SANG WAKTU - Bab 3

February 8, 20156comments

Cover Sang Waktu

Terik panas matahari tak menyurutkan niat Aster untuk tetap datang ke restoran milik ibunya yang cukup terkenal di kota Jakarta. Tak dipedulikannya keringat yang menetes di dahinya karena memakai pakaian yang cukup tertutup, ditambah dengan jaket untuk menutupi lengannya yang terbuka. Penampilannya yang tidak biasa ini tentu saja menarik perhatian para karyawan ibunya. Beberapa dari mereka sempat mengira kalau dia adalah Canna, namun segera berubah pikiran saat melihat rambutnya yang diwarnai coklat. Saat ia sudah sampai di sebelah meja kasir yang cukup ramai dengan antrian pengunjung restoran, seorang karyawan laki-laki yang berada di samping si kasir sedikit gelagapan. Ia hanya tersenyum melihat reaksi karyawan itu. Bukan hal yang aneh, karena selama ini ia selalu bersikap angkuh dan suka memerintah jika berada di sini. Berbeda sekali dengan Canna yang down to earth, yan menganggap mereka semua adalah teman.

"Mama ada?" tanyanya sambil tetap tersenyum.

"Eh? Itu...Ibu lagi istirahat di ruang kerjanya, Mbak. Katanya nggak boleh diganggu. Tapi kalau Mbak Aster mau ketemu, silahkan masuk aja Mbak," jawab pemuda yang usianya kira-kira di bawah Aster itu sambil tersenyum kikuk.

"Ya udah, aku masuk dulu. Oh iya, aku ada sedikit hadiah nih buat kalian. Nanti bagi-bagi ke temen-temen yang lain ya kalau jam kerja udah kelar. Semoga berkenan sama hadiahku yang nggak ada nilainya ini," ucap Aster sambil memberikan sebuah tas dari kertas berukuran besar pada pemuda itu.

"Duh, kok repot-repot ngasih hadiah segala, Mbak? Tapi makasih banyak lho," jawab pemuda itu sambil sedikit mengintip isi dari tas yang digenggamnya.

Aster tersenyum, kemudian berlalu dari hadapan pemuda itu yang kini tengah mengambil satu bungkus plastik yang berisi gelang dari anyaman rumit. Ia mengamati gelang itu dengan kening berkerut. Ada banyak warna yang menghiasai gelang itu, sehingga terlihat indah dan menarik.

"Psst, apaan tuh? Eh, ini gelang misanga ya? Astaga, Nona Besar ngasih kita beginian?" tanya gadis yang tadi masih sibuk melayani pengunjung restoran yang hendak membayar pesanannya.

"Memangnya kenapa? Bukannya gelang beginian udah biasa ya?" tanya pemuda itu heran.

"Ck, ini tuh gelang persahabatan. Kalau ada yang ngasih kita gelang kayak gini, sama aja dia nganggep kita penting banget. Jadi..." Gadis itu membuka mulutnya dengan mata sedikit membelalak. "Ya Tuhan, jadi maksudnya kita semua penting buat Nona Besar gitu? Astaga, gue nggak nyangka kalau dia ternyata peduli sama kita," lanjutnya dengan senyum haru.

Pemuda itu tersenyum melihat tingkah rekan kerjanya dan mengambil bungkusan gelang lain dengan warna berbeda. "Buat cewek gue bagus nih. Moga aja niat baik Mbak Aster dapet balasan yang lebih besar. Yang sederhana kayak gini justru lebih bermakna ya."

Gadis itu mengangguk dengan semangat sambil melihat-lihat gelang-gelang di dalam tas itu. Sesekali ia memekik senang saat menjumpai motif anyaman yang terlihat menarik di matanya. Penilaian mereka terhadap Aster sedikit demi sedikit mulai berubah, hanya karena hal kecil sepeti itu.

***
"Aku gangguin Mama ya?" tanya Aster saat melihat ibunya terbangun dari ranjang yang cukup untuk satu orang  di sudut ruangan.

Bu Marla mengejap-ngejapkan matanya untuk menjernihkan pandangannya yang sempat buram akibat tidur siangnya. 

"Eh? Tumben kamu ke sini? Ada apa, Sayang? Sini-sini, duduk di sebelah Mama," perintah Bu Marla sambil menepuk-nepuk sisi yang kosong di sebelahnya.

Aster menuruti perkataan ibunya dan duduk di sebelahnya, sementara Bu Marla menurunkan kakinya ke lantai dan mencari sepatu sandalnya. "Ada apa? Biasanya ada hal yang penting nih kalau dateng ke sini. Lho, tadi bukannya kamu bilang mau jalan sama Hando? Kok jam segini udah pulang?"

"Aku mau ke Spanyol buat nyari Papa, Ma," ucap Aster tanpa menghiraukan pertanyaan ibunya. "Besok jam 10 pagi. Aku udah pesen tiketnya."

Bu Marla menghentikan kegiatannya memasang sepatu sandal ke kakinya. Ia menoleh pada putrinya dengan kening berkerut. "Kenapa mendadak sekali? Tapi....pernikahanmu sama Hando kan masih lama, Nak. Apa nggak nanti aja kamu nyari Papamu? Biar nanti Mama hubungi dia dulu, paling nggak..."

"Aku udah terlalu kangen sama Papa, Ma. Bukannya Mama pernah bilang dulu kalau kalian udah nggak pernah berhubungan lagi? Bahkan Mama nggak tahu nomor telponnya yang baru kan, setelah nomor telponnya yang lama udah nggak aktif?" potong Aster.

"Tapi...tapi kamu belum pernah ke luar negeri, Nak. Nanti kamu di sana tinggal di mana? Trus kalau kamu sakit siapa yang ngerawat? Nanti kalau kamu kesepian? Kamu sendirian di sana, trus kalau kamu tersesat atau...atau uangmu habis? Oh iya, Mama punya banyak tabungan." Bu Marla segera beranjak dari atas ranjang menuju ke meja karjanya. "Mama transfer ke rekening kamu, biar nanti di sana kamu bisa tetap makan enak dan tinggal di hotel yang pelayanannya bagus."

"Ma, aku di sana nggak lama kok. Lagian uangku dari hasil pemotretan masih lebih dari cukup. Nggak usah ngasih aku uang lagi," bujuk Aster sambil mendekati ibunya yang tengah sibuk menyentuh-nyentuh layar tab-nya dengan raut wajah gelisah.

"Ini, Mama udah pesenin kamar hotel yang paling bagus di Madrid. Nanti kamu tinggal konfirmasi di sana dan...."

"Ma, tolong jangan nganggep aku masih kayak anak kecil terus. Aku sama Kak Canna seumuran, tapi Mama udah percaya sama dia dan nggak pernah percaya sama aku." Aster memegang kedua lengan ibunya, sedikit memaksanya untuk menghadapnya. "Kali ini aja, aku mohon percaya sama aku. Aku mau belajar mandiri dan nggak bergantung sama orang lain. Aku udah dewasa, Ma."

Bu Marla mengusap kedua matanya yang berkaca-kaca. "Tapi ini nggak seperti saat kamu ke luar kota atau luar pulau buat pemotretan. Spanyol itu jauh, Nak. Kalau ada apa-apa, Mama nggak bisa langsung dateng ke sana. Kamu sebenarnya ada apa sih, kok tiba-tiba mau ke sana? Dulu kamu bilang, saat kamu udah bener-bener dewasa baru mau nyari Papamu sama Canna."

Aster tersenyum melihat kekhawatiran berlebihan dari ibunya. Wajar kalau ibunya bersikap seperti itu. Semua ibu pastilah akan bersikap sama jika anak gadisnya tiba-tiba mau pergi ke luar negeri sendirian.

"Atau kamu ajak Canna aja? Kalau perlu sama Hando juga. Atau nanti aja, nunggu kamu bener-bener mau nikah sama Hando, baru ke Spanyol buat nyari Papa kamu? Ini terlalu mendadak, Nak. Rasanya alasan kamu kurang kuat kalau tiba-tiba besok mau ke Spanyol," bujuk Bu Marla lagi.

"Udah 16 tahun aku nggak pernah ketemu Papa atau berkomunikasi dengannya. Aku udah nggak bisa nahan rasa kangen ini, Ma. Aku bener-bener butuh Papa." Aster merasa kedua matanya berkaca-kaca. Alasannya tidak sepenuhnya bohong, karena disaat terpuruk seperti ini, yang diingatnya dan dibutuhkannya hanyalah pelukan dari ayahnya dan suaranya. Ia terlalu mencintai ayahnya, sampai-sampai masa kecilnya sering dihabiskannya di rumah sakit saking terlalu rindunya pada sosok itu. Selain itu, ia ingin mengetahui penyebab berpisahnya kedua orang tuanya dan apa alasan sang ayah tidak pernah menghubunginya. Bertanya pada ibunya jelas sia-sia saja, karena sudah belasan bahkan mungkin puluhan kali dia melakukannya, namun ibunya selalu saja mengelak.

Suasana hening cukup lama, hanya terdengar isakan kecil dari Bu Marla. Aster memeluk ibunya dari samping sambil berkali-kali mengusap air matanya. Ia bukan bermaksud untuk melarikan diri dari masalahnya saat ini. Yang ia butuhkan adalah tekat dan keberanian untuk menjadikannya lebih dewasa dan tidak lagi terlalu bergantung pada orang lain khususnya Hando. Kebohongan yang disimpan lelaki itu selama ini membuatnya kembali rapuh dan membutuhkan dukungan dari orang yang sangat dicintainya dan mencintainya dengan tulus. Bukannya cinta dari ibunya saja tidak cukup, melainkan sejak kecil ia sudah terlalu dekat dengan sang ayah.

"Nanti Mama sendirian, nggak ada yang ngerusuh di dapur...." Bu Marla mengusap air matanya. "Nggak ada yang nyelinap ke kamar Mama malem-malem kalau hujan turun."

Mereka berdua tertawa mengingat kenangan-kenangan sederhana itu. Aster melepaskan pelukannya pada tubuh ibunya dan tersenyum. "Tenang aja, Ma. Aku paling cuma...seminggu atau bisa jadi lebih di sana. Kalau uangku menipis sebelum seminggu, ya aku langsung pulang aja Ma. Mama nggak perlu mendramatisir gitu deh. Kayak aku bakalan tinggal di sana selamanya aja. Berdoa aja semoga Papa cepet ketemu. Mama masih punya alamat rumah Papa di Madrid, kan?"

Bu Marla mengangguk. "Nanti Mama kasih kamu alamat lengkapnya. Kamu masih punya foto Papamu kan? Jangan lupa catet alamatnya di hape kamu juga biar nggak lupa."

Aster tesenyum senang mendengar jawaban dari ibunya. Akhirnya dia diijinkan untuk mencari ayahnya setelah menunggu sekian lama. Dan akhirnya dia harus menata kembali hatinya serta belajar menjadi dewasa, setelah lelaki yang sangat dicintainya mencampakkannya secara tidak langsung.

***
Hando menghela nafas panjang, kemudian menghembuskannya dengan kasar. Ia menoleh pada jam dinding di kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 5 sore. Kalau saja bukan karena paksaan Canna, dia tak akan mau menemui Aster dan berpura-pura bersikap manis di depannya layaknya seorang tunangan. Satu jam yang lalu, Aster mengiriminya pesan singkat dan mengajaknya jalan-jalan. Ingin rasanya ia membalas pesan gadis itu dan mengatakan padanya kalau ia tidak jadi pulang karena harus lembur, tapi sekali lagi paksaan dari Canna tak bisa ditolaknya.

"Please, cepetan temuin dia, Ndo," bujuk Canna sekali lagi saat melihat lelaki itu masih menatap jam dinding dengan raut wajah gelisah.

"Seharusnya kamu yang kuajak kencan saat ini, Sayang. Ck, kenapa semuanya jadi serba sulit gini, sih?" gerutunya sambil mengacak-acak rambutnya.

"Hei, nggak boleh gitu. Kasihan dia udah nungguin kamu dari tadi pagi. Aku ngerasa udah jahat banget sama dia. Aku mohon, Ndo," bujuk Canna sambil mengeratkan selimutnya untuk menutupi dadanya.

"Ck, enakan ngabisin waktu di sini aja sama kamu seharian penuh. Ya udah, aku nggak bakal lama. Kamu buruan mandi gih, biar wangi," katanya pada akhirnya dengan nada pasrah.

Lelaki itu mencium gadis pujaannya dengan mesra sambil membelai rambutnya. Dilihatnya tubuh polos yang masih berbalut selimut itu dengan senyum mengembang, teringat dengan apa saja yang sudah mereka lakukan seharian tadi di kamar ini. Ia mencium kening gadis itu sekali lagi, sebelum beranjak dari ranjang dan keluar dari kamar. Dengan sedikit malas ia melangkahkan kakinya ke rumah di sebelahnya. Suasana terasa begitu sepi dan tak ada satupun mobil yang terparkir di halaman rumah milik Bu Marla. Begitu mencapai pintu, ia sedikit ragu untuk membunyikan bel. Biasanya ia langsung masuk ke rumah itu, tapi kali ini hanya ada Aster di sana. Ia tak mau gadis itu kegirangan dan memanfaatkan kesempatan itu untuk melakukan hal yang macam-macam. Diputuskannya untuk menekan bel rumah sekali, setelah itu ia hanya diam saja di depan pintu.

Terdengar langkah kaki dari dalam rumah, dan tak berapa lama kemudian pintu itu terbuka. Aster muncul dengan pakaian tertutup kali ini. T-shirt yang dilapisi jaket dan celana jeans. Rambut hitamnya yang diwarnai coklat dan dibiarkan tergerai membuat gadis itu terlihat imut sekaligus manis. Wajahnya tidak menggunakan riasan berlebihan seperti biasanya, hanya pelembab bibir dan sedikit bedak. Secara keseluruhan, penampilan Aster yang biasa saja membuat Hando terkesan. Ia heran kenapa gadis itu benar-benar menuruti keinginannya untuk berpenampilan sederhana saja seperti Canna. Tapi meskipun begitu, tetap saja penampilan Aster berbeda dengan Canna. Entahlah, ia merasa kalau gadis itu lebih cute dan menarik dengan berpenampilan apa adanya seperti ini. Kulitnya juga putih bersih, membuatnya betah berlama-lama memandangi wajah itu. 

"Kita keluar sekarang?" tanya Aster sambil tersenyum, membuatnya mengejap-ngejapkan matanya untuk membuyarkan kegiatan memalukannya tadi.

"Eh, iya sekarang aja. Maaf ya aku baru aja pulang. Tadi sempat lembur sebentar di kantor, baru aja kelar jam 12 siang. Tadi nyampe sini sekitar jam 2-an, trus istirahat sebentar," jawabnya dengan sedikit kikuk.

Aster mengangguk sambil tetap tersenyum, membuat kedua matanya terlihat sembap. Hando mengerutkan keningnya bingung. Gadis itu terlihat seperti habis menangis. Kedua mata coklat mudanya yang biasanya terlihat besar dan indah, kini sedikit tertutupi dengan lingkaran matanya yang sedikit bengkak. Kalau biasanya ia betah berlama-lama melihat mata coklat tua milik Canna, kali ini ia betah memandangi kedua mata sembap itu. Entah apa yang membuatnya berbuat demikian, yang pasti gadis itu terlihat begitu berbeda kali ini.

"Yuk, keburu malem. Ajak aku ke tempat yang biasanya kamu kunjungi sama Kak Canna ya, waktu aku nggak ada. Aku pengin tahu, tempat-tempat kayak apa yang disukai Kak Canna saat hanya berduaan sama kamu. Aku udah bosan di tempat-tempat mewah," ujar Aster dengan mata yang tidak lagi menatapnya.

Hando kembali mengerutkan keningnya. Tak biasanya gadis itu ingin tahu tempat mana saja yang sering dikunjunginya bersama Canna, saat dia sedang sibuk pemotretan atau kuliah. Biasanya Aster hanya memikirkan keinginannya sendiri dan baik dia maupun Canna harus menurutinya. Tak berapa lama ia mengangguk, menyetujui keinginan Aster. Hatinya bertanya-tanya, kenapa bahkan sampai detik ini ia tak sanggup menolak keinginan gadis itu? Seperti ada aura tersendiri yang membuatnya kebingungan dan tak mampu untuk mengatakan kata tidak.

Dilihatnya Aster yang tengah mengunci pintu rumahnya, kemudian berjalan melewatinya begitu saja. Satu hal lagi yang menurutnya terasa aneh. Tak biasanya gadis itu tidak memeluk lengannya dengan manja dan bertingkah centil saat bertemu dengannya, yang dulu seringkali membuatnya muak dan merasa tak enak dengan Canna. Tanpa sadar ia mengharapkan gadis itu berhenti, kemudian kembali mendekatinya dan memeluk lengannya seperti biasa. Namun saat jarak mereka sudah lima meter lebih, Aster tak kunjung berhenti dan berbalik. Perasaan kecewa langsung menyusup ke dalam hatinya tanpa bisa dicegah. Ada yang hilang dan terasa janggal dari semua ini. Sebelum ia sempat menyusul gadis itu, Aster tiba-tiba saja berhenti melangkah dan berbalik. Ada sebersit rasa lega sekaligus senang saat akhirnya gadis itu benar-benar melakukan apa yang tadi dia harapkan.

"Oh iya, kita jalan pake mobil siapa? Nanti kamu capek lagi kalau harus nyetir terus. Duh, kenapa aku pede banget main jalan aja," ucap gadis itu, membuat bibirnya yang tanpa sadar tadi tertarik, kembali mengendur dan hatinya merasa kecewa.

"Eh, pake mobilku aja. Maaf tadi aku nggak sekalian bawa mobilnya ke sini. Kebiasaan selalu jalan kaki kalau ke rumah ini," jawab Hando sambil tersenyum kikuk.

Aster terkekeh kecil, kemudian mengangguk dan kembali melanjutkan langkahnya menuju ke rumah lelaki itu. 

"Sial, apa sih yang aku pikirin tadi?" gumam Hando sambil mengusap wajahnya. Teringat dengan Aster yang mungkin sudah sampai di depan rumahnya, bergegas ia menyusul gadis itu. Mendadak ada sedikit semangat yang dirasakannya saat ini.

Tanpa menunggu waktu lama, mobilnya kini sudah menelusuri jalan raya ibukota yang begitu ramai dan semakin macet karena malam Minggu. Sesekali ia melirik Aster yang terlihat biasa saja dan sedikitpun tidak mengeluh, berbeda dengan biasanya yang selalu menggerutu atau mengumpat pengendara lain yang ugal-ugalan dan hampir menabrak mobilnya.

"Ehem, seharian tadi kamu ngapain aja?" tanya Hando untuk memecahkan keheningan.

Aster menoleh, kemudian kembali menatap ke depan. "Tadi nemenin Mama di restoran."

Ia mengerutkan keningnya lagi. Hari ini Aster benar-benar aneh dan terlihat berubah. Apa ini yang dimaksud oleh Canna tadi, kalau gadis itu berubah menjadi pendiam? Tapi tidak ada aura bahagia atau wajah berseri-seri yang terlihat di wajahnya, seperti yang diceritakan oleh Canna sebelumnya. Apa Aster sedang menyimpan sesuatu? Tidak biasanya lagi gadis itu menyembunyikan sesuatu, karena apapun yang dialaminya akan diceritakannya begitu saja tanpa ada rasa malu maupun sungkan.

"Kita mau kemana? Kayaknya ini menuju ke Bandung ya?" tanya Aster saat melihat papan penunjuk arah di pinggir jalan.

"Nggak sampai ke Bandung kok. Bentar lagi nyampe," jawabnya sambil terus memperhatikan jalanan di depannya.

Setelah itu diam, tak ada lagi pembicaraan. Suasana ini benar-benar terasa asing dan tidak nyaman bagi Hando. Dikiranya tadi ia akan merasa jengkel karena kecerewetan Aster dan tingkah manjanya yang memuakkan. Tapi ternyata hal itu jauh lebih baik daripada saling diam dan tak membicarakan apapun. Diputuskannya untuk menyalakan radio, dan langsung terdengar suara Taylor Swift yang sedang menyanyikan intro lagunya yang berjudul I knew you were trouble. Lagu yang sangat dibenci Aster karena menurutnya terlalu lebay dan mendramatisir bekas pacar. Namun kali ini Aster hanya diam saja, tak sekalipun menunjukkan tanda-tanda akan mengganti saluran radio yang memutarkan lagu-lagu kesukaannya. 

Untungnya suasana tak mengenakkan itu hanya berlangsung selama Taylor menyanyikan sisa lagu itu, karena saat ini mereka sudah sampai ke tempat yang dituju. Padang bunga aster liar di atas bukit kecil yang lumayan jauh dari keramaian. Senyum Aster mengembang saat melihat pemandangan itu, dan ia berani bersumpah bahwa wajah Aster terlihat berkali-kali lebih cantik dan berseri-seri daripada biasanya. Jantungnya seperti tercubit, namun setelah itu degupnya mendadak berubah menjadi sedikit lebih cepat saat wajah cantik itu menoleh padanya. Senyuman yang biasanya ia abaikan, saat ini seperti mengunci pandangannya dan membuat sesuatu di dalam dadanya seperti berdesir.

"Indah banget! Kenapa nggak dari dulu aja sih, kamu ngajak aku juga ke sini?" seru Aster dengan suara yang terdengar riang.

Gadis itu berlari menuju ke bukit kecil itu dan menaikinya tanpa sekalipun mengajaknya. Rambut panjang bergelombangnya beterbangan karena tiupan angin yang cukup kencang, ditambah dengan cahaya matahari senja yang sebentar lagi tenggelam, membuat degup jantung lelaki itu semakin cepat dan tak terkendali. Sosok cantik itu tak pernah ditemuinya selama ini, karena mata hatinya sudah tertutup oleh kecantikan dan kesederhanaan milik Canna. Tubuh yang berputar-putar sambil tertawa riang itu dulu dianggapnya kekanak-kanakan, namun saat ini justru terlihat seperti bidadari surga yang tengah menebarkan kebahagiaan dengan tawanya.

"Hando, ngapain bengong di situ? Ayo ke sini! Mataharinya mau tenggelam nih, lihat deh!" teriak Aster dari kejauhan dengan senyum yang masih tak lepas dari bibirnya.

Hando ikut tersenyum melihat raut wajah bahagia itu. Sinar jingga dari matahari yang mulai sepenuhnya tenggelam, menambah keindahan pemandangan cantik yang memanjakan matanya. Kedua mata itu terpejam saat ia sampai di dekatnya, membuatnya lebih leluasa mengamati keindahan itu. Sampai saat langit mulai menggelap, kedua mata coklat muda yang entah sejak kapan sudah terbuka itu menatapnya heran.

"Kenapa? Ada yang aneh sama wajahku?" tanya suara yang terdengar sedikit serak itu dengan nada heran.

Ia gelagapan saat sadar telah mengamati gadis itu dengan begitu intens dan tanpa jeda. "Eh? Emm, udah mulai malem. Kamu laper nggak?"

Aster tertawa kecil, kemudian duduk di atas rerumputan yang tidak dipenuhi oleh bunga-bunga aster yang berwarna ungu dan putih. Disentuhnya bunga-bunga itu dengan senyum yang terlihat menawan di mata Hando.

"Aku pengin menghabiskan malam ini sama kamu." Jeda sesaat sebelum gadis itu mendongak dan melanjutkan. "Kalau kamu nggak keberatan tentu saja. Kita bisa menghabiskan waktu sebagai sahabat, sama kayak sebelum kita tunangan atau...apapun itu istilahnya."

Dan baru kali ini Hando merasa hatinya begitu ringan, tidak terbebani lagi seperti sebelumnya saat bersama dengan gadis itu. Tanpa berpikir panjang, ia ikut duduk di sebelah Aster dan menatap langit yang mulai sepenuhnya menggelap. Puluhan bintang mulai tampak menghiasi hitamnya malam, menambah keindahan suasana saat ini.

"Waktu cepet banget berlalu ya? Baru aja tadi lihat matahari terbenam, sekarang bulan purnama udah muncul," ujar Aster sambil menoleh ke belakang, berlawanan arah dengan tempat tenggelamnya sang raja siang.

"Sama kayak dulu waktu aku pindah ke sebelah rumahmu. Rasanya kayak baru kemarin aku ngelihat kamu masih cengeng dan penakut. Apalagi kamu suka banget sembunyi di balik punggung Canna begitu aku dateng," sahut Hando sambil mengingat masa kecil mereka, kemudian tertawa kecil.

"Hei, dulu kukira kamu orang jahat, kayak yang sering diceritain Papa sebelum aku tidur. Suka melotot dan berwajah garang," balas Aster tak terima sambil menoleh pada lelaki itu.

Hando menghentikan tawanya dan sedikit membuka mulutnya dengan raut wajah tak percaya. "Serius kamu dulu ngelihat aku kayak gitu? Pantesan aja setiap kali aku deketin kamu, kamu langsung membuang muka dan melengos pergi. Kukira dulu kamu anak kecil yang sombong, makanya aku lebih suka main sama Canna ketimbang sama kamu. Lagian dulu Canna kelihatan cantik banget."

Dan lelaki itu sama sekali tak menyadari akibat dari perkataannya yang kebablasan itu. Senyum yang tadinya merekah di bibir Aster, langsung lenyap begitu saja karena kalimat terakhir yang telah menjawab semuanya. Gadis itu kembali menghadapkan wajahnya ke depan dan mendongak.

"Hei, lihat! Ada bintang jatuh!" seru Aster saat Hando masih sibuk mengingat masa lalu mereka.

Lelaki itu mengikuti arah yang ditunjuk Aster. Senyumnya mengembang saat melihat tak hanya satu bintang jatuh yang muncul, melainkan tiga secara bergantian.

"Aku pengin kayak bintang jatuh itu. Saat aku menghilang nanti, orang-orang bakal merindukan aku dan berharap aku segera muncul, biar mereka bisa membuat satu pengharapan yang akan dikabulkan oleh Tuhan," ucap Aster dengan pandangan menerawang.

Senyum Hando langsung surut, digantikan dengan kerutan di antara kedua alisnya karena menangkap makna tersirat dari perkataan itu. Baru saja ia membuka mulutnya hendak bertanya, gadis itu sudah kembali berkata.

"Aku memang gadis yang terlihat memuakkan dan nggak bener di mata orang, bahkan mungkin aku terlihat seperti perempuan jalang karena caraku berpakaian. Tapi sampai detik ini, aku masih menjaga keperawananku."

Seperti ada tangan-tangan tak kasatmata yang mencubit hatinya, Hando refleks menoleh pada gadis itu dan semakin mengerutkan keningnya. Perkataan itu begitu menyindirnya dengan telak, membuat perasaan malu itu tiba-tiba muncul.

"Meski suaraku nggak sebagus Kak Canna, tapi aku ingin suamiku nanti nggak bakal bisa berpaling dariku, karena suara yang kuperdengarkan saat pertama kali dia mengambil mahkotaku." Aster menoleh pada Hando yang tengah menatapnya tajam. "Aku mencintaimu, dan kuserahkan pada sang waktu bagaimana rasa ini bermuara nantinya."

Setelah berkata begitu, Aster mendekatkan wajahnya pada wajah lelaki itu dan menyatukannya sejenak. Menikmati hal yang baru pertama kali ini dirasakannya. Belum sempat Hando mencerna apa yang sedang terjadi, Aster sudah menjauhkan wajahnya. Gadis itu tersenyum sambil menyentuh pipi kiri lelaki itu dan menatap kedua matanya.

"That was my first kiss, and I hope it will be your last," gumam Aster dengan suara lirih, namun masih bisa didengar oleh Hando.

Gadis itu berdiri dari duduknya dan berlalu meninggalkan Hando yang masih tertegun di tempatnya. Perasaan asing itu muncul, tepat setelah gadis itu menyerahkan ciuman pertamanya. Debaran jantung yang tak menentu dan semakin cepat mulai dirasakannya, bahkan disertai dengan rasa ingin memiliki yang begitu kuat. Perasaan yang belum pernah dirasakannya pada Canna. Dengan terburu-buru ia mengejar Aster yang sudah membuka pintu mobil dan memasukinya. Rasa itu semakin kuat, seiring dengan semakin berkurangnya jarak di antara mereka.

"Kita langsung pulang aja ya. Aku ada perlu sama Mama," ujar Aster begitu ia duduk di sebelah gadis itu.

Perkataan yang tadi hampir saja terucap, terpaksa disimpannya lagi ketika melihat bagaimana Aster langsung merebahkan kepalanya pada sandaran kursi dan memejamkan mata. Rasa kecewa itu kembali muncul. Namun ia tidak bisa begitu saja mengatakan perasaannya saat ini, karena bayangan Canna dan apa yang mereka lakukan tadi siang terlintas di benaknya. Rasa kecewa berganti dengan rasa bersalah yang teramat besar. Tanpa banyak kata, ia memutar balik mobilnya dan kembali pulang dengan pikiran kacau.

***
Sudah setengah jam berlalu dan Hando masih saja betah mengamati wajah Aster yang tengah terlelap. Seharusnya ia tak melakukan ini, namun ia tak bisa mencegahnya. Semuanya tiba-tiba berubah hanya dalam waktu sekejap saja. Perasaan menggebu-gebu yang dirasakannya pada Canna mendadak terlupakan, digantikan dengan perasaan yang mulai bertumbuh pada Aster. Ia menghela nafas panjang dan menghempaskan punggungnya pada kursi mobil. Tidak seharusnya ia memperlakukan kedua gadis ini seperti ini. Mereka bertiga adalah sahabat, bukan sepasang kekasih dan adiknya yang kemudian saling mengkhianati. Seharusnya ia tidak pernah menuruti hawa nafsunya dan menodai persahabatan mereka. Tapi semuanya sudah terjadi dan ia tak bisa kembali lagi ke masa lalu.

Beberapa saat kemudian, ia kembali menegakkan tubuhnya dan kembali mengamati Aster. Didekatkannya wajahnya pada wajah gadis itu dan menyatukannya sejenak. Menikmati kembali debaran yang muncul dan membuatnya melayang. Namun suara pintu terbuka membuatnya cepat-cepat menjauhkan wajahnya. Dilihatnya Canna yang menunggu di teras rumah dengan raut wajah gelisah. Perasaan bersalah itu kembali muncul. Ia merasa seperti laki-laki brengsek yang hanya mempermainkan perasaan perempuan. Mengabaikan rasa bersalah yang kian membesar, dibukanya pintu di sampingnya dan bergegas menghampiri pintu di sebelah Aster yang masih tertutup. Kali ini ia menggendong gadis itu, bukan membangunkannya seperti yang biasanya ia lakukan.

"Aster kenapa? Dia kecapekan?" tanya Canna begitu lelaki itu sampai di depannya.

"Iya, tadi kayaknya dia bantuin Bu Marla di restoran seharian," jawab Hando dengan senyum tipis. 

Lelaki itu masuk ke rumah Bu Marla dan tersenyum saat berpapasan dengan sang pemilik rumah. "Saya akan membawa Aster ke kamarnya, Tante. Boleh kan?"

Bu Marla mengangguk, dan menahan Canna yang akan menyusul lelaki itu. Perempuan paruh baya itu memberi isyarat pada putrinya untuk mengikutinya ke dalam kamarnya, guna membicarakan sesuatu yang sangat penting.

Hando sendiri membaringkan tubuh Aster dengan hati-hati di atas ranjangnya. Wajahnya terlihat polos dan menggemaskan, membuat lelaki itu kembali merasakan perasaan yang seharusnya hanya dirasakannya untuk Canna.

"Kenapa kamu bisa membuat aku nggak karuan kayak gini, hanya dalam waktu beberapa jam saja?" gumamnya sambil menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah eksotis itu.

Dihirupnya aroma parfum yang dipakai gadis itu. Begitu wangi dan memabukkan. Matanya tanpa sengaja melihat sebuah kalung perak dengan liontin bunga aster berwarna putih di atas nakas. Diambilnya kalung itu dan menyimpannya ke dalam saku celananya. 

"Maaf," ucapnya sebelum mencium kening gadis itu dan keluar dari kamarnya.

====0====

Made by Alya Feliz
8 Februari 2015

DILARANG KERAS MENJIPLAK ATAU MENGCOPY PASTE TULISAN INI DENGAN CARA APAPUN. HARGAI HASIL JERIH PAYAH ORANG LAIN DAN INGATLAH KARMA SELALU BERLAKU!











Share this article :

+ comments + 6 comments

Feb 9, 2015, 12:25:00 AM

poor u hando.. penyesalan memang slalu trlmbat.. aaa, nggk sbar nunggu klanjutannya... smoga slalu dpt mood nulis mbaa ..

Feb 9, 2015, 7:00:00 AM

indah prima haihhh bacanya tengah malam XD. Iya bener, kalau udah gitu baru nyesel, dulu aja sok yakin pasti bakalan cinta sama itu doang *jitakin kepala hando sampe benjol* hiihi moga aja ini lancar nulisnya ya. Yang di watty nanti dulu, masih belum mood :D

Feb 9, 2015, 11:04:00 AM

alya : hehe, iya mba. bete mba liat sifat cowo yg bgitu, nggk yakin ama prasaan sndiri. ahhh, valen ya mba? biarpun lama ttep nunggu lnjutannya.. hahaha

Feb 9, 2015, 11:04:00 AM

alya : hehe, iya mba. bete mba liat sifat cowo yg bgitu, nggk yakin ama prasaan sndiri. ahhh, valen ya mba? biarpun lama ttep nunggu lnjutannya.. hahaha

Feb 10, 2015, 8:57:00 AM

indahxixixi dalam dunia nyata ada nggak sih cowok kayak gitu? Eh tapi melihat gimana status2 galau di sosmed kayaknya bejibun ya hahaha. Valen diusahain tetep lanjut deh, tapi ya gitu lama nggak tergantung mood XD

Feb 10, 2015, 11:13:00 AM

Alya : banyak mba, skrng blng a ntr blng b trus c =)) ngeselin bgt mba klo ktemu yg bgitu.. sipp mbs (y)

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger