THE DEAL BY ELLE KENNEDY - BAB 3

May 20, 20151comments


HANNAH


“Aku benar-benar berpikir sebaiknya kau menyanyikan nada terakhir itu dalam E mayor,” Cass bersikeras. Dia seperti rekaman rusak, melemparkan sugesti tak masuk akal yang sama setiap kali kami selesai menjalankan duet kami.
            Sekarang, aku adalah orang yang suka damai. Aku tak percaya pada penggunaan tinju untuk memecahkan masalahmu, kupikir berkelahi itu tak beradab, dan ide untuk berperang membuatku muak.
            Namun aku sedekat ini untuk meninju wajah Cassidy Donovan.
        “Kuncinya terlalu rendah bagiku.” Nadaku tegas, tapi tak mungkin menyembunyikan kejengkelanku.
            Cass melarikan tangan frustrasinya ke rambut hitam bergelombangnya dan berbalik ke Mary Jane, yang gelisah dengan canggung di bangku piano. “Kau tahu aku benar, MJ,” ia membelanya. “Akan mengumpulkan lebih dari satu pukulan jika Hannah dan aku berakhir di kunci yang sama daripada melakukan harmoni.”
         “Tidak. Itu akan punya pengaruh yang lebih kuat jika kita melakukan harmoni,” debatku.
            Aku sudah siap untuk mengoyak rambutku sendiri. Aku taku persis apa tujuan Cass. Dia ingin mengakhiri lagu dengan nadanya. Dia sudah menarik omong kosong seperti ini sejak kami memutuskan untuk bekerja sama demi pertunjukan musim dingin, melakukan semua yang ia bisa untuk mengeluarkan suaranya sendiri sambil mendorongku ke latar belakang.
         Jika aku sudah tahu alangkah primadona sialannya Cass, aku akan bilang tidak untuk duet, tapi orang tolol itu memutuskan untuk menunjukkan warnanya yang sesungguhnya setelah kami memulai latihan, dan sekarang terlalu telat untuk kembali. Aku sudah menginvestasikan terlalu banyak waktu dalam duet ini, dan sejujurnya, aku benar-benar mencintai lagu itu. Mary Jane menulis lagu yang luar biasa, dan sebagian dari diriku benar-benar tak ingin mengecewakannya. Di samping itu, aku tahu sebuah fakta bahwa fakultas lebih suka duet daripada solo, karena empat pertunjukan kemenangan beasiswa adalah duet. Karena para juri akan menjadi pisang gila untuk harmoni yang kompleks, dan komposisi ini membuat mereka dalam sekop.
            “MJ?” desak Cass.
            “Um...”
            Aku bisa melihat si rambut pirang mungil itu meleleh di bawah tatapan magnetisnya. Cass punya efek itu pada wanita. Dia sangat tampan, dan suaranya kebetulan saja luar biasa. Sayangnya, dia sepenuhnya sadar dengan kedua aset ini dan tak punya rasa sesal memanfaatkannya untuk keuntungannya.
       “Mungkin Cass benar,” gumam MJ, menghindari mataku saat ia mengkhianatiku. “Kenapa kita tidak mencoba E mayor, Hannah? Mari kita lakukan saja sekali dan lihat yang mana yang bekerja lebih baik.”
            Arnold si perjaka tua! Aku ingin berteriak, tapi aku menggigit lidahku. Seperti aku, MJ telah dipaksa untuk berurusan dengan permintaan memalukan Cass dan ide “brilian” selama berminggu-minggu sekarang, dan aku tak bisa menyalahkannya yang berusaha menemukan kompromi.
            “Baiklah,” omelku. “Ayo kita mencobanya.”
             Kemenangan menerangi mata Cass, tapi itu tidak bertahan lama, karena setelah kami menyanyikan lagu itu lagi, sudah jelas bahwa usulnya buruk. Nadanya jauh terlalu rendah untukku, dan alih-alih menyebabkan suara bariton indah Cass menonjol, suara bagianku sangat secara sembrono salah yang menarik perhatian dari suaranya.
          “Kupikir Hannah sebaiknya tetap pada kunci aslinya.” Mary Jane melihat Cass dan menggigit bibirnya, seolah-olah dia takut dengan reaksinya.
     Tapi meskipun pria itu arogan, dia tidak bodoh. “Baik,” gertaknya. “Kita akan melakukannya dengan caramu, Hannah.”
              Aku menggertakkan gigiku. “Terima kasih.”
         Untungnya, jam kami selesai, yang artinya ruang latihan sebentar lagi akan menjadi milik salah satu kelas tingkat pertama. Ingin sekali keluar dari sana, dengan cepat aku mengumpulkan lembar musikku dan menyelipkannya ke dalam mantel hijau tuaku. Lebih sedikit waktu yang harus kuhabiskan bersama Cass, lebih baik.
            Tuhan, aku tak bisa bertahan dengannya.
            Ironisnya, kami menyanyikan lagu cinta emosional yang sangat dalam.
            “Waktu yang sama besok?” Ia memandangku dengan penuh harap.
            “Tidak, besok jam 4 sore, ingat? Aku bekerja Rabu malam.”
            Ketidaksenangan mengeraskan wajahnya. “Kau tahu, kita sudah bisa menguasai lagu ini lama sekali jika jadwalmu tidak sangat...mengganggu.”
            Aku menaikkan sebelah alis. “Kata orang yang menolak latihan di akhir pekan. Karena aku kebetulan saja bebas pada hari Sabtu dan Minggu malam.”
            Bibirnya mengetat, lalu ia berjalan keluar tanpa sepatah katapun.
            Brengsek.
            Desahan berat menggema di belakangku. Aku berbalik dan menyadari MJ masih berada di belakang piano, masih menggigit bibirnya.
     “Maafkan aku, Hannah,” ucapnya dengan pelan. “Saat aku meminta kalian untuk menyanyikan laguku, aku tak menyadari Cass akan menjadi sangat sulit.”
            Kejengkelanku mencair saat aku memperhatikan betapa kacaunya dia. “Hei, itu bukan salahmu,” aku meyakinkannya. “Aku tak mengharapkan dia menjadi orang yang sangat tolol, tapi dia penyanyi yang menakjubkan, jadi mari kita berusaha fokus pada hal itu, oke?”
          “Kau penyanyi yang menakjubkan juga. Itulah mengapa aku memilih kalian berdua. Aku tak bisa membayangkan orang lain membawakan lagu itu untuk hidup, kau tahu?”
           Aku tersenyum padanya. Dia benar-benar gadis yang manis, bukan bermaksud untuk menyebutnya salah satu penulis lagu terbaik yang pernah kutemui. Setiap lagu yang dimainkan di pameran harus disusun oleh penulis lagu mayor, dan bahkan sebelum MJ mendekatiku, aku sudah berencana meminta untuk menggunakan salah satu lagu-lagunya.
          “Aku berjanji, kami akan menyanyikan lagumu, MJ. Abaikan kemarahan omong kosong Cass. Menurutku dia hanya suka berdebat demi berdebat.”
            Ia tertawa. “Yah, mungkin. Sampai jumpa besok?”
            “Yep. Jam empat tepat.”
            Aku sedikit melambai padanya, lalu meninggalkan ruangan paduan suara dan menuju keluar.
           Salah satu favoritku tentang Briar adalah kampusnya. Bangunan-bangunannya, kuno dan ditutupi dengan helaian tumbuhan menjalar, berhubungan satu sama lain dengan jalan kecil dari batu bulat yang berderet dengan pepohonan tinggi luas dan bangku-bangku dari besi tempa. Universitas itu adalah salah satu dari yang tertua di negara ini, dan daftar nama alumninya berisi lusinan orang-orang berpengaruh, termasuk lebih dari satu presiden.
       Tapi hal terbaik tentang Briar adalah betapa amannya kampus itu. Serius, angka kejahatan kami mendekati nol, yang mungkin berhubungan banyak dengan dedikasi Dean Farrow untuk keselamatan para mahasiswanya. Sekolah itu menginvestasikan banyak uang pada keamanan dalam bentuk penempatan kamera secara strategis dan para penjaga yang berpatroli dua puluh empat jam sehari. Bukan berarti seperti penjara atau semacamnya. Para sekuriti itu ramah dan rendah hati. Sejujurnya, aku jarang memperhatikan mereka saat aku berkeliling ke sekitar kampus.
         Asramaku lima menit berjalan dari bangunan musik, dan aku bernafas lega saat aku berjalan melewati pintu oak raksasa Bristol House. Benar-benar hari yang panjang, dan yang ingin kulakukan adalah mandi air panas dan merangkak ke atas ranjang.
          Ruangan yang kudiami bersama Allie lebih ke suite daripada ruangan asrama biasa, yang merupakan salah satu keistimewaan menjadi mahasiswa tingkat empat. Kami punya dua kamar tidur, sebuah area umum kecil, dan bahkan dapur yang lebih kecil. Satu-satunya hal buruk adalah kamar mandi milik bersama yang kami bagi dengan empat gadis lain di lantai kami, tapi untungnya tak ada dari kami yang serampangan, jadi toilet dan bilik shower biasanya cenderung tetap bersih.
        “Hei. Kau telat balik.” Teman sekamarku menjulurkan kepalanya ke kamar tidurku, menghisap sedotan yang terjulur di gelasnya. Dia sedang meminum sesuatu yang hijau, pendek, dan tebal dan sepenuhnya kelihatan kotor, tapi itu pemandangan yang sudah biasa. Allie sudah meminum jus itu selama dua minggu terakhir, yang berarti bahwa setiap pagi aku bangun untuk menulikan kebisingan blendernya saat ia menyiapkan makanan cairan menjijikkannya untuk hari itu.
            “Aku latihan.” Aku menendang sepatuku dan melemparkan mantelku ke atas ranjang, dan mulai melucuti pakaian dalamku meskipun faktanya bahwa Allie masih berada di pintu keluar masuk.
            Suatu kali, aku terlalu malu telanjang di depannya. Saat kami berbagi kamar dobel di tahun pertama, aku menghabiskan beberapa minggu pertamaku berganti di bawah selimutku atau menunggu sampai Allie meninggalkan kamar. Tapi hal tentang perguruan tinggi adalah, tak ada hal seperti privasi, dan cepat atau lambat kau harus menerimanya. Aku masih ingat betapa malunya aku pertama kali melihat payudara telanjang Allie, tapi gadis itu tak punya kesopanan, dan saat ia memergokiku menatap, dia hanya mengedipkan mata dan berkata, “Aku mengerti itu terjadi, huh?”
            Setelah itu, aku tak bersusah-susah dengan rutinitas di bawah selimut lagi.
            “Jadi dengar...”
            Pembukaan sambil lalunya menaikkan kehati-hatianku. Aku sudah tinggal dengan Allie selama dua tahun. Cukup lama untuk tahu bahwa saat ia memulai sebuah kalimat dengan “Jadi dengar,” biasanya diikuti dengan sesuatu yang tak ingin kudengar.
            “Hmmm?” ucapku saat aku mengambil jubah mandiku dari kaitan di pintu.
           “Ada pesta di rumah Sigma Rabu malam.” Mata birunya berkilat tegas. “Kau akan datang denganku.”
            Aku mengerang. “Pesta persaudaraan konyol? Tak mau.”
          “Ya mau.” Ia melipat tangannya di depan dadanya. “Ujian tengah semester sudah selesai, jadi kau tak bisa menggunakannya sebagai alasan. Dan kau berjanji kau akan berusaha untuk lebih bergaul tahun ini.”
            Aku sudah berjanji akan hal itu, tapi...begini. Aku tak menyukai pesta.
            Aku diperkosa di sebuah pesta.
            Tuhan, aku membenci kata itu. Perkosaan. Itu adalah salah satu dari sedikit kata dalam bahasa Inggris yang punya efek mendalam saat kau mendengarnya. Seperti tamparan tulang-bergetar di wajah atau dinginnya air es yang dibuang di atas kepalamu. Jelek dan keji, dan aku berusaha sangat keras untuk tidak membiarkan hal itu mengontrol hidupku. Aku sudah berusaha melewati apa yang terjadi padaku. Percayalah, aku sudah melakukannya.
          Aku tahu itu bukan salahku. Aku tahu aku tak memintanya atau melakukan sesuatu yang mengundang hal itu terjadi. Aku tak mencuri kemampuanku untuk mempercayai orang atau menyebabkanku menakuti setiap laki-laki yang melintasi jalanku. Bertahun-tahun terapi membantuku melihat bahwa beban kesalahan terletak semata-mata pada dia. Ada yang salah dengan dia. Bukan aku. Tak pernah aku. Dan pelajaran terpenting yang sudah kupelajari adalah bahwa aku bukanlah korban—aku adalah orang yang selamat.
            Tapi bukan berarti penyerangan itu tidak mengubahku. Aku sepenuhnya berubah. Ada alasan aku membawa semprotan lada di dompetku dan 911 siap untuk dipencet di ponselku jika aku berjalan sendirian di malam hari. Ada alasan aku tak minum di tempat umum atau menerima minuman dari siapapun, bahkan tidak dari Allie, karena selalu ada kesempatan dia mungkin tanpa sadar menyerahkan secangkir padaku yang sudah dibubuhi sesuatu.
            Dan ada alasan aku tak pergi ke banyak pesta. Kuterka itu adalah PTSD versiku. Suara atau bau atau pandangan sekilas dari sesuatu yang tak berbahaya membuat kenangan-kenangan itu berpilin ke permukaan. Aku mendengar raungan musik dan obrolan keras dan tawa serak. Aku mencium bir basi dan keringat. Aku berada di kerumunan orang. Dan tiba-tiba saja aku berusia lima belas tahun lagi dan kembali tepat ke pesta Melissa Mayer, terjebak di mimpi buruk pribadiku sendiri.
            Allie melembutkan nadanya saat ia melihat wajah sedihku. “Kita sudah melakukan ini sebelumnya, Han-Han. Itu akan seperti seluruh waktu yang lainnya. Kau tak akan pernah lepas dari penglihatanku, dan tak ada dari kita yang akan minum. Aku berjanji.”
            Rasa malu menyengat isi perutku. Malu, menyesal, dan sedikit kagum, karena astaga, dia benar-benar seorang teman yang luar biasa. Dia tak harus tetap waras dan waspada hanya untuk membuatku merasa nyaman, tapi dia melakukannya setiap kali kami keluar, dan aku sangat mencintainya karena itu.
            Tapi aku benci bahwa dia harus melakukannya.
       “Oke,” aku mengalah, bukan hanya demi dia, melainkan demi aku juga. Aku sudah berjanji padanya aku akan lebih bergaul, tapi aku juga berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan berusaha untuk mencoba hal-hal baru tahun ini. Untuk menurunkan kewaspadaanku dan berhenti menjadi sangat takut pada hal yang tak lazim. Pesta persaudaraan mungkin bukan ideku untuk memiliki waktu yang hebat, tapi siapa tahu, mungkin aku akhirnya menikmatinya.
            Wajah Allie menjadi cerah. “Boo-yah! Dan dengar, aku bahkan tak harus memainkan kartu trufku.”
            “Kartu truf apa?” tanyaku dengan curiga.
            Sebuah seringai mengangkat sudut mulutnya. “Justin akan berada di sana.”
            Denyut nadiku mempercepat. “Bagaimana kau tahu?”
         “Sean dan aku mengejarnya di aula makan malam dan dia bilang dia akan berada di sana. Kuterka sekumpulan pria besar berotot yang bodoh sudah berencana untuk datang.”
            Aku membersut padanya. “Dia bukan pria besar berotot yang bodoh.”
          “Aw, lihatlah betapa imutnya kau, membela seorang pemain football. Sebentar—biarkan aku keluar untuk melihat kalau babi-babi sedang terbang ke langit.”
            “Ha ha.”
         “Serius, Han, itu aneh. Maksudku, jangan salah, aku sepenuhnya menerima kau jatuh hati pada seseorang. Sudah, apa, setahun sejak kau dan Devon putus? Tapi aku hanya tak mengerti bagaimana kau, dari semua orang, tertarik pada seorang atlet.”
           Kegelisahan menaiki punggungku. “Justin...dia tidak seperti yang lainnya. Dia berbeda.”
           “Kata gadis yang tak pernah berbicara satu katapun padanya.”
        “Dia berbeda,” aku bersikeras. “Dia tenang dan serius dan dari apa yang sudah kulihat, dia tak membuat sensasi apapun pada yang memakai rok seperti yang dilakukan rekan timnya yang lain. Oh, dan dia pintar—aku melihatnya membaca Hemingway di alun-alun minggu lalu.”
            “Mungkin itu bacaan yang disyaratkan.”
            “Bukan.”
            Ia menyipitkan matanya. “Bagaimana kau tahu hal itu?”
         Aku merasakan wajahku memerah. “Beberapa gadis bertanya padanya tentang itu di kelas hari ini, dan dia bilang Hemingway adalah penulis favoritnya.”
        “Ya Tuhan. Kau menguping pembicaraannya sekarang? Kau seperti pengintai yang aneh.” Allie menghela nafas panjang. “Oke, itu saja. Hari Rabu malam kau akan bertukar dialog yang sesungguhnya dengan pria.”
       “Mungkin,” kataku dengan tidak menyatakan pendapat. “Jika kesempatannya muncul...”
         “Aku akan membuatnya muncul. Serius. Kita tak akan meninggalkan asrama itu sampai kau berbicara dengan Justin. Aku tak peduli jika kau hanya mengatakan hei, bagaimana kabarmu. Kau berbicara dengannya.” Ia mengangkat jarinya ke atas. “Kau mengerti?”
            Aku terkekeh.
            “Kau mengerti?” Ia mengulangi dengan nada keras.
            Setelah satu detakan, aku menghela nafas kalah. “Aku mengerti.”
          “Bagus. Sekarang bergegaslah dan mandi agar kita bisa menonton beberapa episode Mad Men sebelum tidur.”
       “Satu episode. Aku terlalu lelah jika lebih dari itu.” Aku menyeringai padanya. “Kau mengerti?”
            “Aku mengerti,” gerutunya sebelum ia berdansa wals keluar dari kamarku.
          Aku tertawa kecil pada diriku sendiri ketika mengumpulkan sisa peralatan mandiku, tapi aku berbelok lagi—Aku baru mengambil dua langkah ke pintu saat seekor kucing mengeong di dompetku. Lengkingan level tinggi itu adalah nada dering yang kupilih untuk pesan teks karena hanya itu satu-satunya yang cukup mengganggu untuk mendapatkan perhatianku.
          Aku meletakkan tempat peralatan mandiku di atas lemari rias, merogoh tasku sampai aku menemukan ponselku, lalu membaca cepat pesan yang terpampang di layar.
            Hei, ini Garret. Mau menuntaskan detail perihal: jadwal mengajar privat.
            Oh, demi sialan.
    Aku tak tahu apakah harus tertawa atau mengerang. Pria itu ngotot, aku akan memberikannya hal itu. Mendesah, dengan cepat aku membalas sebuah pesan, singkat, dan sama sekali tak manis.
            Aku: Bagaimana kau mendapatkan nomor ini?
            Dia: Lembar pendaftaran klmpk belajar.
        Sial. Aku mendaftar ke grup itu di awal semester, tapi itu sebelum Cass memutuskan kami harus latihan pada hari Senin dan Rabu di waktu yang sama dengan pertemuan kelompok belajar.
            Pesan lain muncul sebelum aku bisa membalas, dan siapapun yang bilang tak mungkin mendeteksi nada seseorang via teks sama sekali salah. Karena nada Garret penuh dengan kemarahan.
            Dia: Jika kau muncul saja di klmpk belajar, aku tak akan mengirimimu pesan.
          Aku: Kau tak perlu mengirimiku pesan sama sekali. Sebenarnya, aku lebih suka jika kau tak melakukannya.
            Dia: Apa yang akan membuatmu berkata ya?
            Aku: Pastinya tak ada.
            Dia: Hebat. Jadi kau melakukannya secara cuma-cuma.
            Erangan yang kutahan akhirnya keluar.
            Aku: Tak akan terjadi.
            Dia: Bagaimana kalau bsk malam? Aku bebas jam 8.
   Aku: Tidak bisa. Aku punya Flu Spanyol. Sangat menular. Aku baru saja menyelamatkanmu, bung.
           Dia: Aw, kuhargai perhatiannya. Tapi aku kebal dengan penyakit yang menghapus 40 jt org dari 1918-1919.
            Aku: Bagaimana kau sangat tahu banyak tentang penyakit?
            Dia: Aku jurusan sejarah, sayang. Aku tahu banyak sekali fakta yang tak berguna.
      Ugh, lagi-lagi pakai sayang? Baiklah. Sudah jelas sekarang waktunya mengakhiri ini sebelum dia menjadi genit.
            Aku: Well, senang berbincang denganmu. Semoga sukses di ujian perbaikan.
          Saat beberapa detik berlalu dan Garret tak membalas, aku menepuk punggungku sendiri dalam batin karena dengan sukses menyingkirkannya.
      Aku sebentar lagi akan berjalan keluar pintu saat sebuah pesan foto mengeong di ponselku. Melawan pertimbanganku yang lebih baik, aku mengklik untuk mendownloadnya, dan sejenak kemudian, dada telanjang memenuhi layarku. Yep. Aku sedang membicarakan kulit berwarna coklat yang halus, dada terpahat, dan six-pack paling kencang yang pernah kulihat.
            Aku tak bisa menahan dengusan keras.
            Aku: FFS. Kau baru saja mengirimiku foto dadamu?!
            Dia: Yup. Apa itu bekerja?
            Aku: Dalam membuatku jijik? Ya. Sukses!
            Dia: Dalam mengubah pikiranmu. Aku sedang berusaha menjilatmu di sini.
            Aku: Ew. Jilat saja orang lain. PS—Aku memasang foto itu di bri-ku.
        Aku sedang mengarah, tentu saja, pada Briarku, milik kampusku yang setara dengan Facebook, yang sembilan puluh lima persen mahasiswanya memakainya.
          Dia: Lakukan saja. Banyak gadis yang akan bahagia memilikinya di koleksi foto porno mereka.
            Aku: Hilangkan nomor ini, bung. Aku sungguh-sungguh.
      Aku tak menunggu balasan. Aku melempar saja ponselku ke atas ranjang dan pergi mandi. 

***
Originally Translated by Alya Feliz
20 Mei 2015

Share this article :

+ comments + 1 comments

Anonymous
Mar 23, 2022, 6:02:00 PM

The Deal By Elle Kennedy - Bab 3 - Open Minded >>>>> Download Now

>>>>> Download Full

The Deal By Elle Kennedy - Bab 3 - Open Minded >>>>> Download LINK

>>>>> Download Now

The Deal By Elle Kennedy - Bab 3 - Open Minded >>>>> Download Full

>>>>> Download LINK

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger