SANG WAKTU - BAB 9

April 28, 20152comments

Cover by Alya Feliz


Kemarin adalah hari yang sangat menyenangkan bagi Aster. Berkeliling ke tempat-tempat wisata di kota Madrid, lengkap dengan berburu barang belanjaan di Grand Via bersama Ester dan Husein, membuat suasana hatinya yang sebelumnya murung menjadi bahagia. Meskipun ada rasa sedikit tak nyaman saat melihat Ester begitu akrab dengan Husein , tapi ia berpikir positif. Bukankah Ester orang yang tertutup? Seharusnya ia senang karena gadis itu akhirnya bisa terbuka. 

Kedua tangannya terentang di atas ranjang hotel berukuran besar yang sangat empuk. Hari ini adalah saatnya kembali fokus mencari sang ayah. Ia tak boleh membuang-buang waktu di kota ini. Meskipun enggan pulang ke Indonesia, tapi ibunya pasti merindukannya. Senyumnya mengembang begitu pemikiran mengenai akan menghabiskan waktu bersama Husein selama seharian penuh menyusup ke dalam benaknya. Akhirnya tak ada Ester yang menganggu mereka kali ini. Jantungnya berdebar dan pipinya terasa panas. Namun senyumnya dengan cepat memudar. Ia sadar bahwa Husein cepat atau lambat pastilah akan kembali ke rumahnya yang entah berada di kota mana. Ia memutuskan untuk bergegas membersihkan diri dan menanyakan tempat tinggal pria itu setelah ini.

Setelah selesai mandi dan memilah-milah pakaian apa yang akan dikenakannya hari ini, ponselnya berbunyi menandakan pesan dari aplikasi messengernya. Buru-buru ia mengenakan pakaiannya sebelum membuka pesan itu.

Ester : Kau sudah mengecek twitter? Banyak sekali yang meretweet dan memfavoritkan foto kita bertiga. Jangan lupa follow aku. Teman-temanku banyak yang menanyakanmu <3 :*

Di bawah pesan itu terdapat screenshot status di akun twitter milik Ester. Foto mereka bertiga di samping meja makan istana yang sangat panjang di Royal Palace of Madrid. Ia berada di tengah-tengah, diapit oleh Ester dan Husein, meski Husein tidak merangkulnya seperti Ester. "Teman-teman baruku. Jangan menyentuh mereka atau aku akan memukulmu, oke. Aku, Aster si cantik, dan Husein. Dia bahkan jauh lebih tampan daripada Zayn"--bunyi tweet yang ditulis Ester di atas foto itu. Ia tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Ester sangat supel saat di dunia maya, tapi begitu di dunia nyata, ia akan berubah menjadi seperti gadis cupu.

Aster : Hei, aku kesini bukan untuk menghadiri biro jodoh dadakanmu. Aku ingin bertemu denganmu setelah ini. Kau ada waktu? 

Tanpa menunggu balasan dari Ester, ia keluar dari aplikasi messengernya dan membuka aplikasi twitternya. Sudah lama sekali ia tak menyentuh akun sosialnya yang satu itu. Dengan cepat ia masuk ke dalam akunnya, meskipun beberapa kali gagal karena melupakan passwordnya. Ia menyesal tak pernah menyimpan password akun-akun sosialnya, karena selama ini selalu membiarkan akun sosmednya tetap dalam posisi login. Ia hampir saja menyerah setelah kelima kalinya gagal. Namun untungnya ia masih mengingat password emailnya. Rasa penasaran membuatnya tergesa-gesa masuk kembali ke akun twitternya setelah berhasil mendapatkan password perbaikan. Maksud hati ingin melihat tweet yang tadi dibicarakan oleh Ester, jumlah notifikasi dan pesan masuk yang diterimanya justru lebih menarik perhatiannya. Ia mengabaikan jumlah notifikasi yang mencapai ribuan, dan lebih memilih untuk membuka puluhan DM.

Nama Canna muncul di urutan pertama.  Keningnya berkerut heran. Tidak biasanya gadis itu membuka akun sosialnya, jika tidak ada hal yang sangat penting. Tapi rasa enggan lebih mendominasi, sehingga membuatnya melewati nama itu dan beralih ke bawahnya. Nama Glenn membuatnya tersenyum. Ia sangat merindukan laki-laki itu, seperti merindukan seorang kakak yang tak pernah dimilikinya. Langsung saja ia membuka pesan dari pria itu tanpa peduli dengan pesan dari akun-akun lain.

Pada awalnya hatinya senang karena pria itu menghubunginya, dan terbersit ide untuk menanyakan nomornya karena ponselnya hilang. Namun rentetan kata demi kata yang tertuang dalam kotak-kotak pesan di sana membuat kedua matanya membelalak.

"Apa-apaan? Aku dikira udah meninggal?" gumamnya sambil terus membaca pesan dari Glenn. Sampai saat ia membaca rentetan kalimat mengenai pertemuan pria itu dengan Canna, hatinya terasa seperti mencelos. Ia tahu Glenn tak pernah berbohong padanya, tapi ia juga tak mau percaya begitu saja dengan perubahan sikap Canna.

Cepat-cepat diketiknya pesan balasan dan tidak lupa mencantumkan nomor barunya. Ia tertegun sejenak setelah selesai membalas Glenn, tak ada niat untuk menutup DM dari pria itu. Hatinya menjadi lebih enggan lagi untuk membuka pesan dari Canna. Tapi ia tahu betul, Canna tak mungkin seperti itu. Dia tahu saudaranya, ia bisa merasakan ikatan batin di antara mereka, jadi ia yakin Canna tidak akan berubah jahat hanya karena seorang pria. Dengan jantung berdebar, diberanikannya untuk keluar dari pesan Glenn dan membuka pesan dari Canna.  Hanya pesan singkat, tapi mampu membuatnya berpikir keras. 

Ia bangkit dari duduknya di atas ranjang dan mulai berjalan mondar-mandir. Bingung dengan apa yang harus dilakukannya pertama kali. Diliriknya jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 10 pagi. Ia mengerang karena baru teringat dengan masa berakhirnya penginapan di hotel mewah ini. Jika tidak bergegas, bisa-bisa ia harus membayar biaya sewa tambahan dan ia tak mau menghabiskan uangnya hanya untuk membayar kamar yang ditempatinya ketika tidur saja. 

Dua jam membereskan seluruh barang-barangnya membuatnya kelelahan dan baru sadar bahwa sejak tadi perutnya belum diisi. Secepat kilat ia keluar dari kamar untuk mencari makanan apapun yang bisa membuat pikirannya jernih. Rasa lapar membuatnya seperti orang linglung dan bodoh. Ia bahkan tak tahu makanan apa yang dimakannya begitu sampai di ruang makan hotel, dan baru sadar bahwa sejak tadi ia belum melihat Husein. Waktu terus berjalan, dan waktunya menginap di hotel semakin menipis. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitarnya, berharap menemukan Husein sedang makan siang di salah satu meja. Tapi harapannya sirna, karena pria itu tak ada di manapun. Dilihatnya layar ponselnya, sama sekali tak ada tanda-tanda pesan masuk atau panggilan dari Husein. Kemana pria itu? Apa jangan-jangan dia sudah pergi dari hotel ini? Kenapa ia tak pamit padanya?

Satu kesadaran tiba-tiba saja seperti menghantamnya. Memangnya kenapa Husein harus berpamitan padanya? Status mereka hanyalah sebatas kenalan, bukan teman. Kenapa dia begitu percaya diri pria itu akan mengabarinya setiap saat? Oh, tentu saja. Mereka hanyalah kenalan sambil lalu, jadi mungkin saja sekarang pria itu bahkan sudah melupakannya. Rasa sesak di dadanya mau tak mau membuatnya mengejapkan mata berkali-kali. Kekecawaan itu terasa menyakitkan. Seharusnya sejak awal ia tak terbiasa dengan kehadiran pria itu, jika pada akhirnya akan berakhir seperti ini. Bukankah urusannya dengan Hando seharusnya memberinya pelajaran, bahwa ia tak boleh dengan seenaknya menilai perasaan seseorang tanpa menanyakannya terlebih dulu? Ia menepuk dahinya karena merasa bodoh. Seharusnya ia sadar bahwa kebaikan yang diberikan oleh Husein pastilah hanya karena rasa kasihan saja, karena ia di sini sendirian. Sungguh memalukan jika ia bahkan berpikir macam-macam dan mengharapkan lebih.

Menahan rasa sakit yang tak bisa diabaikan, ia berdiri dari tempat duduknya dan tak mengacuhkan makan siangnya yang masih tersisa setengah piring. Pengunjung hotel lain yang duduk di depannya mengernyitkan kening, namun ia tak mempedulikannya. Yang diperlukannya saat ini adalah keluar dari hotel ini secepatnya. Oh, dia bahkan baru ingat bahwa selama seminggu ini, ia sama sekali tak tahu Husein menginap di kamar nomor berapa. Ia menyesal selama ini menjadi orang yang selalu tak acuh dengan sekitarnya, dan sekarang ia harus membayarnya dengan rasa kecewa yang begitu besar. Dicarinya nomor kontak Ester dengan jari-jari gemetar. Hanya gadis itu yang bisa menolongnya saat ini.

"Hai, bolehkah aku datang ke rumahmu?" ucapnya begitu teleponnya diangkat.

"Tentu saja. Nanti kukirimkan alamatnya. Hei, kau terdengar panik. Ada apa?"

Ia menggigit bibirnya. "Aku...nanti kuceritakan padamu. Aku harus secepatnya keluar dari hotel ini."

"Oke. Atau kau mau kujemput?"

"Tidak. Aku bisa naik taksi. Sampai jumpa." Ia menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban dari Ester.

Setengah berlari ia menuju ke kamarnya meskipun kedua kakinya gemetar. Bayangan mengenai ibunya yang menangis dan sedih berkepanjangan karena berpikir ia sudah meninggal membuatnya panik bukan main. Hal yang ingin dilakukannya sekarang adalah memesan tiket pesawat dan pulang secepatnya ke Jakarta, tapi pesan dari Glenn membuatnya terpaksa harus terjebak di kota ini. Dengan pikiran kacau, ia keluar dari kamarnya dengan membawa dua buah koper. Sekarang ia menyesal kenapa menghabiskan uangnya untuk berbelanja dan harus membawanya kemana-mana.  Ia bahkan tak sadar sejak kapan sudah berdiri di depan meja resepsionis untuk menyerahkan keycard kamar hotelnya. 

"Nona Aster Morales?"

Ia mendongak dengan pandangan bingung pada wanita cantik yang berada di balik meja resepsionis.

"Ada titipan untuk anda. Orang itu melarang saya untuk menyebutkan namanya, tapi dia bilang anda akan tahu setelah membukanya nanti," lanjut wanita itu sambil menyerahkan bingkisan kecil berbentuk kotak panjang berwarna coklat.

Ia menerima kotak itu dengan kening berkerut tanpa bertanya apapun. "Bisakah pihak hotel mengantarkanku ke alamat ini?"

Wanita itu melihat alamat yang tertera di ponsel Aster, lantas mengangguk. "Tentu. Berhubung hari ini adalah hari diskon, anda hanya perlu membayar setengahnya saja. Silahkan menunggu di lobi. Nanti anda akan dijemput jika mobilnya sudah siap."

Aster mengangguk, lalu menyeret kopernya menuju ke lobi. Pandangannya kosong dengan pikiran melayang kemana-mana. Sekarang ia bahkan tak tahu harus melakukan apa. Rasa pusing mulai menyerang kepalanya karena berpikir terlalu keras. Ia ingin mencurahkan isi hatinya dan meminta saran dari orang lain. Semoga saja Ester mau membantunya. Ia berjanji akan lebih peka pada sekitarnya kali ini.
***
"Hei, kau datang tepat waktu. Ibuku sedang membuat pie apel hari ini," sambut Ester dengan senyum di wajahnya. Namun senyum itu mendadak lenyap, saat melihat bibir Aster bergetar.

"Bolehkah aku masuk?" tanya Aster dengan mata yang sudah sepenuhnya basah, siap untuk menumpahkannya sewaktu-waktu.

"Ya Tuhan, ada apa? Apa Husein melukaimu?" Ester melirik dua koper di kiri-kanan kaki Aster.

"Ijinkan aku menginap di sini hari ini. Besok aku akan mencari penginapan murah di sekitar sini," mohon Aster dengan suara serak.

Ester menggelengkan kepalanya, lalu menarik lengannya masuk ke dalam rumah. "Kau boleh menginap di sini selama mungkin," ucap Ester lalu menarik dua kopernya masuk dan menutup pintu rumahnya.

Aster melihat ke sekeliling ruangan. Beberapa meter di depannya ada tangga menyamping, lalu di sebelah kanan setelah pintu masuk ada ruangan lain yang ia tebak adalah ruang tamu. Cat temboknya berwarna krem dan lantainya dari kayu mengkilap. Sungguh nyaman dan membuat siapapun betah untuk berlama-lama di rumah ini, meskipun suasananya terasa sepi. Terdengar langkah kaki dari ruangan di balik tangga. Seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan muncul dengan celemek yang menutupi bagian depan tubuhnya. Wanita yang terlihat masih muda dengan wajah khas Spanyol yang eksotis.

"Siapa tamunya, Sayang?" tanya wanita itu. "Oh, cantik sekali. Kau mengingatkanku pada Eliana."

"Mama, jangan memulai kebiasaanmu!" protes Ester sembari menyeret kedua koper Aster menuju ke tangga. Ia tersenyum minta maaf pada Aster. "Mamaku suka sekali mengatakan bahwa seseorang mirip dengan orang-orang yang dikenalnya."

"Kau pasti yang bernama Aster, kan? Ayo, nyamankan dirimu di sini. Aku sedang membuat banyak kue. Marc sangat senang dengan kue buatanku. Oh, kau boleh memanggilku Diana. Diana saja, tidak usah memakai embel-embel Nyonya atau Ibu atau Bibi. Aku lebih suka dianggap sebagai teman daripada wanita tua," ucap wanita itu dengan tersenyum lembut, mengingatkan Aster pada ibunya. Air matanya menetes tanpa bisa ditahan lagi, karena rasa rindu sekaligus bersalah pada wanita yang melahirkannya.

"Astaga, ada apa, Sayang? Kau tak apa-apa?" tanya Diana dengan wajah khawatir, lalu memeluk Aster sambil membelai rambut hitamnya.

"Maaf, aku hanya merindukan ibuku. Anda mengingatkanku padanya," sahut Aster sambil melepaskan pelukan wanita itu dengan hati-hati, lalu tersenyum dan menghapus air mata di kedua pipinya.

"Oh, kau bisa menganggapku ibu selama berada di sini, Sayang," balas Diana dengan senyum penuh pengertian.

"Ma, bolehkah aku membawanya ke kamar kosong di sebelah kamar Marc? Dia akan menginap di sini," sahut Ester setelah meletakkan dua koper itu di sebelah tangga. Ia menatap Diana dengan pandangan penuh harap.

"Tentu saja, anggap saja ini rumahmu sendiri. Ayah Ester pasti akan sangat senang mengetahui putrinya memiliki teman baru," jawab Diana dengan suara yang terdengar antusias.

Aster menyentuh lengan wanita itu sambil mengucapkan terima kasih, lalu mengikuti Ester menaiki tangga. Ia membawa salah satu kopernya, sedangkan koper yang lain dibawakan oleh Ester. Gadis itu membawanya ke sebuah kamar yang letaknya agak dekat dengan tangga. Kamar yang ukurannya cukup besar dengan ranjang ukuran sedang di tengah-tengah ruangan. Dua nakas kecil menghimpit kepala ranjang di kedua sisinya dan dua lampu tidur masing-masing berada di atasnya. Cermin besar menggantung di sebelah lemari kayu yang terletak di seberang ranjang.

"Jadi, apa yang terjadi? Jangan bilang bahwa Husein ikut andil dalam membuatmu menangis?" tanya Ester memecah keheningan.

Aster menghela nafas, lalu duduk di atas ranjang empuk yang dilapisi selimut tebal berwarna beige. Ia menceritakan semuanya tanpa terkecuali, lalu menyerahkan ponselnya setelah membuka aplikasi twitternya. Ester termenung cukup lama, lalu ikut duduk di sebelah Aster.

"Ini hanya pendapatku saja, tapi aku setuju dengan temanmu. Bukan maksudku untuk menghakimi kakakmu, tapi ada baiknya kau ikuti saran Glenn. Kita tak pernah tahu apa yang ada di pikiran orang lain, meskipun itu orang terdekat kita sekalipun. Lebih baik kau tunggu saja perkembangannya dan fokus pada pencarian ayahmu. Biarkan masalah di rumah keluargamu tenang dulu. Tapi aku percaya kakakmu tak mungkin tega menusukmu dari belakang. Saudara kembar bagaikan satu hati yang tepisah dalam dua jiwa yang berbeda. Percayalah padaku," ucap Ester sambil menggenggam tangan Aster.

Setelah itu suasana kembali hening. Aster memikirkan saran dari gadis itu. Di lubuk hatinya yang paling dalam, ia percaya bahwa Canna bukanlah orang yang seperti itu. Jika memang kakaknya ingin memiliki Hando seutuhnya, pastilah ada alasan lain. Sebelumnya gadis itu rela membiarkan Hando bertunangan dengannya, bukan? Padahal seharusnya Canna-lah yang lebih berhak mengklaim Hando menjadi miliknya, bukan dirinya yang dengan seenaknya menyerobot dan mengambil milik kakaknya.

"Hei, setidaknya Husein mampu membuatmu melupakan tunanganmu itu. Iya, kan?" goda Ester dengan menaik-turunkan alis.

Aster mengerutkan keningnya dengan bibir cemberut, namun pipinya terasa panas. "Apa yang kau bicarakan? Dia bahkan meninggalkanku begitu saja."

"Dan kau kecewa karena dia tidak pamit padamu. Itu dia!" seru Ester sambil menyeringai. "Hatimu mulai menyingkirkan nama tunanganmu dan menggantinya dengan nama lain yang lebih seksi, tampan, menggiurkan, pana...awwww!"

"Hentikan! Kami hanyalah kenalan, oke. Setelah ini kami tak akan pernah bertemu lagi," jerit Aster sambil mencubiti pinggang gadis yang usianya lebih muda dua tahun darinya.

Mereka berdua saling tertawa selama beberapa menit, dan Aster melupakan semua permasalahannya selama sejenak. Ia senang bisa mendapatkan teman seperti Ester.  

"Kau mau turun? Kelihatannya mamaku sudah selesai membuat kue," tawar Ester setelah mereka berdua sama-sama tergeletak di atas ranjang dengan nafas terengah-engah.

"Aku ingin melakukan sesuatu dulu. Nanti aku akan menyusulmu," jawab Aster dengan mata terpejam.

"Baiklah. Jika kau sedih, pikirkan saja wajah Husein. Pasti kesedihanmu akan langsung menghilang," goda Ester sambil bergegas bangkit dari ranjang karena Aster dengan cepat melemparkan bantal padanya. Namun ia tak bisa memungkiri degup jantungnya yang tidak normal hanya karena mendengar nama itu. Membuatnya berpikir, jadi selama ini yang dirasakannya pada Hando termasuk perasaan apa? Membayangkan wajah Husein saja membuatnya salah tingkah dan bulu kuduknya meremang, sedangkan membayangkan Hando membuatnya merasa seperti....membayangkan Glenn.

Keningnya berkerut karena pemikiran itu. Tapi beberapa saat kemudian ia mengedikkan bahu. Sekarang bukan saatnya memikirkan hati. Ia  mengganti bayangan Husein di benaknya dengan bayangan Diana. Melihat perlakuan Diana pada Ester, pastilah wanita itu adalah ibu tiri yang baik dan peduli pada anak tirinya. Ia senang mengetahui bahwa Ester memiliki ibu tiri yang hebat. Setelah Ester benar-benar keluar dari kamar, ia membuka ponselnya dan mencari nomor yang ada di kontaknya. Cukup lama ia memandangi nomor itu, merasa ragu apakah harus melanjutkan niatnya atau menghentikannya saja. Sebelum ia berpikir dengan matang, jarinya justru mengkhianatinya. Layarnya sudah menunjukkan sambungan telepon ke nomor yang tadi hanya dipandanginya, membuatnya panik bukan main. Saat hendak menyentuh tombol berhenti, suara seseorang di seberang telepon membuat jantungnya berdegup kencang. Dengan perlahan ia mendekatkan ponsel itu ke telinganya.

"Halo? Siapa ini?"

Aster menggigit bibirnya, bingung harus berkata apa untuk menjawabnya.

"Halo?"

Ia masih tetap terpaku di tempatnya, sama sekali tak punya persiapan untuk berbicara dengan seseorang di seberang sana. Hening cukup lama, sampai akhirnya orang di seberang sana kembali bersuara.

"Aster?"

Ingin sekali ia menjawab iya, tapi lidahnya seperti terkunci di dalam mulutnya.

"Maaf." Kembali jeda cukup lama. Terdengar helaan nafas berat dari seberang sana. "Aku mencintaimu. Semoga ada pria yang jauh lebih baik dan lebih mencintaimu."

Sambungan telepon diputus secara sepihak, bersamaan dengan setetes air mata yang jatuh ke pipi kanannya. Seharusnya ia peka sejak dulu agar semua ini tak pernah terjadi. Ini semua karena kecuekan dan keegoisannya. Pantas saja selama ini ia selalu mendapatkan masalah. Ia tidak pantas mendapatkan yang lebih baik.

***

Copyright 2015 by Alya Feliz 






Share this article :

+ comments + 2 comments

Apr 28, 2015, 2:28:00 PM

Loh, husein kmn? :'(

May 1, 2015, 7:49:00 PM

husein kok gak muncul???
itu yang di telepon siapa?? jgn hando dehhh.. malas mahh kalo dia,, tpi klo husein?/ hmmfff.... jadi penasaran. lanjut yaaa kak,,,

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger