DACROS - BAB 3

May 18, 20151comments



Aku berusaha terlihat tenang, meskipun saat ini aku sangat ingin sekali mencolok kedua matanya. Mata itu dengan sangat kurang ajarnya menulusuri tubuhku yang masih terendam di dalam bak mandi. Untungnya masih ada busa yang menghalangi tubuhku dari tatapan kelaparan vampir sialan itu, sehingga aku masih bisa bernafas lega. Tanpa sadar aku mendesis dan makhluk itu, maksudku vampir itu membelalakkan matanya, membuat mata besarnya terlihat seperti ingin keluar dari tempatnya. Ia mundur selangkah dan menggeram hingga matanya berwarna merah sepenuhnya dan taringnya semakin memanjang. Kuku-kuku tangannya pun juga ikut memanjang. Ia adalah definisi dari monster dalam mimpi buruk semua manusia. Warna kulitnya berubah menjadi abu-abu gelap. 
Entah sejak kapan taringku juga ikut keluar, yang jelas aku hanya ingin mempertahankan diri. Untungnya aku bisa mengendalikan wujudku, sehingga aku tak perlu repot-repot membawa sepasang sayap berat itu kemanapun. Kembali ke sosok di sampingku, aku enggan mengobatinya jika ia berhasil meminum darahku. Vampir pria berambut pirang gelap itu tiba-tiba saja melesat ke arahku dan mencakar lenganku, lalu mengarahkan taringnya ke leherku dan bersiap untuk menghujamkannya di sana. Ugh, cakarannya menimbulkan luka yang cukup dalam.
"Ashton, jangan!" terdengar teriakan Sharon yang cepat-cepat menarik vampir itu dan melemparkannya hingga merusakkan pintu kamar mandi.
Vampir itu ternyata keras kepala. Ia tetap berusaha kembali menyerangku dan menghisap darahku.
"Kau akan mati jika menghisap darahnya! Dia adalah dacros!" jerit Sharon yang berhasil membuat vampir pria itu mematung di tempatnya. Umm, sebenarnya tak sampai mati, mungkin hanya...sekarat? Tapi aku sama sekali tak berniat untuk mengoreksi perkataan Sharon. Terkadang kebohongan berguna untuk kebaikan, bukan?
Dengan perlahan taringnya menghilang, begitu juga dengan kuku panjangnya. Warna matanya berubah menjadi warna biru laut yang menyejukkan. Wajahnya tidak lagi terlihat seperti monster buruk rupa, tapi berubah menjadi manusia berwajah tampan dengan kulit berwarna putih pucat, seperti milik Sharon.
"Da...Dacros?" tanya pria itu. 
Tiba-tiba matanya membelalak dan terpancar kengerian di sana. Ia melangkah mundur dengan cepat dan mengambil jarak terjauh dariku. Setidaknya dia bukan makhluk yang kurang pengetahuan.
"Candice, maafkan aku. Aku tak tahu jika Ashton akan masuk kemari. Kau tak apa-apa? Astaga, lukamu!" Sharon berteriak panik dan sedetik kemudian tertegun sambil menatap lenganku yang tadi terluka.
Ya, lukaku bisa menutup dengan sendirinya seperti yang dialami oleh vampir. Bukankah kebanyakan makhluk supernatural memang seperti itu? Lantas kenapa dia harus tertegun seperti itu?
"Bisakah kau menyuruhnya keluar? Aku ingin cepat-cepat berpakaian," mohonku sambil mengeratkan kedua lenganku untuk menutupi dadaku.
Kulihat vampir pria bernama Ashton itu langsung salah tingkah dan segera melesat keluar dari kamar mandi. Sharon membantuku berdiri lalu segera memakaikan handuk ke tubuhku.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya masih dengan raut wajah menyesal.
"Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa mendapatkan luka seperti ini," jawabku berusaha menenangkannya. Memang benar aku sering mendapatkannya, karena hidup di dunia dacros tak semudah hidup di dunia manusia meskipun posisiku sebagai seorang putri. Berlatih perang seperti makanan sehari-hari bagiku.
Aku segera keluar dari kamar mandi dan mengambil pakaian dari lemari. Untungnya aku meluangkan waktu lebih banyak untuk mempelajari jenis-jenis pakaian manusia terutama wanita. Setidaknya aku tahu nama-nama pakaian itu. Kuambil celana pendek dan t-shirt longgar, lalu menyisir rambut hitam bergelombangku dengan cepat setelah selesai memakai pakaian sederhana itu. Saat aku memandang pantulan wajahku di cermin, mataku langsung membelalak kaget. Pantas saja Ashton tadi langsung bersikap siaga. Ternyata warna mataku berubah menjadi hitam pekat. Perlahan-lahan warna itu berubah lagi menjadi hijau, lalu kembali menjadi violet, warna asli mataku.
"Bagaimana bisa warna matamu berubah-ubah? Indah sekali," gumam Sharon dengan pandangan takjub di belakangku. Ternyata sejak tadi dia memperhatikanku. 
"Yeah, memang hanya aku yang mengalaminya. Makanya banyak yang bilang bahwa aku ini aneh." Aku mengedikkan bahu tak peduli.
"Tidak, tidak! Kau sangat cantik, Candice. Apalagi saat kau mengeluarkan taring tadi. Aromamu berubah menjadi sangat wangi dan memabukkan, wangi yang baru kali ini kujumpai. Ashton saja sampai tak bisa menahan diri untuk menghisap darahmu. Yah, meskipun darahmu adalah yang terlezat, tapi juga sekaligus mematikan." Sharon mendekatiku dan menyentuh rambutku dengan hati-hati, lalu mengelusnya.
Aku tertawa mendengarnya. Sebenarnya menyenangkan sekali mendengar sesama wanita saling memuji, daripada saling memaki karena merasa dirinya yang lebih baik daripada yang lainnya. Aku sudah muak dengan wanita-wanita seperti itu. Semua wanita pada dasarnya adalah cantik, hanya saja hatinya yang membuatnya menjadi tetap cantik atau jelek.
"Kau sangat cantik, Candice. Aku jadi ragu kalau besok kau benar-benar ikut bekerja denganku di kantor. Kau akan membuat semua wanita iri dan laki-laki meneteskan air liur," desahnya terdengar tak terima.
Aku mengerutkan keningku. Meskipun aku makhluk supernatural, tapi sampai sekarang aku masih belum paham dengan definisi sangat cantik. Apakah karena bentuk yang indah? Tapi setiap makhluk pastilah memiliki standar keindahan dan kecantikan yang berbeda-beda, bukan? Lantas kenapa aku harus memikirkannya? Bukan masalah besar menurutku. Iblis bisa menjelma menjadi pria yang sangat tampan, tapi tetap saja mereka adalah iblis.
"Candice?" panggil Sharon, membawaku kembali ke dunia nyata.
"Hmm?" gumamku.
"Kau...aku baru sadar bahwa kau memiliki taring. Kudengar kalau Dacros memiliki taring, berarti dia adalah Black Dacros...," Sharon menghentikan perkataannya, lalu tiba-tiba matanya membelalak. Ada ketakutan yang luar biasa terpancar di matanya. Apa dia suka membaca buku sejarah sehingga mengetahui seluk beluk mengenai dacros secara detail?
"Jadi, itukah sebabnya mengapa darahmu bisa membunuh vampir? Karena kau adalah Black Dacros?" tanyanya dengan ekspresi tak percaya.
Aku melirik ke arah pintu sebentar, lalu kembali melihat Sharon.
"Black Dacros tak bisa menyembuhkan. Tapi kau jangan takut. Berita mengenai darah kami bisa membunuh itu sebenarnya hanyalah bohong belaka. Kami sengaja melakukannya agar makhluk lain tidak menyerang kami. Itu saja," jawabku dengan suara lirih.
Sharon mengerutkan keningnya. Sorot matanya memancarkan kebingungan. "Lalu? Kau ini termasuk yang mana? Aku benar-benar tak mengerti mengenai bangsamu. Aku hanya membaca sekilas saja mengenai sejarah dacros, karena kukira mereka hanyalah mitos untuk menakuti vampir yang masih anak-anak." Ia ikut berbisik, mungkin menyadari bahwa Ashton juga masih berada di bangunan yang sama dengan kami. “Jadi, sebenarnya darah kalian tak mematikan? Oh, syukurlah.”
Haruskah aku mengatakannya? Apakah ini tidak terlalu cepat? Tapi aku bukan tipe makhluk yang suka menjadi misterius. Terkadang menjadi misterius justru membuatmu celaka.
"Aku memiliki darah campuran," jawabku singkat lalu berjalan melewatinya keluar dari kamar. “Hanya dacros berdarah campuran saja yang bisa menyembuhkan korbannya dengan racun penangkal di taringnya. Alasannya? Aku sendiri tak tahu. Aku belum punya kesempatan untuk membaca seluruh buku di perpustakaan kerajaan, yang luasnya setara dengan danau di dunia manusia.”
Itulah mengapa aku menjadi buronan, karena darah sialanku inilah yang menyebabkan ibuku meninggal. Aku tak tahu kenapa ibuku adalah pengecualian, karena setahuku darahku hanya membuat korbanku sekarat. Aku benci memiliki darah ini. Aku benci menjadi pembunuh. Tanpa sadar aku menangis. Tidak! Aku tidak boleh menangis. Tapi dikhianati itu rasanya sangat sakit sekali! Aku mencengkeram pegangan tangga lalu mencengkeram dada kiriku. Rasanya begitu sakit. Aku seperti terbuang. Tak ada yang menginginkanku, bahkan ayahku sekalipun.
Huh, ayah? Masih pantaskah aku memanggilnya ayah, setelah apa yang dia lakukan padaku? Bahkan dia sudah tak mau lagi untuk sekedar menoleh ke araku, karena aku bukanlah anak kandungnya. Pantas saja selama aku hidup, ia hanya memanjakan Airis, dan itu benar-benar sangat menyakitkan. Pantas saja ia selalu membuang mukanya saat melihat sayap berwarna emas yang keluar dari punggungku. Pantas saja ia hanya memuji Airis meskipun wanita tolol itu tak pernah berubah menjadi pintar.
"Candice, kau tak apa-apa?" tanya Sharon dengan wajah khawatir, lalu menggenggam kedua tanganku.
Aku menggeleng dengan perlahan dan berusaha tersenyum. Untungnya Sharon bukanlah tipe wanita yang suka sekali ikut campur atau memaksakan kehendaknya sejauh ini, sehingga ia hanya diam saja saat melihat responku. Kami segera menuruni tangga dan menuju ke meja makan agar tidak membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tak perlu. Aku melihat banyak sekali makanan, dan Ashton sedang menikmati sepotong daging segar dengan santai. Ia sama sekali tidak terlihat jijik dengan daging yang masih mentah itu. Di sampingnya ada segelas penuh darah segar yang pastinya akan membuat makhluk berjenis manusia mual jika melihatnya. Ia mendongak dan melihatku sekilas, lalu kembali melanjutkan makannya.
"Aku tidak tahu seleramu, jadi aku memasakkan ini semua. Makanan manusia rasanya lumayan enak, kalau kita mengabaikan baunya yang menurutku kurang enak,"  ucap Sharon memecahkan keheningan di antara kami.
Aku tak membalas perkataan Sharon, karena mendadak aku seperti merasa kelaparan. Ada apa denganku? Tiba-tiba saja aku sudah melahap habis makanan di depanku tanpa sisa, yang membuat Ashton dan Sharon melongo tak percaya. Aku sendiri bahkan tak percaya dengan apa yang baru saja kulakukan. 
"Candice?" panggil Sharon dengan hati-hati.
Aku mendongak untuk melihat tatapan ingin tahu dari mereka berdua. Tubuhku terasa sakit dan keringat mengalir dengan deras dari setiap pori-pori kulitku. Oh, tentu saja makhluk supernatural pun bisa mengalaminya, hanya saja keringatku terasa sangat dingin seperti air es, dan bau tubuh asliku menguar dari sana. Kulihat Ashton sempat terlena saat mencium bauku, namun Sharon segera memukul kepalanya dengan keras. 
"Aku masih lapar. Katakan apa yang terjadi padaku?" tanyaku panik lalu berlari menuju ke dapur dan melahap apapun yang kutemui.
"Apa yang terjadi denganku? Bahkan ini semua tak mampu menghentikan rasa laparku!" jeritku panik lalu menenggak sebotol darah segar dengan cepat. Ew, darah ini membuatku jijik. Aku segera memuntahkannya di atas cekungan meja yang kutahu bernama westafel. Darah ini membuatku mual dan pusing.  
"Hei, itu darahku!" teriak Ashton, namun tak kupedulikan.
Kurasakan kedua lenganku dicengkeram dari belakang dan air mengalir di depanku. “Berkumurlah dan bersihkan wajahmu. Kau tak apa-apa?”
Aku mengangguk-angguk dan membersihkan wajahku serta mulutku dengan cepat. Tubuhku mematung ketika melihat kedua tanganku yang tiba-tiba saja berkilauan. Mulutku menganga saat bau familiar tercium di hidungku. Begitu tajam dan wangi. Aku menoleh pada Sharon yang matanya terlihat sayu dan hidungnya mengendus-endus. 
“Sial!” gumamku tatkala melihat Ashton yang mendekatiku dengan taring yang mulai memanjang dan serabut merah di matanya keluar.
Ini tidak baik. Aku tidak boleh berubah ke wujud asliku seperti ini. Sial! Kenapa kalung ini tidak berfungsi? 
“Sharon, Ashton, sadarlah! Hei, ini aku, Candice!” tapi ternyata taring Sharon pun keluar, begitu juga dengan kuku-kuku jarinya.
Aku harus segera melarikan diri dari mereka jika tak ingin membuat mereka celaka. Untungnya di saat berubah ke wujud asliku, aku bisa melewati celah cempit di antara mereka berdua secepat hembusan angin. Namun baru saja kakiku hendak menjajaki tangga di dekat ruang perapian, leherku terasa seperti tersengat dari belakang. Aku tersentak dan langsung kehilangan keseimbangan hingga tubuhku condong ke arah belakang, bersiap untuk jatuh. Kesadaranku semakin menipis, dan aku tak tahu lagi apa yang terjadi dengan tubuhku setelah kegelapan sepenuhnya menyelimuti pandanganku. 

***

Created by Alya Feliz
Mei 2015
Share this article :

+ comments + 1 comments

Jun 4, 2015, 4:26:00 PM

Errrmmm ada hayden dateng .. huwaahhh ga sabaaarrr .. mau ketemu kesayangan .. feliz .. ini di lanjutnya kpn ?? Dah ga sabar nihhh

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger