SANG WAKTU - Bab 5

February 13, 20154comments

Cover Sang Waktu
Entah sudah berapa jam perjalanan yang ditempuhnya, yang pasti Aster mengalami jet lag saat ini. Rasanya kepalanya berputar-putar dan perutnya mual. Begitu keluar dari pesawat, ia benar-benar buta arah. Langit begitu gelap dan udara terasa dingin, membuatnya cepat-cepat memakai jaketnya. Tak ingin tersesat, ia mengikuti rombongan penumpang pesawat menuju ke suatu tempat yang ia kira pastilah bagasi. Beberapa kali ia hampir menabrak orang-orang di sekitarnya karena tak bisa menjaga keseimbangan. Kali ini ia menyesal kenapa malah menggunakan wedges alih-alih sandal. 

Saat sudah memasuki terminal bandara, matanya langsung melihat arsitektur bandara yang sempat didengarnya dari pramugari tadi bernama Aeropuerto Adolfo Suárez Madrid-Barajas, atau Bandara Internasional Barajas-Madrid. Atapnya berbentuk seperti gelombang-gelombang besar berwarna coklat. Lampu-lampunya berbentuk oval besar menggelembung, bergaris-garis, dan berjejer rapi. Sekilas bandara itu terlihat indah, nyaman, dan mewah. Namun saat matanya menangkap banyaknya besi kuning yang berbentuk seperti ketapel yang menyangga atap bandara, ia merasa bandara ini terlihat aneh. Atau  mungkin dia saja yang suka berpikiran aneh-aneh, karena dilihatnya orang-orang di sekitarnya tak begitu peduli dengan desain atap bandara itu.

Banyak orang berbincang menggunakan Bahasa Spanyol, beberapa yang lain menggunakan Bahasa Inggris, dan ada juga yang menggunakan bahasa lain yang terdengar asing di telinganya. Saat sudah tiba di ban berjalan bagasi, ia ikut berdiri di antara orang-orang yang menunggu koper mereka datang. Lama sekali kopernya tak juga muncul, sampai-sampai ia hampir saja terjatuh karena tubuhnya benar-benar kelelahan. Sampai orang terakhir mengambil kopernya, koper miliknya tak juga muncul. Ia mulai panik bukan main. Matanya tetap fokus pada ban berjalan itu, berharap kalau sebentar lagi kopernya akan muncul. Seorang laki-laki berseragam mendekatinya dengan kening berkerut.

"Lo que le pasa, Señora? En que puedo ayudarte [*]?" tanya laki-laki itu dengan raut wajah khawatir.

Untungnya ia mengerti apa yang dibicarakan oleh lelaki itu, berkat kegigihannya belajar Bahasa Spanyol dua tahun setalah ayahnya meninggalkannya. Kemampuan bahasa Spanyolnya jauh lebih bagus daripada Canna, bahkan ibunya sekalipun.

"Koperku belum juga datang sejak tadi. Bisakah kau membantuku?" jawabnya dengan menggunakan Bahasa Spanyol. Wajahnya memucat dan jantungnya berdegup cepat. Ini pertama kalinya ia mengalami masalah seperti ini.

"Tenang, Nona. Tidak usah panik. Periksa dulu ke semua bagasi, siapa tahu milik anda berada di bagasi jalur lain. Kalau tetap tidak ada, silahkan melapor ke bagian yang menangani kehilangan di sebelah sana," jawab lelaki itu, kemudian menunjuk ke tempat yang dimaksud.

Rasanya ia tidak bisa tenang di saat-saat seperti ini. Tiga jam menunggu di Bandara Changi, ditambah lagi tadi perutnya mulas dan harus bolak-balik ke toilet, membuatnya benar-benar lelah sekaligus kesal. Belum lagi luasnya bandara Barajas membuatnya ingin berteriak. Ia benar-benar ingin segera tidur saat ini dan berendam di air hangat. 

"Bisakah kau mengantarku? Aku benar-benar kebingungan saat ini," mohonnya dengan raut wajah memelas.

Petugas bandara itu mengangguk dan segera menuntunnya menuju ke bagasi lain untuk mencari kopernya. Namun setelah semua bagasi didatanginya, harapannya musnah karena kopernya tak ada di manapun. Rasa panik kembali menyerangnya hingga ia ingin menangis. Petugas itu berusaha menenangkannya dan kembali mengantarkannya menuju ke bagian yang menangani kehilangan untuk melapor. 

Tak pernah terpikirkan olehnya ia akan mengalami masalah seperti ini sebelumnya. Dikiranya semua akan berjalan lancar dan dia bisa mencari ayahnya, sekaligus liburan di kota ini untuk menghilangkan segala beban pikiran. Tapi justru yang terjadi malah beban pikirannya bertambah. Setelah melapor ke bagian yang menangani kehilangan, ia duduk sebentar untuk mengistirahatkan tubuh dan kakinya. Sekarang ia bingung harus melakukan apa. Biasanya ia menyerahkan semuanya pada Glenn atau Hando jika bepergian dengan pesawat, sama sekali tak mau ambil pusing dengan apa saja yang selanjutnya harus dilakukan setelah ini.

"Maaf, Nona. Apa tidak sebaiknya anda segera mencari penginapan untuk beristirahat? Pencarian koper anda membutuhkan paling tidak satu hari atau bisa jadi lebih. Ini sudah jam 11 malam, sebaiknya anda mencari hotel di dekat sini. Masih ada taksi yang akan mengantarkan anda ke Barajas," kata petugas tadi yang ternyata masih menungguinya.

"Oh, sebenarnya aku sudah memesan hotel di Salamanca. Apa ada taksi yang bisa mengantarkanku ke sana?" ia teringat dengan hotel yang sudah dibooking oleh ibunya. Untungnya kertas berisi nomor ID pemesanan kamar hotel itu ditaruhnya di dalam tas ransel.

"Salamanca lumayan jauh dari sini, Nona. Sebaiknya anda menginap di Barajas saja, sekalian besok kembali ke sini untuk mengecek kabar koper anda. Lebih menghemat waktu dan tenaga anda," jawab petugas laki-laki itu.

Ia menghela nafas panjang sambil memejamkan mata. Saran dari petugas itu ada benarnya juga. Sudah jam 11 malam dan tubuhnya terasa seperti remuk. Apa tubuhnya masih sanggup menempuh perjalanan lagi? Lagipula dia tak tahu dimana itu Salamanca, dan ia tak mau dipusingkan oleh pencarian apapun saat ini. Akhirnya ia putuskan untuk menuruti saran dari laki-laki itu. "Bisakah kau mengantarkanku ke tempat dimana aku bisa mencari taksi? Aku baru pertama kali ke sini."

Petugas itu mengerutkan keningnya. "Saya pikir anda orang Spanyol. Pantas saja anda terlihat sangat kebingungan di sini sejak tadi."

Ia tersenyum tipis. "Aku orang Indonesia, tapi ayahku asli dari Madrid. Aku ke sini untuk mencarinya, dan Ibuku bilang rumahnya ada di Salamanca. Tapi aku benar-benar tak punya bayangan apa-apa mengenai kota itu." Dilihatnya kembali atap-atap bandara yang tetap terlihat aneh di matanya, kemudian menatap laki-laki yang masih berdiri di hadapannya.

"Itu menjelaskan kenapa wajah anda terlihat seperti gadis-gadis Spanyol yang cantik dan segar. Tapi anda terlihat...lebih cute dan menggemaskan. Pastilah banyak pemuda di sini yang akan tergila-gila pada anda." Petugas itu menggerak-gerakkan tangannya dengan mata menyipit saat mendeskripsikan dirinya.

Ia tertawa terbahak-bahak, merasa terhibur dengan cara laki-laki seumuran pamannya itu mengekspresikan diri saat sedang berbicara. "Kau membuatku melupakan rasa mual dan pusing yang sejak tadi membuatku ingin pingsan."

Petugas itu membelalakkan matanya. "Oh, astaga! Maafkan saya yang sudah banyak bicara pada anda. Mari saya antarkan anda ke tempat taksi berada. Semoga koper anda cepat ditemukan dan anda dapat dengan tenang menjelajahi Salamanca untuk mencari ayah anda. Jangan lupa mengunjungi tempat-tempat wisata di Madrid. Anda juga bisa memuaskan diri dengan berbelanja di Plaza Mayor atau Grand Via. Kebetulan sekarang bulan Mei, jalanan di Madrid sangat ramai dengan festival-festival."

Ia dituntun menuju ke pintu keluar bandara yang masih saja ramai di saat hampir tengah malam seperti ini. Setidaknya sikap ramah dari laki-laki asli Spanyol itu membuatnya merasa nyaman dan seperti diterima di sini. Mereka akhirnya sampai di depan sebuah taksi yang langsung disambut oleh supirnya.

"Antarkan dia ke hotel terdekat," kata petugas bandara itu pada sang supir yang langsung mengangguk. "Selamat datang di rumah kedua anda, Nona. Semoga anda betah dan perjalanan anda menyenangkan."

Ia melambaikan tangannya pada petugas itu sambil tersenyum setelah masuk ke dalam taksi. "Terima kasih banyak sudah membantu saya." 

Dan perjalanannya akan segera dimulai. Ia berharap setelah ini masalahnya segera selesai, sehingga ia bisa dengan tenang mencari sang ayah. Rasanya ia sudah tak sabar untuk bertemu kembali dengan pria itu setelah sekian lama tak ada kabar.
***
"Sarapannya sudah berakhir dari satu jam yang lalu, Nona. Anda bisa menunggu satu jam lagi untuk makan siang." Perkataan staf hotel dari Prancis itu membuat kedua bahu Aster langsung lunglai. Perutnya sudah sangat kelaparan saat ini dan tidak bisa ditahan lagi. Ia benar-benar menyesal sudah bangun kesiangan karena terlalu nyaman tidur di ranjang yang empuk dan wangi.

Kemarin malam, hampir semua hotel sudah penuh dan hanya tersisa hotel bintang lima ini saja. Itupun hanya tersisa satu kamar dengan harga yang paling murah dibandingkan tipe kamar lain di hotel ini. Terpaksa ia tetap reservasi meskipun harga kamar untuk satu malam mencapai 215 euro. Resepsionis bilang harga diskon sudah habis dari jam 6 sore, dan ia kebagian harga yang tinggi karena tidak memesan kamar jauh-jauh hari sebelumnya. Begitu tiba di kamar, ia cepat-cepat mandi air hangat dan langsung terlelap saat tubuhnya sudah menyentuh ranjang yang empuk dan nyaman, tanpa sempat makan malam. Dan sekarang ia benar-benar membutuhkan makanan apapun untuk mengganjal perutnya yang terasa semakin melilit. 

"Kalau anda sudah tidak sabar menunggu makan siang, anda bisa mencari restoran di sekitar sini. Ada kendaraan yang akan mengantarkan anda," lanjut staf itu dengan menggunakan Bahasa Inggris.

"Bisakah kendaraan hotel mengantarkanku ke bandara? Aku ingin mengecek koperku yang hilang, sekalian mencari makanan dan beberapa pakaian," tanyanya setelah berpikir sejenak.

"Tentu saja. Anda juga bisa meminta supir untuk mengantarkan kembali ke sini, tinggal menelpon pihak hotel. Di bandara juga ada restoran dan toko pakaian di Terminal T1 lantai satu, tepatnya di boarding area. Anda bisa menanyakannya pada petugas jika bingung di mana letaknya," jawab staf itu.

Itu lebih baik daripada harus repot-repot bolak-balik dari hotel ke bandara hanya untuk mengecek kabar mengenai kopernya. Ia bisa sekalian membeli beberapa pakaian untuk berjaga-jaga, dan sandal untuk membuat perjalanannya menjadi lebih nyaman. Kakinya benar-benar pegal saat ini, sedangkan sandalnya berada di dalam koper. Benar-benar pengalaman yang tidak menyenangkan.

Setelah mengucapkan terima kasih, ia kembali ke kamarnya untuk mengambil dompet dan ponsel. Baru teringat kalau sejak kemarin ia sama sekali belum memberi kabar pada ibu dan kakaknya. Namun sungguh sial, ternyata ponselnya tak ada di manapun. Ia sudah mengeluarkan seluruh isi dari tas ranselnya dan sama sekali tak mendapati benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Bertambah lagi masalah yang menimpanya sekarang. Otaknya berpikir dengan cepat, mengingat-ngingat kemana saja ia menggenggam ponselnya sebelum memasuki pesawat. Hatinya seperti mencelos saat benaknya menampilkan gambaran ia yang memasukkan ponselnya dengan terburu-buru ke dalam koper, karena pesawat akan segera berangkat.

"Aarrgh! Dasar bego! Astagaaa, pantesan aku masih dianggep anak kecil melulu. Baru pertama kali pergi jauh sendirian aja udah dapet masalah yang ribet kayak gini," keluhnya sambil meremas rambut di kepalanya, merasa semakin pusing.

Perutnya yang berbunyi membuatnya memutuskan untuk memikirkan masalah ponsel itu nanti. Yang terpenting sekarang adalah segera mencari makanan dan pakaian, karena baju yang melekat di tubuhnya masih sama seperti kemarin malam. Rasanya sungguh tidak nyaman dan sedikit lengket.

"Ah, ngabarin Mama ntar aja deh. Yang penting aku selamat dan nggak kenapa-kenapa. Paling-paling seminggu juga udah cukup di sini trus pulang. Lagian alamat Papa jelas dan lengkap gitu kok, mestinya gampang nyarinya," gumamnya sebelum keluar dari kamar hotel yang memiliki fasilitas lengkap dan mewah itu.
***
Perjalanan 3 jam dari Bekasi ke Jakarta karena macet membuat Hando merasa lelah luar biasa, apalagi tadi harus ikut atasannya rapat ke luar kota selama berjam-jam. Namun itu semua terlupakan saat mendengar kabar dari ibunya begitu ia masuk ke dalam rumah.

"Canna masuk rumah sakit, Ndo. Dia langsung nangis histeris waktu denger kabar kalau pesawatnya Aster jatuh di Beijing. Pihak bandara sama tim pencari udah menyatakan kalau semua penumpang nggak ada yang selamat," kata Bu Diana sambil menyongsong putranya. "Penyebabnya sementara diduga karena tangki bahan bakarnya bocor. Tapi ada juga yang bilang karena kesalahan teknis sampai akhirnya jatuh di pinggiran kota Beijing. Mama nggak tahu yang bener yang mana."

Hando mematung di tempatnya, masih mencerna perkataan ibunya. Semua penumpang tak ada yang selamat. Itu berarti Aster juga tidak selamat. Namun ia menggeleng-gelengkan kepalanya tak mau percaya.

"Selama jasad Aster nggak ada, aku masih nganggep dia hidup, Ma," ucapnya dengan tegas, berbanding terbalik dengan nafasnya yang mulai memburu.

"Hando, pesawatnya meledak dan hancur. Tim pencari udah nemuin banyak serpihan rambut dan pakaian dari sana. Yang masih utuh cuma bagian ekor pesawatnya aja. Nggak ada..."

"Cukup, Ma. Aster masih hidup. Aku nggak peduli orang mau ngomong apa, bagiku Aster tetep masih hidup," sergah Hando dengan kedua tangan mengepal. 

Bu Diana menghampiri putranya dan mengelus lengannya. "Mama turut berduka cita, Nak. Tadi keluarga Bu Marla pada dateng buat ngasih dukungan. Kamu nggak ke rumah sakit buat jengukin Canna? Kasihan dia, badannya langsung demam tinggi. Kalau kamu mau ke sana, kita berangkat bareng. Papamu lagi ada di luar kota sejak kemarin."

Hando masih tetap di posisinya. Bahunya naik turun dan pandangannya mulai buram, namun sebisa mungkin ia tetap tegar. Tapi bayangan-bayangan mengenai Aster terus saja berputar di benaknya. Kebersamaan singkat mereka beberapa hari yang lalu tak pernah bisa terlupakan begitu saja. 

"Aku...Kami mau nikah setahun lagi, Ma. Aku mau nikahin dia. Aku nggak main-main. Aku bener-bener mau nikahin Aster dan mewujudkan impiannya punya keluarga kecil yang bahagia. Dia pasti masih hidup. Aku yakin itu." Suara itu terdengar bergetar, membuat Bu Diana menutup mulutnya dan mulai menangis.

"Aku menyesal udah mengabaikan Aster. Seharusnya aku mencegah dia nyari ayahnya kemarin," lanjut lelaki itu dengan bibir bergetar.

Bu Diana segera memeluk putranya dari samping, menangis terisak karena melihat pandangan kosong dari kedua matanya.

"Kamu istirahat aja, Nak. Ayo, Mama anterin ke kamar kamu," bisik Bu Diana dengan sedikit memaksa Hando untuk melangkah.

Lelaki itu berjalan seperti tanpa jiwa. Hanya menuruti ibunya melangkah kemanapun dia membawanya. Saat meraka sudah sampai di ruang keluarga, seorang perampuan paruh baya menghampiri mereka dengan tergopoh-gopoh. Bu Diana mengerutkan keningnya heran melihat tingkah pembantu yang sudah dianggapnya seperti keluarga itu.

"Ada apa, Mbak Sri? Kenapa gelisah gitu?" tanya Bu Diana sambil memeluk lengan Hando yang hanya diam saja seperti melamun.

"Maaf saya lupa kalau hari...hari apa ya? Pokoknya waktu Den Hando pulang dari Bekasi. Non Canna dateng ke sini ngasih saya cincin ini," kata Bibi Sri sambil menyerahkan sebuah cincin emas berhiaskan berlian di tengah-tengahnya.

Bu Diana mengamati cincin itu. "Canna? Mbak yakin itu Canna? Ini kayaknya cincin tunangan deh. Saya lihat sendiri waktu Hando masangin cincin ini ke jari manisnya Aster," ia mendekatkan cincin itu ke depan wajahnya untuk meyakinkan diri.

Hando yang mendengar nama Aster disebut langsung menoleh. Keningnya berkerut saat melihat cincin milik gadis itu sedang dipegang oleh ibunya.

"Kenapa cincin Aster bisa ada di Mama?" tanyanya dengan pandangan tak lepas dari cincin itu. Diambilnya cincin tunangan dari tangan ibunya dan menatapnya nanar.

"Eh, anu...waktu itu Non Canna bilang itu cincin persahabatan yang dikasih sama Den Hando. Waktu itu Non Canna kayaknya habis nangis setelah dari kamar Den Hando," jawab Bibi Sri apa adanya.

Hando semakin mengerutkan keningnya, berusaha mengingat-ingat kapan ia pulang ke sini dan Canna menangis. Tapi seingatnya Canna tak pernah menangis.

"Waktunya kapan sih, Mbak? Apa waktu saya ke Tangerang sama Bapak?" tanya Bu Diana penasaran.

"Eh, kayaknya iya Bu. Pokoknya waktu itu rumah sepi, cuma ada saya, Pak Karto, Den Hando sama Non Aster yang waktu itu ada di kamar. Nah, Non Canna dateng katanya mau ketemu Den Hando. Hari...hari Sabtu mungkin ya? Duh, maaf nggak terlalu ingat saya, Bu. Ya sudah, saya permisi dulu," kata Bibi Sri sebelum meninggalkan mereka berdua.

Hando terdiam di tempatnya dengan jantung berdegup cepat. Teringat dengan hari itu, hari yang ia habiskan bersama Canna dan Bibi Sri mengiranya sebagai Aster. Hari yang merupakan sebuah kesalahan fatal karena menuruti hawa nafsu dan pikiran picik. Ia ingin membuat Canna hamil agar Aster patah hati dan menjauh darinya. Saat itu dia benar-benar yakin dengan keputusannya. Namun semuanya berubah hanya karena kebersamaannya bersama Aster yang hanya beberapa jam saja. Dan sekarang ia yang patah hati karena Aster benar-benar menjauhinya.

"Hando? Hando kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Bu Diana panik saat melihat Hando yang hampir saja ambruk kalau saja dia tidak segera menahannya.

"Aku mau istirahat, Ma. Rasanya capek sekali," jawabnya sambil menaiki tangga dengan sedikit kesulitan.

"Nggak makan dulu? Kamu kenapa jadi lemes begini? Kamu sakit?" Bu Diana hendak memanggil Bibi Sri, namun segera ditahan oleh Hando.

"Aku cuma butuh istirahat, Ma." Hando kembali melanjutkan langkahnya menaiki tangga sambil berpegangan.

"Mama bantu ya, kamu kelihatan pucet banget," paksa Bu Diana sambil kembali memegangi lengan putranya.

"Nggak usah, Ma. Aku masih kuat. Aku ke kamar dulu," tolak Hando sambil memaksakan langkahnya menaiki lima anak tangga teratas.

Begitu sampai di kamarnya, ia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang tanpa perlu mengganti pakaian kerjanya. Tangannya meraba saku kemejanya untuk mengambil kalung berliontin bunga aster milik Aster, kemudian menyandingkannya dengan cincin tunangan milik gadis itu.

"Jadi kamu udah tahu? Jadi itu sebabnya tiba-tiba kamu bertingkah aneh waktu itu?" Ia mengamati cincin tunangan itu dengan tangan gemetar. "Aku menyesal udah khilaf sama Canna. Aku pengin kamu kembali. Ini pasti cuma mimpi, kan? Aku yakin besok aku bangun di apartemenku trus dapet pesan dari kamu lagi di messanger kesukaan kamu."

Ia memejamkan matanya sambil menggenggam kedua benda itu, meletakkannya di depan dada dan terus berharap kalau itu semua hanya mimpi. Berharap ia bisa kembali ke masa di mana ia tak pernah melakukan kesalahan itu dengan Canna, dan Aster tak perlu mendadak pergi untuk mencari ayahnya. Semua ini bermula dari kebodohannya yang terlalu berpikiran sempit. Seharusnya ia tak pernah bermain api dengan Canna dan bersembunyi di balik nama persahabatan. Sekarang yang dirasakannya hanyalah rasa hampa dan sakit, membuatnya menangis dalam diam tanpa bisa ditahan. 

"Besok pasti kamu kembali cerewet kayak biasanya, saat aku masih belum juga bangun," gumamnya sebelum terlelap karena terlalu kelelahan.

[*] Ada apa, Nona? Ada yang bisa saya bantu?


===0===
Made by Alya Feliz
13 Februari 2015

DILARANG KERAS MENJIPLAK ATAU MENGCOPY PASTE TULISAN INI DENGAN CARA APAPUN. HARGAI HASIL JERIH PAYAH ORANG LAIN DAN INGATLAH KARMA SELALU BERLAKU!

CERITA INI HANYA DIPUBLIKASIKAN DI BLOG ATAS NAMA ALYA FELIZ. 









Share this article :

+ comments + 4 comments

cubby
Feb 13, 2015, 7:34:00 AM

muga2 si aster dapat cwok lain dech ,gak setuju klo ma hando masak dah ml ma canna dan menghianati si aster tetep mau balik klo sinaster mau balik ea terlalu bodo si aster #esmositingkat dewa hhh

Feb 13, 2015, 9:05:00 AM

Samaaaa, nggk stuju jga aster sama hando... Gmnpun kan canna aster sodara kembar, trus kalo canna beneran hamil gmn cba? Ughhh, bete bgt deh ama hando.. Nikmati saja kegalauanmu hando, hahaha.

Feb 14, 2015, 10:43:00 AM

@cubby : Hahaha sabaarrr...

Feb 14, 2015, 10:47:00 AM

indah prima Huh iya ya, kalau di luar nikah gitu biasanya cepet hamit O.o

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger