THE BETTER TO BITE BY CYNTHIA EDEN - BAB 4

May 12, 20150 comments



Jumat malam di Haven. Waktunya pesta.
Atau, waktunya pertandingan.
Suara gemuruh penonton memenuhi telingaku saat semua orang di sekelilingku berdiri sambil bersorak. Para pemain football menghambur melewati tanda raksasa “Murder Mayville!”, merobek dan mencabik-cabik kain yang didekorasi saat mereka meluncur ke lapangan.
Jenny melompat naik turun di sebelahku, meneriakkan hatinya. Kebanyakan berteriak untuk Troy.
Serius?
Aku mengusap kepalaku. Ayah hampir tak mengijinkanku keluar malam ini. Pria sudah mengurungku selama dua hari terakhir. Jadi aku menyelinap keluar dari bus dan pulang dengan Rafe—apa itu benar-benar mengharuskan sebuah ketakutan?
Menurut dia, ya. Sangat iya.
“Mereka sangat menggiurkan!” Jenny roboh di atas tempat duduknya. “Lihat deh bagaimana cara seragam mereka memamerkan pantat mereka—bukankah itu menakjubkan?”
Ini adalah pertandingan pertama di musim itu, dan lapangan di belakang sekolah penuh sesak. Para pemandu sorak bertepuk tangan di bawah garis tempat duduk tribun, dan penonton mulai bernyanyi bersama mereka.
Aku tak tahu satu kata pun di lagu ini. Tepuk tanganku tidak sesuai irama. Aku benar-benar keluar dari elemen.
Aku sudah ke pertandingan football sebelumnya. Aku sudah kehilangan taruhan dan harus kembali ke Chicago. Tapi football bukan untukku.
“Lihat!” Jari-jari Jenny mengapit lenganku. Untungnya, dia mengapit beberapa inchi di bawah tanda cakaranku. “Ada Brent!”
Kepalanya menunduk saat ia mendengarkan pelatihnya. Ada cat hitam di bawah masing-masing matanya, dan helmnya menggantung dengan bebas dari tangan kanannya. Dalam kaos football hijau dan mengenakan celana putih ketat itu, aku harus mengakui bahwa Jenny benar.
Dia memang kelihatan mengagumkan. Ya, memang.
Lalu pelatih meninggalkannya. Brent mendongak ke kursi tribun. Pandangannya menyapu penonton, seperti sedang mencari seseorang. Seperti...
Dia melambai.
Aku mengerling di atas bahuku bertepatan dengan Jenny yang bilang padaku, “YaTuhan! Dia melambai padamu.” 
Aku melihat kembali ke lapangan. Brent sedang tersenyum sekarang. Aku tak bisa melihat lesung pipinya, tidak dari jarak sejauh ini, tapi akan menjadi tidak mungkin aku melewatkan kilau gigi putihnya.
Menggunakan cengkeraman mati itu di lenganku, Jenny menyentakkan tanganku ke atas dan melambai balik padanya.
Wasit meniup peluitnya dan hentakan drum dari musik bergemuruh dari pengeras suara.
Brent berbalik pergi.
“Oh, dia benar-benar membencimu,” kata Jenny dengan suara riang gembiranya.
Karena dia memang terdengar sangat riang gembira, butuh waktu sejenak untuk memproses kata-katanya. “Apa?” Aku menarik pandanganku dari Brent. Tak benar-benar tertarik padamu. Dia sungguh-sungguh berakting tertarik.
Rafe bisa menggigitku.
“Arahkan pandanganmu lima kaki ke kanan,” arahnya.
Aku melakukannya. Para pemandu sorak sedang membuat piramida. Well, kebanyakan dari mereka sedang melakukannya. Valeria tidak memanjat dinding manusia itu karena ia bertolak pinggang, dan ia terlalu sibuk menatap tajam padaku.
“Haruskah aku melambai padanya juga?” Aku heran.
“Pastinya tidak,” ucap Jenny, dan tertawa. Suara itu seterang biasanya. Bahagia.
Aku mulai menyukai tawa Jenny.
“Oh, dan lihat, di sana ada Rafe.”
Pandanganku bergerak cepat ke sekeliling kursi tribun. Butuh waktu semenit untuk menyadari bahwa yang dimaksud Jenny dengan Rafe berada di sana,  seperti dalam, lapangan. Seperti dalam...dia nomor tiga belas. Tunggu, bukankah seharusnya itu sial? “Aku tak tahu dia bermain.” Tak tahu, tak peduli. Dan jika aku tak berhenti memiliki mimpi-mimpi bodoh itu tentang dia dan para serigala—aku memimpikannya setiap malam minggu itu—aku akan menjadi aneh. 
“Tentu, dia hebat!” Tangannya bertepuk bersama-sama dalam tepuk tangan yang antusias. “Dia bisa menghentikan siapapun.”
Um, oke.
Lemparan koin sudah selesai. Aku bahkan tak tahu siapa yang menang. Rafe telah mengenakan helmnya dan mengambil posisi di lapangan.
Untuk beberapa alasan, aku mulai merasa gugup.
Lalu pertandingan dimulai. Itu dimulai dengan sebuah raungan. Tim lain menendang football dan terbang tinggi di udara, membumbung, membumbung...kaos football hijau berpacu ke depan dan nomor enam belas menangkap bolanya. Semua orang di sekitarku menjerit.
Aku tahu telingaku akan putus di akhir pertandingan ini.
Menit-menit berlalu saat perhatian semua orang terkunci di lapangan. Ada turun, menerjang, dan kedua tim melempar kendali bola maju mundur.
Bolanya bergerak cepat, terbang ke sekitar lapangan, tapi para pemain, mereka bergerak lebih cepat.
Tidak semua pemain...Rafe. Mungkin aku hanya terfokus padanya terlalu banyak, tapi pemuda itu kelihatannya melahap lapangan itu terlalu cepat. Seperti yang kuamati, dia membanting pemuda yang berusaha berlari cepat menjauh dengan bola, dan Mayville Marauder dengan seragam merah terang jatuh bergedebuk.
Semua orang melompat dari kursi tribun dan menjerit...lagi.
Aku sadar aku butuh mengambil nafas.
Rafe bangkit dan menawarkan tangannya pada pemuda di atas tananh itu. Dengan sangat lambat, pemain yang jatuh itu meraih tangan itu.
Kedua tim berjejer untuk permainan baru. Bola. Lewat. Lari...
Rafe menjatuhkan pemuda lain. Aku mendengar gedebuk tubuh itu waktu itu.
“Dia...” Aku membasahi bibirku. Kenapa aku merasa tegang? “Dia benar-benar cepat.” Dan kuat. Jauh lebih kuat dari yang sudah kusadari.
“Tunggu sampai Brent beraksi.” Jenny terdengar begitu congkak.
Aku tak harus menunggu lama. Hanya dalam beberapa detik, tim kami mengontrol bolanya sekali lagi. Aku melihat Brent menolehkan kepalanya, dan aku mengira dia sedang meneriakkan bermain atau sesuatu, lalu...
Bolanya berada di udara. Brent telah meluncurkan football dalam lemparan yang sempurna yang terbang dan terbang dan...
Troy menangkap bolanya, tepat di depan garis sepuluh yard. Sebenarnya, bola itu terbanting ke dadanya, dan kelihatannya menabraknya cukup keras untuk menimbulkan memar. Troy tersandung ke belakang, terhuyung-huyung, dan melakukan dua langkah cepat untuk mendapatkan kembali keseimbangannya, lalu ia terburu-buru ke zona akhir.
Jeritan dan teriakan mengganggu di telingaku.
Brent menuju ke arah bangku saat para pemain lain menepuk punggungnya. Aku melihat Valerie membuat jalan langsung tepat untuknya. Mataku menyipit ke gadis itu. 
Brent mengalirkan secangkir air dan berjalan ke sekitar bangku. Valerie menahan tangannya untuknya, kelihatan sepenuhnya seperti dia hampir memberinya pelukan untuk ucapan selamat.
Pemuda itu menangkap tangannya, mendorongnya ke belakang, lalu berbalik menjauh.
Membakar.
“Oh, wow, kau lihat itu?” bisik Jenny.
Aku sudah melihatnya.
Valerie mengangkat dagunya dan menghentakkan kakinya menjauh. Aku hampir merasa kasihan padanya. Lalu dia mendongak dan menyematkanku dengan pelototan berasap.
Mungkin bukan hampir.
Hentakan-hentakan mulai lagi. Karena itulah yang terjadi di lapangan. Tim lain baru saja terhantam. Tapi kali ini, tim kami tampaknya mendapatkan bolanya bahkan lebih cepat. Dan saat kami di atas lagi, alih-alih melemparkannya, Brent memegang erat bola itu. Ia berlari di antara para pemain, meliuk-liuk ke kiri dan kanan, dan nomor tiga belas tepat bersamanya, menjaganya dari setiap serangan. Rafe membanting ke pemain yang berlawanan, membersihkan jalan untuk Brent. Garis putih di lapangan lenyap dalam remang-remang.
Zona akhir.
Kursi tribun benar-benar bergetar di bawah hentakan kaki. Aku berpegangan di atas tempat dudukku, khawatir aku hampir jatuh terguling.
“Bukankah mereka luar biasa?” tanya Jenny, suara terengah-engah.
Rafen dan Brent berdiri bersama di zona akhir. Tak ada perayaan untuk mereka. Tak ada tos atau memaku bola.
Dan, jeez, kedua pemuda itu melihat ke arahku.
Luar biasa. Itu benar. Sebenarnya, aku belum pernah melihat apapun seperti mereka. Terlalu kuat, terlalu cepat. Para pemain yang jatuh dengan perlahan bangkit dari lapangan. Beberapa orang pincang. Brent dan Rafe sudah melukai mereka semua dalam arti yang sebenarnya.
Aku tak bisa menghilangkan perasaan bahwa sesuatu yang sangat, sangat salah sedang terjadi...jadi aku hanya duduk di sana, linglung, sedangkan murid-murid lain di sekolah ini bersorak-sorai.
***
Kami menang, tentu saja. Dengan Duo Mematikan, bagaimana bisa kami tidak menang? Itu semarak di 56-0.
Para pemain football menyiram pelatihnya dengan apapun yang tersisa di dada es. Jenny melompat naik dan turun lagi, dan aku heran jika mungkin aku seharusnya pulang saja malam ini.
Dia tak tertarik padamu.
Kata-kata Rafe benar-benar sudah merasuk ke dalam kulitku. Setelah semua itu, seorang gadis memiliki harga dirinya.
Aku mengikuti yang lain keluar dari tribun dan turun ke lahan parkir. Jenny sudah menjemputku, dan kami berdiri dekat Toyota biru terangnya. Itu mobil ayahnya—dia sudah riang gembira ayahnya mengijinkannya meminjamnya untuk datang ke pertandingan.
Dia pasti sudah melihat keraguan di wajahku karena dia bertanya, “Kita masih menuju ke pesta milik Brent, kan?” Alisnya berkerut dan dia punya harapan yang sesungguhnya, hampir seperti pandangan anak anjing di wajah cantiknya.
Di belakang kami, aku mendengar seseorang meneriakkan, “Pes-ta!”
“Perayaannya akan gila-gilaan,” ucapnya, sedikit tersenyum. “Pesta milik Brent selalu hebat.”
Aku yakin dia benar. Gila-gilaan. Tapi...
“Apa mereka selalu seperti itu?” Tanyaku padanya saat aku menggosok lengan atasku.
Dia mengerjap padaku. “Siapa...seperti apa?”
“Brent dan Rafe. Mereka benar-benar bagus.” Seperti hampir lebih baik dari kebagusan NFL.
“Aku tahu, kan?”
Aku menarik kesabaranku. Aku harus banyak melakukannya dengannya. “Apa mereka seperti tahun kemarin?”
Ia menggelengkan kepalanya. “Mereka regu universitas junior tahun kemarin.”
Regu universitas junior. Gigiku menggemertak. “Maksudku...apa mereka secepat, apa mereka...”
“Tidak.” Ia mengeluarkan kuncinya. Mereka bergemerincing di tangannya. “Mungkin mereka punya pendorong pertumbuhan sesuatu...mungkin pelatih hanya membuat mereka lebih baik. Semua yang kutahu adalah bahwa selesai musim panas, aku datang untuk beberapa latihan.” Ia mengerling ke arah kiri. “Kau tahu, hanya untuk melewati waktu.”
Atau untuk mengamati Troy. Yah, aku tahu.
“Dan aku melihat mereka.” Dia sedikit mengangkat bahu. “Saat aku melihatnya, aku tahu kita akan menjadi juara tahun ini.”
Karena mereka melemparkan orang lain ke rumah sakit?
“Anna!”
Aku berbalik ke arah teriakan namaku. Brent berlari kecil ke arahku. Tepukan lain di bahunya dan mencoba bertos dengannya. Tos yang sangat tidak diberikan oleh Rafe.
Brent tergesa-gesa melewati mereka semua dan datang tepat untukku.
“Kau tidak pergi, kan?” tanyanya, melihat dari aku ke Jenny.
“Um...” keringat membasahi rambutnya. Coretan hitam masih ada di bawah matanya. Alih-alih terlihat bocah cantik, dia terlihat sedikit liar. Berbahaya. Ia menyentakkan alas bahunya dan kaos football dan t-shirt tua menutupi dadanya.
“Tidak! Jangan khawatir, dia tak akan pergi!” Jenny buru-buru berkata. “Aku akan pergi, aku akan ke...”
“Kau akan datang ke pesta juga, kan, Jen?”
Jenny memerah. “T-tentu. Pasti. Tak akan melewatkannya.”
“Keren. Kau tahu dimana tempatku—berada di atas. Aku bertaruh pestanya sudah dimulai.” Ia menggelengkan kepalanya sementara bibirnya berkerut dalam ringisan sedih. “Selalu ada seseorang yang siap memulai sebuah pesat tanpaku.”
Baris itu membuatku merasa sedih, dan aku melangkah sedikit lebih dekat padanya.
Ia mendongak, terkejut.
“Well, aku akan...yah, aku akan bertemu kalian di sana,” kata Jenny dan kemudian dia melompat ke dalam mobilnya.
Dan sepenuhnya menelantarkanku.
Tidak apa-apa sih, tepatnya, aku ingin bersama dengan Brent. Gila, aku tahu, tapi walaupun kegilaan dari pertandingan, dia kelihatannya membutuhkanku.
“Aku senang kau datang ke pertandingan,” ucapnya padaku saat seseorang lagi muncul dan memukul punggungnya. Tunggu—itukan sepupunya Cassidy?
Ya, benar. James menyeringai padaku. Huh. Pemuda itu menyesuaikan diri dengan kehidupan SMA dengan cukup cepat. Ia bahkan tak kelihatan seperti Daging Segar malam ini.
Aku sadar aku harus merespon Brent. “Pertandingannya...uh...menarik.”
Ia tersenyum penuh, dan lesung pipi itu muncul. “Kau berusaha untuk menjadi sopan, Anna Lambert?”
Iya, tapi aku bisa menjadi sangat jujur. “Kau luar biasa bagus.”
Kupikir wajahnya kelihatan mengeras sejenak. “Itu hanya sebuah pertandingan,” katanya, mengangkat bahu. “Dalam hidup, tak peduli jika kau bagus di lapangan.”
Aku berpikir tentang murid-murid yang menjerit. “Itu berarti untuk orang lain.”
Ia memandangku. Hanya memandang, dan tampaknya pandangannya melihat tepat kedalamku. “Itu mobilku,” ucapya padaku sambil menunjuk ke kendaraan perak mengkilap dekat gerbang lapangan. “Tetaplah di sini, berikan aku lima menit untuk mandi di ruang loker, lalu kita akan menyerang pesta itu.”
Aku mengangguk. “Kedengarannya seperti sebuah rencana.” Jadi kutebak aku akan pergi ke pesta. Kenapa sangat tegang?
Tapi dia tidak pergi. Malahan, matanya menyipit. “Kenapa aku merasa kau sangat berbeda dari semua orang lain yang pernah kutemui?”
Berbeda. “Karena memang aku berbeda.” Aku yakin sedang jujur padanya. Aneh. 
Senyum berlesung pipit lagi, dan dia berbalik. Aku menuju ke mobilnya dan menyangga punggungku pada bagian belakang gerbang. Lebih baik kembali duduk dan mengamati mobil-mobil keluar dari lahan parkir.
Tak butuh waktu lama tempatnya sudah bersih. Tim lain menyeret kakinya keluar dari stadion dan berdesak-desakan ke bus mereka. Tak banyak obrolan dari mereka atau band mereka, atau bahkan pemandu sorak mereka. Kukira sulit untuk riang setelah sebuah pembantaian.
Bus mereka menjauh, menembakkan asap ke udara, dan hampir menenggelamkan suara sepeda motor.
Hampir, tapi tidak terlalu.
Rafe berkendara dengan perlahan di sekitar lahan parkir. Helmnya terpasang dan kacanya turun, jadi aku tak bisa melihat wajahnya. Saat aku menatapnya, aku berdiri tegak. Apa dia akan berhenti? Mengucapkan sesuatu padaku? Mengatakan padaku sekali lagi bahwa Brent benar-benar tak tertarik padaku?
Tapi sepedanya hanya mempercepat lajunya, dan dia menjauh.
Lantas aku sadar aku hampir sendirian di lahan parkir, dan itu—itu tidak baik. Tanganku terdorong ke dalam dompetku, dan aku menutupkan jari-jariku di sekitar semprotan lada yang sudah kubawa malam ini, hanya dalam keadaan...dan untuk membungkam ayahku.
Aku berdiri di sana, berharap Brent akan bergegas, dan...
Sebuah lolongan menyayat melewati malam. Tidak dekat, tapi mengambang di kejauhan. Aku menggigil.
“Akan menjadi malam yang buruk berada di luar sendirian di hutan.”
Itu suara Cassidy. Aku mengerling ke arah kanan. Ia datang ke arahku, dan aku bahkan tak mendengarnya mendekat. Kuterka dia pasti melangkah seperti Nenek Hellen, begitu tenang dan diam-diam.
“Aku tak sedang berencana sendirian di hutan,” ucapku padanya. Tidak, sudah pasti itu bukan hal yang ada di daftar yang-kulakukanku malam ini.
“Bagus.” Ia mendongak ke langit yang gelap. Bulan separuh menggantung di atas kami. “Mereka akan segera kelaparan.”
“Kau menyeramkan, kau tahu itu?”
Ia mengerutkan keningnya padaku.
“Jangan salah, aku sudah menyeramkan lebih dari bagian waktuku juga.” Bukankah itu kenyataan? “Tapi kau benar-benar harus santai, atau kau tak akan memiliki teman.” Ini adalah pidato yang sudah diberikan ayahku sebelum kami meninggalkan Chicago. Hampir kata per kata. Dan dia pikir aku tak pernah mendengarkannya.
“Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku menginginkan teman?” Marah, pembelaan diri.
Salah satu bahuku terangkat, lalu jatuh. “Karena kau sedang berdiri di sini, berbicara padaku, dan karena kau hanya menghabiskan Jumat malammu ke sebuah pertandingan football.” Ayolah, jeritan itu menginginkan teman.
Bibirnya menutup.
“Kenapa kau memberiku olokan omong kosong tentang malam ini akan menjadi berbahaya, aku tak tahu.” Aku tak begitu peduli. “Tapi mungkin kau sebaiknya mencoba saja untuk bersantai.”
Brent muncul dari bayangan stadion. Ia melemparkan tas besar ke atas bahu kirinya.
“Mungkin kau sebaiknya datang ke pesta,” ucapku padanya karena aku melihat kedipan tak yakin di wajahnya. “Di rumah Brent.”
Ia mundur selangkah. “Nenekku...dialah satu-satunya yang menyuruhku datang malam ini.” Ia menjilat bibirnya. “Dia ingin aku untuk...”
“Mengingatkanku tentang kegelapan?” Brent tak cukup dekat untuk mendengar kami. Hal yang bagus. Mungkin aku bahkan tak seharusnya mencoba dengan Cassidy, tapi dia hanya mengingatkanku pada...aku. “Kau melakukannya. Aku diperingatkan. Sekarang kami akan menuju ke pesta di rumah Brent, dan kau sebaiknya datang juga.”
Aku bisa melihat godaan di wajahnya. Dia ingin datang. Tapi Cassidy menggelengkan kepalanya. “Tidak, dia bilang tak aman malam ini.”
Benar.
Brent mendekat.
“Hati-hati,” ucap Cassidy padaku, dan kemudian dia buru-buru pergi.
Aku menghembuskan nafas panjang dan keras.
“Masalah?” tanya Brent, melihat figur Cassidy yang melarikan diri.
“Tidak.” Aku tersenyum. Aku sangat baik dalam senyuman palsu hari-hari ini. “Hanya sedikit perbincangan tentang perempuan.”
Rambutnya basah setelah mandi, dan baunya bersih dan segar. Tak ada lagi cat hitam di wajahnya. Kembali menjadi semua-orang Amerika. Semua-orang Amerika sedang tumbuh padaku. Ia berjalan ke sekitarku, dan membuka pintu mobil. Aku tak benar-benar mengharapkan gerakan jentelmen darinya. Itu menyenangkan. Aku menyelinap ke dalam dan duduk di jok kulit. Ia membanting pintu di belakangku dan tergesa-gesa mengelilingi mobil.
Saat ia menyalakan mesinnya, suara tiba-tiba dari musik rock yang menghentak dan keras memenuhi mobil.
Kami berdua tertawa saat dia mengecilkan volumnya. “Maaf,” ucapnya padaku dengan menyeringai malu. Malu? Dia? “Aku ingin mendapatkan suasana hati yang baik sebelum pertandingan. Musik itu memompaku.”
Lalu ia mencondongkan tubuhnya padaku. Benar-benar dekat. Aku kehilangan nafas dalam yang sudah kuambil tadi. Mulutnya sangat dekat dengan mulutku yang kupikir dia akan menciumku.
Tapi dia hanya mengambil sambuk pengaman di belakangku dan menariknya di atas bahuku dan meng-kliknya di tempat dekat pinggangku. “Mengencangkan sabuk pengaman,” katanya.
Pemuda itu adalah seorang pramuka. Manis, pintar, dan taat hukum. Saat ia mengetahui seluruh bagian taat hukum, ayahku akan berada di surga.
Aku sendiri benar-benar cukup dekat dengan tempat manis itu. Mungkin hari-hari pemuda nakalku akan berakhir.
Ia menjalankan mobilnya dan keluar ke lahan yang kosong. Aku tak melihat Cassidy lagi. Bukannya bilang dia berada dimana. Tapi aku punya perasaan aneh bahwa dia sedang berada di sekitar, mengamatiku.
Sebaiknya kau datang dengan kami.
“Aku benar-benar senang kau datang ke pertandingan,” ujar Brent, dan pandanganku bergerak cepat ke tangannya yang mencengkeram roda setir. Tangan yang kuat, berwarna tan. “Bahkan meski aku mendapat kesan bahwa football bukan olahragamu.”
Aku tertawa. “Aku tak benar-benar memiliki olahraga.” Terima kasih kebaikan.
“Berikan football kesempatan,” ucapnya padaku. “Kau mungkin dikejutkan oleh betapa banyaknya kau menyukai sesuatu yang baru.” Kami berada di jalan utama sekarang. Aku sudah melihat alamatnya di internet jadi aku tahu dimana dia tinggal. Kami harus pergi dari jalan ini segera dan meliuk-liuk melewati hutan saat kami menuju ke atas gunung.
“Kau bagus,” kataku saat aku sadar keheningan di mobil sudah sedikit terlalu lama. “Seperti...benar-benar bagus.” Hampir bagus steroid, tapi seorang gadis tak seharusnya mengatakan hal itu di kencan pertama, bukan?
Aku melihat kilauan gigi putihnya saat ia menyeringai. “Terima kasih.”
“Apa selalu pembantaian seperti itu?” Mungkin pembantaian bukan kata yang terbaik, tapi itulah satu-satunya yang terlintas di pikiran.
Ia mengedikkan bahu dan menyetir ke arah kiri, menuju ke hutan yang lebih gelap dan jalan menikung yang menunggu. “Akhir-akhir ini iya.”
Dan kenapa bisa begitu? “Kau tidak menggunakan steroid, kan?” Oh, sial. Keceplosan lagi. Aku benar-benar bermaksud menahan kembali pertanyaan itu sampai setidaknya kencan kedua.
Tapi, untuk kelegaan besarku, Brent hanya tertawa. “Tidak, aku bebas obat, percaya padaku.”
“Bagus kalau begitu.” Sekarang ayah tak harus meledakkan tim football. Mungkin.
Tangan kanannya meraih dan menangkap tanganku. Ibu jarinya menyentuh buku-buku jariku. “Aku menyukaimu, Anna.”
Suara dalamnya memenuhi mobil. Gambaran daerah Selatan membumbui kata-katanya, menggulungnya hanya sedikit. “Kau mengatakan apa yang kau pikirkan, bukan? Tak ditahan denganmu.”
Biasanya orang akan mati karena kebiasaan itu, tapi Brent tak kelihatan menjauh. “Mungkin aku sebaiknya lebih menahannya.”
Ia menahanku dengan pandangan sekilas. “Mungkin sebaiknya kau lebih membebaskannya.”
Aku menelan ludah dan heran kenapa segala sesuatu tiba-tiba saja terasa sangat kuat. “Ap-Apa...” Aku baru saja bicara gagap. Sangat bukan aku. Aku berdeham dan mencoba lagi. “Apa yang terjadi denganmu dan Valerie? Suatu hari kau memimpin pasangan VIP di kampus, dan selanjutnya kau tidak?”
Tangannya ditarik dariku. Aku bisa sangat membunuh suasana hati saat aku ingin. Itu adalah sebuah bakat.
“Itu tidak sungguh semendadak itu. Kami berdua telah berubah selama sementara.”
Dari nada kakunya, aku mengerti bahwa dia tak mau terus membicarakan tentang mantannya atau perubahan-perubahan mereka. Baiklah. Aku bisa mengerti hal itu. Itu tidak seperti aku ingin meremukkan Valerie selama berjam-jam juga.
Topik baru. “Jadi apa kau sering berpesta di rumahmu? Maksudku, pesta yang dimulai saat kau bahkan tak berada di sana?”
Mobil menikung tajam ke kiri, lalu ke kanan. Telingaku sedikit meletus saat kami berkendara lebih tinggi ke gunung. Aku menelan lagi untuk mengurangi tekanan.
Tawa rendahnya datang seperti yang sudah kuharapkan, dan aku senang mendengar suara itu. Dia punya tawa yang bagus. “Selama musim football, yah, memang. Tempatku adalah tempat berkunjung yang tak resmi.”
“Dan orang tuamu tak keberatan?” aku menggelengkan kepalaku. “Ayahku akan protes.”
“Itu karena dia adalah sheriff.” Karena aku menatap tangannya—lagi—aku melihat caranya mengencang di sekitar roda kemudi. “Orang tuaku tak berada di kota selama kebanyakan musim gugur atau musim dingin, jadi bukan masalah besar bagi mereka kemana aku pergi atau apa yang kulakukan.”
Kata-katanya membuatku sedih karena aku bisa mendengar gema kesakitan di suaranya.
“Mereka bercerai,” ucapnya dalam keheningan. “Ayahku pindah dua tahun yang lalu, dan ibuku suka bepergian dengan rasa apapun di minggu ia berkencan.”
Aku tahu Brent punya uang—banyak. Saat aku internetan—aku tak bisa menahannya, aku memang suka mengintip—aku telah menemukan beberapa info tentang orang tuanya. Ibunya mantan model-aktris, dan ayahnya seorang pria dengan uang lama. Tempatkan dua orang itu bersama dan apa yang kau dapatkan? Orang tua yang tampaknya sangat tidak peduli dengan anak mereka.
“Ibuku terpisah dari kami tahun kemarin,” aku mengaku padanya dan tanganku mengepal di pangkuanku. Tidak, jika kau menceritakan cerita itu, ceritakan semuanya. “Dia pergi, aku berharap dia kembali tapi...”
Ia mengerling padaku. “Tapi apa?”
“Tapi kemudian dia meninggal.” Dibunuh. “Dia dibunuh di Chicago.”
“Maafkan aku, Anna.” Ia menyuarakannya.
Kapan ini menjadi tentang aku? “Jangan khawatir tentang hal itu, maksudku—aku hanya...kau bukanlah satu-satunya yang tahu bagaimana rasanya saat orang tua pergi, oke?” Hanya dalam kasusku, dia pergi selamanya. “Kau tak sendirian.”
Matanya berkilat padaku. “Tidak, aku tidak sendirian.”
Tatapannya kelihatannya melihat terlalu banyak. Aku mengalihkan pandanganku, memandang cepat ke arah kaca depan mobil dan—“Brent, awas!”
Mobil berbelok saat ia menyentakkan kemudi.
Aku menatap dengan mata membelalak saat seekor serigala—seeokor serigala gelap besar—berpacu ke arah kami. Lampu besar membuat mata binatang buas itu kelihatan bersinar kuning dan rahangnya terbuka, semua gigi tajamnya meledak dari mulutnya.
Oh, sial, dia akan menabrak kami.
“Brent!” jeritku lagi.
Dia menyentakkan kemudi ke kiri, terlalu keras. Aku tahu itu, aku tahu—mobil tak akan keluar dari tikungan kali ini. Malahan, berputar, sekali, dua kali, dan dunia menghilang dalam remang-remang cepat saat kami terguling, menyelip di atas ujung jalan dan berputar menuruni lereng gunung ke dalam hutan. Pepohonan pinus menghantam mobil. Kaca depan mobil hancur dan menghujaniku. Aku tak bisa menjerit lagi, nafasku sudah pergi.
Kepalaku tersentak ke belakang, dan hal terakhir yang kudengar adalah lolongan serigala. 
***

Originally Translated by Alya Feliz
12 Mei 2015

Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger