THE DEAL BY ELLE KENNEDY - BAB 1

April 26, 20150 comments



HANNAH


Dia tak tahu aku hidup
Untuk yang kesejuta kalinya dalam 45 menit, aku mengintip ke arah Justin Kohl, dan dia sangat indah membuat tenggorokanku merapat. Meski aku mungkin seharusnya datang dengan kata sifat lain—teman-teman priaku bersikeras bahwa pria tak suka dipanggil indah.
Tapi astaga, tak ada cara lain untuk menggambarkan fitur kasar dan mata coklatnya yang menggetarkan hati. Ia memakai topi baseball hari ini, tapi aku tahu apa yang ada di bawahnya: rambut gelap yang tebal, jenis yang terlihat halus untuk disentuh dan membuatmu ingin melarikan jari-jarimu melewatinya.
Dalam waktu lima tahun sejak perkosaan itu, jantungku telah berdegup kencang hanya untuk dua pria.
Pria yang pertama mencampakkanku.
Pria yang ini hanya tidak menyadari.
Di podium dalam ruang kuliah, Profesor Tolbert menyampaikan apa yang sudah sampai mengarah pada Pidato Kekecawaan. Itu adalah yang ketiga dalam enam minggu.
Mengejutkan, mengejutkan, tujuh puluh persen dari mahasiswa di kelas mendapatkan C plus atau lebih rendah di ujian tengah semester.
Aku? Aku mendapatkan nilai bagus. Dan aku akan berbohong jika kubilang lingkaran A! merah besar di atas ujian tengah semesterku tidak sampai seperti keterkejutan yang sempurna. Semua yang kulakukan adalah menulis cakar ayam aliran omong kosong yang tak pernah berakhir untuk berusaha memenuhi buku kecil itu.
Etika filosofis seharusnya menjadi angin sepoi-sepoi. Guru besar yang dulu mengajarkan itu memberikan tes pilihan ganda dungu, dan “ujian” akhir yang terdiri atas karangan pribadi yang mengajukan dilema moral dan bertanya bagaimana kau akan bereaksi terhadap hal itu. 
Tapi dua minggu sebelum semester dimulai, Profesor Lane terjatuh dan meninggal karena serangan jantung. Kudengar tukang bersih-bersihnya menemukannya di lantai kamar mandi—telanjang. Pria malang.
Sungguh beruntung (dan yep, itu adalah sarkasme sama sekali) Pamela Tolbert melangkah untuk mengambil alih kelas Lane. Dia baru di Universitas Briar, dan dia adalah jenis guru besar yang menginginkan kau membuat koneksi dan “keikutsertaan” dengan materi. Jika ini adalah sebuah film, dia akan menjadi guru muda ambisius yang muncul di sekolat pusat kota dan menginspirasi banyak anak yang terus melakukan kesalahan bodoh dan tidak belajar,  dan tiba-tiba saja semua orang meletakkan senapan penyerangan AK-47 dan memungut pensil mereka, dan di bagian akhir pernghargaan bergulir ke atas untuk mengumumkan bagaimana semua anak bisa masuk Harvard atau beberapa omong kosong. Oscar instan untuk Hilary Swank.
Kecuali ini adalah bukan sebuah film, yang artinya satu-satunya hal yang sudah diinspirasikan Tolber pada para mahasiswanya adalah kebencian. Dan dia sejujurnya terlihat tak bisa memahami kenapa tak seorangpun unggul di kelasnya.
Inilah petunjuknya—itu karena dia bertanya jenis pertanyaan yang bisa kau tulis di tesis sekolah pascasarjana sialan. 
“Aku bersedia menawarkan ujian penutup untuk siapapun yang gagal atau menerima C minus atau lebih rendah.” Hidung Tolbert mengernyit seakan-akan ia tak bisa mengerti kenapa hal itu bahkan penting.
Kata yang baru saja dia gunakan—bersedia? Yah, benar. Aku mendengar bahwa banyak mahasiswa yang mengeluh pada penasihat mereka mengenai dia, dan aku curiga bagian tatausaha memaksanya untuk memberikan semua mahasiswa pengulangan. Itu tidak mencerminkan dengan baik untuk Briar saat lebih dari setengah mahasiswa dalam sebuah matapelajaran gagal ujian, khususnya saat itu bukan hanya para mahasiswa yang menghindari tugas. Mahasiswa sungguh-sungguh yang biasanya mendapat nilai A seperti Nell, yang merajuk di sebelahku, juga mengerjakan ujian tengah semester dengan benar-benar kurang baik. 
“Bagi kalian yang memilih untuk mengambilnya lagi, dua nilaimu akan dirata-ratakan. Jika kau mengerjakan lebih buruk di saat yang kedua, nilai pertama akan bertahan,” putus Tolbert.
“Aku tak percaya kau mendapatkan nilai A,” bisik Nell padaku.
Dia terlihat sangat marah yang membuatku merasakan pedihnya simpati. Nell dan aku bukanlah sahabat atau apapun, tapi kami telah duduk bersebelahan sejak September jadi pantas bahwa kami sudah saling tahu. Dia di jalan pra-kedokteran, dan aku tahu dia berasal dari keluarga yang terlalu sukses yang akan menghukum atau mengritiknya dengan keras jika mereka mengetahui tentang nilai ujian tengah semesternya.
“Aku pun tak bisa mempercayainya,” bisikku balik. “Serius. Bacalah jawabanku. Isinya melantur tak masuk akal.”
“Benarkah? Bisakah aku?” Dia terdengar berhasrat sekarang. “Aku penasaran ingin melihat apa yang Tiran pertimbangkan untuk materi bernilai A.”
“Aku akan men-scan dan mengirimkan email salinannya padamu malam ini,” janjiku.
Kedua kalinya Tolbert membubarkan kami, ruang kuliah menggemakan bunyi mari-keluar-dari-penderitaan-di sini. Laptop tertutup dengan keras, buku catatan meluncur ke dalam ransel, para mahasiswa menyeret kakinya keluar dari tempat duduk mereka. Justin Kohl tetap tinggal di depan pintu untuk berbicara dengan seseorang, dan pandanganku terkunci padanya seperti sebuah misil. Dia indah.
Sudahkah aku menyebutkan betapa indahnya dia?
Telapak tanganku basah berkeringat saat aku memandang wajah tampannya. Dia baru ke Briar tahun ini, tapi aku tak yakin ia pindahan dari perguruan tinggi mana, dan meskipun dia tidak membuang-buang waktu menjadi penerima bintang lebar di tim sepak bola, dia tak seperti atlet lain di sekolah ini. Dia tidak menyombong di luar lapangan dengan salah satu senyum miring aku-adalah-hadiah-dari-Tuhan-untuk-dunia, atau muncul dengan gadis baru di lengannya setiap hari. Aku sudah melihatnya tertawa dan bercanda dengan teman se-timnya, tapi dia memberikan getaran cerdas yang intens yang membuatku berpikir ada kedalaman tersembunyi padanya. Yang hanya membuatku lebih putus asa untuk mengenalnya.
Aku tidak biasanya tertarik pada atlet, tapi sesuatu tentang orang ini telah mengubahku menjadi tumpukan bubur tanpa pertimbangan.
“Kau sedang memandang lagi.”
Suara godaan Nell menyebabkan rona merah di pipiku. Dia telah menangkapku mengeluarkan air liur atas Justin di lebih dari satu kesempatan, dan dia salah satu dari beberapa orang yang sudah kuakui pujaan hatiku.
Teman sekamarku Allie juga tahu, tapi teman-temanku yang lain? Tidak. Kebanyakan dari mereka mengambil mata pelajaran pokok musik atau drama, jadi kuduga itu membuat kami kerumunan orang-orang yang memanjakan diri dalam seni. Atau mungkin emo. Disamping dari Allie, yang punya hubungan putus-nyambung dengan seorang laki-laki dari kelompok dungu yang suka mabuk dan seks bebas sejak tahun pertama, teman-temanku ditendang karena mencemari kaum elite Briar. Aku tak biasanya bergabung (aku suka berpikir bergosip itu tak pantas bagiku) tapi...mari kita hadapi itu. Kebanyakan anak-anak populer itu benar-benar belagu dan besar mulut tapi dungu.
Contoh yang relevan—Garret Graham, atlet bintang lain di kelas ini. Pesolek itu berjalan-jalan seperti dia yang memiliki tempat ini. Kukira dia adalah sejenis orang yang melakukan itu. Semua yang harus dia lakukan adalah menjentikkan jarinya dan seorang gadis berhasrat muncul di sisinya. Atau melompat kedalam pangkuannya. Atau memasukkan lidahnya ke dalam tenggorokan laki-laki itu.
Dia tidak kelihatan seperti pria terkenal di kampus hari ini. Hampir semua mahasiswa sudah pergi, termasuk Tolbert, Garret tinggal di tempat duduknya. Kepalan tangannya menggenggam erat di sekitar pinggiran buku kecilnya.
Dia pasti telah gagal juga, tapi aku tidak merasakan banyak simpati untuk pria itu. Briar terkenal karena dua hal—hockey dan sepak bola—yang tidak banyak sensasi mengingat Massachusetts adalah rumah Patriots dan Bruins. Atlet-atlet yang bermain untuk Briar hampir selalu berakhir di Pro, dan selama tahun-tahun mereka di sini mereka mendapatkan segala sesuatu yang diberikan pada mereka di piring perak---termasuk nilai.
Jadi yah, mungkin itu membuatku sangat sedikit dendam, tapi aku punya rasa kemenangan dari mengetahui bahwa Tolbert menggagalkan kapten pemenang kejuaraan hockey kami tepat bersama dengan orang lain.
“Ingin mengambil sesuatu dari Coffe Hut?” tanya Nell seraya mengumpulkan buku-bukunya.
“Tidak bisa. Aku harus latihan dua puluh menit lagi.” Aku bangkit, tapi aku tak mengikutinya ke pintu. “Duluan saja. Aku harus mengecek jadwal sebelum pergi. Tak bisa mengingat kapan pengajaran tambahanku.”
“Rembesan” lain dengan berada di kelas Tolbert—bersama dengan kuliah mingguan kami, kami dipaksa untuk  menghadiri 2x30 menit pengajaran tambahan seminggu. Di sisi terangnya, Dana Asisten Dosen yang menjalankannya, dan dia punya semua kualitas yang Tolbert tak punya. Seperti rasa humor.
“Oke,” ucap Nell. “Sampai jumpa nanti.”
“Nanti,” aku berteriak di belakangnya.
Dengan bunyi suaraku, Justin berhenti sejenak di pintu keluar-masuk dan menolehkan kepalanya.
Ya. Tuhan.
Tak mungkin menghentikan rona merah yang berkembang di pipiku. Ini pertama kalinya kami pernah membuat kontak mata, dan aku tak tahu bagaimana meresponnya. Bilang hai? Melambai? Tersenyum?
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengangguk kecil sebagai salam. Di sana. Keren dan sambil lalu, yang cocok dari mahasiswa tingkat tiga perguruan tinggi yang canggih. 
Jantungku melompat-lompat saat sudut bibirnya terangkat membentuk seringai kecil. Ia mengangguk balik, lalu pergi.
Aku menatap pintu keluar-masuk yang kosong. Denyut nadiku meledak dalam derap cepat karena astaga. Setelah enam minggu menghirup udara yang sama di ruang kuliah yang sesak ini, dia akhirnya memperhatikanku.
Aku harap aku cukup berani untuk mengerjarnya. Mungkin mengundangnya mengopi. Atau makan malam. Atau makan setelah sarapan dan sebelum makan siang—tunggu, apa orang seusia kita bahkan punya makan setelah sarapan dan sebelum makan siang?
Tapi kakiku tetap terpaku di lantai licin.
Karena aku adalah seorang pengecut. Yep, benar-benar ayam sialan pengecut. Aku ngeri dia akan bilang tidak, tapi aku bahkan lebih ngeri dia akan bilang iya.
Aku berada di tempat yang bagus saat aku mulai kuliah. Persoalanku memberikan dukungan kuat padaku, kewaspadaanku menurun. Aku siap untuk berkencan lagi, dan memang. Aku berkencan dengan beberapa pria, tapi selain dari mantanku, Devon, tak ada dari mereka yang membuat tubuhku tersengat seperti cara Justin melakukannya, dan itu menakutiku.
Langkah-langkah bayi.
Benar. Langkah-langkah bayi. Itu adalah potongan nasihat favorit terapisku, dan aku tak bisa menyangkal bahwa strategi itu banyak membantuku. Fokus pada kemenangan kecil, nasihat Carole selalu.
Jadi...kemenangan hari ini...aku menangguk pada Justin dan dia tersenyum padaku. Kelas berikutnya, mungkin aku akan tersenyum balik. Dan sehari setelah itu, mungkin aku akan membawa ide kopi, makan malam, atau makan setelah sarapan dan sebelum makan siang.
Aku menghela nafas saat menunduk di antara deretan tempat duduk, bergantung pada perasaan kemenangan itu, betapapun amat kecilnya itu barangkali.
Langkah-langkah bayi.


ORIGINALLY TRANSLATED BY ALYA FELIZ


Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger