THE DEAL BY ELLE KENNEDY - BAB 1B

April 30, 20150 comments


GARRET


AKU GAGAL

Aku gagal sialan.

Selama lima belas tahun, Timothy Lane memberikan nilai A seperti permen. Di tahun aku mengambil kelas? Detikan Lane berhenti berdetak, dan aku terjebak dengan Pamela Tolbert.
Itu resmi. Wanita itu adalah musuh terbesarku. Hanya melihat tulisannya yang muluk-muluk—yang memenuhi setiap inchi dari tempat yang tersedia di pinggiran halaman kertas ujian tengah semesterku—membuatku ingin berubah menjadi Incredible Hulk di atas buku kecil itu dan mencabik-cabiknya.

Aku selalu mendapat nilai A di kebanyakan mata pelajaranku yang lain, tapi sampai sekarang, aku mendapat F di Etika Filosofi. Digabungkan dengan C plus di Sejarah Spanyol, rata-rataku sudah turun ke C minus.

Aku butuh C plus untuk bermain hockey.

Biasanya aku tak punya masalah menjaga IPK-ku tetap tinggi. Walaupun apa yang banyak orang percaya, aku bukanlah atlet yang bodoh. Tapi hei, aku tak keberatan membiarkan orang-orang berpikir aku bodoh. Wanita, khususnya. Kutebak mereka bergairah karena ide mengacaukan penghuni gua besar yang gagah yang hanya bagus untuk satu hal, tapi karena aku tak mencari apapun yang serius, berhubungan intim sambil lalu dengan para gadis yang hanya ingin kejantananku sesuai saja denganku. Memberiku lebih banyak waktu untuk fokus pada hockey.

Tapi tak akan ada hockey lagi jika aku tak menaikkan nilai ini. Hal terburuk mengenai Briar? Dekan kami menuntut keunggulan—secara akademis dan olahraga. Sementara sekolah lain mungkin lebih toleran terhadap para atlet, Briar punya kebijakan toleransi nol.

Tolbert sialan. Saat aku berbicara padanya sebelum pelajaran untuk meminta ujian tambahan, dia menyuruhku dengan suara sengaunya untuk menghadiri les tambahan dan bertemu dengan kelompok belajar. Aku sudah melakukan keduanya. Jadi yah, kecuali kalau aku menyewa beberapa anak ahli untuk memakai topeng wajahku dan mengambil ujian tengah semester penutupan untukku...Aku sedang berada dalam masalah yang besar.

Rasa frustrasiku memanifestasikan dirinya dalam bentuk erangan yang terdengar, dan dari sudut mataku aku melihat seseorang tersentak karena terkejut.

Mandy?

Marty?

Aku tak bisa mengingat namanya. Mungkin karena aku tak pernah bersusah-susah untuk menanyakannya. Dia imut. Luar biasa jauh lebih imut dari yang kusadari. Wajah cantik, rambut gelap, tubuh yang super indah—sial, bagaimana bisa aku tidak pernah memperhatikan tubuh itu sebelumnya?

Tapi aku sedang memperhatikan sekarang. Skinny jeans yang melekat pada pantat yang bulat dan kencang yang baru saja menjerit “remas aku”, dan sweater V-neck nya merangkum dada besar yang benar-benar mengesankan. Aku tak punya waktu untuk mengagumi visual-visual menarik itu karena ia memergokiku memandang dan mulutnya berkerut.

“Semua baik-baik saja?” tanyanya dengan pandangan tajam.

Aku menggerutukan sesuatu dalam nafasku. Aku sedang tidak dalam suasana hati yang baik untuk berbicara dengan siapapun pada saat ini.

Satu alis berwarna gelap naik ke arahku. “Maaf, apakah itu bahasa Inggris?”

Aku meremas ujian tengah semesterku menjadi bola dan menggeser kursiku ke belakang. “Kubilang semuanya baik-baik saja.”

“Oke kalau begitu.” Ia mengangkat bahu dan melanjutkan langkahnya.

Saat ia mengambil papan tulis kecil yang berisi jadwal les kami, aku menghempaskan jaket Hockey Briar, lalu mendorong ujian tengah semesterku yang menyedihkan ke dalam ransel lalu menutup resletingnya. 

Gadis berambut hitam itu kembali ke gang di antara tempat duduk. Mona? Molly? Huruf M-nya terdengar benar, tapi sisanya adalah misteri. Dia memegang ujian tengah semesternya di tangan, tapi aku tak mengintip karena aku menganggap dia gagal persis seperti yang lainnya.

Aku membiarkannya lewat sebelum melangkah ke gang di antara tempat duduk. Kukira aku bisa bilang itu adalah sifat jentelmen dalam diriku, tapi itu akan menjadi sebuah kebohongan. Aku ingin memeriksa pantatnya lagi, karena pantatnya benar-benar seksi, dan sekarang karena aku sudah melihatnya, aku tak keberatan untuk melihatnya lagi. Aku mengikutinya naik ke pintu keluar, tiba-tiba saja menyadari betapa sangat kecilnya dia—aku satu langkah di bawahnya dan aku masih bisa melihat puncak kepalanya.

Tepat saat kami mencapai pintu, dia tersandung sendiri padahal tak ada apa-apa dan buku-buku di tangannya jatuh dengan bunyi berisik di lantai.

“Sial. Aku seperti orang kikuk.”

Dia berlutut dan begitu juga denganku, karena berlawanan dengan pernyataanku sebelumnya, aku bisa menjadi seorang jentelmen jika aku menginginkannya, dan hal sopan yang harus dilakukan adalah menolongnya mengumpulkan buku-bukunya.

“Oh, kau tak harus melakukannya. Aku baik-baik saja,” ia bersikeras.

Tapi tanganku sudah terhubung dengan ujian tengah semesternya, dan rahangku jatuh saat aku melihat nilainya.

“Neraka sialan. Kau melewatinya dengan sempurna?” tuntutku.

Dia memberikan senyum mencela diri sendiri. “Aku tahu, kan? Kupikir aku pasti gagal.”

“Sialan.” Aku merasa seperti baru saja dibenturkan kedalam Stephen Hawking sialan dan dia mengayun-ayunkan banyak rahasia ke alas semesta di bawah hidungku. “Bisakah aku membaca jawabanmu?”

Kedua alisnya terangkat lagi. “Itu cukup lancang, bukan begitu? Kita bahkan tak saling mengenal.”

Aku memutar mataku. “Aku tak sedang memintamu untuk melepaskan pakaianmu, sayang. Aku hanya ingin melihat sejenak ujian tengah semestermu.”

“Sayang? Selamat tinggal lancang, halo sombong.”

“Apa kau lebih suka nona? Bu mungkin? Aku akan menggunakan namamu tapi aku tak mengetahuinya.”

“Tentu saja kau tak tahu.” Ia mendesah. “Namaku Hannah.” Lalu ia menjeda dengan penuh arti. “Garret.”

Oke, aku jauuuuh dari kata M tadi.

Dan aku tidak melewatkan cara dia menekankan namaku seolah-olah mengatakan, Ha! Aku tahu namamu, tolol!

Dia mengumpulkan sisa bukunya dan berdiri, tapi aku tidak menyerahkan ujian tengah semesternya. Aku bangkit dan mulai membolak-balikkannya. Sementara aku menyaring jawabannya, semangatku terjungkir bahkan lebih rendah, karena jika inilah jenis analisis yang dicari oleh Tolbert, aku berada dalam masalah besar. Ada alasan mata pelajaran utamaku adalah sejarah, demi Tuhan—aku berurusan dengan fakta-fakta. Hitam dan putih. Ini terjadi di saat ini pada orang ini dan inilah hasilnya.

Jawaban Hannah fokus pada omong kosong teoritis dan bagaimana para ahli filsafat akan merespon pada berbagai macam dilema moral.

“Terima kasih.” Aku memberikannya buku kecil itu, lalu mengaitkan kedua ibu jariku ke simpulan ikat pinggang di celana jinsku. “Hei, dengar. Apa kau...maukah kau mempertimbangkan....” Aku mengangkat bahu. “Kau tahu...”

Bibirnya berkedut seolah-olah dia berusaha untuk tidak tertawa. “Sebenarnya, aku tak tahu.”

Aku menghembuskan nafas. “Maukah kau mengajariku?”

Mata hijaunya—bayangan hijau paling gelap yang pernah kulihat dan dikelilingi oleh bulu mata hitam yang tebal—berubah dari terkejut ke skeptis dalam beberapa detik.

“Aku akan membayarmu,” tambahku cepat-cepat.

“Oh. Um. Baiklah, yah, tentu aku akan mengharapkan kau membayarku. Tapi...” Ia menggelengkan kepalanya. “Maaf. Aku tak bisa.”

Aku menelan kembali kekecawaanku. “Ayolah, dukunglah aku. Jika aku gagal dalam ujian penutup ini, IPK-ku akan meledak. Tolonglah?” Aku memberikan sebuah senyuman, yang membuat lesung pipiku muncul dan tak pernah gagal untuk membuat para gadis meleleh.

“Apa itu biasanya bekerja?” tanya dengan penasaran.

“Apa?”

“Seringai anak laki-laki kecil aw-menyebalkan...Apa itu membantumu mendapatkan jalanmu?”

“Selalu,” jawabku tanpa ragu.

“Hampir selalu,” koreksinya. “Dengar, maafkan aku, tapi aku tak punya waktu. Aku sudah menyulap sekolah dan bekerja, dan dengan pameran musim dingin, aku bahkan akan memiliki lebih sedikit waktu.

“Pameran musim dingin?” kataku dengan hampa.

“Benar, aku lupa. Jika itu bukan tentang hockey, lantas itu tidak berada di radarmu.”

“Sekarang siapa yang menjadi sombong? Kau bahkan tak mengenalku.”

Ada yang mengalahkan, dan lalu dia mendesah. “Mata pelajaran utamaku adalah musik, oke? Dan fakultas sastra menempatkan dua pertunjukan utama setiap tahun, pameran musim dingin dan musim semi. Pemenangnya mendapatkan beasiswa lima ribu dollar. Ini semacam urusan yang besar, sebenarnya. Orang-orang industri penting datang dari seluruh negara untuk melihatnya. Para agen, produser rekaman, pemandu bakat...Jadi, sebanyak aku akan senang membantumu...”

“Kau tak akan melakukannya,” gerutuku. “Kau kelihatannya seperti kau bahkan tak mau berbicara padaku sekarang juga.” 

Angkatan bahu kecilnya kau-mengerti-aku menjengkelkan seperti neraka. “Aku harus latihan. Aku menyesal kau gagal dalam mata pelajaran ini, tapi jika ini membuatmu merasa lebih baik, begitu juga dengan orang lain.”

Aku menyipitkan mataku. “Bukan kau.”

“Aku tak bisa membantu. Tolbert kelihatannya merespon cap omong kosongku. Itu adalah anugerah.”

“Nah, aku ingin anugerahmu. Tolong, guru, ajari aku bagaimana untuk beromong kosong.”
Aku hampir berlutut dan memohon padanya, tapi dia berada di pinggir pintu. “Kau tahu ada grup belajar, kan? Aku bisa memberimu nomornya untuk...”

“Aku sudah ada di dalamnya,” gerutuku.

“Oh. Baik, lalu tak ada lagi yang bisa kulakukan untukmu. Semoga sukses di ujian penutupmu, Sayang.”

Dia bergerak cepat keluar dari pintu, meninggalkanku menatap kepergiannya dalam frustrasi. Tak bisa dipercaya. Semua gadis di universitas ini akan memotong lengannya untuk menolongku. Tapi yang satu ini? Melarikan diri seperti aku baru saja memintanya untuk membunuh kucing agar kami bisa mengorbankannya pada setan.

Dan sekarang aku kembali tepat dimana aku berada sebelum Hannah-tidak-dengan-M memberiku harapan yang sama sekali tidak berkedip.

Seperti raja yang kacau.

***

Originally translated by Alya Feliz
April 2015

Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger