THE BETTER TO BITE BY CYNTHIA EDEN - BAB 2

April 28, 20150 comments



Hari pertama di sekolah. Adakah hari yang lebih menyeramkan? Ragu-ragu, untuk seorang remaja. Tapi di sinilah aku, diturunkan di mobil sherif dari berbagai hal. Tepat, cara untuk mencetak poin sebagai anak baru. Tapi setidaknya aku tidak memulai di pertengahan tahun. Ini adalah Hari Pertama yang menyenangkan untuk semua orang.
“Datang ke stasiun saat kau selesai,” kata ayahku, mencondongkan tubuhnya ke arahku.
Aku mengangguk. Setelah perawatan sekolah di toko polisi...apa lagi yang kutahu? Aku berbalik dan mataku menyapu ke sekolahan. Jauh, jauh lebih kecil daripada sekolah lamaku. SMA Haven terlihat seperti telah melihat hari-hari yang baik. Seperti, sangat banyak hari yang baik. Sederet bus berwarna kuning-oranye menunggu di sampingnya, dan para siswa berhamburan keluar dari sana. Aku tahu anak-anak diangkut dengan bis dari beberapa tempat yang dekat dengan kota untuk menghadiri sekolah.
“Anna...” aku mendengar desahan yang merupakan namaku, dan aku menatap balik. “Cobalah untuk bersenang-senang tahun ini, oke? Segala sesuatunya bisa menjadi berbeda,” ucap ayahku.
Tidak, aku memang berbeda. Tapi aku tidak mengatakan kata-kata itu. Apa gunanya? Aku tersenyum padanya. “Ayah, aku mengenakan pakaianku yang menyenangkan, bagaimana bisa aku tak berpesta?” Aku setengah serius. Sebenarnya aku berpakaian untuk mengesankan. Rok setengah pendek. Tidak terlalu pendek karena aku tak ingin ayahku takut, tapi cukup pendek untuk memamerkan fakta bahwa aku punya kaki yang cukup bagus. Aku mengenakan atasan yang serasi dengan mataku—beberapa orang sudah berbicara tentang betapa cantiknya mataku, um, saat ayahku telah membiarkan orang-orang tersebut berada cukup dekat untuk berbincang denganku.
Perlindungan yang sangat berlebihan? Yeah, itulah ayahku. Tapi dengan berbagai hal yang sudah ia lihat, ia punya alasan untuk menjadi seperti itu. Selama sesaat, pandanganku terkunci pada bayanganku di jendela kursi bagian belakang. Rambutku bebas ranting hari ini dan aku menyisir ke gaya licin biasa yang suka kupakai—panjang lurus sebahu, terpisah jauh di sisi kanan. Aku bahkan sudah sejauh ini karena memakai lipstik hari ini. Dan sedikit pemerah pipi.
Jeez, aku sedang mencoba. Tak bisakah ia melihatnya?
“Jangan menaikkan terlalu banyak kesulitan,” ucap ayahku, menunjukkan jarinya padaku.
Ah, benar. Aku sudah melupakan bagian itu. Seorang gadis yang terlibat kedalam beberapa perkelahian di sekolah lamanya dan tiba-tiba saja dia adalah si penaik masalah.
Mungkin tidak begitu tiba-tiba. “Aku tak bisa berjanji apapun.”
Kupikir dia menertawakan hal itu, tapi aku sudah berbalik. Peraturan sekolah : Kau hanya bisa berbicara dengan ayahmu dalam waktu yang sangat lama—di mobil sheriff—tanpa mendapatkan pandangan aneh.
Aku mendorong kembali bahuku, mencengkeram tali ransel dengan sedikit terlalu kuat dan menuju ke anak tangga dari batu-batu yang dipotong. Bel berdering tepat saat aku mencapai pintu. Bel peringatan. Lima menit sampai kelas dimulai.
Aku bisa melakukannya. Orang lain bersikap normal setiap hari. Aku bisa mengaturnya, juga. Setidaknya untuk beberapa jam kedepan.
Aku menemukan lokerku dalam sekejap. Kejutan yang besar. Aku bahkan tak melihat kuncinya saat aku memutar kombinasinya. Itu sesuatu yang tidak hilang lagi. Aku tak bisa hilang, dan tak ada yang bisa hilang dariku. Jadi tak ada lupa kombinasi loker bagiku. Aku hanya memutar dan itu terasa benar dan bam—kuncinya tersentak dan terbuka.
Pandanganku bergerak cepat ke lorong saat aku mendorong beberapa buku ke dalam loker, meringankan tasku. Suara-suara naik-turun, diikuti dengan gelak tawa. Beberapa gadis dengan rok yang lebih pendek dariku berjalan-jalan di lorong. Satu pandangan ke arahku—seorang gadis dengan rambut pirang keriting—dan matanya sedikit menyipit seolah-olah dia menilaiku.
Aku berusaha tersenyum. Dia tak benar-benar tersenyum balik. Tapi kemudian, dia tak memandangku juga. Kemajuan? Mungkin.
Beberapa atlet berlari di lorong kemudian, mendorong anak-anak lain agar keluar dari jalan mereka. Tidak, mereka tidak menggunakan tanda raksasa yang mengatakan “Atlet”—tapi mereka mungkin juga memang begitu. Para pemuda bertubuh besar, terlalu banyak sikap aku-memiliki-dunia, dan mereka sudah membicarakan sepak bola. Aku sedikit mengontrol putaran mata. Lagi, aku—sangat tidak atletis.
Aku membanting lokerku dan berbalik—dan membantingnya tepat di depan pemuda dengan kulit berwarna kopi terang, rambut hitam potongan pendek, kaca mata, dan suara yang pecah saat ia meminta maaf dengan buru-buru.
“Tak usah khawatir,” gumamku karena akulah satu-satunya yang sudah menghantamnya. Lalu aku menatap pemuda itu. Ia memiliki kartu jadwal berwarna hijau di tangannya—tangannya yang gemetar. Dia punya wajah baru dan pandangan ketakutan, tanda yang hanya dimiliki oleh siswa tahun pertama.
Kasihan. Tinggi, sedikit terlalu kurus. Mungkin salah satu dari anak-anak yang berhasil mempercepat pertumbuhan selesai musim panas. Ia tumbuh meninggi, tapi ototnya masih belum muncul, jika itu pernah akan muncul.
Ia tersenyum cepat padaku. “Aku-aku berusaha menemukan ruangan Nyonya Parker.”
Seorang atlet berhenti tepat di sebelah kami kemudian. Lebih dari enam kaki, t-shirt yang meregang dengan otot-ototnya, dan seringai tolol hai-yang di sana di wajahnya. “Aku bisa menolongmu, bocah,” ucapnya sambil mendorong tangannya melewati rambut pirangnya.
“Anak” itu mengedipkan mata. “Kau bisa, Troy?”
Troy, huh? Aku menaikkan sebelah alisku dan menunggu.
“Tentu.” Senyumnya mengembang, menampilkan gigi yang putih cemerlang. “Ini yang harus kau lakukan, FM. Kau kembali ke pintu masuk utama, meluncurlah ke sekitar belakang gedung dan lewati kedai. Kelas Nyonya Parker ada di sebelah timur halaman sekolah.”
FM? Freshman? (siswa tingkat pertama)
Siswa tingkat pertama itu mengangguk dengan tak sabar. “Te-terima kasih, Troy!”
Siswa tingkat pertama itu berbalik dan aku mendengar Troy tertawa terbahak-bahak.
Aku tahu tak seharusnya aku melakukannya, tapi aku masih harus menanyakannya. “FM bukan singkatan dari freshman (siswa tingkat pertama), kan?” Karena itu akan terlalu mudah sekali.
Troy menatapku, mata coklatnya bersinar dengan gelak tawa. “Fresh meat (daging segar).”
Benar.
“Itulah mengapa kami selalu memanggil potongan pertama yang tercium.” Padangannya meluncur padaku. “Dan kau pasti...”
Tapi aku sudah terburu-buru pergi darinya. Aku benar-benar tak bisa mendukung penindasan. Aku menangkap bahu siswa tingkat pertama itu dan menyentaknya ke sekeliling. Kadang-kadang, aku bisa menjadi jauh lebih kuat daripada yang terlihat. Pemuda itu sedikit memekik, tapi langsung tenang saat melihatku.
“Ruangan Nyonya Parker...” lokasinya dengan segera berbunyi klik di pikiranku, dan aku menunjuk kembali ke belakang kami. Halaman timur, pantatku. “Kembali, belok kiri di tangga, dan itu adalah ruangan pertama yang kau lihat.”
Matanya membelalak.
“Dan kau mungkin benar-benar ingin mampir ke kantor dan mengambil peta sekolah.” Jadi kau tak dikerjai di setiap pergantian kelas.
Jakunnya naik turun, dan dia mengangguk dengan cepat. “Te-terima kasih...”
Aku mengulurkan tanganku. “Aku Anna.”
Jari-jarinya—dingin dan lebih kuat dari yang kuharapkan—menutupi jari-jariku. “James. James Colter.”
Hebat. Apakah ini dihitung sebagai teman? Menolong siswa tingkat pertama yang tersesat? James berlari terbirit-birit. Aku berbalik dan mendapati Troy yang menatapku. Ah...membuat teman, membuat musuh...hanya empat menit dari hari pertama masuk.
Aku disentuh oleh Troy.
“Aku hanya bersenang-senang,” gerutunya.
“Begitu juga denganku.” Aku tak menatapnya balik. Terkadang kau hanya bisa membaui orang brengsek. Aku buru-buru melangkah maju. Kelasku tepat berada di depan dan...
Mata biru cerah bertemu dengan milikku. Aku sedikit tersandung. Tak ada yang salah dengan pandangan itu. Atau dia. “Pahlawan”ku berjalan-jalan di lorong, beberapa pemuda mengelilinginya. Dia memakai kemeja hari ini, karena, baiklah, dia harus mengenakannya di sekolah...kemeja hitam dan celana jins pudar. Rambutnya ditarik ke belakang, suaranya bergemuruh dan...
Dan ya, dia benar-benar berjalan tepat melewatiku tanpa berkata sepatah katapun. Tapi salah satu pemuda yang bersamanya—seorang pemuda dengan rambut yang benar-benar pirang, seperti hampir putih—mengeluarkan siulan panjang serigala.
Sempurna. Hariku hilang untuk permulaan yang hebat. Bel berdering tepat saat aku menyelinap ke dalam kelas.
***
Aku bertahan pagi itu. Membayangkan bahwa aku memiliki dua kelas bersama Troy, dan sejak para guru suka menentukan tempat duduk siswa berdasarkan urutan abjad, Troy (yang nama panjangnya Troy Long, akhir ketat untuk tim sepak bola Haven Hornets, yeah, semangat Hornets—atau semacam itu) duduk di belakangku di kedua kelas itu.
Halo, neraka.
Aku juga punya kelas dengan pahlawanku yang sangat-tidak-gagah berani. Ternyata nama penangkapku adalah Rafe Channing. Tidak, kami tidak duduk berdekatan satu sama lain, dan, ya, dia melanjutkan akting tren kesenangannya seperti dia  tak pernah bertemu denganku sebelumnya dalam hidupnya.
Beberapa pemuda lahir hanya sebagai pemikat hati.
Saat waktu makan siang akhirnya tiba, perutku sudah kelaparan. Aku belum sarapan—biasanya aku tak pernah melakukannya—jadi aku siap untuk makan. Tapi aku juga tahu pengelompokan makan siang, dan karena aku tepatnya belum memiliki teman selama hari ini, aku tak punya ide dimana aku harus duduk.
Para junior dan senior memiliki “hak istimewa” untuk makan di belakang sekolat pada hari-hari bebas hujan. Ada banyak meja tipe piknik di luar sana, dan pada saat aku keluar dengan nampan kebaikan ambigu, mejanya sudah mulai penuh. Jadi kemana aku harus pergi?
“Hi,” ucap suara lembut dari belakangku.
Aku menatap balik, merasa yakin untuk melemparkan senyum palsu aku-senang-berada-di sini di wajahku. Gadis lain tersenyum balik sejenak padaku. Gadis itu—dia berada di kelas kimiaku. Pirang, dengan mata biru cerah besar, dia akan memerah wajahnya setiap kali Tuan Kennedy memanggil namanya.
“Kau bisa duduk denganku, jika kau mau,” ujarnya. “Aku Jenny, Jenny Hollow.”
“Terima kasih.” Senyumku terasa ikhlas kemudian. “Aku Anna.”
“Aku tahu.” Dia mencondongkan kepalanya ke kanan, ke meja kosong terdekat. “Kau satu-satunya gadis baru di kelas junior. Kebanyakan orang-orang di sini tahu siapa kau.”
Kami duduk di meja. Aku ingin melemparkan makananku dengan bebas—menjijikkan seperti yang terlihat—tapi aku bisa berpura-pura menjadi seorang wanita. Jadi aku hanya meminum seteguk sodaku dalam-dalam.
“Kau benar-benar dari Chicago?” tanya Jenny saat ia menyendok gorengannya. Bagaimanpun kupikir itu adalah gorengan. “Itu sangat keren.”
Beberapa bagiannya mengagumkan. Para pembunuh dan darah-sangat tidak mengagumkan. Aku menyendok beberapa makanan.
“Bertaruh, datang ke sini adalah kekecawaan yang besar bagimu.” Mata lebarnya mengamatiku. “Maksudku, semua orang yang kukenal ingin keluar dari Haven.” Ia menggelengkan kepalanya. “Orang-orang tak ingin tinggal di sini selamanya.”
Itu karena orang-orang itu tak tahu apa yang menunggu di luar kota. Dan ini adalah sebuah kota yang cantik. Didekap tepat di dalam pegunungan. Dikelilingi oleh semua hutan—dan dipenuhi serigala—hijau.
Aku mengangkat bahu. “Aku tak keberatan pindah.”
Troy keluar kemudian, tapi dia tak sendiri. Pemuda lain berjalan-jalan di sampingnya, seseorang dengan kulit tan emas yang kaya. Tuan Tan memandang ke arahku. Rambutnya pirang terang ikal, dan ia tersenyum, memunculkan lesung pipi.
“YaTuhan.” Suara Jenny adalah sebuah bisikan tingkat tinggi. Betapa anehnya itu? Aku bahkan belum tahu bisikan bisa mencapai nada tinggi itu. “Brent Peters baru saja tersenyum padamu.”
Dia mengatakan itu seperti cara penceramah agama mungkin mengatakan, “Tuhan bersama kita hari ini.” Gembira semuanya.
Aku menyesap soda lagi. “Uh, oke.”
Tangannya memukul meja, dan dia mencondongkan tubuhnya padaku. “Tidakkah kau tahu siapa dia?”
Aku menggelengkan kepalaku.
“Dia adalah pemain gelandang! Pria paling menggiurkan yang pernah ada!”
Baiklah, dia cukup imut dan semuanya tapi...
“Dan dia tersenyum padamu!” Dia menggigit gorengan lain. Bagaimana bisa makanannya benar-benar terlihat seperti makanan dan punyaku terlihat seperti lumpur? “Valerie akan menjadi aneh jika ia menangkap pemuda itu menggodamu.”
Aku menatap balik ke arah Brent. Gadis yang kulihat di lorong pagi itu, satu-satunya orang dengan rambut pirang dan tidak tersenyum, tidak menatap baru saja datang dan membelitkan lengannya di sekitar Brent. “Aku tebak dia adalah Valerie?”
“Um...Valerie Tyler adalah senior, tapi Brent benar-benar orang yang pantas untuk diajak kencan saat Valeria mengencani adik kelasnya.”
Kepalaku mulai terasa sakit. Aku tak begitu tertarik dengan keseluruhan gosip dan adegan kencan. Tapi seorang gadis harus memiliki banyak teman saat sheriff berpesan untuk melakukannya.
Aku meletakkan minumanku. “Biarkan aku menikam dalam kegelapan di sini. Aku bertaruh Valeria adalah seorang cheerleader, kan?” Aku tahu permainan ini. Para cheerleader selalu berkencan dengan para pemain gelandang. Aku mengira itu adalah semacam peraturan.
Jenny mengangguk dengan tak sabar. “Kupikir dia adalah kapten.”
Aku tertawa. Aku tak bisa menahannya. Senyuman masih di wajahku saat aku mendongak dan melihat Rafe. Matanya terkunci padaku, dan jantungku berdegup cepat di dadaku.
Menunduklah.
Teman-temannya mengelilinginya lagi. Ada apa dengan para pemuda di sekolah ini? Apa mereka semua melangkah dalam gerombolan atau apa? Bersiul, pemuda berambut pirang putih berada di sebelah kirinya, dan pemuda lain dengan rambut hitam pekat dan mata yang warnanya terlihat seperti mendekati hitam berdiri di sebelah kanannya. 
Aku berharap Rafe berbalik lagi. Karena aku mengharapkannya, aku berbalik terlebih dulu dan mengatakan sesuatu yang bahkan tak bisa kuingat pada Jenny. Tapi apapun yang kukatakan, aku membuatnya tertawa dan tawanya—jenisnya seperti suara gemerincing—mengalihkanku.
Itulah mengapa aku tak menyadari Rafe memimpin ke arahku. Tidak, aku tidak memperoleh kesadaran besar itu sampai dia benar-benar mencapai mejaku dan bertanya, “Memanjat setiap pohon akhir-akhir ini, Chicago?”
Dan, wow, apakah ini imajinasiku atau semua orang berhenti bicara saat mereka melihat sekilas ke mejaku?
Aku menyelesaikan kunyahanku karena, tentu saja, dia menangkapku di pertengahan mengunyah. Lalu aku mendongak padanya. Matahari berada di belakangnya, dan bayangannya jatuh di atasku. Karena aku berbicara tanpa berpikir, aku menembak balik. “Menangkap setiap gadis akhir-akhir ini?”
Dia tersenyum. Senyum miring yang mengangkat mulut sempurnanya.
Aku sedikit berbalik untuk lebih menghadapnya. “Jadi kau memang mengingatku,” kataku, tak ingin membiarkannya lolos. “Aku mulai heran.”
Ia mengangkat bahunya. Si rambut pirang terkekeh. Aku tidak berpaling dari Rafe. Pemandangannya terlalu bagus.
Tapi kemudian, pemuda di sebelah kanannya berujar, “Kudengar sheriff baru menemukan mayat kemarin malam.”
Aku yakin semua orang sedang mendengarkan waktu itu. Jenny membuat suara tercekik aneh. Aku mengecek untuk meyakinkan dia tidak tersedak. Dia merona merah gelap, tapi tampaknya ia bernafas dengan baik. Bagus untuknya.
“Apa itu benar?” desaknya.
“Jake...” mulai Rafe, dan aku mendengar peringatan tajam di suaranya.
Aku mengalihkan perhatianku pada Jake dan mengangguk. Ayahku punya jadwal konferensi pers jam 8 pagi, jadi aku tahu tak apa-apa membicarakan tentang tubuh itu sekarang. Terkadang, aku harus menyimpan rahasia untuk ayahku. Ini bukanlah salah satu dari saat-saat itu. “Dia menemukan Sheriff Brantley.” Apa yang tertinggal darinya.
“Binatang yang mendapatkannya?” desak Jake, dan matanya menyipit padaku.
Di belakangku, aku yakin mendengar seseorang menggerutu, “Menjijikkan. Kami sedang makan!”
Aku berdehem dan berusaha untuk tidak memikirkan tubuh Brantley. “Aku tidak tahu pastinya. Ayahku masih menyelidiki.”
“Bertaruh dia menyuruhmu untuk tetap berada di luar hutan, huh?” tanya Rafe dengan suara menggelegar itu yang kuyakin dicintai oleh semua gadis.
Ayahku memang melakukannya, tapi aku mengangkat bahu. “Dia tahu bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri.” Dia telah mengajariku untuk mampu membela diriku sendiri melawan penyerangan, tapi gerakan bela diri yang kutahu hanya bekerja melawan orang lain yang sesungguhnya. Dia belum menyiapkanku untuk para serigala.
Rafe melemparkan senyum lagi padaku, tapi kemudian ia mengangguk pada teman-temannya. “Ayo.”
Dan hanya seperti itu, dia pergi.
Um, oke.
“Baik, senang bertemu denganmu juga!” teriakku pada punggungnya. Whoops. Masalah bicara sebelum berpikir lagi. Atau mungkin “tingkah laku”ku- kadang-kadang, sulit untuk mengatakan dengan pasti apa yang berurusan denganku.
Tapi kata-kataku membuat Rafe memandang balik. Dia menatapku dengan pandangan bingung di wajahnya. Seperti ia tak yakin apa yang membuatku melakukannya.
Bergabunglah dengan klub, sobat. Aku sudah melihat pandangan itu di wajah ayahku banyak kali. Lalu Rafe sudah pergi. Orang-orang mulai berbincang lagi, dan aku memakan makanan dingin baruku.
“YaTuhan!” datanglah bisikan bernada tinggi milik Jenny sekali lagi. Serius, itu aneh. Aku heran jika dia berlatih suara khusus itu di rumah. “Kau tahu Rafe Channing?”
“Tidak baik.” Aku berhenti menjadi seperti wanita terhormat dan menggali kedalam makananku. Aku benar-benar lapar hari ini, dan lenganku berdenyut lagi. Hebat.
“Dia sangat...oh, wow.”
Memang. Tapi pemuda itu tahu itu—aku sudah banyak melihatnya di seringai miring congkaknya.
“Dia...dia sejenis...nakal,” lanjut Jenny, suaranya lembut tapi tak lagi bisikan memekik aneh itu.
Aku mendongak padanya.
Dia mencondongkan tubuhnya dari seberang meja seperti ingin menceritakan padaku rahasia yang sangat besar. Mungkin memang begitu. “Rafe pernah berada di penjara anak-anak beberapa kali.”
 Anak-anak nakal. Aku kebetulan saja punya satu kelemahan besar. Mereka. Mungkin itu karena ayahku adalah sheriff. Aku yakin psikiater akan mengatakan aku sedang berakting, berusaha memberontak, tapi, kenyataannya adalah, aku hanya suka para pemuda dengan seorang pengikut.
Tidak, aku sudah menyukai mereka dengan cara itu. Aku sedang berbalik ke sebuah lembaran yang baru sekarang.
“Aku tidak tertarik dengannya,” ujarku dan aku tahu aku sedang berbohong. Ini adalah hari pertama—seharusnya aku tidak tertarik dengan siapapun secepat ini.
Benar?
Tapi saat bel berdering, dan aku menuju ke kelasku yang selanjutnya—sejarah, seseorang selamatkan aku—aku mendapati diriku mencari Rafe.
Dan aku menemukannya, berdempetan di pojok dan berbicara dengan sangat dekat dengan Valerie.
Bayangkan.
Tidak tertarik.
Setidaknya, itulah apa yang kuputuskan untuk terus mengatakannya pada diriku sendiri.
***
Toko kecil yang aneh menarik perhatianku. Aku sudah melakukan sesedikit mungkin aksiku di sekolah, melalui hari dengan hanya mengganggu satu atlet—skor untukku!—dan aku sedang melakukan rutinitas gadis baikku dan menuju ke pangkalan sheriff untuk perlindungan setelah sekolahku.
Lalu aku melihat toko itu.
Kecil, amat sangat kecil, dengan jendela kaca dan tanda miring dekat pintu masuk yang hanya mengatakan, “Charmed”
Aku mengedipkan mata, tapi aku tak bisa melihat kedalam toko. Semua yang kulihat adalah bayanganku. Kulit pucat. Rambut merah.
Aku.
Aku berjalan lebih dekat, merasa hampir seperti aku ditarik kedalam toko. Bel kecil bergemerincing saat aku membuka pintunya dengan perlahan. Aromanya menghantamku pertama kali. Kemenyan. Bukan baru yang buruk, tapi agak menggelitik hidungku. Pandanganku meneliti toko itu. Rak-rak buku. Guci-guci kaca kecil. Gargoyle mengamatiku dari sudut-sudut ruangan. Lilin-lilin berjajar di satu dingin, semua berbentuk dan berwarna.
Nafasku keluar dengan perlahan-lahan. Sebuah toko mantera. Apa Ayah tahu tempat ini ada di sini?
“Ada yang bisa kubantu?”
Aku melompat karena aku bahkan tak mendengar wanita itu muncul. Dia amat kecil, dengan bahu membungkuk dan kulit coklat yang lapuk karena angin. Mata gelapnya sehitam arang, dan senyumnya besar dan hangat. “Ada yang kau butuhkan, Nak?”
Nak? Sungguh tidak. “Aku hanya sedang melihat-lihat.” Aku memberikan senyum sekilas balik. “Toko jenis apa ini?” tanyaku meskipun aku sudah tahu. Aku sebenarnya terlalu banyak tahu tentang tempat-tempat seperti ini.
“Kenapa bertanya saat kau tahu?” Dia masih tersenyum tapi tatapannya sudah menaksir kualitas. Lalu dia lebih mendekat, dengan pasti menyerbu tempat pribadiku, dan dia menangkap lenganku.
Sentuhannya dingin. Seperti, dinginnya es, dan aku menggigil saat jari-jarinya mengapit pergelangan tanganku. “Gelap,” bisiknya.
Datang kedalam toko adalah sebuah langkah yang buruk. Sekarang aku harus berurusan dengan wanita aneh ini.
“Kau merasakannya, bukan?” tanyanya padaku sambil memejamkan mata.
“Um, tidak.” Aku hanya merasakan cengkeramannya yang semakin seperti cakaran.
“Semua kegelapan berada di sekitarmu, selalu seperti itu, dan semakin mendekat.”
Apakah ini promosi penjualannya? Serius? Taktik menakuti untuk membuat orang-orang melakukan apa? Membeli beberapa lilin untuk perlindungan? Aku berusaha menyentak kembali lenganku, tapi dia tidak bergerak.
Aku menghela nafas dalam-dalam dan menarik lebih banyak kemenyan ke dalam paru-paruku. “Aku tidak takut pada kegelapan.” Bahkan meskipun aku tahu tepatnya apa yang bisa menunggu dalam bayangan. Monster.
Bukan vampir atau iblis seperti yang kau lihat di film-film horor. Manusia adalah monster yang sesungguhnya. Ayahku sudah mengajariku hal itu. Ibuku sudah belajar tentang pelajaran itu, juga. Itu telah menjadi pelajaran terakhir yang pernah dia pelajari.
Matanya terbuka dan kelihatannya, jika mungkin, bahkan lebih hitam dari sebelumnya. “Cukup cepat, kau akan takut dengan kegelapan, Nak. Kau akan takut dengan apa yang menunggumu.”
Oke. Dia lebih dari sekedar sedikit menyeramkan.
Lalu bel bergemerincing lagi, dan dia menatap di atas bahuku. Aku membebaskan lenganku—keras—dan melompat selangkah ke belakang saat aku berputar untuk melihat siapa yang datang untuk menolongku.
Seorang gadis berdiri di sana. Seumuranku. Kulit cokelat cerah, mata hijau cemerlang, dengan rambut yang kusut di sekitar bahunya dalam keriting bebas. Mata hijau itu membelalak saat ia melihatku, lalu menyipit saat ia fokus pada wanita di belakangku.
“Nek...” mulainya dan tak ada bisikan daerah Selatan di suaranya. Tak ada sama sekali. “Apa kau berusaha menakuti pelanggan lain di luar pintu?”
Aku sudah melihat gadis itu di sekolah. Dia telah berada di kelas Sastra Inggrisku. Bukan orang yang benar-benar suka bicara. Tapi lantas, aku pun demikian.
Langkah-langkah kaki terseret di belakangku. Aku melihat balik. “Nek” sedang menuju ke tirai panjang yang menunggu tepat di luar mesin kasir.
“Maaf,” gerutu gadis itu saat ia datang ke sebelahku. “Dia tidak beraksud untuk...” Desahan panjang. “Apapun yang dia lakukan, dia tak bermaksud melakukannya.”
“Lupakan itu.” Aku lebih dari siap untuk keluar dari tempat itu. Kemenyannya tidak berbau enak lagi. “Aku harus ke...”
“Aku Cassidy Adams.”
“Aku...”
“Aku tahu siapa kau.”
Benar.
“Kau...kau menolong sepupuku hari ini.” Rahangnya sedikit bergeser, lalu ia menggerutu. “Terima kasih.”
Aku tak ingat menjadi seorang penolong. Aku ingat hanya mengurusi urusanku sendiri, berusaha untuk tidak melakukan apapun yang terlalu aneh dan...
“James Colter?” bisiknya. “Anak yang tingginya tidak masuk akal?” Ia mengusap lehernya. “Dia bilang kau menolognya menemukan kelasnya hari ini.”
Oh, benar. “Bukan masalah besar.” Aku disentuh olehnya. Aku harus keluar dari sini. Nenek telah membuatku sangat ngeri. Itu sedang mendekat.
Tapi Cassidy melangkah dan menghalangi jalanku. “Kau menolongnya, jadi sekarang aku akan menolongmu.”
Bukankah itu manis. Tidak juga. Karena kata-katanya lebih terdengar seperti sebuah ancaman.
Lidahnya menyikat bibir bawahnya. “Aku melihatmu berbicara dengan Rafe hari ini.”
Rupanya semua orang yang berada di luar waktu makan siang telah melihat percakapan kecil itu. Memangnya ada apa dengan itu? Sebuah permainan semua-mata-padaku?
“Kau harus tetap jauh darinya.” Cassidy mengatakan padaku. “Dia berbahaya.”
Aku tertawa. Aku tak bisa menahannya. “Serius?” Aku menggelengkan kepalaku. “Terima kasih, tapi kupikir aku baik-baik saja tanpa peringatan.” Pertama Jenny, sekarang dia. Itu hampir memalukan. Aku adalah anak sheriff. Aku bisa mengatasi seorang pemuda dengan sedikit reputasi anak nakal.
“Tidak, kau tidak baik-baik sana.” Lalu dia mundur. “Hanya ingat, apapun yang terjadi, aku sudah berusaha membantumu.”
Dan kupikir akulah yang aneh. “Benar. Aku akan mengingat nasehat itu.”
Aku mendorong pintu terbuka, mengabaikan suara gemerincingnya, dan terburu-buru menuju ke kantor Sheriff. 
Dua blok lagi, aku berada di sana. Aku mendorong pintu depan sampai terbuka dan tergesa-gesa masuk ke dalam. Seorang wanita menunggu di belakang konter, tipe perempuan tua kecil yang manis yang tersenyum padaku. Aku sudah bertemu dengannya sekali sebelumnya. Namanya adalah Shirley Sims. Shirley yang manis. “Sayang,” ucapnya dan South Carolina bergemuruh hebat pada kata itu. “ayahmu sedang menerima telepon. Beri dia semenit saja.”
Benar. Aku menjatuhkan tasku di kursi terdekat dan membiarkan pandanganku menyapu ke sekitar kantor. Shirley sudah pergi menemui kami di rumah kami, sebuah kereta penyambutan dengan beberapa ayam goreng buatan rumah. Ini sebenarnya adalah kali pertamaku di pangkalan sheriff dan...
Mataku terkunci pada papan pengumuman di sisi kanan yang jauh. Papan yang dipenuhi dengan foto banyak orang dengan huruf HILANG raksasa di atas nama-nama mereka. Aku mengejar lebih dekat pada papan itu.
Aku meneliti detail pada foto-foto itu. “Semua orang ini...” aku menaikkan suaraku agar Shirley bisa mendengarku. Seharusnya ada beberapa deputi di kantor, tapi aku tak melihat mereka. Hanya aku dan Shirley. “Mereka semua hilang dari Haven?”
Haven tak sebesar itu. Ini gila.
Kursinya berderit saat ia mendorongnya mundur dan datang padaku. Mataku melihat cepat pada foto-foto itu. Jason Tunner, usia 25 tahun—hilang selama tiga bulan. Susie Harper, usia 31 tahun—hilang selama enam bulan. Julia Hall, usia 24 tahun—hilang selama dua bulan.
Aku menghitung lainnya yang beterbangan, karena ada sangat banyak...Semua akan kembali dalam enam tahun terakhir. Apa-apaan?
Sekarang rambut di lenganku naik dan gambaran-gambaran melayang kedalam kepalaku. Cepat, terlalu cepat...
Julia Hall...Jason Tunner...Susie Harper...
“Mereka adalah pendaki, turis...” suara Shierlay terdengar sedih. “Orang-orang pergi ke pegunungan di sekitar sini dengan cara mereka sendiri sepanjang waktu. Beberapa dari mereka tak pernah melihatnya. Mereka hanya menghilang dan tak bisa kembali ke rumah.”
Dengungan memenuhi telingaku. Hilang. Julia Hall. Rambut pirang. Mata biru. Kulit pucat. Kulitnya tak akan berada di sana sekarang. Dia baru saja menjadi tulang-belulang.
Tulang-belulang di bawah pohon oak bengkok yang berbonggol.
“Sheriff Brantley mencari mereka semua, tapi ia tak bisa menemukan jejak mereka.”
Susie Harper. Rambut merah. Mata hijau. Air tertuang di atas potongan-potongan pakaian...
Aku tersandung kembali. Bibirku berusaha membentuk kata-kata, tapi aku gemetar dengan sangat parah, aku tak bisa bicara. Ayah!
“Memalukan,” lanjut Shirley, suaranya terdengar dengan simpati. “Untuk mereka semua yang hilang seperti itu...”
Tak ada yang pernah hilang. Tidak dariku.
Lututku mengencang.
“Sayang, sayang, kau baik-baik saja?”
Tengkorak bersinar dalam cahaya matahari. Daun-daun tertiup di sekitar putihnya...
Aku merasakan dan kali ini, tak ada seorangpun di sana untuk menangkapku. Kepalaku terbanting ke ubin yang keras.


Originally translated by Alya Feliz

Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger