SANG WAKTU - Bab 4

February 10, 20154comments

Cover Sang Waktu
Pintu terbanting dengan cukup keras saat Aster tengah memasukkan baju terakhirnya ke dalam koper.

"Bilang sama aku maksudnya apa kamu mau ke Madrid? Kamu ngapain ke sana? Mau nyari Papa? Bukannya kita udah janji bakal ke sana kalau kita udah dewasa?" sergah Canna sambil melangkah dengan cepat menyongsong adik kembarnya.

"Aku udah dewasa, jadi udah saatnya aku nyari Papa. Kamu nggak usah ikut, cita-cita kamu jauh lebih penting," jawab Aster dengan tenang, sambil menarik resleting kopernya.

Tanpa diduga, tiba-tiba saja Canna mendorong koper berukuran besar itu hingga jatuh dari atas ranjang. Bunyi bedebum yang cukup keras membuat Aster terkesiap, namun sama sekali tak mengatakan apapun. Diambilnya kembali koper itu dan meletakkannya di samping lemari pakaian.

"Kenapa sih, kamu selalu aja egois dari dulu? Bisa nggak sih kamu peka sedikit aja sama perasaan orang lain? Apa kamu nggak mikir gimana perasaan aku saat ini? Apa kamu nggak mikirin perasaan Hando? Gimana dengan Mama? Sampai kapanpun kamu nggak akan pernah jadi dewasa kalau kayak gini caranya," bentak Canna dengan suara bergetar di akhir kalimat.

Aster justru tersenyum alih-alih membantah. Diraihnya bahu kakaknya dan memeluknya dengan erat. Tangannya membelai rambut hitam alami dan bergelombang milik Canna, bersamaan dengan isak tangis yang cukup keras dari mulut gadis itu.

"Percaya sama aku kali ini aja, Kak. Apa yang aku lakuin saat ini bukanlah suatu keegoisan." Aster berusaha tetap tersenyum meski bayangan kejadian kemarin kembali berputar di benaknya. Saat bersama Hando kemarin saja hatinya tak henti-hentinya merasakan nyeri karena hal itu.

"Kalau maksud kamu akhir-akhir ini aku jarang banget main sama kamu, oke aku janji bakal sering di rumah biar bisa ngabisin waktu sama kamu lagi kayak dulu. Aku nggak bakal sering keluar lagi. Kalau perlu aku nggak jadi nyari kerja di Bekasi, di sini aja nggak apa-apa," kata Canna sambil melepaskan pelukan Aster dengan air mata berlinang.

"Ck, Kakak apa-apaan sih ngomong kayak gitu? Aku kan cuma seminggu aja di sana, Kak. Bukan selamanya. Kakak sama aja kayak Mama deh, terlalu mendramatisir. Lagian semakin cepat aku nyari Papa, semakin cepat juga kita bisa kembali berkomunikasi sama beliau. Kamu nggak pengin tahu kenapa selama ini Mama selalu mengelak saat ditanya mengenai Papa?" Aster terkekeh geli sambil membantu mengusap air mata di pipi Canna.

Canna menghela nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan, berusaha meredakan emosi yang tadi menggebu-gebu.

"Tapi kita bisa nyari Papa bareng-bareng, kan? Masalah cita-cita bisa diurus nanti deh. Aku ikut ya," mohon Canna dengan sungguh-sungguh.

Aster menggelengkan kepalanya tak setuju. "Trus yang jagain Mama siapa? Kamu nggak lupa kan kalau aku udah sering ke luar pulau buat pemotretan? Kamu fokus aja sama cita-cita kamu. Udah dapet panggilan di Bekasi, kan? Nyari kerja sekarang susah lho. Mumpung ada kesempatan jadi Akuntan, ambil aja. Nggak mungkin sampai tua nanti kita bakal terus sama-sama."

Canna melewati adiknya dan duduk di atas ranjang yang sudah tertata rapi. "Tapi janji cuma seminggu aja ya. Ketemu atau nggak ketemu sama Papa, harus tetep pulang kalau udah seminggu. Ck, lagian Mama ngapain sih pake rahasia-rahasiaan segala? Tinggal bilang alasannya ke kita apa susahnya? Atau jangan-jangan Mama masih sakit hati atau gimana gitu?"

"Udah nggak usah mengira-ngira nggak jelas kayak gitu. Masih mending Mama mau ngijinin aku ke Madrid buat nyari Papa. Itu aja Mama nangis nggak karuan, kok," sahut Aster dan ikut duduk di samping Canna.

"Wajar aja Mama nangis. Kamu ke sana sendirian sih. Biasanya kemana-mana selalu sama aku atau Hando," ujar Canna.

Aster menoleh sekilas pada kakaknya, kemudian kembali melihat jari manisnya yang sudah tidak dilingkari oleh cincin tunangan. Namun segera disembunyikannya agar Canna tidak mengetahuinya. "Aku berangkat sama Glenn kok. Kebetulan dia ada pemotretan juga di Madrid," terpaksa ia berbohong agar tak ada yang mengkhawatirkannya.

Terdengar helaan nafas dari Canna, kemudian mereka berdua sama-sama diam. Aster sendiri sibuk dengan pikirannya mengenai kejadian kemarin. Kalau saja dia berani menanyakannya secara langsung mengenai hubungan Hando dengan Canna, ia tak perlu bingung saat ini.

"Kak, mengenai Hando..." Ia menggigit bibirnya, bingung harus memulai dari mana. "Kayaknya Hando nggak cinta deh sama aku."

Canna menoleh dengan cepat pada Aster. "Maksud kamu apa?"

"Dia bilang ke aku kemarin, kalau sebenarnya dia cinta sama orang lain. Selama ini dia cuma kasihan aja sama aku, makanya mau nerima permintaan aku buat tunangan sama dia." Aster menelan ludahnya karena telah kembali berbohong. Ia sama sekali tak mau menoleh pada kakaknya karena bayangan itu kembali menyeruak tanpa ampun.

"Kamu ngomong apa sih? Hando cinta sama kamu, kok. Dia bilang dia sayang..."

"Dia cinta sama kamu, Kak," potong Aster. "Kalau seandainya dia bilang dia cinta sama kamu, gimana?"

Canna sempat melotot sejenak saat Aster mengatakan hal itu, namun kembali rileks begitu mendengar kelanjutannya. Terlihat dengan jelas sikapnya yang salah tingkah, dan itu membuat Aster semakin yakin. Kedua matanya mulai berkaca-kaca dan ia tak mau kakaknya tahu apa yang dipikirkannya saat ini.

"Udah jam 8 lebih, aku mau berangkat dulu." Aster bangkit dari duduknya dan menghampiri kopernya. Ia masih sangat labil untuk urusan hati, jadi ia tak mau bertengkar dengan kakaknya hanya karena masalah laki-laki.

"Dianterin Hando, kan?" tanya Canna sambil beranjak dari duduknya.

"Aku naik taksi. Hando bilang dia mau nganter kamu lihat lokasi perusahaan di Bekasi," jawabnya sambil berjalan mendahului Canna. Sesekali diusapnya kedua matanya agar air mata itu tak menetes.

"Oh, iya ya. Kan besok aku ada interview di perusahaan dekat tempat kerja Hando. Kalau nggak nyari lokasinya sekarang, bisa-bisa aku telat besok. Untung aja kamu ngingetin," jawab Canna dengan suara yang terdengar senang.

Air mata itu semakin memaksa untuk keluar. Kalau saja dia tak pernah tahu apa yang mereka lakukan di kamar Hando kemarin pagi, dia tak akan pernah berpikir macam-macam dan merasakan sakit yang menyesakkan.

"Eh, itu dia udah nunggu di depan. Ck, rajin amat jam segini udah dateng," ucap Canna saat melihat lelaki yang baru saja mereka bicarakan sudah berdiri di ruang keluarga. Gadis itu bergegas menghampiri Hando dan mencium pipinya, lupa dengan keberadaan Aster di belakangnya. Hampir saja kedua insan itu berciuman kalau saja Bu Marla tidak segera datang dan berdehem di sebelah mereka.

"Udah mau berangkat? Taksinya belum dateng juga daritadi," tanya Bu Marla sambil menyongsong Aster.

"Bentar lagi juga dateng kok, Ma," jawab Aster sambil menuruni tangga. Sengaja ia tidak melihat Hando, agar bayangan itu tak terus-terusan menempel di benaknya. 

"Jangan lupa telpon Mama kalau udah nyampe sana. Kalau biaya telpon mahal, kirim pesan lewat WhatsApp aja udah cukup," pesan Bu Marla sambil merapikan rambut Aster, yang dibalas gadis itu dengan anggukan.

"Mau kemana?" tanya Hando yang mau tak mau membuat Aster menoleh padanya. Sungguh, ia ingin sekali menghindari lelaki itu. Apalagi setelah kebersamaan mereka kemarin malam, yang justru berakhir dengan rasa sakit di hatinya. Namun kakinya tetap saja melangkah mendekati lelaki itu setelah tersenyum sejenak pada ibunya.


Sambil menyunggingkan senyum palsu, Aster menguatkan hati untuk menatap sosok lelaki yang sangat dicintainya. Tak dipedulikannya sosok lain yang berdiri di samping lelaki itu, yang sudah menorehkan luka tak kasat mata di lubuk hatinya.

"Aku nggak akan lama kok, mungkin hanya...." Ia menghentikan ucapannya saat bayangan itu kembali muncul. Dengan mengejap-ngejapkan matanya, ia kembali tersenyum. Dipeluknya tubuh lelaki itu yang tinggi menjulang, hingga membuatnya harus berjinjit. "Mungkin kamu berharap aku segera menghilang. Berdoa saja semoga apa yang kamu inginkan cepat terkabul," bisiknya di telinga lelaki itu.

Ia melepaskan pelukannya dan memegang lengan lelaki itu. Kali ini ia berucap dengan lebih keras. "Mungkin hanya seminggu aja aku ke Spanyol. Kalau udah ketemu sama Papa, aku bakal cepat-cepat balik ke sini kok."

Lelaki itu mengerutkan keningnya, tak mengerti apa yang dimaksud oleh Aster. Namun Aster sama sekali tak menghiraukan ekspresi kebingungan yang tersirat jelas di kedua mata tunangannya itu. 

"Kak Canna, aku titip Hando ya. Aku percaya kok, Kakak bisa jagain dia," kata Aster begitu ia sampai di depan kakaknya, Canna Gerbera Morales.

Ia tersenyum lebar pada Canna, sama sekali tak menunjukkan bagaimana hancurnya hatinya saat ini. Yang bisa ia lakukan hanyalah bersandiwara, seperti yang dilakukan oleh dua orang yang sangat berarti di dalam hidupnya selama ini. Dua orang yang begitu dipercayainya, sampai-sampai ia menceritakan apapun tanpa terkecuali dan tanpa sedikitpun keraguan. Dilihatnya ibunya yang memandangnya dengan kening berkerut dan kedua mata berkaca-kaca, namun ia hanya tersenyum dan mengangguk sekilas. Untuk saat ini, hanya ibunyalah yang bisa ia percayai.

"Kamu ngomong apa sih? Kayak mau pergi selamanya aja," jawab Canna yang diikutinya dengan tawa kecil dan gelengan kepala.

"Kalau seandainya aku memang pergi selamanya gimana?" celetuk Aster dengan asal.

Tawa Canna perlahan mereda, berganti dengan matanya yang mulai membelalak. "Jangan nakut-nakutin gitu dong!" 

"Aster, nggak boleh ngomong gitu. Kamu mau nakutin Mama juga?" tegur Bu Marla dengan kerutan dalam di keningnya, pertanda bahwa perempuan itu mulai tak suka dengan celetukan asal dari anaknya.

"Maaf, cuma bercanda kok. Ya udah, aku mau berangkat dulu ya. Semakin cepat semakin baik, kan? Kalau aku berhasil ketemu Papa, siapa tahu aja bisa bujuk beliau biar mau rujuk sama Mama," ucap Aster dengan senyum mengembang.

Bu Marla sedikit gelagapan mendengar perkataan gadis itu. "Eh, yaudah kalau kamu mau berangkat. Itu taksinya udah dateng. Glenn jadi nemenin kamu, kan? Kata kamu kemarin dia ada pemotretan di Madrid. Setidaknya ada yang jagain kamu."

Aster mengangguk sambil tersenyum kikuk. Ia terpaksa berbohong agar diijinkan oleh ibunya untuk pergi ke tempat kelahiran ayahnya. Jika tidak menggunakan cara itu, sudah pasti ibunya akan memaksanya berangkat bersama Canna. Hal yang kurang baik di saat hatinya masih merasa sakit atas pengkhianatan kakaknya. Ia melongok ke luar rumah sebentar, kemudian memeluk ibunya dan juga Canna dengan sangat erat. Sengaja ia melewati Hando dan tak mengucapkan apapun lagi. Bu Marla membantu putrinya membawakan koper menuju ke taksi yang berhenti tepat di depan pagar rumah. "Kamu itu sama kayak Mama dulu, keras kepala dan egois. Hati-hati ya, Nak. Kalau yang kamu cari udah ketemu, cepetan pulang."

"Iya, Mama," jawabnya sambil membuka pintu belakang taksi.

"Aster! Aster bisa bicara sebentar?" tiba-tiba saja Hando muncul dari balik punggung Bu Marla.

Aster terlihat ragu, namun saat melihat Bu Marla dan Canna mengangguk, dengan terpaksa ia meladeninya.

"Aku..." Hando terlihat kebingungan dengan apa yang akan dikatakannya. "Hati-hati di jalan ya," ucapnya pada akhirnya, meskipun setelah itu ia memejamkan mata seperti menyesali sesuatu.

"Hei, aku bukan mau pindah kok. Tapi makasih udah khawatir sama aku," jawab Aster sambil tersenyum, kemudian mengeluarkan sebuah gelang misanga berwarna campuran putih, ungu, merah, dan kuning. Warna yang sama seperti bunga aster yang biasanya ia letakkan di dalam kamarnya.

"Semoga persahabatan kita tetap abadi dan nggak akan pernah terputus oleh apapun," ucapnya sambil memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan kiri Hando, mengabaikan gelang yang sama dengan warna berbeda yang sudah menghiasai pergelangan tangan kanan lelaki itu.

"Bye semuanya!" seru Aster dan segera masuk ke dalam taksi.

Hando bahkan masih bingung memikirkan kenapa Aster justru mengharapkan persahabatan mereka abadi, bukan hubungan mereka. Matanya tak lepas dari gelang pemberian gadis itu yang melingkari pergelangan tangannya. Hatinya merasakan suatu hal yang janggal dan tidak nyaman begitu ia mendongak. Gadis itu sudah tidak ada. Rasanya seperti kosong dan ada sesuatu yang hilang.

"Hando, kita berangkat sekarang? Tenang aja, Aster minggu depan udah balik kok." Canna mendekati lelaki itu dan memeluk lengannya. "Ma, aku sekalian nyari kos-kosan di sana ya."

Bu Marla mengangguk tanpa mengatakan apapun. Perempuan itu terlihat begitu sedih dan bibirnya terus saja cemberut sejak kepergian Aster. Canna yang melihatnya hanya bisa menghela nafas pasrah. Hatinya sedikit sakit saat perempuan yang dikasihinya membalikkan badannya dengan lesu dan tak bersemangat.

"Canna, hati-hati di jalan. Kalau besok wawancaranya udah selesai, cepetan pulang biar Mama nggak sendirian," seru Bu Marla yang belum terlalu jauh dari posisi mereka.

Senyum Canna merekah mendengar permintaan ibunya. "Iya, Ma. Besok aku usahain cepat pulang." Hatinya merasa gembira karena ibunya akhirnya memperhatikannya, tidak melulu terfokus pada Aster.


***
Sudah gelas ketiga kopi yang diminumnya, dan Aster masih saja merasakan sakit di hatinya. Ternyata dikhianati itu benar-benar menyakitkan. Kalau dulu dia selalu mengolok-olok setiap gadis yang terlihat mengenaskan setelah diselingkuhi pacarnya, sekarang dia merasakan sendiri. Rasanya seperti tidak diinginkan dan hanya menjadi cadangan. Seberapa besar usahanya untuk melupakan pengkhianatan yang dilakukan oleh mereka berdua, sesering itulah suara rintihan kakaknya terngiang-ngiang di telinganya. Ternyata mencintai tidak sesederhana itu. Rasa yang dulu begitu kuat dan diyakininya akan bertahan selamanya, sedikit demi sedikit mulai terkikis setelah melihat apa yang dilakukan oleh Hando dan Canna. 

"Ya Tuhan, kalau mencintai bisa sesakit ini, bolehkah aku nggak usah merasakan cinta?" gumamnya sambil terisak, tidak peduli ia sedang berada di tempat umum yang sangat ramai sekalipun.

Dadanya merasakan sakit yang begitu menyesakkan. Sekarang ia tahu, bagaimana rasanya menjadi seorang wanita yang diselingkuhi kekasihnya dan tahapnya sudah sampai pada hubungan badan.  Rasanya tidak rela jika orang yang ia cintai merengkuh kenikmatan duniawi dari tubuh wanita lain, sedangkan ia sendiri mati-matian menjaga mahkotanya demi suaminya kelak. Sekarang ia tahu, banyak perempuan yang gelap mata dan nekat membunuh pasangannya atau selingkuhannya. Rasa sakitnya sungguh tak tertahankan. Ternyata menghakimi jauh lebih mudah saat ia belum pernah merasakannya sendiri. Dan saat ini dia mulai sadar, segala sesuatu tidak bisa dilihat hanya dari luarnya saja. Ia harus mulai peka pada apapun agar tidak gampang mencemooh orang lain.

Diraihnya gelas plastik yang masih menyisakan kopi hitam setengahnya. Saat hendak meminumnya, perutnya terasa mulas. Ia menggerutu dan melihat ke sekeliling. Seorang pelayan kafe yang melintas langsung dipanggilnya. "Mas, aku bisa nitip koper ini nggak? Mau ke toilet nih."

Laki-laki itu mengangguk dan membawakan kopernya ke dalam counter pemesanan minuman dan makanan. "Nanti langsung ambil aja kopernya di sini, Mbak."

"Makasih," jawab Aster dan bergegas mencari toilet yang ada di kafe yang memiliki cabang di seluruh dunia itu.

Biasanya perutnya tahan setelah meminum bergelas-gelas kopi saat bersama dengan Glenn. Tapi entah kenapa kali ini perutnya mulas luar biasa setelah meminum gelas ketiga. Seharusnya tadi dia menerima tawaran Glenn yang akan menemaninya di sini sambil menunggu keberangkatan pesawatnya. Kalau sudah begini, dia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa. Tak ada yang mengingatkannya untuk tidak meminum kopi sebelum naik pesawat seperti Glenn. Mendadak ia merindukan lelaki itu. Rasanya saat ini ia sangat membutuhkannya untuk kembali mencurahkan segala isi hatinya yang masih mengganjal. Berbicara dengan Glenn seperti berbicara dengan kakak laki-laki yang tak pernah dimilikinya.

"Ah, akhirnya lega juga," gumamnya setelah menyelesaikan urusannya.

Tanpa melihat waktu, ia segera kembali ke counter tadi dan mengambil kopernya. Ransel kecil tetap terpasang di punggungnya, hal yang biasanya tidak pernah dilakukannya saat bepergian dengan menggunakan pesawat. Setelah berterima kasih pada karyawan yang berada di sana, ia keluar dari kafe yang berada di dalam bandara itu. Sedikit tergesa-gesa ia menuju ke check-in counter di terminal 2E. Tiket dan KTP di tangannya dipegangnya erat-erat, karena biasanya ia lalai jika sudah memegang benda yang sangat ringan seperti itu.  Saat ini dia benar-benar harus membiasakan diri untuk melakukan semuanya sendirian, tidak lagi bergantung pada ibunya, Canna, Hando, dan Glenn.

Saat sampai di salah satu check-in counter, keningnya berkerut heran karena antreannya tidak begitu ramai seperti biasanya. Dilihatnya check-in counter yang lain juga hanya ada beberapa orang saja yang antre. Padahal ini hari Minggu, seharusnya bandara ramai karena hari libur. Jantungnya berdebar karena perasaannya mulai tak enak. Dengan ragu-ragu ia tetap melangkah menuju ke antrean. Begitu tiba gilirannya, ia menyerahkan KTP dan tiket pesawatnya pada petugas. Kerutan yang terbentuk di kening petugas itu semakin membuat debar jantungnya tak karuan.

"Pesawatnya sudah berangkat setengah jam yang lalu, Nona. Kenapa Anda bisa terlambat?" tanya petugas itu dengan menggunakan bahasa Inggris, mungkin mengira kalau dirinya adalah orang bule yang sedang ingin kembali ke negaranya.

Wajahnya langsung pucat dan kedua telapak tangannya berkeringat dingin. "Sudah berangkat? Aduh, tadi saya masih di kafe sana dan harus ke toilet," jawabnya dengan menggunakan bahasa Indonesia, membuat petugas itu sedikit terkejut dan salah tingkah.

"Eh, kalau begitu Anda bisa datang ke loket di terminal 2D atau 2E. Siapa tahu masih ada tiket untuk penerbangan selanjutnya ke Madrid siang ini," usul petugas itu dengan ramah.

Ia mengangguk singkat dan segera pergi dari counter itu setelah mengambil KTP dan tiketnya. Tak mungkin ia kembali lagi pulang, karena tekatnya sudah bulat untuk mencari ayahnya. Jika ia memutuskan untuk pulang saat ini juga, maka ia tak yakin akan berani bepergian sendirian lagi di kesempatan berikutnya. Rasanya ia menyesal sudah berlama-lama di kafe hanya untuk menangis dan menghabiskan tiga gelas kopi yang membuat perutnya mulas. 

Dilangkahkannya kakinya menuju ke loket di terminal 2E dengan pikiran linglung karena terlalu bingung. Hanya ada beberapa orang yang membeli tiket secara langsung. Diputuskannya untuk menuju ke loket milik maskapai penerbangan yang dimiliki oleh pemerintah itu. Kebetulan saat ini orang-orang tersebut sudah selesai membeli tiket.

"Kalau mau ke Madrid, kira-kira jam berapa ya berangkatnya?" tanyanya pada petugas loket.

Wanita yang menjadi petugas loket itu sedikit mengerutkan keningnya, namun tetap memeriksa komputernya.

"Penerbangan ke Madrid jam 1 siang, tapi harus transit ke Singapura dulu. Seat-nya masih tersisa satu. Untuk penerbangan jam 3 sore, transit ke Malaysia atau Brunei. Untuk ke Malaysia seat-nya kosong, untuk ke Brunei seat-nya masih tersisa tiga. Hanya ada itu, Miss," jawab wanita itu.

Ia berpikir cepat. Lebih baik berangkat dari Singapura saja kalau begitu. Diputuskannya untuk membeli tiket ke Singapura dengan hati lega. Setidaknya dia masih bisa tetap berangkat ke Madrid hari ini juga, meskipun harga tiketnya lebih mahal.

"Berangkatnya satu jam lagi, silahkan check in terlebih dulu dan menunggu di boarding room," kata wanita itu dengan senyum ramah sambil menyerahkan tiketnya.

Cepat-cepat ia menuju ke check-in counter karena tak mau lagi ketinggalan pesawat. Pengalaman ini adalah pelajaran pertamanya melakukan semuanya sendirian, dan dia bertekat akan terus belajar dengan usahanya sendiri.

***
Hando terbangun dari tidurnya dengan jantung berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia baru saja bermimpi buruk tentang Aster, dan itu membuatnya benar-benar ketakutan. Diraihnya ponsel yang tergeletak di atas bantal di sampingnya dan melihat layarnya. Masih pukul 2 pagi, dan sudah memasuki hari Selasa. Tidak ada satupun pesan atau missed call di sana seperti yang diharapkannya. Kenapa tak ada seorangpun yang memberinya kabar mengenai Aster? Apa gadis itu sudah sampai? Atau masih dalam perjalanan? Diusapnya wajahnya dengan gusar. Ia memutuskan untuk menyalakan televisi di ruang tamu apartemen miliknya karena sudah tak bisa tidur lagi.

Beberapa stasiun TV hanya menampilkan garis vertikal warna-warni atau gerombolan semut kebingungan, beberapa yang lain menampilkan film barat atau film China, dan beberapa yang lainnya menampilkan acara-acara tidak jelas. Hampir saja ia mematikan TV itu, saat salah satu stasiun TV khusus berita menampilkan headline mengenai pesawat yang hilang. Ia menghela nafas panjang. Lagi-lagi pesawat hilang. Akhir-akhir ini kejadian seperti itu sering sekali terjadi. Dari dua pesawat Malaysia yang hilang entah kemana dan dirudal di Ukraina, sampai pesawat dari Surabaya menuju ke Singapura yang jatuh ke laut. 

Direbahkannya kepalanya di atas sandaran sofa dan memandang langit-langit apartemen. Teringat dengan mimpi buruknya tentang Aster yang terjebak di dalam pesawat yang meledak, dan tak ada satupun penumpang yang selamat. Ia tertegun saat menyadari sesuatu. Sekilas tadi dia sempat melihat nama pesawat yang jatuh beserta tujuannya. Degup jantungnya kembali meningkat. Kedua tangannya gemetar saat meraih remote di sampingnya dan mengembalikan channel TV tadi. Beruntung stasiun TV itu masih menampilkan berita yang sama, tapi sayang sekali justru yang ditampilkan adalah daftar nama penumpang yang berada di dalam pesawat tersebut. 

Jantungnya seperti berhenti sejenak saat melihat dengan jelas nama penumpang yang berada di urutan ke 99. Aster Russelia Morales. Tak ingin percaya begitu saja dengan apa yang dilihatnya, ia setengah berlari menuju ke kamar dan menyalakan koneksi internet di laptopnya. Dibukanya semua akun jejaring sosial milik Aster dan juga alamat email gadis itu. Semuanya memiliki nama lengkap yang sama. Sekali lagi ia ingin menyangkal dengan membuka Google dan mengetikkan nama lengkap Aster di sana. Hanya ada satu Aster yang memiliki nama lengkap Aster Russelia Morales. Kenyataan itu membuatnya linglung. Tangannya meraih ponsel dan mencari kontak Bu Marla. Pikirannya kacau dan seluruh tubuhnya gemetar.

"Maaf mengganggu malam-malam begini. Tapi...Tante sudah mendapat kabar dari Aster? Dia sudah sampai di Madrid, kan? Dia baik-baik saja, kan?" tanyanya begitu panggilannya diangkat.

Lama tidak ada respon dari Bu Marla, sampai-sampai ia mengira kalau perempuan itu mengangkatnya di tengah-tengah tidurnya. Hingga terdengar suara serak dan sengau dari seberang telpon, membuat kecemasannya menjadi kian bertambah.

"Maaf belum ngasih tahu berita ini ke kamu, Ndo. Tadi sore Tante langsung pingsan setelah lihat berita di TV." Jeda sejenak yang diiringi dengan isak tangis dari Bu Marla. "Tadi...tadi Canna yang ngecek di bandara dan...nama Aster ada di daftar penumpang pesawat itu. Mereka bilang nunggu kabar dari tim pencari, baru bisa dipastikan siapa saja korbannya. Tapi..."

Ia menutup matanya, tak sanggup mendengarkan kelanjutan dari kalimat itu. Hatinya terus saja berdoa agar Aster baik-baik saja, meski kemungkinannya sangat kecil. Dari berita-berita yang didengarnya saat ada pesawat yang hilang, semua korbannya tak ada yang selamat.

"Terima kasih atas informasinya, Tante." Ia mengatur nafasnya yang mulai tak beraturan. "Semoga ada kabar baik dari tim pencari. Selamat pagi."

Dilemparnya ponsel itu ke atas ranjang dengan hati kalut. Penyesalan itu semakin besar. Seandainya saja dia mengatakan apa yang dirasakannya pada gadis itu, tidak, seandainya saja dia tidak terburu-buru melakukan hubungan di luar nikah dengan Canna, mungkin saja saat ini Aster masih berada di sini. Tapi apa hubungannya? Ia semakin bingung. Yang jelas hatinya merasakan kekosongan yang teramat nyata hanya karena mendengar kabar itu. Diraihnya kalung milik gadis itu yang sengaja diambilnya dari kamarnya. Perasaan rindu dan kehilangan menyatu dalam hatinya, membuatnya merasa seperti terhimpit. Begitu menyesakkan. Saat tangannya menyentuh liontin berbentuk bunga aster kecil berwarna putih, kilasan perkataan-perkataan gadis itu kembali terngiang.

"That was my first kiss, and I hope it will be your last..."

"Semoga persahabatan kita tetap abadi dan nggak akan pernah terputus oleh apapun..."

"Aku pengin menghabiskan malam ini sama kamu..."

"Mungkin kamu berharap aku segera menghilang. Berdoa saja semoga apa yang kamu inginkan cepat terkabul..."

"Kalau seandainya aku memang pergi selamanya gimana?"

"Aku pengin kayak bintang jatuh itu. Saat aku menghilang nanti, orang-orang bakal merindukan aku dan berharap aku segera muncul, biar mereka bisa membuat satu pengharapan yang akan dikabulkan oleh Tuhan..."

Dan yang diinginkannya saat ini adalah memutar kembali waktu yang terbuang sia-sia karena sudah menyia-nyiakan Aster. Ia ingin memperlakukan gadis itu dengan baik dan memandangnya dengan hati yang terbuka, bukan dengan pandangan picik yang selalu menghakiminya karena cara berpakaian dan sikapnya. Ia ingin diberikan satu kesempatan lagi meskipun sangat kecil kemungkinannya. Hatinya semakin berdenyut nyeri. Betapa bodohnya ia yang tak menyadari arti dari kalimat-kalimat yang terdengar aneh di telinganya saat itu.

"Kamu benar, Aster. Kamu adalah bintang jatuh yang udah kulewatin begitu aja karena kebodohanku. Aku merindukan kamu. Aku harap kamu segera muncul..." ucapannya terhenti saat dirasakannya tenggorokannya seperti tercekat.

"Please, kumohon beri aku kesempatan sekali lagi, Tuhan," gumamnya dengan kedua mata yang mulai memburam karena dipenuhi oleh cairan bening.

===0===

Made by Alya Feliz
9 Februari 2015


Visualisasi Aster Morales
Visualisasi Canna Morales






Share this article :

+ comments + 4 comments

Feb 10, 2015, 10:34:00 AM

no no no, klo pun aster selamat km ttep hrus tanggung jwab sama canna atas apa yg km perbuat hando.. hahaha, nysel kan lo ? tpi d satu sisi sedih jga sih T_T

Feb 10, 2015, 11:40:00 AM

indah Hihihi syukurin noh galau galaauuuu. Salah sendiri plin plan ya jadi orang, maunya semua diembat *ambil palu* Enaknya cowok kayak gitu dipersulit aja ya XD

Feb 10, 2015, 5:36:00 PM

alya : mbaa, itu aster nggk knpknp kan yah? yg hilang pesawat yg dia ketinggalan itu? smoga aja bener.. trus ntr munculin sosok yg lbih keren dong mba dri hando :p yg bsa bkin aster move on, yahh biarpun nggk gampang sih hahaha.. ehh itu hando emng udh ngelakuin itu ato nggk nyampe jebol mba? klo nggk yaa msi bsa d pertimbangin si hando balik ama aster :p ughhh, penasaran deh pkoknya ama lnjutannya..

Feb 11, 2015, 7:00:00 AM

indah kalau batal berangkat namanya masih tercantum kan ya? Iya itu hando udah ngelakuin begituan sama Canna. Biasalah kalau lemah iman ya begitu :( nanti deh...lanjutannya di madrid hihihi

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger