THE BETTER TO BITE BY CYNTHIA EDEN - BAB 1

April 24, 20150 comments

Cover The Better To Bite

        Aku seharusnya sudah tahu lebih baik daripada pergi ke hutan sendirian.
Aku dan ayahku belum lama berada di kota, benar-benar hanya beberapa hari, dan aku seharusnya tetap tinggal di rumah. Tapi aku bosan dan kesepian, dan hutan di sekitar tempat baru kami sepertinya memanggilku.
Pada awalnya, aku tak takut sama sekali. Sejujurnya, aku bukan semacam mudah menakut-nakuti, tapi itu karena aku...berbeda. Kata ayahku. Dia tak suka memanggilku orang aneh atau apapun karena ia adalah ayahku, jadi dia bilang aku hanya berbeda.
Memang.
Sepatu tenisku menimbulkan bunyi berderak di atas tanah, mematahkan ranting dan menghancurkan dedaunan. Sinar matahari yang pudar nyaris tidak berhasil menembus puncak pepohonan. Di sekitarku, hutan terlihat hijau gelap dan coklat dan aku bisa mendengar burung-burung bersiul dalam sebuah lagu yang indah. Untuk seorang gadis yang enam belas tahun pertama dari hidupnya pernah tinggal di kota yang dikelilingi oleh gedung-gedung tinggi dan aspal yang terbentang sejauh bermil-mil, pepohonan yang bergoyang dan aroma pinus muda dari hutan terasa...menyenangkan.
Tidak, pada awalnya aku tak takut sama sekali. Aku hanya berjalan dan berjalan. Aku tak khawatir akan hilang. Aku tidak bisa hilang. Tak masalah kemana aku pergi atau apa yang kulakukan, aku tak pernah hilang. Aku selalu bisa menemukan jalanku pulang.
Itu hanyalah salah satu dari berbagai hal bahwa aku berbeda dari gadis-gadis lainnya. Tapi ayah tak suka menceritakan dongeng-dongeng tentang bakat khusus itu untukku. Kemudian lagi, ayahku tak benar-benar terkenal dalam berbagi dengan siapapun. Sejauh yang kutahu, akulah satu-satunya orang yang pernah dipercayainya. Terkadang, aku punya perasaan ia menjaga banyak rahasia bahkan dariku.
Aku berjalan dan berjalan. Aku menemukan sungai kecil dan es yang dingin membuat ujung jari-jariku kedinginan. Gumpalan sinar matahari yang mati jatuh padaku karena aku berlutut di sungai itu, dan aku bisa menarik nafas yang tidak terasa dari kota.
Tapi lalu sinar matahari tampaknya bahkan lebih redup. Aku membungkukkan badanku di atas sungai saat aku mendengar geraman pertama.
Dan saat aku merasakan sentuhan ringan dari ketakutan di kulitku.
Aku mengangkat kepalaku dengan perlahan, dan pandanganku bergerak cepat ke seberang air.
Aku seharusnya sudah tahu lebih baik daripada pergi ke hutan sendirian.
Geraman lainnya membuat bulu di lenganku berdiri. Karena geraman ini...ia menunjukkan gigi taring—gigi taring yang sangat besar—yang dimiliki oleh hewan buas di depanku. Gigi taring itu besar dan terlalu tajam seperti mereka meledak dari mulut hewan itu.
Seekor anjing? Seekor anjing yang benar-benar besar dan menakutkan? “Tenang,” aku berbisik ketika aku bangkit dan menawarkan tanganku. Kupikir aku membacanya di suatu tempat...bahwa kau diharuskan untuk membiarkan anjing mengendusmu, untuk menunjukkan bahwa kau tidak bermaksud jahat.
Anjing itu menggertakku. Serius, sebuat gertakan, dan aku menjatuhkan tanganku.
Matanya—cerah dan kuning—tertuju padaku. Bulu hitam tebal menutupi tubuhnya dan cakar kuatnya menggali ke dalam tananh.
Keringat mulai menetes di punggungku. Lari.
Gigi anjing itu menggemertak bersama-sama, dan ia melompat, terbang tepat di atas sungai kecil itu dan datang padaku.
Aku menjerit dan berbalik, berlari secepat yang aku bisa. “Bangsat!” Aku berteriak di atas bahuku saat aku berlari. Aku mendengar bunyi byur air ketika anjing itu mendarat di ujung sungai kecil. “Pergi dan...bangsat!” Aku bukan pecinta anjing tepatnya, dan Fido gila tentu tak melakukan apapun untuk mengubah pikiranku.
Tanah kelihatannya bergetar di belakangku ketika ia mendekat. Aku tak menatap balik. Aku tak ingin melihat gigi-gigi itu lagi. Aku berpacu secepat yang aku bisa, tapi aku takkan pernah menjadi bintang olahraga lari. Sisi tubuhku sakit, dan dahan-dahan pohon menggores lenganku. Sekali aku berhasil lolos dari Fino, aku tak akan pernah pergi ke hutan sendirian lagi.
Takkan pernah!
Aku bisa merasakan nafasnya di belakangku. Mungkin itu terdengar gila, tapi aku bisa merasakannya. Panas, berat. Nafasku sendiri tercekik ketika aku melihat sebuah pohon di depan sana. Sebuah pohon oak, dengan dahan panjang yang aku yakin bisa kuraih. Aku mendorong maju dengan tenaga terakhirku—aku benar-benar bukan seorang atlet—dan aku melompat, meraih dahan itu dengan putus asa.
Aku kehilangan itu.
Benar-benar bukan seorang atlet.
Aku terbanting ke atas tanah dan di saat yang sama, aku merasakan luka putih yang panas mengiris lengan atasku. Aku menjerit dan menendang, dan beruntungnya aku, aku menangkap anjing bastar itu tepat di samping. Ia menggonggong dan berbalik kembali.
Berdarah sekarang—terima kasih, Fido—aku mendorong dan melompat ke pohon lagi. Kali ini, aku menangkapnya. Aku mengangkat kakiku ke atas, melakukan setengah merangkak aneh menaiki pohon. Kulit pohon menusukku, tapi aku tak peduli. Sekitar empat detik, aku duduk di puncak ranting pohon.
Dan Fido tepat berada di bawahku, melakukan geraman dalam dan menggelegar itu yang menakutiku.
“Pergi!” Aku berteriak padanya saat ia melihat lengan kiriku. Jeez, dia mencakarku! Aku punya empat irisan panjang yang menyayat kulitku. Empat irisan panjang yang berdarah. Jenis yang kau tahu tak akan mudah sembuh. Tidak, terima kasih pada Fido, aku mungkin akan membawa tanda ini selama berminggu-minggu.
Ayahku akan gila lebih dari ini.
Dan sekarang, aku tersangkut di sebuah pohon sialan sementara anjing itu berputar-putar di sekitarku, mengendus udara setiap beberapa menit, dan mengais-ngais tanah. 
Aku berjalan-jalan dan berakhir dengan terjebak. Itu cukup banyak cerita tentang kehidupanku, jadi tidak seharusnya aku terkejut dengan kekacauan ini lagi.
“Pergi!” teriakku. “Carilah orang lain untuk digigit!” Aku bergeser ke sekitar, mencoba untuk menyelinap ke tempat yang lebih baik. Catatan untuk masa depan—tak ada tempat yang lebih baik saat kau tersangkut di sebuah pohon oak.
Dan kemudian segala sesuatu menjadi lebih buruk bagiku. Yeah, bagaimana mungkin, kan? Tapi aku mulai mendengar sesuatu yang jelas...suara ‘krak’. Aku punya keberuntungan yang paling buruk di dunia. Mataku beralih ke sebelah kanan, dan aku melihat bahwa dahan itu, keselamatan manisku, sudah mulai patah.
Fido masih berputar-putar di bawahku.
Omong kosong. Omong kosong. Omong kosong!
“Pergi...” aku mulai lagi, tapi anjing itu berhenti di pertengahan menggertak. Kepalanya miring ke sebelah kanan, dan kedua telingannya berdiri tegak. Lalu, bahkan tanpa melihat ke arahku lagi, ia berbalik dan menerjang ke dalam hutan.
Ya. Aku merosot kembali. Darah menetes ke bawah lenganku. Ini akan mengajariku untuk meninggalkan semprotan aerosolku di rumah. Tapi kupikir, hei, tidak berada di Chicago lagi. Hal buruk apa yang bisa terjadi di daerah yang jauh dari perkembangan manusia di South Carolina? 
Rupanya, anjing yang liar dan ganas bisa terjadi. Aku mendesis saat menyentuh tanda cakaran itu. Sepuluh sampai satu peluang mereka akan meninggalkan bekas luka. Lalu aku akan menjadi gadis yang-sangat-tidak keren dengan tanda cakaran di lengannya.
“Uh...kau baik-baik saja di atas sana?”
Suara pria itu terdengar dalam, diisyaratkan dengan hanya sedikit aksen daerah selatan, dan...geli. Geli pada pengorbananku. Kepalaku tersentak, dan pandanganku mencari di atas tanah. Aku mengerutkan dahi karena tak melihat siapapun, tidak pada awalnya dan kemudian...
Lalu kemudian ia melangkah keluar dari bayangan. Oh, wow. Tinggi, tan, dengan banyak otot. Otot-otot yang bisa kulihat karena pria itu tak mengenakan kemeja. Celana pendek olahraga yang sudah pudar, sepatu tenis, tapi...tak ada yang lain lagi. Rambut hitam tebalnya sedikit terlalu panjang, dan matanya sudah pasti menjadi yang paling biru mutlak yang pernah kulihat.
Ia terlihat seperti berusia sekitar umurku, mungkin setahun atau dua tahun lebih tua. Satu kali melihat, dan aku tahu dia adalah masalah. Benar-benar masalah yang jenisnya baik yang bisa membuat seorang gadis ingin menyelinap keluar di malam hari. Dan aku terjebak di sebuah pohon, berdarah. Benar. Cara untuk membuat kesan pertama seorang pembunuh. Segala sesuatu seharusnya menjadi berbeda kali ini.
Aku membersihkan tenggorokanku dan merasa aku harus memperingatkannya. “Kau harus berhati-hati! Ada semacam anjing liar yang berlari bebas di luar sana.” Yeah, suaraku sedikit pecah karena aku super keren dan seksi seperti itu. Bagus.
Ia mengerjap dan kedua alisnya naik. “Anjing?”
Ada suara ‘krak’ lain. Lebih keras kali dan aku tahu bahwa...
Dahannya patah dan aku jatuh. Di setengah detik itu, aku bersiap untuk dampak dan penghinaan mengejutkan dari jatuh di kaki pria yang menggiurkan. Tapi aku tidak terhempas ke tanah. Ia menangkapku. 
Ia menangkapku.
Dari dekat, aku menyadari bahwa matanya bukanlah biru solid. Emas melingkari pupilnya. Lenganku terkunci di sekitarnya. Dia hangat dan kuat dan...aku membersihkan tenggorokanku. “Terima kasih. Kau bergerak cepat.” Seberapa dungunya hal itu kedengarannya?
Sebuah senyum samar membuat bibirnya terangkat. Bibir yang bagus. Tidak terlalu tipis. Tidak terlalu tebal. “Kau menghabiskan banyak waktu terjatuh dari pohon?” tanyanya.
Aku menggelengkan kepalaku. “Hanya pada hari-hari ketika Fido menangkapku.”
Senyum itu memudar secepat munculnya, dan pandangannya turun ke lenganku.
Aku masih berpegangan padanya. Oke, ini semakin canggung. “Kau bisa menurunkanku.”
Wajahnya benar-benar sempurna, dalam cara yang gelap-dan-berbahaya. Fitur yang kuat. Rahang yang keras. Gigi yang luar biasa putih.
Dengan perlahan, ia menurunkanku ke tanah. Aku tak ingin berdarah-darah di seluruh tubuhnya—aku tak mengenalnya, kami sendirian di hutan, dan ayahku belum bertindak bodoh—jadi aku mengambil beberapa langkah cepat ke belakang. Menambah sedikit jarak mungkin hal yang bagus.
“Apa yang terjadi?” Dia ingin tahu sambil meletakkan tangannya di atas pinggang.
Apa para pria di sini terlihat seperti kau? Aku menahan kembali pertanyaanku. Sangat tidak pada waktu atau tempatnya. Aku punya kecenderungan mengatakan berbagai hal tanpa berpikir. Aku sedang mengusahakan kecenderungan itu. Sungguh. Semacam itu. Dan aku juga seharusnya mengusahakan sikapku. Para guru di sekolah lamaku telah cukup banyak berpikir bahwa sikapku menyebalkan. Karena, kau tahu, memang.
Tanganku menutupi tanda itu. “Anjing itu mencakarku.”
“Jadi kau berlari ke sebuah pohon?”
Aku mengerjap. Dimana kekurangan dalam rencanaku? Oh, iya, dahan yang patah. “Kelihatannya ide itu lebih baik daripada hanya berdiri diam dan membiarkannya menggigitku.”
Pandangannya kembali padaku. “Kau yakin itu adalah seekor anjing?”
“Uh, yeah...”
Namun kemudian, sebuah suara baru memenuhi hutan. Lolongan panjang yang penuh kesedihan.
Ia lantas tertawa, dan gigi putihnya bercahaya dalam sebuah seringai yang membuatku berpikir lagi—masalah. “Chicago, kau tak tahu banyak tentang hewan, kan?”
Chicago. Dia tahu siapa aku. Aku berdehem. “Kau bilang itu adalah...seekor serigala?” Aku baru saja hampir dimakan oleh seekor serigala? Aku tak pernah bisa melakukan apapun setengah jalan.
Ia melangkah maju kemudian, dan tangannya terangkat ke arah rambut merahku. Aku tersentak karena tak mengharapkan gerakan itu.
“Tenang.” Dia kelihatannya sedikit menghembuskan kata itu. Lalu ia menarik sebuah ranting dari rambutku.
Tanah bisa saja terbuka dan menelanku kemudian. Itu akan sangat bermurah hati. Tapi, tak ada keberuntungan seperti itu. Berdarah, kotor, dan dengan ranting di rambutku. Biasanya, aku menyajikan yang jauh lebih baik daripada ini. Aku punya gaya—aku hanya tidak memilikinya dengan benar tadi. Aku menelan ludah dan berusaha menenangkan jantungku yang berpacu. Aku sudah berada di banyak situasi, jauh lebih buruk daripada ini sebelumnya.
Aku mengambil satu langkah menjauh darinya. Bukan karena aku gugup. Atau mungkin karena aku gugup. “Namaku anna Lambert.” Bukan Chicago. Aku menunggu hanya sebentar. “Siapa kau?” Mataku bergerak cepat di belakangnya. Lolongan itu sudah tidak terdengar dekat. Hal yang baik.
Seekor serigala? Tebak aku yakin tidak berada di Chicago lagi. Lolongan lain memenuhi udara, dan aku bergerak mundur di atas tumitku.
Wajahnya mengeras. “Kau tidak seharusnya berada di luar sini,” ucapnya padaku. “Kau tak tahu daerah ini. Kau akan tersesat...”
“Aku tak pernah tersesat.” Sekarang aku menjadi...berkata tanpa berpikir. Dan kecuali untuk satu pengakuan buruk pada seorang mantan pacar, aku menyimpan rahasia itu selama lebih dari tiga tahun, sejak pertama kali aku mengembangkan  bakat kecilku di ulang tahunku yang ketiga belas. Tapi berikan aku seekor serigala, bekas cakaran, dan seorang pria yang menggiurkan, dan tiba-tiba saja aku selesai berbagi.
Alisnya tersentak bersama-sama. “Apa?”
“Aku tahu jalanku pulang,” omelku, sadar bahwa pipiku pasti memerah. Aku bisa merasakan panas di wajahku.
“Baik.” Meski dia tidak terdengar yakin sama sekali.
Aku meluruskan bahuku. Tentu, aku mungkin hanya mencapai sekitar lima koma lima kaki dan Tuan Kuat dengan mudahnya melebihi enam kaki, tapi aku bukan pengambil keuntungan. Meskipun teriakanku menembus hutan—sudahkah dia melihat semuanya?—aku tahu bagaimana mengatasi diriku sendiri. Koreksi—di kota, memang. Di luar sini, mungkin aku hanyalah daging segar.
Catatan untuk diri sendiri—dapatkan negara yang tangguh, sesegera mungkin. Aku berdehem, “Siapa kau?” tanyaku lagi, tapi kali ini, aku membuat suaraku lebih kuat, lebih keras.
Ia menatapku sejenak, dan aku berharap aku tak terlihat seburuk yang kurasa. Mungkin harapan yang sia-sia, “Hati-hati berjalan di dalam hutan,” katanya padaku, jadi dia tidak memberikan namanya karena ia berbalik dan berjalan jauh. “Kau tak pernah tahu apa yang menunggu di luar sini.”
Baiklah. Itu sudah terdengar mengancam dan berbahaya dalam gelap. Aku menggosokkan tanganku, dan darah menodai celana pendekku karena aku menekan telapak tanganku di atas kainnya. Pria itu sudah menyelamatkanku dari memar yang lebih banyak, bahkan mungkin dari kaki patah, dan dia menggiurkan.
Jadi, tentu saja, aku hanya melihatnya pergi. Aku mengagumi pemandangan itu. Lalu, saat ia sudah pergi, aku berbalik dan mulai berlari pelan-pelan kembali ke rumah. Dan dengan setiap gerakan yang kubuat, aku merasa seperti sedang diawasi. Hutan tidak menarik lagi. Tidak, sekarang mereka hanya terlihat gelap dan berbahaya dan untuk sekali, aku sangat, sangat senang menjadi berbeda karena aku mengambil rute paling pendek ke rumah baruku.
***
Ayahku terlambat pulang. Aku punya waktu untuk mandi, mencuci darah di celana pendekku, dan membalut lenganku sebelum aku melihat mobil Sheriff Dawson County menepi ke jalan kerikil kami. Yeah, ayahku adalah kepala posisi baru di kota. Suatu hari dia adalah seorang detektif dengan Kepolisian Chicago. Hari berikutnya...dia telah diangkat sebagai Sheriff daerah di sini di Haven, South Carolina.
Aku bertingkah seperti aku bahagia untuk ayahku, tapi kenyataannya adalah...aku bahkan tak bisa mengingat terakhir kali aku benar-benar bahagia tentang apapun. Mungkin sebelum ibuku meninggal?
Tidak yakin...
Namun aku tersenyum untuk ayahku. Aku selalu melakukannya. Aku membayangkan kenapa dia harus mengkhawatirkanku? Dia cukup khawatir seperti seharusnya.
Kembali ke hari ini, ayahku tumbuh besar di sini di Haven, South Carolina. Namun lucu, dia tak pernah menceritakan padaku mengenai tempat ini. Aku pikir dia selalu tinggal di kota. Lalu dia mendapat kabar bahwa ibunya—seorang wanita yang tak pernah kutemui, terima kasih, Ayah—telah meninggal. Dia mewarisi rumahnya di sini di Haven. Dia mewarisi rumahnya seminggu dan menerima penunjukkan pekerjaan Sheriff minggu berikutnya.
Ayah bilang itu semua adalah takdir. Aku tak percaya pada takdir. Jika aku percaya, maka aku harus percaya bahwa aku bangun pagi ini dengan tanpa pilihan kecuali tercakar oleh seekor serigala.
Tidak terima kasih, Takdir.
Kerikil berderak saat Ayah datang ke arahku. Dia adalah pria yang tampan, atau demikian aku mendengar beberapa wanita mengatakannya ketika mereka tak berpikir aku sedang memperhatikan. Di awal usia empat puluhnya, dia punya rambut pirang pendek dan wajah yang hanya memiliki sedikit garis di dekat matanya. Garis-garis tawa. Meskipun pekerjaan yang dia lakukan, ayahku suka tertawa.
Tapi dia tidak tertawa sekarang.
Seragam Sheriffnya berwarna coklat pudar, tapi bintang yang ia kenakan di dadanya bersinar di cahaya yang lemah. Ia memegang topinya di tangannya, dan rahangnya mengetat ketika berjalan ke arahku. Aku tahu pandangan keras itu di wajahnya dengan terlalu baik.
Aku bangkit dari ayunan beranda. “Apa yang terjadi?”
Jantungku berdegup terlalu kencang. Dia telah berada pada pekerjaannya hanya selama beberapa hari-empat hari—dan tombak ini seharusnya mudah. Tak ada stres. Tak ada percekcokan. Itulah keseluruhan alasan kami meninggalkan kota. 
Untuk melarikan diri.
Desahan panjang keluar dari bibirnya. “Mereka menemukan Sheriff Brantley hari ini.”
Bukan yang kuharapkan. “Pria yang melarikan diri?” Itulah kenapa ayahku telah dipanggil ke Haven. Bagaimanapun juga dia dan walikota pernah menjadi teman sekali, begitu kata ayahku. Saat Sheriff Brantley keluar dari kota, walikota sudah putus asa. Tak ada seorang pun yang siap mengambil pekerjaan itu, dan dia menelpon ayahku.
Kehidupan baru yang instan...begitulah yang kami pikirkan.
“Jadi...apa?” tanyaku, bingung dan marah. “Pria itu memutuskan untuk kembali ke kota? Pekerjaan itu milikmu sekarang, dia tak bisa hanya...”
Ia menaiki anak tangga beranda. “Dia tak kembali kemanapun.” Ia melarikan jari-jarinya ke rambutnya. Ayahku banyak melakukan gerakan itu—biasanya saat cemas.
Aku tak akan menyukai bagian yang datang selanjutnya. Tapi aku hanya berdiri di sana, dengan jari-jari kakiku melengkung kedalam kayu beranda dan daguku terangkat. Luka di lenganku kelihatannya berdenyut.
“Beberapa anak menemukan tubuh Brantley di hutan hari ini.” Sebuah desahan keras keluar dari bibirnya. “Atau mereka menemukan apa yang tersisa darinya.”
Perutku menegang. Tidak seharusnya ada mayat di sini. Tempat ini seharusnya tenang dan aman. Tidak dipenuhi dengan serigala dan kematian.
Aku mulai berpikir kota ini tidak banyak dari Haven setelah semuanya. Kedua tanganku terkepal. “Bagaimana kau berpikir dia sudah mati?”
Mata ayahku, tepat berwarna hijau yang cocok denganku, menatap tajam ke arahku. “Sulit mengatakannya...terlalu banyak bagian dari tubuhnya yang hilang pada titik ini.”
Itu hanya kotor dan terlalu banyak informasi untukku.
“Hewan-hewan mendapatkannya,” ucapnya dan semua yang bisa kugambarkan kemudian adalah serigala besar itu, datang padaku dengan gertakan, geraman, dan gigi yang terlalu tajam.
Aku gemetaran.
“Kita tak akan tahu secara pasti apa yang terjadi padanya, tidak kecuali kalau kita bisa menemukan lebih dari sisa-sisa tubuhnya.”
Aku memaksa mataku untuk menatap matanya. Aku harus mengatakannya. “Yah, kau membutuhkanku untuk...”
Ia melompati anak tangga beranda dan menarikku ke dalam lengannya. “Tidak!”
Hebat. Respon yang sangat cepat dan sangat tidak berubah yang kuharap kudengarkan.
“Kuberitahu kau, Anna, segala sesuatu berbeda sekarang. Kita sedang memulai lagi.” Kepalaku berhadapan dengan dadanya, jadi aku bisa merasakan debaran kencang dari jantungnya. “Kita berdua.”
Permulaan yang segar, dengan sebuah mayat terlempar. Entah bagaimana, itu tidak terlihat sangat berbeda dari kehidupanku di kota. Kembali ke rumah, ayah telah membuat sebuah karir yang menurunkan para pembunuh. Semakin jahat mereka, semakin sulit ia memburunya. 
Kebanyakan anak-anak diceritakan cerita waktu tidur tentang dongeng dan istana saat mereka masih kecil. Itu bukanlah hidupku. Pada malam hari, aku mendengar-dengar ayahku membicarakan tentag adegan kriminal dan riwayatnya. Jadi mungkin aku punya lebih dari bagian mimpi burukku karena pembicaraan polisi itu. Tak ada hidup orang yang sempurna, yang paling sedikit dari milikku.
“Kami akan mengirim anjing ke dalam hutan,” kata ayahku dan tangannya menepuk punggungku. “Kami akan menemukan apa yang...sial, kami akan menemukannya.”
Itu tidak terlihat seperti ada banyak bagian darinya untuk ditemukan.
Ia mundur dan memandangku. “Sampai kami memahami apa yang terjadi, aku ingin kau tetap berada di luar hutan-hutan itu.”
Jari-jarinya bersandar tepat di bawah perbanku. Luka itu masih terasa sakit, dan aku agak yakin darahnya mungkin dekat dengan pembocoran lewat kain kasa yang kuletakkan di atasnya. “T-tentunya.” Rencana terdekatku tidak termasuk berjalan kaki lagi melalui hutan itu.
Aku menarik diri darinya sebelum ia bisa menemukan bukti dari bepergianku sebelumnya ke dalam hutan. Tak masuk akal membuatnya khawatir sekarang.
“Seekor beruang bisa saja telah melakukannya,” ucapnya, dan aku melihat pandangannya bergerak cepat ke deretan pohon tepat di belakang rumah kami.
Aku mengangguk, tapi aku tak berpikir ia bahkan melihat pergerakannya. “Mungkin...mungkin itu adalah seekor serigala.” Yeah, aku berbicara tanpa berpikir lagi.
Kepalanya tersentak menghadapku. Dia belum melewatkan gerutuan itu.
Aku terpaksa mengangkat bahu. “Aku mendengar beberapa lolongan sebelumnya. Terdengar seperti beberapa serigala mungkin berlari mendekat.”
“Serigala?” ulangnya seakan-akan aku berbicara bahasa Yunani. “Di Haven?”
“Aku mendengarnya.” Dan sudah hampir dimakan oleh salah satunya. Astaga, betapa besarnya gigi yang kau punya...Aku sudah tahu siapa—apa—yang akan menatapku dalam mimpi burukku malam ini.
“Jika kau melihat serigala apapun, larilah secepat dan sejauh yang kau bisa dari mereka.” Sebuah urat tersentak di rahang ayahku. “Kau mengerti?”
Aku mengangguk. “Percayalah, jika aku melihat seekor serigala datang padaku...” Aku akan menangkap pantatnya. “Aku akan keluar dari sana.”
Ia menghembuskan nafas dan beberapa ketegangan akhirnya keluar dari tubuhnya. “Bagus. Serigala itu ganas. Mereka akan berbalik padamu dalam sekejap.”
Persis seperti orang-orang. Kami berdua tahu persis bagaimana manusia bisa mematikan. Setelah semua itu, ibu sedikit dingin di dalam kuburannya. Ayah masuk ke dalam dan mulai memasak makan malam. Aku tetap di beranda, dan pandanganku kembali ke dinding gelap dari pepohonan. Aku mungkin sudah gila, mungkin iya, tapi aku bisa bersumpah karena aku melihat...
Sesuatu melihat balik padaku. Aku hampir bisa melihat matanya, kuning cerah, terkunci padaku.
“Anna?”
Aku melompat dan menatap dari atas bahuku.
Ayahku mengerutkan keningnya padaku. “Kau baik-baik saja, Sayang?”
Aku mengangguk. Apa lagi yang akan kulakukan? Aku sudah belajar enam bulan yang lalu bahwa ada beberapa hal yang tak bisa diperbaiki oleh ayahku, tak peduli seberapa keras ia berusaha. Jadi aku berbalik dari hutan itu, aku mendorong ke samping gerogotan di perutku, dan pergi ke dalam.
Apapun yang berada di luar sana...bisa saja menunggu.

***

ORIGINALLY TRANSLATED BY ALYA FELIZ

Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger