis itu lantas duduk di dekatnya.

"Bagaimana kalau besok kita jalan-jalan? Kau tidak kuliah, kan? Aku ingin pergi ke Royal Palace of Madrid. Husein bilang itu adalah Istana Buckingham versi Spanyol," ajaknya dengan antusias, sampai ia melihat pandangan gadis itu tertuju pada pria di seberangnya. "Oh, maaf lupa. Kenalkan dia adalah Husein, kenalanku di hotel tempatku menginap. Husein, dia adalah Ester, kenalanku saat di bandara."

Kedua orang itu saling tersenyum, tanpa kontak fisik sama sekali. Ester menatap Aster setelahnya, memberikan pandangan penuh arti. Tapi sayang Aster tidak cukup peka, dan itu membuat Husein yang sejak tadi mengamatinya langsung berdehem.

"Baiklah, aku ingin memesan sesuatu. Kau ingin makan apa? Sejak tadi kau belum makan sama sekali," ucap Husein sambil bersiap-siap untuk bangkit. "Ah, dan kau ingin memesan juga, Nona?"

"Lemon tea sepertinya menyenangkan. Terima kasih sebelumnya," jawab Ester sembari tersenyum, lantas menyikut tangan Aster yang masih saja diam.

"Hah? Kenapa?" tanyanya bingung.

Ester melotot padanya dengan wajah gemas. "Kau tak ingin memesan makanan? Makanan khas Spanyol begitu lezat. Kenapa tak mencobanya? Husein pasti tahu mana saja makanan di sini yang enak."

Aster mengerutkan keningnya, menatap sejenak pada pizza di piring Husein. Tiba-tiba perutnya merasa lapar, karena sejak tadi siang belum makan. "Ah, kalau begitu pesankan aku makanan yang mengenyangkan. Yang gurih kalau bisa."

Husein tersenyum sekilas, lantas meninggalkan mereka. Ester menggeleng-gelengkan kepalanya setelah pria itu benar-benar telah pergi.

"Kau kenapa? Apa kuliahmu begitu memusingkan? Maaf kalau begitu, seharusnya aku tak memaksamu untuk datang ke sini. Kita bisa tetap berhubungan lewat messenger. Tapi di sini lumayan menyenangkan. Apalagi tadi..."

"Aster, kenapa kau begitu tak peka?" Ester memijat pelipisnya, seperti baru sadar dengan sifat asli gadis itu. "Pria tadi jelas-jelas tertarik padamu, dan kau mengabaikannya begitu saja? Astaga, dia pria yang sangat tampan, Aster. Kenapa kau bahkan tak melihat bagaimana usahanya menarik perhatianmu?"

Aster sedikit menarik kepalanya ke belakang seraya mengerutkan kening. "Kau ini bicara apa? Sejak tadi dia duduk di depanku dan kami hanya berbincang seperti biasa. Lantas kenapa bisa disebut dengan dia berusaha menarik perhatianku?"

Ester mendesah, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. "Oke, sekarang kita bahas mengenai ayahmu. Kau masih belum juga menemukannya?"

Aster menggelengkan kepalanya dengan wajah murung. Seluruh orang yang memiliki nama belakang Morales sudah dikunjunginya, dan tak ada satupun yang mengenal ayahnya. Sebagian besar waktu, tenaga, dan uang sudah dihabiskannya untuk mencari keberadaan sang ayah, tapi tetap saja hasilnya nihil.

"Jadi, sekarang apa rencanamu? Tetap tak menyerah mencarinya, atau kembali ke negaramu dulu dan mencarinya lagi setelah beberapa bulan atau tahun?" tanya Ester sembari melirik ke dalam deretan pertokoan dan cafe yang tak pernah sepi.

"Hmm, sepertinya begitu," jawabnya.

"Kau terlihat tak yakin," tukas Ester dengan mata menyipit.

Aster membuka mulutnya, tapi tak mengatakan apapun. Terlihat sekali bahwa pandangan matanya mulai tidak fokus. Matahari sudah sepenuhnya tenggelam, dan semua lampu di sekitar alun-alun dan di dalam bangunan juga sudah dinyalakan. Dia benar-benar butuh istirahat. Mandi air hangat, makan malam di balkon, lalu tidur adalah hal yang begitu menggoda saat ini. Beberapa kali ia melihat ke deretan hotel di lantai dua sampai empat di hadapannya.

"Entahlah, Ester. Aku benar-benar lelah saat ini. Mencarinya setiap hari tanpa henti benar-benar menguras tenagaku," jawabnya dengan kedua bahu lunglai.

"Kalau begitu kau butuh penyegaran. Besok, kita harus jalan-jalan. Percayalah padaku, kau harus mengistirahatkan otak dan tubuhmu," saran Ester dengan pandangan fokus padanya, namun setelah itu menoleh kembali ke cafe yang tadi dimasuki Husein.

Gadis itu mengeluarkan ponselnya dan entah melakukan apa, Aster tak begitu memperhatikan. Ia fokus pada kopi latte miliknya dan meminumnya sampai habis. Setidaknya kafein bisa membuatnya tetap segar.

"Sstt, dia memperhatikanmu sejak tadi," bisik Ester seraya menyenggol kakinya.

Aster mendongak seraya mengerutkan keningnya. "Siapa?"

Ester mengedikkan kepalanya ke arah deretan cafe di sebelah kanan Aster, membuatnya langsung menoleh. 

"Umm, orang-orang yang sedang antri di konter?" tanya Aster bingung.

"Ck, temanmu tadi. Kau tak percaya? Lihat ini," jawab Ester sambil mengangsurkan ponselnya.

Aster melihat apa yang terpampang di layar, dan matanya langsung membelalak tak percaya. "Kau bisa menemukan Husein di antara keramaian? Hebat sekali kameramu? Wow, ponselmu merek apa?"

Ester mengangakan mulutnya dengan ekspresi terkejut sekaligus gemas bukan main. "Aster, bagaimana kau....astaga, pria ini daritadi mengamatimu selama menunggu pesanannya datang. Kau ini benar-benar tidak peka atau bagaimana? Dia begitu perhatian padamu dan..."

"Hei, maaf sudah menunggu lama. Kau tidak kelaparan, kan? Aku memesankanmu masakan Asia. Kupikir karena beberapa hari terakhir ini kau selalu merindukan masakan Asia." Suara Husein yang terdengar menyesal menghentikan perkataan Ester.

Gadis itu menatap Aster dengan penuh arti, lalu tersenyum menggoda. Ia berterima kasih saat Husein menyodorkannya segelas Lemon Tea. 

"Kalau boleh tahu, apa kau sudah punya kekasih?" tanya Ester pada Husein.

Pria itu menaikkan kedua alisnya, lalu tersenyum tipis. "Aku tidak berniat untuk memiliki kekasih. Aku lebih suka langsung menikah, tapi sayangnya masih belum menemukan yang cocok."

"Benarkah? Memangnya kau ingin mencari wanita yang seperti apa?" tanya Ester dengan ekspresi tertarik. Ia bisa melihat dengan jelas, bagaimana Husein sesekali melirik Aster yang justru tak memperhatikan mereka. Gadis itu benar-benar cuek dan menikmati masakan China yang tadi dipesankan Husein.

"Wanita yang lebih suka dengan urusannya sendiri, menjadi diri sendiri, dan berani. Terutama yang berani pergi ke tempat yang jauh hanya untuk mencari salah satu keluarganya. Wanita seperti itu patut diperjuangkan, dan aku tak akan pernah menyia-nyiakannya," jawab Husein dengan mantap.

Senyum Ester merekah mendengar jawaban itu. Ia melirik Aster sekilas, lalu kembali menatap Husein.

"Kau tahu, dia memang patut diperjuangkan. Orang-orang yang mengabaikannya hanyalah orang bodoh," sahut Ester dengan suara pelan sambil mengedikkan kepalanya pada Aster yang masih sibuk dengan dunianya sendiri.

Mereka berdua tersenyum penuh arti, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa saat kemudian, Aster mendongak dengan wajah penuh keringat dan bibir memerah karena rasa pedas dari makanan itu. "Aku bingung bagaimana caranya menelpon ibuku. Aku tak ingat nomor telpon atau alamat emailnya."

Senyum mereka berdua lenyap seketika. Benar-benar frustrasi karena gadis itu sungguh tak bisa dipancing dengan perkataan.

"Hei, kau tak ingin ikut dengan kami besok?" tanya Ester tanpa mengindahkan pertanyaan Aster.

Husein mengerutkan keningnya. "Umm, maaf. Tapi besok aku harus..."

"Aku akan menceritakanmu sebuah rahasia," potong Ester dengan setengah berbisik, lalu kembali mengedikkan kepalanya ke samping kanannya. "Kau mengerti kan, maksudku?"

Pria itu terlihat berpikir, lalu melirik Aster yang menatap mereka dengan sorot mata penasaran. "Ah, sepertinya menyenangkan bisa ikut dengan kalian. Besok kita berangkat pagi," jawabnya dengan bersemangat.

"Bagus," sahut Ester dengan senyum lebar.

"Kalian membicarakan apa daritadi?" tanya Aster dengan ekspresi kebingungan, namun tak ada yang menghiraukannya. Membuatnya cemberut dan kembali menghabiskan makanannya.

***
Lima hari berada di Milan untuk pemotretan dan peragaan busana, benar-benar membuat Glenn tak punya waktu untuk sekedar membaca berita di internet atau menonton acara berita di televisi. Seharusnya ia mengajak Aster untuk ikut dengannya daripada sendirian ke Madrid. Ia tahu betul bagaimana gadis itu membutuhkan bahu untuk bersandar. Tapi menjadi model adalah impiannya sejak dulu, apalagi dengan orientasi seksualnya yang menurut orang Indonesia menyimpang, membuat kepercayaan dirinya sempat hancur. Hanya Aster, satu-satunya orang yang mau mengerti dirinya. Hanya gadis itu yang tahu orientasi seksualnya, tanpa sekalipun mengolok-oloknya. Gadis itu bagaikan sinar matahari di tengah-tengah badai salju. Yang dilihat oleh Aster darinya bukanlah statusnya, selera pasangan hidupnya, atau kekayaannya. Hanya kepercayaan, dan dia sudah mendapatkan perhatian penuh dari gadis itu. Kepercayaan, hal yang sangat sulit diberikannya pada siapapun, tiba-tiba saja dengan mudahnya dilimpahkannya pada Aster saat gadis itu membawanya ke rumah sakit karena demam.

Senyumnya mengembang sempurna sembari melirik sekilas buket bunga aster berwarna putih di kursi di sebelahnya. Gadis itu sudah pasti tak menginginkan barang-barang bermerek darinya setiap kali pulang dari luar negeri. Tapi ia tetap saja tak bisa menahan dirinya untuk terus memanjakan gadis itu. Satu set perhiasan emas yang berhiaskan berlian asli sudah siap di sebelah buket bunga itu. Untuk sahabat satu-satunya, yang sudah seperti adik kandungnya sendiri. Betapa ia merasa bahwa Aster adalah benar-benar saudara sedarahnya karena begitu dekatnya mereka berdua selama ini. Tak ada yang disembunyikan, dan tak ada kebohongan. Bahkan gadis itu jauh lebih mempercayainya ketimbang saudara kembarnya sendiri, yang sejak pertama kali bertemu dengannya, ia sudah mendapatkan firasat yang tak mengenakkan. Orang lain boleh menganggap Canna jauh lebih baik, sempurna, dan alami dibandingkan dengan Aster, tapi yang dia lihat adalah sebaliknya. Dia cukup ahli membaca karakter seseorang, meskipun itu sangat tersembunyi sekalipun.

Mobilnya sudah sampai di depan pagar rumah Aster yang tertutup rapat. Keningnya berkerut dalam. Memang benar bahwa gadis itu berencana untuk menghabiskan waktu di Madrid selama seminggu, tapi bukan berarti rumah ini akan sepi seperti kuburan. Halamannya dipenuhi dengan daun-daunan kering yang berasal dari pohon nangka dan pinus. Diputuskannya untuk turun dari mobil dan menekan bel yang ada di sebelah pagar. Jika ia tidak salah menghitung, kemungkinan besar Aster seharusnya sudah pulang, atau mungkin masih berada dalam perjalanan dari bandara ke sini. Sekarang sudah memasuki hari keenam, dan ia tak yakin Aster bisa menghabiskan waktu sendirian selama lebih dari enam hari. Ia terlalu mengenal gadis itu.

Berkali-kali menekan bel, namun tak ada satupun penghuni rumah itu yang membukakan pagar untuknya. Atau mungkin Nyonya Marla masih berada di restorannya? Tapi sekarang sudah jam 8 malam, jadi tidak mungkin wanita itu masih menghabiskan waktunya di kantor. Ia hafal betul bagaimana kebiasaan wanita itu, pulang selalu jam 4 sore atau kurang untuk menghabiskan sisa hari bersama kedua anaknya. Apalagi dengan kepulangan Aster dari Madrid, sudah pasti wanita itu tak akan mementingkan restorannya. Benar-benar ibu yang menakjubkan.  

"Ck, pada kemana sih?" gerutunya sambil melihat jam tangannya. Ia bermaksud untuk mengambil ponsel di saku celana jinsnya, saat seorang pria muda yang umurnya mungkin sama dengan Aster menghampirinya.

"Penghuninya masih pada belum balik, Mas. Udah tiga hari ini rumahnya kosong," ucap pria itu setelah berada di sampingnya.

Glenn sedikit menarik kepalanya ke belakang, heran sekaligus kaget dengan keberadaan pemuda itu dan fakta yang didapatinya.

"Emangnya pada kemana?" tanyanya bingung.

"Abis mengurus kematian Mbak Aster, Bu Marla sama Mbak Canna pergi. Kayaknya sih ke rumah orang tuanya di Bogor sana," jawab pemuda itu, membuat Glenn menaikkan sebelah alisnya.

Ia mendengus, lalu terkekeh geli. "Meninggal?" ia semakin mengeraskan tawanya, seolah-olah pemuda itu sedang mengikuti audisi pelawak tapi gagal total. "Jangan bercanda, dong! Aster belum mati kali."

Pemuda itu sedikit membelalakkan matanya. "Bener, Mas. Kan beritanya udah nyebar kemana-mana. Kalau nggak percaya, Mas lihat aja beritanya di internet. Di TV juga masih disiarin kok soal penemuan serpihan pesawatnya. Korbannya dinyatakan meninggal semua, termasuk Mbak Aster yang naik pesawat itu. Makanya, baca berita dong biar nggak kudet."

Glenn menggeleng-gelengkan kepalanya, menganggap bahwa pemuda itu hanyalah orang yang sedang melantur. "Oke, oke. Makasih buat infonya," sahutnya masih dengan ekspresi geli.

Pemuda itu menatapnya dengan kening berkerut dan berlalu meninggalkannya dengan decakan dan gerutuan. Sempat ia mendengar umpatan dari pemuda itu dan mengatainya sinting.

"Elo yang sinting kali. Gila aja ngatain Aster udah mati. Orang dia naik pesawat lewat Singapura, kok," sungutnya lantas mengeluarkan ponselnya, ingin menghubungi Aster untuk memastikan keadaannya.

Tapi kemudian ia diam dengan kening berkerut. "Hah? Pesawatnya kecelakaan gitu? Pesawat yang mana?" gumamnya setelah sadar, lantas cepat-cepat membuka situs pencari di ponselnya dan mengetikkan kata kunci mengenai kecelakaan pesawat. Kebanyakan beritanya meluas, karena kecelakaan pesawat ada di beberapa negara. Ia mengganti kata kuncinya dengan nama Aster, dan langsung muncul artikel mengenai kecelakaan enam hari yang lalu, tepatnya di hari keberangkatan Aster ke Madrid. Ia membaca dengan sistem scanning, tanpa benar-benar meneliti kalimat demi kalimat.

Beberapa saat setelah membaca habis artikel itu, ia tertawa terbahak-bahak. Cepat-cepat ia mencari nomor kontak Aster dan mendialnya, namun nomornya tidak aktif. Ia mengirimkan pesan di beberapa aplikasi messenger, namun semuanya pending. Lama-kelamaan rasa panik mulai muncul. Tak ingin terpengaruh dengan berita itu, ia membuka kembali aplikasi Whatsapp dan membaca pesan dari gadis itu enam hari yang lalu. Tangannya sempat gemetar dan jantungnya berdebar tak karuan. Matanya membaca sekilas perbincangan mereka, sampai ia menemukan satu kotak yang berisi pemberitahuan dari gadis itu mengenai keterlambatannya naik pesawat, dan terpaksa harus berangkat dari Bandara Changi. Sekali lagi matanya membaca kata demi kata dari pesan itu, dan hatinya seperti disirami oleh air es saat itu juga. Kata-kata Aku udah nyampe Bandara Internasional Barajas di kotak percakapan membuatnya hampir saja ingin menangis, tapi kemudian ia tertawa. Sekarang ia baru menyadari betapa pentingnya mengingat dengan jelas setiap momen yang dilaluinya bersama orang yang sangat disayanginya.

"Glenn?"

Suara lembut dengan nada heran membuatnya langsung menoleh. Wajah yang sama persis dengan sahabatnya menatapnya dengan kening berkerut, sembari membuka pintu pagar. 

"Kamu udah lama di sini?" tanya Canna sambil memberinya kode untuk mengikutinya masuk.

"Baru setengah jam-an lah. Kamu dari mana emangnya?" tanyanya seraya mengikuti langkah gadis itu.

Untuk ukuran gadis yang mengira bahwa saudaranya meninggal, Canna tak terlihat murung atau berduka. Yang dilihatnya saat ini justru berbeda sekali dengan yang selama ini dilihatnya. Tak ada lagi Canna berwajah kalem, penuh senyum, bertutur kata halus dan sopan, atau menatap orang lain dengan sorot mata lembut. Inilah sosok Canna yang sebenarnya, yang selalu diteriakkan oleh batinnya. Sosok yang selalu menampakkan sisi palsunya dan membuat semua orang percaya bahwa dia adalah sisi malaikat, sedangkan Aster adalah sisi iblis. Sosok yang bahkan sampai detik ini semakin dibencinya, tanpa sekalipun berkurang meskipun hanya sesenti.

"Dari Bogor. Kamu mau ngapain kesini? Mau ngucapin turut berduka cita atas kematian Aster?" tanya gadis itu dengan nada sedikit sinis.

Rasa muak membuatnya ingin segera berlari dari rumah itu, namun ada satu hal yang ingin dilihatnya dari gadis itu.

"Kalau kubilang Aster belum mati, apa yang bakal kamu lakuin?" tanyanya dengan pandangan menyelidik.

Canna sempat berhenti saat hendak duduk ke salah satu sofa di ruang tamu, namun setelah itu melanjutkan niatnya. Ia sempat menangkap sorot terkejut di mata gadis itu, namun cepat-cepat disembunyikannya.

"Huh, jangan mimpi deh. Aster jelas-jelas udah mati, ngapain juga kamu masih berkhayal kalau dia masih hidup? Berhenti berhalusinasi, Glenn. Kasihan ya kamu, ditinggal mati Aster jadi linglung gitu," jawab gadis itu dengan tersenyum miring, membuat Glenn mengepalkan tangannya.

Sabar, hanya kata itu yang terus berdengung di benaknya. Sabar, dan sebentar lagi ia bisa mengambil langkah selanjutnya untuk sahabatnya. Ia mengambil lagi ponsel yang tadi dimasukkannya ke dalam saku jaketnya, mencari-cari lagi percakapannya dengan Aster, lantas mengangsurkannya pada gadis itu. Ekspresi di wajah Canna benar-benar tak ternilai saat ini. Terkejut, kedua mata melebar, mulut sedikit menganga, wajah pucat pasi, dan tangan gemetar. Semakin jelas di matanya bahwa gadis itu justru tak senang dengan kenyataan bahwa Aster masih hidup. Benar-benar sesuai dengan dugaannya. Ia kasihan dengan siapapun yang menyangka bahwa gadis itu baik hati. Oh, dan terima kasih pada Bu Marla yang tidak buta mata hatinya, karena lebih menyayangi Aster.

"Jangan beritahukan ini pada siapapun, termasuk Mamaku dan Hando," pinta gadis itu sembari mengulurkan ponsel di tangannya padanya. Tubuhnya ditegakkan, wajahnya didongakkan, dan kakinya disilangkan.

Glenn mendengus, lalu tersenyum miring. "Dan kenapa juga aku mesti nurutin kamu? Untungnya buat aku apa? Bukannya aku linglung, ya?" tanyanya dengan nada sarkastis.

Canna menggeleng-gelengkan kepalanya dengan panik. "Aku harus tahu rahasia yang disimpan Mamaku. Kalau dia tahu Aster masih hidup, Mama pasti nggak akan mau nyeritain rahasia itu."

Glenn menyipitkan matanya, curiga jika itu hanyalah taktik belaka. "Dan kenapa aku harus percaya?"

"Tolong, aku bener-bener nggak bohong. Kalau nggak percaya tanya aja sama Mamanya Hando. Tapi tolong jangan ngasih tahu soal Aster masih hidup ke siapapun, atau rahasia yang disimpen Mamaku nggak akan pernah terungkap," jawab Canna dengan terburu-buru. "Rahasia itu soal Aster."

Glenn tertegun sejenak, mencoba menimbang-nimbang apakah ia harus mempercayai gadis itu, atau mengabaikannya. Tapi ia putuskan untuk memberinya kesempatan. Jika rahasia itu memang benar mengenai Aster, maka ia tak akan segan-segan untuk mendukungnya.

"Tapi kamu harus ngasih tahu aku begitu rahasia itu terungkap. Kalau terbukti kamu bohong, jangan harap semua orang masih mau bersimpati sama kamu," ancamnya dengan nada serius.

Canna terlihat ketakutan, tapi setelah itu mengangguk. "Aku janji."

Meskipun masih tidak sepenuhnya percaya, tapi dia harus benar-benar memberikan gadis itu kesempatan. Ia segera berdiri karena tak ada lagi yang ingin dibicarakannya dengan gadis itu. Aura yang terpancar dari tubuh Canna benar-benar membuatnya tak nyaman. Seolah-olah dia sedang berhadapan dengan Nyi Roro Kidul atau semacamnya.

"Kalau begitu aku pamit. Hati-hati di rumah sendirian," pamitnya dan langsung keluar dari rumah itu tanpa perlu repot-repot menunggu respon dari gadis itu.

Hal yang tidak diketahui oleh Canna adalah, ia sudah memiliki rencana yang langsung terbentuk begitu melihat reaksi gadis itu. Bagaimana gadis itu terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada adik kembarnya, dan bagaimana ia tak ingin Hando mengetahui fakta yang sebenarnya. Dan asal gadis itu tahu, ia akan dengan senang hati membuat Aster terus bertahan tinggal di Madrid, karena ia tak ingin sahabatnya harus berurusan dengan manusia-manusia munafik seperti mereka. Baginya, Aster jauh lebih berharga daripada segunung emas atau perhiasan lainnya. Gadis itu berhak mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dari hanya sekedar Hando. Laki-laki yang akan dengan bangga mengatakan pada dunia bahwa dia beruntung bisa memiliki Aster, dan dia akan menjadi orang pertama yang mendukungnya. Siapapun laki-laki beruntung itu, dia berjanji akan menjadikannya sebagai teman baiknya.

***

Made by Alya Feliz
13 April 2015

Share this article :

+ comments + 2 comments

Apr 13, 2015, 10:59:00 PM

Huaaaaa, nggk sabar nunggu lnjutannya.. Itu canna iblis bgt sih, masa nggk ada ikatan batin sama skali ama aster -_- ehh iya mbaa, peka in dong asternyaaa trus dia ama husein ajaa hihi

Apr 20, 2015, 12:31:00 PM

aq dukung kamu glen,,,, kalo emang cana ma hando baik,, mereka gak kan selingkuh d belakang aster... boleh juga tuhh aster ma husein,, tapi kok asternya gak peka yaa... hehehe kasihan sihh ma huseinnya kalo kyak gitu. aster saudaraan ma ester yaaa?? wahhhh ru buka blog dah dapat cerita yang mengharu biru... kayakx skrg blog ini bakalan jadi blog yang wajib aq kunjungi dehh selan watty n PN..... d tunggu kelanjtanya kak

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger