SANG WAKTU - BAB 11

May 17, 20154comments

Cover by Alya Feliz

"Siapa nama lengkapmu?" Alih-alih bertanya apakah yang diceritakan oleh wanita itu benar, Aster justru menanyakan nama lengkap Eliana. Pikirannya benar-benar kacau saat ini.

"Fiorenza Eliana Morales," jawab Eliana sambil mengamati keponakannya.

Mereka sedang duduk di bangku panjang yang terletak di belakang rumah keluarga Garcia. Diana dan suaminya memberi mereka kesempatan untuk membicarakan hal ini, begitu pula dengan suami Eliana.

"Entah apa kau benar-benar bibiku atau bukan, tapi aku tak percaya dengan ceritamu," tukas Aster dengan wajah mengeras, menolak untuk melihat wanita itu. "Aku tahu ayahku. Dia bukanlah orang yang seperti itu."

Ia tetap menolak untuk percaya bahwa ayahnya berpisah dengan ibunya karena perselingkuhan. Ibunya memergoki ayahnya sedang berhubungan intim dengan adik kembarnya, Carla, saat ia baru saja pulang dari rumah orang tuanya. Ibunya marah besar, kecewa, dan sakit hati karena suami yang sangat dicintainya ternyata mengkhianatinya, dan itulah kenapa selama ini ibunya selalu menolak untuk pulang ke Bogor. 

"Kuharap apa yang kudengar hanyalah berita bohong, tapi aku mendengarnya langsung dari mulut ayahmu. Dia khilaf. Dia hancur saat ibumu menuntut cerai, dan lebih hancur lagi saat melihat ibumu hanya diam saja ketika Carla hamil hasil perbuatan mereka," lanjut Eliana dengan tersenyum masam.

Aster bangkit dari duduknya dan berjalan mondar mandir di depan wanita itu. Bukan ini yang diharapkannya. Ia berharap setelah menemukan ayahnya, setidaknya ia akan mendengarkan penjelasan mengenai...ayah dan ibunya sudah tidak cocok, atau mungkin karena mereka berbeda agama, atau...

Tubuhnya membeku saat ia mengingat Canna. Canna mencintai Hando, dan ia justru merebutnya. Bagaimana jadinya jika ia melakukan apa yang dilakukan oleh Tante Carla dan ayahnya? Canna hancur, sama seperti ibunya. Kisah mereka hampir sama, dan entah keberuntungan apa yang memihaknya, yang jelas ia bisa keluar dari lingkaran setan yang mengerikan itu. Pemikiran mengenai hubungannya dengan Canna hancur berantakan membuat perutnya seperti terlilit dan hatinya terasa sangat sakit. Tidak, dia tak ingin itu terjadi. Dia mencintai Canna. Gadis itu seperti belahan jiwanya, cerminnya. Dia tak ingin kehilangan itu semua hanya karena seorang pria.

"Aster? Kau tak apa-apa, Sayang?" Eliana bangkit saat melihat tubuh Aster bergetar hebat. "Tolong, jangan bersedih. Aku tahu apa yang dirasakan oleh ibumu. Tapi percayalah, ayahmu juga hancur. Ia diusir oleh ibumu dan mertuanya, begitu sampai di sini pun ia diusir oleh orang tua kami karena kawin lari dengan Marla. Dia tak punya siapa-siapa lagi selain aku, Sayang. Dia benar-benar hancur."

Aster tak bisa berpikir jernih. Air matanya memang mengalir deras di pipinya, tapi ia sama sekali tak mengeluarkan suara sedikitpun. Pikirannya kacau, linglung, dan yang ingin dilakukannya saat ini adalah segera bangun dari mimpi buruknya. Pelukan Eliana di tubuhnya mencegahnya ambruk di atas rerumputan.

"Apa yang harus kulakukan?" bisiknya dengan pandangan kosong. Sebuah isakan lolos dari tenggorokannya, diikuti dengan isakan lain. "Aku hampir mengulangi pola itu."

Eliana menyentakkan kepalanya ke belakang. "Apa?"

"Aku hampir mengulangi pola itu. Aku mencintai kekasih kakakku, dan hampir saja kami menikah, lalu aku memergoki mereka tidur di kamar pria itu..."

"Oh, ya Tuhan!" pekik Eliana sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Apa kau..."

Aster buru-buru menggelengkan kepalanya. "Aku belum melakukan apapun. Aku cepat-cepat kabur ke sini untuk mencari ayah. Kupikir dengan begitu aku bisa menghindar dari mereka, tapi..." ia menggigit bibirnya saat mengingat ibunya. Apakah ini yang menyebabkan ibunya enggan menjawab pertanyaan apapun mengenai ayahnya? Wanita yang dikasihinya itu benar-benar sakit hati. Seorang wanita yang sangat mencintai suaminya, pastilah rasa sakit hati itu begitu besar dan meninggalkan luka yang tak bisa diobati oleh siapapun, bahkan sang waktu sekalipun. Dan ia hampir saja melakukan hal yang sama untuk melukai Canna. Ia merasa begitu jahat hanya dengan memikirkan hal itu. Canna berhak berbahagia dengan Hando.

"Berjanjilah padaku, jangan membenci ayahmu. Dia dulu memang bajingan, tapi setelah kejadian itu dia bertobat. Ia pergi tanpa diketahui oleh siapapun. Aku mencarinya bersama suamiku dan hampir saja menyerah. Untungnya beberapa tahun yang lalu kami menemukannya. Percayalah padaku, dia sudah berubah," bujuk Eliana sambil menggenggam kedua tanganku.

Bisakah dia tidak membenci ayahnya? Tapi ia yakin ayahnya tidak bersalah. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh ayah dan ibunya. Ia sangat yakin ayahnya begitu mencintai ibunya. Sebajingan apapun ayahnya, pria itu masih punya hati. Tidak mungkin ayahnya mengkhianati ibunya hanya karena tergiur oleh wanita lain, yang bahkan wajahnya mirip dengan ibunya. Sungguh omong kosong. Ayahnya bukan orang yang serakah. Selama lima tahun kebersamaan mereka, ia bisa melihat cinta dan pemujaan yang begitu besar di mata sang ayah pada ibunya. Bukan hanya sekedar nafsu. 

"Kau percaya ayahku seperti itu?" Buru-buru ia mengusap air matanya. Matanya bengkak dan terasa sakit. "Kau pasti tahu bagaimana ayahku. Kau bilang dia percaya padamu."

Eliana tersenyum haru, lantas menyingkirkan helai rambut yang menutupi sebagian wajah Aster. "Aku senang kau masih bisa berpikir jernih. Ya, aku sangat percaya pada ayahmu. Aku tahu dia tidak bersalah."

Aster mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"

"Kau percaya dengan indra keenam?"

Aster mengangguk dengan perlahan, masih terlihat ragu.

"Aku memilikinya, Sayang. Aku tahu ayahmu tidak bersalah. Tapi aku tak berhak menceritakan detailnya padamu. Dialah yang lebih berhak, karena ini adalah urusan pribadi kalian. Saat keadaan memburuk, jangan sungkan untuk memanggilku," jawab Eliana lalu tersenyum lembut. "Dia adalah pria yang luar biasa. Karena dia, aku berubah menjadi lebih baik."

Rasa benci yang tadinya hampir saja menyusup masuk ke dalam hatinya, seolah-olah langsung terpental karena benteng kepercayaan di hatinya. Ia percaya pada ayahnya. Ia mencintai ayahnya. Boleh jadi kisah itu benar, boleh jadi salah. Pasti ada alasan di balik semua itu, dan penghakiman karena mendengar kisah itu dari mulut orang lain hanya akan menambah rasa benci yang sia-sia dan menambah dosa. Mendadak ia teringat dengan Husein. Jika pria itu berada di sini, mungkin sekarang sudah memberinya petuah macam-macam. Senyum mengembang di bibirnya.

"Ada apa, Sayang? Wajahmu memerah," tanya Eliana panik.

Aster membelalakkan matanya dengan tubuh mematung. Sejelas itukah? "Eh, tidak. Aku hanya...hanya kecapekan. Ah, ya benar," jawabnya gugup lalu tersenyum paksa. Sebelah tangannya mengusap pipinya yang terasa panas.

Eliana tersenyum maklum, lantas membimbingnya masuk ke dalam rumah. "Kau yakin tak mau tinggal di rumahku saja? Juan dan David pasti senang bertemu dengan sepupunya."

"Aku ingin menenangkan diri terlebih dulu. Kau tak keberatan kan?" jawabnya, lalu melanjutkan saat Eliana menggelengkan kepalanya. "Aku ingin bertemu dengan ayahku."

"Kau yakin?"

Ia mengangguk. "Itulah tujuan utamaku datang ke sini. Tak peduli apapun kesalahannya di masa lalu, dia tetaplah ayahku."

Senyum wanita itu begitu lebar. Aster bahkan bisa melihat binar matanya di bawah cahaya rembulan. "Dia benar. Kau adalah gadis yang hebat. Pantas saja dia begitu bangga padamu."

"Benarkah?" tanyanya dengan mata melebar. "Dia sering bercerita tentangku?"

Eliana mengangguk. "Tentu saja. Tiada hari tanpa bercerita tentangmu dan Canna. Saat ia sedih, ia akan melihat foto kalian berdua ketika kalian masih balita."

Aster tak bisa menahan dirinya untuk tertawa bahagia. Hatinya terasa hangat, dan kerinduan itu semakin membesar. Ia juga melakukan hal yang sama saat merasa sedih. Menatap foto ayahnya bersama dengan dirinya dan Canna.

"Kuharap pertemuan kalian nanti bisa mengungkapkan banyak hal. Oh, dan satu hal yang harus kau tahu," lanjut Eliana.

"Apa itu?"

Mereka berhenti sejenak sebelum mencapai pintu belakang rumah. "Carla tidak pernah memiliki anak itu. Entah keguguran, aborsi, atau yang lainnya."

Aster hanya bisa membuka mulutnya tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun.  
***
Malam semakin larut, tapi Aster tak bisa memejamkan matanya. Meski Ester sudah menghiburnya dan mendukungnya, tetap saja hatinya merasa gelisah. Gadis itu menawarkan diri untuk menemaninya tidur, tapi ia menolaknya. Ia tahu Ester semakin sibuk di kampusnya akhir-akhir ini karena statusnya sebagai mahasiswa tingkat akhir. 

Matanya menelusuri sekeliling ruangan, mencoba mencari hal menarik yang bisa membuatnya sibuk dan akhirnya tertidur. Pandangannya terhenti pada wadah dari kain berbentuk segi empat berwarna putih. Rasa hangat menyebar ke seluruh tubuhnya. Diraihnya mukena pemberian Husein sembari tersenyum. Tak seharusnya ia beribadah hanya saat bersama dengan pria itu. Tanpa berpikir panjang lagi, ia masuk ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Rasa dingin air menyentuh kulitnya, membuatnya merasa segar sekaligus tenang. Hatinya bergetar saat mengingat betapa rajinnya pria itu bersembahyang, dan otomatis membuatnya mengikutinya. Pria itu memberikan efek yang baik untuknya, dan sayang sekali mereka mungkin tak akan pernah bertemu lagi. 

Setelah selesai dan keluar dari kamar mandi, ia mengambil mukena berwarna putih bersih itu dan memakainya. Ia menggunakan selimut sebagai alasnya dan memulai sembahyangnya. Memfokuskan diri pada Yang Maha Kuasa, mencoba melupakan semua masalahnya untuk sementara. Rasa tenang dan damai melingkupi hatinya. Seandainya tahu efeknya akan sebegini hebatnya, seharusnya sejak dulu ia menggunakan cara ini. Melarikan diri dari masalah untuk berjumpa dengan Tuhannya dan mengadukan semua masalahnya pada-Nya. Bukan malah menangis dan mengasihani diri, lalu mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Senyum mengembang di bibirnya setelah selesai bersembahyang dan berdoa. Ia berpikir positif bahwa semua masalah pasti ada jalan keluarnya, dan tidak semua orang yang bermasalah pastilah bersalah. Mereka semua manusia, dan tidak adil jika orang lain langsung memandang jijik atau menghujatnya hanya karena terbukti berbuat salah.

Dilipatnya mukena yang baru saja dilepasnya dan memasukkannya kembali ke dalam wadah kain berukuran sedang. Ia meletakkannya ke meja kecil di sisi kanan tempat tidur, lalu membuka kopernya untuk mencari piyama. Sengaja ia membiarkan semua pakaiannya masih terlipat di dalam koper, karena ia tak berniat untuk tinggal lebih lama lagi di rumah keluarga Garcia. Mereka memang baik, tapi ia tak mau merepotkan. Setelah Glenn sampai, ia akan mengajak pria itu untuk menemui ayahnya. Tapi tidak mungkin jika mereka berangkat ke sana sendirian tanpa satupun orang dari negara ini yang menemani mereka. Mengajak Ester jelas tidak mungkin, apalagi mengajak Diana atau Eliana. Mereka punya urusan masing-masing. Mengajak Husein? Ia menggigit bibirnya. Pria itu sudah pergi, dan saat ini sedang berada di Jerez untuk mengurusi bisnisnya. Pikirannya beralih pada Fernan. Maukah pria itu menemaninya? 

Keningnya mengernyit saat tangannya menyentuh benda kotak yang masih terbungkus. Bergegas ia melihat benda itu dan mengambilnya. Benda yang diberikan oleh resepsionis hotel sebelum ia keluar dari sana. Rasa penasaran membuatnya tak sabar untuk segera melihat isinya, sehingga ia merobek kertas pembungkusnya dan membuangnya sembarangan. Sebuah kotak persegi panjang berlapis beludru berwarna hitam, mengingatkannya pada tempat kalung, atau mungkin jam tangan. Siapa yang memberikannya benda seperti ini? Ia tak begitu dekat dengan kenalannya selain Husein di kota ini. Atau jangan-jangan itu memang dari Husein? Lagi-lagi jantungnya berdebar hanya dengan memikirkan namanya saja.

"Konyol," gumamnya untuk menyingkirkan rasa malunya.

Dibukanya kotak itu dan ia langsung terpesona dengan isinya. Sebuah kalung cantik dengan liontin pita perak, yang mengapit berlian berbentuk hati berwarna violet di bawahnya. Kalungnya sendiri berbentuk rantai dobel berukuran kecil yang terlihat pas dengan liontinnya. 

"Wow," gumamnya takjub seraya mengambil kalung itu. Siapapun yang memberikannya benda ini, pastilah orang itu menganggap bahwa dirinya begitu berharga. Seolah-olah orang itu mengikat hatinya dan menganggapnya cantik luar dalam, dan rantai dobel itu menunjukkan bahwa orang itu tak ingin melepaskannya apapun yang terjadi. Darahnya berdesir hanya karena mengira-ngira arti dari kalung itu. Seumur hidupnya, tak pernah ia merasa seistimewa itu setelah kepergian ayahnya. Secarik kertas jatuh di pangkuannya. Diambilnya kertas kecil itu kemudian membaca tulisan di atasnya.

Violet. Untuk gadis yang benar-benar luar biasa. Jika berlian ini dapat berbicara, pastilah dia iri dengan pemakainya.

Ia mendengus melihat kalimat itu. Terlalu manis dan berlebihan menurutnya. Tak ada tanda-tanda siapa pengirim kalung itu. Ia mengedikkan bahunya. Kalung itu begitu cantik dan ia tak rela jika membiarkannya mendekam di dalam kotak kecil yang gelap itu. Dipakainya kalung itu dan berlari ke kaca di samping lemari pakaian.

"Kalung ini memang cantik," gumamnya sambil tersenyum. Meskipun bukan dari emas mahal, tapi ia justru lebih menyukai kalung itu daripada kalung-kalung lain yang pernah dipakainya.

Setelah puas mengamati kalung itu, ia kembali ke atas ranjang dan membaringkan tubuhnya. Glenn masih belum memberinya kabar, dan besok ia berencana untuk menemui ayahnya. Mungkin saja Fernan mau mengantarkannya ke tempat dimana ayahnya tinggal. Pria itu bilang besok sedang tak ada rencana untuk pergi kemanapun. Matanya menutup setelah menguap berkali-kali. Ia berharap besok berjalan dengan lancar. Sebelum ia benar-benar berkelana ke alam mimpi, ponselnya bergetar. Jantungnya berdebar hebat karena ia terbangun saat baru saja tertidur selama beberapa menit. Dilihatnya panggilan dari aplikasi WhatsApp dan menampilkan nomor beserta foto profil yang sangat dikenalnya.

"Ya?"

Tak terdengar suara balasan dari seberang sana.

"Canna?"

"Aku merasa kamu udah tahu."

Hening setelah itu. Aster menggigit bibirnya. Sejenak ia tak mengerti apa yang dimaksud oleh gadis itu, namun setelah berpikir cukup keras, akhirnya ia paham. 

"Akhirnya telepati kita berfungsi?" ia terkekeh mendengar perkataannya sendiri.

"Maafin aku, Aster. Seharusnya aku bisa ngerasain kalau kamu masih hidup. Aku terlalu terguncang mendengar kamu..."

"Sssttt, nggak apa-apa. Yang penting aku masih hidup dan sehat."

Terdengar kekehan di seberang sana, namun Aster yakin bahwa saat ini Canna sedang menangis.

"Soal Hando, aku pengen kamu tahu..."

"Aku udah ikhlas, Kak. Maaf aku udah egois selama ini. Seharusnya aku lebih peka. Kakak berhak bahagia sama Hando. Aku sadar bahwa selama ini aku nggak benar-benar cinta sama dia. Mungkin aku cuma...terlalu kangen sama ayah."

"Justru itu! Kamu berhak dapetin yang lebih baik dari Hando. Dia nggak pantes buat kamu, Dek. Dia tega ngambil..."

Aster menggigit bibirnya saat mendengar Canna membersit hidungnya.

"Aku baru sadar bahwa laki-laki yang baik nggak akan pernah merusak wanita yang dicintainya. Aku senang kamu tahu lebih awal."

Lagi-lagi hening setelah itu. Ia bisa merasakan rasa sakit yang dirasakan Canna. Setelah berada jauh dari kakaknya, ia merasakan ikatan itu kini semakin kuat. Tanpa sadar air matanya mengalir. Bagaimana bisa ia membenci kakaknya hanya karena seorang laki-laki? Darah lebih kental daripada air, dan Canna lebih penting daripada laki-laki manapun.

"Maafin aku," bisik Canna di sela-sela isakannya.

"Hei, aku udah maafin Kakak dari jauh-jauh hari. Udah nggak usah dibahas lagi. Aku juga minta maaf. Gimana keadaan Mama?"

"Mama baik-baik aja. Tapi aku berhasil dapetin rahasia yang disimpen Mama soal Papa."

Aster membelalakkan matanya.

"Serius? Aku juga."

Lalu mereka bergantian menceritakan apa yang sudah mereka dapatkan baik dari Eliana maupun ibu mereka.

"Gimana menurut kamu? Aku yakin Papa nggak bersalah," tanya Aster setelah mereka selesai bercerita.

"Sama kayak kamu. Nanti aku bakal nyari tahu kebenarannya. Kalau kamu ketemu Papa, jangan lupa bilang aku kangen."

"Nggak usah khawatir. Doain aja semua berjalan lancar," jawabnya dengan senyum mengembang, lalu keningnya berkerut. "Kalian baik-baik aja, kan?"

Canna tidak langsung menjawab, namun hal itu tak berlangsung lama. "Dia mencintaimu."

"Sial! Seharusnya aku nggak perlu ngajak dia keluar waktu itu. Pastiin aja jangan sampe kamu bahas soal aku di depan dia. Buat dia cinta sama kamu lagi, Kak. Kalau perlu minta dia nikahin kamu..." tiba-tiba Aster merasa aneh dengan dirinya. Perutnya terasa seperti diaduk-aduk. "Tunggu, kamu nggak apa-apa, kan? Bilang kamu cuma masuk angin."

Terdengar suara terkesiap dari seberang sana. "Itu berarti ikatan kita menguat?"

"Canna!"

"Oke, oke. Aku cuma masuk angin. Terlalu sering pulang malem buat ngurusin restoran Mama."

"Ah, syukurlah. Ya Tuhan, kukira kamu hamil."

"Nggak, aku nyuruh dia pake pengaman waktu itu. Aku janji nggak bakal ngulangin hal itu lagi. Ya Tuhan, aku benar-benar ngerasa kotor."

"Minta maaf pada Tuhan sebelum terlambat, Kak."

"Ya, aku udah ngelakuin itu tiap malam." Hening sejenak. "Aster? Kapan kita ketemu?"

Aster terkekeh geli. "Seingatku dulu, kamu biasa aja pas aku tinggal keluar kota buat pemotretan."

"Kamu nggak tahu gimana kangennya aku waktu itu. Kalau saja aku nggak kuliah, aku bakalan nyusul kamu. Waktu denger kabar bahwa kamu meninggal, aku ngerasa seolah-olah hidupku hancur. Aku nggak punya semangat hidup lagi."

Aster tersenyum. Ia tahu Canna sangat merindukannya, begitu pula dengan dirinya. Baru dua minggu berpisah, tapi ia sering memimpikan kakak kembarnya itu. Mereka tak terbiasa berjauhan lebih dari tiga hari, dan saat ini ia merasa gelisah hanya karena tak bisa melihat Canna, sekuat apapun ia berusaha mengabaikan perasaan itu selama dua minggu ini.

"Maaf, aku harus bersikap kayak gitu sama Glenn. Aku tahu dia benci sama aku. Tapi aku nggak punya cara lain. Aku tahu kamu belum meninggal saat ngelihat dia di depan pagar malem-malem. Aku masih bisa ngerasain ikatan kita. Lagian wajahnya nggak kelihatan sedih sama sekali. Makanya aku mancing dia. Dia yang berangkat sama kamu, kan, dulu?"

"Maaf atas sikap Glenn. Dia emang sedikit over protektif."

Mereka berdua tertawa bersama, merindukan masa-masa kebersamaan mereka sebelum keadaan menjadi kacau seperti ini.

"Tapi seenggaknya kita jadi tahu rahasia yang disimpan Mama, kan? Tapi Glenn bilang, Mama udah tahu soal kamu sama Glenn?"

"Itu setelah aku berhasil mengorek rahasia Mama. Seenggaknya Glenn nepatin janjinya buat tutup mulut sebelum aku berhasil membuat Mama bicara. Hei, ini cuma perasaanku aja, atau kamu lagi jatuh cinta? Aku ngerasain jantungku deg-degan terus daritadi. Siapa?"

Aster membelalakkan matanya. Mendadak wajahnya terasa panas dan jantungnya berdegup kencang. "Eh, nggak kok. Cuman..."

"Nama?"

"Ugh, Husein." Lalu terdengar suara kikikan geli di seberang sana. "Canna, diam deh! Aku sama dia udah nggak pernah ketemuan lagi. Sebentar lagi juga aku bakal pulang."

Tapi Canna tetap saja menggodanya, membuatnya menggigit bibir dan meremas sprei di bawahnya. "Jadi penasaran sama Husein...bentar-bentar, kayaknya aku pernah lihat foto kamu deh kemarin sama dua orang pas buka twitter. Yang satu cewek berambut coklat, yang satu....OMG! Jangan bilang kalau dia itu Husein? Ugh, tahu gitu aku simpen aja foto kamu. Eh, ternyata kamu jadi trending topic soalnya kamu masih hidup. Astaga, aku lupa sumpah. Gara-gara kangen sama kamu, jadi lupa mau ngomong apa aja, kan. Tapi itu cowok macho banget sumpah. Ganteng lagi."

"Canna, udah deh! Aku tutup nih telponnya. Mau tidur!" sergahnya kesal sekaligus malu, namun setelah itu membelalakkan matanya saat tersadar ia sedang berada dimana.

"Oke, oke. Sorry," jawab Canna di tengah-tengah kikikannya. "Ya udah deh, aku juga mau pulang. Kasihan Mama sendirian di rumah. Nanti aku telpon lagi. Mama udah mau makan lagi setelah tahu kamu ternyata masih hidup. Udah dulu ya. Love you. Bye."

"Love you too."

Aster merenung setelah sambungan telepon mereka terputus. Ia bersyukur masih percaya pada Canna. Mungkin Glenn memang tidak cocok dengan kakaknya, sehingga pria itu selalu berpandangan subyektif jika berhubungan dengan Canna. Satu hal yang pasti, ia bertekat untuk mendapatkan kebenaran dari masa lalu orang tuanya bagaimanapun caranya. Ia juga akan meyakinkan Glenn bahwa Canna tidak seperti yang pria itu pikirkan. Tapi satu hal yang membuatnya sadar. Tuhan telah menyelematkannya dari kecelakaan maut dengan membuatnya terlambat waktu itu. Hatinya langsung merasakan kehangatan yang menjalar ke sekujur tubuhnya.

"Alhamdulillah, terima kasih banyak Ya Allah." 

***

Created by Alya Feliz
17 Mei 2015

Share this article :

+ comments + 4 comments

May 17, 2015, 9:40:00 PM

waaww,,, akhirnya,, kesabaranq berbuah manis,, di update hari ini,, hihihihi
glen ma canna,, boleh juga tuhh daripada hando,,,,, btw,, husein kemana yaa??? jadi penasaran ma kelanjutan hubungan husein ma aster. tapi lbh penasaran lagi pertemuan aster ma ayahnya... semangat kak!!!

May 19, 2015, 3:35:00 AM

Ughhh, saya udh slh paham spertiny sama canna.. Maaf canna, abisny d chapter sblumny km sangatsangat menjengkelkan -.- slhin author nya aj yaaa :p #ehhh, kabuurrr

May 19, 2015, 3:38:00 AM

Ehh iya, husein nya jgn d sembunyiin lamalama mba, udh kangen liat husein aster :3

Jul 19, 2015, 7:52:00 PM

Mbaa, lanjut dong critanyaa.. Udh lama nggk update :(

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger