RIDE by CAT JOHNSON - BAB 6

April 10, 20150 comments

“Siap untuk pergi ke lantai atas?” Koboi itu menyelinap di depan wanita itu.

Wanita itu tak memperhatikannya sementara dia menatap pintu. Dia harus memastikan Bruno dan teman-temannya tidak melenggang masuk ke dalam tanpa tiket, atau entah bagaimana tidak membelinya, atau mungkin mendapatkan tiket dengan cara yang kurang terhormat seperti dirinya. Mata Chase berkerut dengan senyuman yang diarahkan padanya. Senyum sama yang dilihatnya kemarin malam, pada saat pria itu mengajaknya kencan setelah membersihkan dirinya dari apa yang telah dilakukannya padanya. Melihatnya di sini benar-benar kebetulan yang aneh. Satu hal yang bekerja dalam kehati-hatiannya sehingga dia menerimanya dengan senang hati.

Leesa telah menemukan selama waktunya berada di Vegas, bahwa untuk kota yang besar, bisa menjadi sebuah dunia yang kecil. Pelariannya pada pria yang sama yang diberikan tariannya merupakan perjuangan yang panjang, ya, dan sesuatu seperti itu sudah pernah terjadi padanya sebelumnya. Setidaknya ini bukan kebetulan yang tidak menyenangkan. Dari semua pria yang ditemuinya di klub pada malam hari, pria ini mungkin satu-satunya orang yang paling dipercayainya untuk menolongnya, tak ada pertanyaan apapun. Tak ada penjara lidi profesional juga.

Pria itu mungkin berharap akan mengulangi kejadian semalam, tapi dia tidak akan memaksanya. Leesa merasakan getaran itu darinya di klub. Dia adalah seorang pria, ya, dia menarik, tapi dia juga seorang jentelmen dan akan menghargai kata tidak...jika Leesa bisa mengatakan padanya tidak. Cara pria itu membuatnya merasakan, dia tak yakin bisa mengatakan kata itu.

Apa yang aneh adalah Leesa tidak yakin apakah pria itu mengenalinya atau tidak. Dia berpakaian berbeda di sana jadi tak ada alasan bagi pria itu untuk menghubungkannya. Dia pikir dia melihat kilasan pengenalan di wajah pria itu, tapi pria itu tidak mengatakan apapun atau mengingatnya dari kemarin malam. Pria itu memang mengundangnya ke lantai atas, tapi dia tidak yakin Chase benar-benar mengundang orang asing. Leesa sudah memperhatikan beberapa koboi lain berbicara dengan gadis-gadis yang kelihatannya baru mereka temui, dan beberapa dari mereka dengan senang hati ikut ke pesta ini juga. Rupanya koboi populer dengan para wanita.

Apakah koboi manis tak berdosanya adalah seorang playboy? Melirik sekilas ke arah pria itu lagi, dia menyadari bahwa ia akan berurusan dengan Chase nanti. Yang terpenting sekarang adalah dia keluar dari area publik sebelum dia tertangkap basah.

Memaksakan senyuman, dia mengangguk untuk menjawab pertanyaan terakhir dari pria itu. “Aku siap.”

Jawabannya membuat seringaian yang bahkan lebih lebar dari pria itu yang menunjukkan gigi putih dan kuatnya. Pria ini bisa menjadi pria yang ada di poster untuk kehidupan pedesaan yang baik dan bagus.

“Bagus.” Pria itu memang imut. Dia meraih tangannya dan mengaitkan jari-jarinya dengan miliknya, seolah-olah mereka adalah siswa SMA dalam kencan pertama mereka. Leesa harus mengakui bahwa dia menyukainya. Tangan kuat Chase yang menggenggam tangannya membuatnya merasa aman, tapi arah yang ditujunya tidak. Ketika Chase menariknya ke pintu utama, dia menahan sneakersnya dan menyentakkan genggaman pria itu.

Chase berhenti. “Apa kau melupakan sesuatu?”

“Um, tidak. Hanya saja banyak sekali orang di luar sana. Mungkin kita bisa pergi melalui pintu belakang?” Dia sudah menjangkau semua pintu keluar di belakang.

Rupanya Chase dan teman-temannya adalah selebriti, meskipun dia tidak yakin artis dalam bidang apa. Orang-orang berjejer untuk mendapatkan tanda tangan Chase, jadi mungkin pria itu diyakinkan untuk menghindari adegan penyerbuan fans di lorong.

Pria itu berhenti dan melihat sekilas ke arah pintu masuk. Untungnya hanya ada sekelompok kecil orang-orang yang berkeliaran di luar sana. “Kupikir beberapa orang tidak mendapatkan tiket. Tentu. Kita bisa menuju ke belakang jika kau mau. Meskipun kebanyakan selama balapan yang sudah kulakukan tahun ini, aku tak yakin aku adalah satu-satunya orang yang akan ditunggui oleh fans.”

Leesa mengangguk, tak mengerti seringai protes pria itu atau kenapa caranya menunggang mendikte berapa banyak fans yang menunggunya. Berpikir tentang hal itu, dia tidak yakin juga apa yang ditunggangi oleh pria itu. Dia tebak, pasti kuda. Koboi menunggangi kuda, kan? Itu tak masalah. Leesa merasa lega mereka akan keluar melalui pintu belakang, dimana kemungkinan kecil dia akan dibunuh oleh Bruno dan skuad pukulnya.

Chase berhenti sejenak, melirik ke tas yang menggantung di pundak Leesa yang beratnya agak ke kiri. “Apa kau mau aku membawakannya untukmu? Kelihatannya cukup berat.”

“Um, tidak. Tak apa-apa. Ini tidak seberat itu.” Sial. Dia harus menjelaskan tas raksasa yang sudah dibawanya kemana-mana. “Aku, uh, dalam perjalanan ke luar kota untuk sedikit liburan. Aku hanya ingin membunuh waktu di kasino sebelum busku berangkat.”

Membunuh waktu. Berusaha agar tidak terbunuh. Terserah.

“Kapan?”

Pertanyaan pria itu mengejutkannya. Dia benar-benar pembohong yang buruk. “Apa?”

“Busmu. Kapan kau harus berangkat?”

“Oh, aku uh belum membuat rencana sebenarnya. Aku akan menaiki bus kapanpun kumau.”

Pria itu menyeringai lebar. “Semangat bebas, huh?”

Leesa mengangatk bahu. “Yup, itulah aku. Aku pergi kemanapun angin membawaku.”

Pria itu tak tahu betapa lucunya ide itu. Chase pasti tak pernah melihat hidungnya di depan buku belajar selama 24/7 kembali ke kampus. Dia terbiasa memiliki setiap saat yang terjadwal di setiap hari dan waktunya, tepat di bawah makanannya dan saat dia mandi. Segala sesuatunya benar-benar telah berubah.

“Aku senang mendengarnya.” Senyum pria itu yang begitu lebar mengatakan yang sebenarnya.

“Kenapa?” Sial, dia bisa benar-benar menyukai pria ini.

“Karena mungkin dengan kau memiliki semangat bebas artinya kau akan sedikit lama berada di sekitar sini.” Meskipun Chase menyeringai dan dalam suasana hati yang baik, dia masih terlihat mencari tahu melalui jiwanya saat pria itu menatapnya begitu dalam.

Leesa menelan ludahnya. “Mungkin.”

Untuk waktu yang lucunya terasa sangat lama, salah satu momen lain menyusup ke benak mereka. Tak peduli jika ruangan penuh dengan orang-orang asing dan ramai. Itu seperti saat terjadi di atas panggung klub, terasa bagaikan hanya mereka berdua yang ada di dunia ini.

Leesa menepiskan perasaan itu. “Bisakah kita pergi ke atas?”

“Tentu.”

Raut wajah Chase hanya bisa dikategorikan ke dalam riang gembira. Lalu tangannya diremas oleh pria itu dan dia ditarik menuju ke pintu belakang. Dia menahan nafas dengan takut saat Chase meraih pintu dan mendorongnya lebar, lalu, dia memang jentelmen, menunggunya keluar terlebih dulu.

Mengamati lorong, ke kiri lalu ke kanan, dia melihat wajah-wajah yang ia takuti. Dia menarik topinya lebih rendah melebihi dahinya. Melihat pantai sudah bersih sekarang, dia bertanya, “Jalan mana yang menuju ke lift?”

Chase mengedikkan kepalanya ke kanan. “Ada di atas sini.”

Leesa mengangguk, berharap di atas sini dengan logat koboi berarti lebih dekat daripada lebih jauh. Segera, dia pikir. Segera mereka akan berada di lantai atas di kamar Chase, di lantai yang dia bilang tadi akan sepenuhnya dikuasai oleh teman-teman koboinya, dan Bruno bersama teman-teman pembunuhnya tak akan mampu menemukannya. Di samping itu, dari sekarang mereka seharusnya mengikuti ponselnya di tas diaper keluarga yang tak terduga.

Setiap langkah kakinya di lantai lorong terdengar menggema di dinging dan kepalanya, seperti metronom yang mendetakkan waktu. Waktu yang ia tahu tidak ia miliki. Waktu yang tak bisa ia sia-siakan jika ingin bertahan hidup. Lalu Leesa mendengar suara familiar dan oh-sangat-ramah “ding” yang terdengar di dekat lift. Dia hampir menangis karena suara itu.

Tangan Chase meremasnya dengan erat saat mereka berdiri di depan pintu kuningan yang tertutup. Pria itu menekan tombolnya lalu tersenyum padanya. Nantinya dia harus berurusan dengan jantungnya yang berdebar setiap kali dia melihat pria itu. Lebih buruknya lagi, betapa kuatnya tubuhnya bereaksi setiap kali pria itu melihatnya. Dia juga harus mencari tahu apakah pria itu mengenalnya atau tidak. Tapi untuk sekarang, hanya dengan melihat pintu lift bergeser sudah membuatnya senang.

Chase mengisyaratkan padanya untuk melangkah kedalam, sebelum pria itu mengikutinya dengan langkah kecil di belakangnya. Pria itu menekan tombol yang menuju ke lantainya. Salah satu dari nomor-nomor yang lebih besar. Dia berusaha untuk tidak panik. Jika dia harus kabur ke lantai bawah, itu akan menghambatnya. Lebih lama dengan setiap level dari lift menjauhi tanah. Apa dia akan merasa aman lagi? Mungkin tidak. Bahkan jika dia kabur, dia akan selalu melihat melalui bahunya, penasaran kapan mereka akan menangkapnya. Bahkan tidak tahu menahu kenapa mereka menginginkannya mati.

Leesa pasti sudah mendesah tanpa menyadarinya. Saat ia mendongak, Chase melihatnya dengan ekpresi prihatin di wajahnya. “Kau baik-baik saja?”

Dia berusaha tersenyum. “Yeah, baik.”

Chase mengangguk, meskipun dia terlihat tidak terlalu yakin dengan jawabannya. Lalu pintu terbuka dan tiba-tiba saja keributan dan keramaian benar-benar jauh dari pikirannya. Leesa tentunya berharap teman-teman Chase menghuni seluruh lantai, karena itu lebih terlihat seperti pesta persaudaraan daripada hotel pada saat ini, sampai ke tong yang diletakkan dalam ember besar yang diisi dengan es.

Cheese tidak melepaskan tangan Leesa, yang mana dia berterima kasih untuk itu, tapi pria itu otomatis menarik keluar dari lift sambil menggerutu. “Apa-apaan?”

Pria itu berhenti di depan pria yang Leesa kenali sebagai koboi yang duduk di sebelah meja Chase hari ini, dan kemarin malam di klub.

“Jeez, Garret. Kau bilang kakaknya Aaron mengambil beberapa bir, ukan sebuah tong. Apa kau tidak berpikir kita sedikit memaksanya?”

Pria yang Chase panggil Garret mengangkat bahu. “Apa yang bisa mereka lakukan? Melempar kita keluar?”

“Um, yeah. Sebenarnya mereka bisa.” Tubuh Chase tegang di sebelah Leesa. Saat pria itu melihatnya lagi, tidak lagi dengan senyuman yang biasanya.

Leesa sendiri tidak terlalu senang. Jika mereka dikeluarkan dari sini, lalu apa yang akan dia lakukan? Dia akan kembali ke tempat dimana dia berada satu jam yang lalu. Mungkin dia bisa melompati bus seperti yang sebelumnya direncanakannya, tapi jika Jerry dan kakaknya punya setengah otak, mereka akan mengawasi semua bus yang pergi sejak mereka tahu dia berada di sini. Seorang anak yang kelihatannya baru saja lulus SMA mendekati mereka, dengan segelas besar plastik merah di tangannya. Anak itu meneguk bir, lalu melirik sekilas dari Chase ke Garret. “Ada apa dengan kalian berdua?”

“Ah, jees. Aku lupa bahkan Skeeter tak cukup tua untuk minum. Kau tahu berapa banyak masalah yang akan kita dapatkan karena melayani anak di bawah umur?” Chase menggerakkan sebelah tangannya yang bebas ke wajahnya.

Garret menggelengkan kepalanya. “Oke, oke, santai saja. Aku mendengarmu. Aku tak tahu kapan kau terjebak dalam lumpur, tapi aku akan menanganinya. Skeeter, kau dan yang lain pindahkan tongnya ke kamarku.”

“Uh, tidak. Pindahkan ke kamar yang lain.” Chase melihat sekilas ke Leesa, lalu kembali ke Garret.

Leesa memperhatikan kedua alis Garret naik. Pria itu menyeringai angkuh dan mengangguk dengan perlahan. “Oh, baiklah. Aku mengerti.”

Saat pandangan Garret beralih ke Leesa, Chase menggelengkan kepalanya. “Diamlah, Garret.”

“Apa?” Pandangan lebar tak bersalah milik Garret tergambar terlalu nyata. “Aku tak mengatakan apapun.”

Dengusan yang dikeluarkan Chase mengatakan apa yang dipikirkan mengenai jawabannya. Mungkin mereka berdua mengenali Leesa dari klub. Dan setelah apa yang dilakukannya pada pria itu, mungkin mereka mengira Chase akan sibuk dengannya di kamar itu. Tuhan, mungkin mereka pikir dia melayani mereka semua dengan harga yang tepat. Itukah kenapa mereka membawanya ke atas sini?

Dia selesai dengan dirinya sendiri dengan setuju melakukan apa yang kemarin dia lakukan untuk uang. Leesa tidak seharusnya peduli dengan yang Garret atau pria lainnya pikirkan tentangnya. Kenyataannya adalah, dia tak bisa peduli sekarang. Dia harus menjaga dirinya sendiri aman. Dia heran apa yang harus dilakukannya agar tetap seperti itu.

“Ayo.” Chase menariknya ke salah satu kamar yang lebih jauh dari lorong. Dia tidak terlalu tertarik berada di sana lebih lama lagi. Chase lebih selaras dengan emosinya daripada yang ia bayangkan. Pria itu berhenti di tengah-tengah langkah.

“Maaf soal Garret tadi. Dia hanyalah orang idiot. Biasanya aku lebih banyak mengabaikan semua perkataannya.” Saat dia hanya mengangguk dan tidak mengatakan apapun, pria itu melanjutkan. “Mereka akan minum dari tong itu sampai besok pagi. Aku berharap bisa tidur sebelum matahari terbit karena aku harus menyetir besok.”

“Yeah, rencana yang bagus.” Sekali ketakutan dan adrenalin meninggalkan tubuhnya, kesempatan yang bagus dia bisa tidur sambil berdiri. Tuhan, Leesa ingin sekali tidur dengan aman di kamar Chase malam ini. Dia benar-benar akan memberikan semuanya untuk kemewahan itu.

Chase memasukkan kartu kunci ke pintu. “Kau bisa meletakkan tasmu di kamarku dan itu akan aman. Kau tak perlu memikulnya kemanapun di pundakmu sepanjang malam.”

Leesa ingin sekali memikulnya kemanapun. Seluruh hidupnya, semenyedihkan apapun jumlahnya di dalamnya, ada di dalam tas itu. Maklum, tas itu berisi sikat gigi dan deodoran, beberapa pakaian ganti, dan dompet compang-camping yang berisi seluruh uangnya sejak ia mengosongkan rekeningnya di mesin ATM dalam perjalanannya ke kasino. Ada juga sebuah foto tua dari keluarganya. Satu yang harus kau bawa ke mall selama liburan atau yang lainnya, saat kau berpakaian yang cocok, biasanya sweater dengan warna menjijikkan. Susah dipercaya hidupnya harus hilang dari hal itu ke hal ini—melarikan diri dari hidupnya di Vegas tanpa apapun kecuali pakaian yang harus dibawanya.

Dia melirik sekilas untuk mendapati Chase yang mengawasinya lagi. “Um, terima kasih telah mengundangku ke pesta.”

Chase mengeluarkan dengusan yang mengejek. “Pesta. Yeah. Maaf, aku tahu itu akan menjadi pesta tong saat aku mengajakmu. Mereka bisa melebihi batas kadang-kadang.”

Leena mengangkat bahu. “Tak apa-apa. Aku ingat bagaimana rasanya saat kuliah. Itulah yang anak-anak dapatkan saat kau mengumpulkan mereka bersama.”

Chase tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Anak-anak.”

“Apa?”

“Kau tidak terlalu tua.” Pria itu melebarkan pintu setelah menjentikkan tangannya ke saklar di dinding, menunggu Leesa masuk sebelum ia mengikutinya kedalam.
            “Aku jauh lebih tua daripada—bagaimana kau memanggilnya—Skeeter? Darimana dia mendapatkan nama itu?”
            Chase tertawa keras sekarang. “Aku akan menyuruhnya memberitahumu.”
            Ajaibnya, dia merasakan dirinya tersenyum. “Aku menantinya”
            Pintu menutup di belakang mereka dengan bunyi klik yang jelas, dan Leesa merasakan kegelisahan baru dari hanya berdua saja dengan Chase. Hampir gugup, seakan-akan dia menginginkan sesuatu terjadi, tapi di waktu yang sama takut jika itu terjadi.
            “Biarkan aku mengambilnya untukmu.” Pria itu meraih tali tasnya.
            “Um.” Leesa ragu-ragu. Dia benar-benar tak ingin dompetnya berada terlalu jauh darinya, jika sewaktu-waktu dia membutuhkannya. Pakaian, sikat gigi, semua itu adalah barang-barang yang bisa dia tinggalkan atau ganti, tapi tidak dengan uang.
            “Biarkan aku mengeluarkan sesuatu dari tas itu dulu.”
            “Tentu. Aku akan keluar dan mengambil dua bir untuk kita.” Chase tertawa. “Dan meyakinkan tong itu sudah di suatu tempat yang jauh dari pandangan.”
            “Terima kasih. Segelas bir terdengar sangat bagus.” Untuk kedua kalinya dalam beberapa menit, Leesa terkejut dengan reaksinya sendiri. Dia bukan peminum, tapi setelah hari yang dia lalui, dan dengan perasaan yang mengaduknya, dia tentu bisa minum.
            “Bagus.” Pria itu memperlihatkan gigi putih yang cantik padanya, setelah itu menghilang.
            Leesa melihat ke sekeliling kamar. Sudah pasti para laki-laki yang mengerjakan ruangannya. Tidak banyak barang pribadi yang berada di sana, tapi apa itu, yang memenuhi lantai. Setidaknya ranjangnya rapi, kebaikan pembantu rumah tangga dia yakin.
            Chase akan kembali dalam sekejap, jadi Leesa menjatuhkan tasnya di ranjang terdekat dan mulai mencari-cari sampai menemukan dompetnya yang terkubur di paling bawah. Mungkin dia harus membawanya sepanjang waktu. Hidup ini, dunia bersembunyi dan mencari harga adalah hidupnya, semuanya terlalu baru. Dia berharap tidak berada dalam keadaan seperti itu dalam waktu lama untuk terbiasa.
            Pintu terbuka lagi dan Chase masuk, membawa dua gelas merah besar yang sama dengan yang dibawa Skeeter. “Ini dia.”
            Leesa mendorong dompetnya ke depan saku kaosnya yang kebesaran dengan nama kampusnya di bagian depan, dengan tulisan besar berwarna hitam. “Terima kasih.”
            Di samping soda dan kue kering yang diambilnya sembari menunggu Chase selesai dalam kegiatan tanda tangan, dia tak bisa mengingat terakhir kali dia makan. Mungkin kemarin malam sebelum bekerja. Bir dingin yang berbusa meluncur ke tenggorokannya dengan mudah. Terlalu mudah. Sebelum Leesa mengetahuinya, gelasnya hampir kosong, dan dia hanya mengambil tiga tegukan besar.
            Ada satu kursi, satu meja, dan dua ranjang. Menyadari hal itu, dia duduk di kursi, lalu meletakkan gelasnya yang hampir kosong ke atas meja. Chase duduk di pinggir tempat tidur yang paling dekat dengannya. Kamarnya tidak besar jadi mereka cukup dekat. Cukup dekat sehingga dia bisa melihat dengan jelas mata pria itu menatapnya lekat-lekat.
            Pria itu menyesap minumannya sedikit demi sedikit dari gelasnya. “Hei, kau lapar? Kita bisa memesan pizza. Kami menemukan tempatnya di menu yang bisa mengirimkan.”
            Dia tertawa, merasa sudah lebih ringan. “Tentu saja kau melakukannya. Bagaimana tentang pria dan pizza?”
            “Apa?” Pria itu mengerutkan dahi. “Itu makanan yang sempurna.”
            “Dan kenapa bisa begitu?” Rasanya hampir normal. Seperti percakapan dua orang yang tertarik lainnya setelah baru saja bertemu. Dia mengkilas balik pada pertemuan pertamanya dengan Chase kemarin malam, dan mengingat tak ada yang tipikal atau normal mengenai hal itu.
            “Itu mengandung karbohidrat, sayuran, mentega—daging juga jika kau memesannya dengan topping. Kau tak perlu garpu dan pisau, atau bahkan piring untuk memakannya. Serbet bisa dipilih, tergantung dari seberapa rapi yang kau inginkan dan jika kau berada di rombongan yang serabutan. Itu ada di kotak penyimpanannya, dan—ini adalah kunci—sisanya masih bagus saat dingin di pagi berikutnya ketika kau bangun.” Dia menjentikkan jarinya pada alasan terakhir dan menyeringai.
            “Lihat? Sempurna.”
            Leesa tersenyum. “Kau benar. Itu sempurna. Aku juga mau.” Dia merasa dia benar-benar bisa makan, dan lebih dari sekedar kue kering asin. Menjadi lapar lebih baik daripada dua belas jam terakhir saat semua yang dirasakannya seperti muntah.
            “Aku akan menemukan nomornya dan menelpon. Berikan aku waktu sejenak.” Pria itu melirik sekilas ke gelasnya. “Kau perlu bir lagi.”
            “Tidak. Aku pikir tidak usah.” Dia mengangkat tangannya.
            Pria itu mengabaikan protesnya dengan mengibaskan tangannya dan mengambil gelasnya. “Jangan bodoh. Ini pesta. Aku akan menelpon agar punya kita bisa diisi kembali.”
            Dia memperhatikan pria itu tidak bergerak untuk membawanya keluar dengannya dimana pria lainnya berada, atau bahkan membawa mereka masuk. Itu bagus untuknya. Dia jauh lebih aman di kamar ini yang tenang dan mereka tak akan menarik perhatian sekuriti atau pelanggan hotel lain yang mungkin mengeluhkan kebisingannya. Atau tongnya. Dia menggelengkan kepala.
            Pesta tong di salah satu hotel kasino terbagus di Vegas. Seluruh lantai dipenuhi koboi dengan seperti Chase, Garret, dan Skeeter. Hanya saja saat dia pikir segala sesuatu tak bisa menjadi lebih aneh lagi, daripada pelariannya dari bos dan kakak gangsternya, mereka melakukannya. Apakah dia telah jatuh ke lubang kelinci?
            Pintu terbuka dan menghentikan lamunannya, tapi alih-alih Chase, Garret menyerudukkan kepalanya kedalam.
            “Hei, maaf. Aku hanya ingin mengambil sesuatu.”
            Pria itu bergerak ke kulkas kecil dan menarik sebotol minuman keras dan beberapa kaleng soda.
            “Aku mencampur beberapa bourbon dan soda. Kau mau?”
            “Tidak, terima kasih.”
            Garret melihat dia sekilas dari posisinya dekat kulkas. “Kau tahu, kau terlihat familiar. Apa kau berada di pertandingan minggu ini?”
            Leesa heran lagi, pertandingan apa yang sedang dia bicarakan? Tapi setidaknya pertanyaannya yang lain terjawab—pria itu tidak mengingatnya dari kemarin malam. Apakah Chase mengenalnya?
            Dia menggelengkan kepalanya. “Tidak.”
            Pria itu menyeringai, cukup lebar untuk menandingi ekspresi Chase yang biasanya. “Kalau begitu kau melewatkan betapa hebatnya aku menunggang.”
            “Aku takut iya. Maaf.”
            Kedua tangan penuh, Garret mengangguk. “Tak apa-apa. Datanglah ke kamar sebelah dan aku akan menceritakannya padamu semuanya.”
            Pintunya menjeblak terbuka lagi dan Chase kembali mengintrupsi mereka. Kedua alisnya terangkat tinggi di bawah tepian topi koboinya saat melihat Garret berbicara dengannya. Dia dengan tajam menatap barang-barang yang lemah keseimbangannya di lengan Garret. “Sudah mendapatkan apa yang kau butuhkan?”
            “Yup.” Garret mengangguk tapi tidak bergerak untuk pergi.
            “Bagus. Biarkan aku membukakan pintu untukmu karena tanganmu penuh.” Dengan begitu, Chase secara efektif mengusirnya.
            Garret melemparkan pandangan ingn tahu sebelum memberi seringai pada Leesa. “Sampai jumpa lagi. Pergilah ke kamar sebelah saat kau bosan di sini.”
            Chase terlihat seperti ingin menendang pantat Garret gara-gara komen itu, tapi justru dia berkata, “Gadis yang undang dari M&G baru saja pergi dengan lift. Aku melihatnya pergi ke kamar Aaron dan Skeeter.”
            “Benarkah?” Garret membelalakkan matanya.
            “Yup.” Chase mengangguk, ekspresi puas dengan diri sendiri tergambar di wajahnya.
            Garret terlihat tidak bisa keluar dari ruangan dengan cukup cepat. Pintu terbanting di belakangnya dan dia bahkan tidak memandang mereka balik.
            Leesa tertawa. “Pasti itu gadis yang lainnya.”
            Chase memberikannya satu gelas yang tadi dibawanya dengan hanya satu tangan bersama gelas lain. Pinggirannya dipenuhi dengan busa. “Eh, dia adalah tipenya, bukan tipeku.”
            Leesa mengambil satu tegukan bir. Lagi-lagi itu meluncur dengan terlalu lancar di tenggorokannya. Dia harus benar-benar mengisi ulangnya dengan air dari bak westafel kamar mandi, sejak dia meminum apapun selama 24 jam terakhir. Dia tak menyadari betapa hausnya dirinya sejak mulai minum. Merasa sedikit pusing karena kekurangan makanan dan terlalu banyak bir, dia memutuskan untuk menanyakan pertanyaan yang paling penting di pikirannya, yang mungkin adalah ide buruk. “Bagaimana tipemu?”
            “Kau,” pria itu menjawabnya dengan satu kata, tapi cukup untuk membuat hatinya melayang. Lalu pria itu mengangkat gelas plastiknya padanya untuk bersulang dalam diam dan mengambil tegukan panjang.
            Berpikir bahwa Leesa mengira dirinya adalah tipe pemalu dan pendiam. Memang benar pria itu bukanlah bermulut besar, tapi saat dia berbicara, apa yang dia katakan bisa menohok. Leesa meletakkan gelas yang tersisa setengahnya dan penasaran kapan pizza-nya akan datang. Lalu dia menyadari bahwa untuk pertama kalinya selama lebih dari 12 jam, dia benar-benar melupakan tentang Jerry dan Bruno beserta sisanya selama beberapa menit. Leesa tak yakin apakah itu adalah hal yang baik atau buruk, dan saat ini dia tak peduli.
            “Aku memesan setengah pepperoni dan setengah biasa karena aku tak tahu apa yang kau sukai.” Kembali ke tenggerannya di ujung ranjang, Chase melanjutkan percakapan seolah-olah Garret tak pernah ada di sana sebelumnya.
            Leesa tersenyum. “Kau terlalu manis.”
            “Jangan biarkan hal itu mengelabuimu.” Senyum malaikatnya menyimpan sentuhan iblis dan dia menyesal tidak duduk di ranjang sebelahnya. Mungkin saat pizza-nya datang, dia akan memperbaikinya.
            Melihat sekilas koboi yang duduk berhadapan dengannya melalui pinggiran gelas merah besar miliknya, dia kembali menyesap. Dia bisa merasakan bahwa pria itu tak akan keberatan jika ia bergabung dengannya.
            “Jadi...” Koboi pemalu yang pertama kali ditemuinya kemarin malam, tiba-tiba kembali dengan kekuatan penuh seakan-akan dia menendangkan hak sepatu botnya ke karpet. “Pizza-nya seharusnya sudah datang.”
            “Yup, kupikir juga begitu. Tiga puluh menit atau kurang, bukan?” Dia benar-benar tersenyum. Betapa aneh rasanya. Rasanya seperti para pria itu mengejarnya bermil-mil jauhnya, saat dalam kenyataan mereka bisa turun ke bawah sekarang. Mungkin karena birnya. Mungkin karena itu bisa duduk dan tidak harus pindah, atau karena berada di belakang pintu di ruang pribat daripada di publik.  Atau karena Chase yang membuatnya merasa seperti ini. Apapun itu, dia merasa aman pada saat ini.
            Perintah Jerry untuk mencelakainya tak akan hilang, tapi untuk sementara dia bisa berpura-pura klub telanjang dan kehidupannya di sana tak pernah ada.
            “Um, jadi mengenai kemarin malam...” pipi Chase memerah di bawah bayang-bayang topi koboinya.
            Mungkin Leesa tak bisa berpura-pura kehidupannya di klub telanjang tak pernah ada sama sekali.
            “Yeah?” Hatinya jatuh. Sangat banyak baginya mengira-ngira, lebih kepada berharap, pria itu tak mengenalinya. Tuhan, dia benar-benar bodoh. Apa pria itu mengundangnya ke sini hanya untuk mendapatkan seks yang lebih?
            “Aku penasaran, berharap sebenarnya, bahwa kau datang ke M&G hari ini kau berubah pikiran.”
            Penjaga Leesa, yang tadi sedikit tergelincir, kembali ke tempatnya semula. “Berubah pikiran tentang apa?”
            “Saat aku mengajakmu keluar, kau bilang kau tak mengencani pelanggan. Aku berharap kau datang untuk menemukanku karena kau berubah pikiran mengenai hal itu. Atau kau tahu, jika kau tidak melakukannya, mungkin aku bisa menjanjikanmu untuk tidak pernah lagi menjadi pelanggan. Apa itu dihitung?”
            Leesa tertawa. Lagi-lagi pria itu membingungkan dan mengejutkannya. Apakah mungkin dia benar-benar semanis dan se-tak bersalah ini? Bahwa dia benar-benar hanya menginginkan kencan? “Kenapa kau ingin mengajakku keluar, Chase?”
            Pria itu menghela nafas panjang dan mengeluarkannya dengan perlahan. Lalu dia berdiri dan bergerak lebih dekat dengannya. Bertengger di ujung meja, dia mendorong dua gelas itu jauh-jauh darinya, kemudian menggenggam kedua tangannya. “Aku tahu apa yang kau pikirkan.”
            “Apa yang kupikirkan?” Hatinya sedikit berdebar. Tuhan, bagaimana dirinya menginginkan pria itu menjadi benar-benar semanis ini. Dia berharap dengan sekuat tenaga bahwa semua itu bukan hanya karena pria itu ingin membawanya ke tempat tidur.
            “Kau takut jika aku hanya mengajakmu keluar karena apa yang telah terjadi di antara kita pada akhirnya.” Pipi pria itu memerah tapi tetap memelihara kontak mata dan benar-benar serius.
            “Benarkah?”
            “Tidak. Maksudku jangan salah paham. Kau dan aku, bersama-sama, benar-benar luar biasa...”
            Dia tersenyum saat pria itu bicara tergesa-gesa dan wajahnya memerah. Pria itu pasti memperhatikan ekspresi gelinya dan tersenyum sendiri. “Aku tahu aku terlihat dan terdengar seperti baru saja terjatuh dari truk lobak.”
            Leesa tertawa mendengar hal itu. “Tidak...oke, sepertinya.”
            “Aku tahu itu mungkin terlihat seperti aku tipe pria yang tertarik pada gadis pertama yang memberiku perhatian, tapi aku sudah memiliki beberapa pengalaman, kau tahu, di bagian itu.”
            Dia merasakan kedua alisnya terangkat pada pernyataan pria itu. “Kau adalah pria yang imut, Chase. Aku yakin banyak gadis yang memberikanmu perhatian.”
            Pria itu buru-buru melanjutkan. “Aku mengatakan padamu hal itu karena aku ingin kau tahu bahwa kau dan aku...kemarin malam...bukan karena itu aku mengajakmu keluar. Aku sudah pernah dengan beberapa wanita, melakukan hal-hal yang lebih jauh dari yang kita lakukan.”
            Kegugupan dan wajah merahnya yang tiba-tiba muncul menunjukkan kenyataan bahwa pria itu tak terbiasa berbicara seperti ini.
            “Lalu kenapa kau mengajakku keluar?” Suaranya terdengar sama ragunya dengan yang ia rasakan.
            Chase menggenggam tangannya dengan lebih erat. “Karena aku menyukaimu.”
            “Kau tidak mengenalku.” Ia menggelengkan kepalanya.
            “Aku cukup tahu bahwa aku ingin lebih mengenalmu.”
            “Bukan karena kau ingin mengakhiri apa yang sudah kita mulai?”
            Pria itu menggelengkan kepalanya. “Astaga. Aku akan berbohong padamu jika aku tidak pernah memikirkan hal itu ratusan kali sejak kemarin malam. Aku pasti gila jika tak ingin bersama dengan wanita secantik dirimu. Tapi jika apa yang kuinginkan hanyalah berhubungan intim, aku bisa mengambil salah satu gadis di M&G seperti yang dilakukan oleh yang lainnya. Tak perlu makan malam. Astaga, tak ada perbincangan juga. Terdengar buruk, aku tahu, tapi jika itu yang dicari oleh pria, penunggang banteng bercinta dengan dengan para fans benar-benar sesuatu yang nyata.”
            Dari semua yang bisa diakui oleh pria untuknya, dan meskipun kelegaan yang dia rasakan karena pria itu tidak berbuat baik padanya hanya agar bisa masuk ke dalam celananya, hanya satu yang mengganjal pikirannya. “Penunggang banteng? Kau menunggangi banteng?”
            Pria itu tertawa seakan-akan dia bercanda, lalu menatapnya dengan lebih dekat, keterkejutan tergambar jelas di wajahnya. “Kau benar-benar tak tahu?”
            Leesa menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku kira, aku tak tahu, kau menunggangi kuda, kutebak.”
            Chase menyeringai lebar. “Bagus.”
            “Kenapa bagus?”
            “Karena itu berarti kau tidak datang ke M&G untuk menemui penunggang lain karena kau adalah seorang fan. Itu berarti kau benar-benar datang karena kau ingin melihatku lagi. Bagaimana kau mengetahuinya? Apakah salah satu dari mereka menyebutkan dimana kami berada hari ini?”
            “Ya, benar.” Leesa berharap itu memang benar. Dia merasa buruk karena berbohong, tapi dia tak bisa mengakui bahwa dia bertemu dengannya secaranya tak sengaja sementara dirinya bersembunyi untuk hidupnya.
            “Aku senang.” Pria itu meremas tangannya. “Kau tak pernah menjawabku. Apa kau sudah berubah pikiran soal kencan kita?”
            “Aku di sini, kan? Kita akan segera makan bersama.” Ia melirik sekilas ke gelasnya yang berada di dekat meja. “Dan kita juga minum-minum. Terdengar seperti kencan bagiku, bukan begitu?”
            “Ya, benar.” Pria itu menyeringai sampai sudut matanya berkerut.
            Sial, kenapa tiba-tiba dia terdorong untuk bercumbu dengan pria itu? Alasan yang sama yang dia harapkan bisa mereka lakukan saat kencan yang sebenarnya. Dia menyukainya. Sangat.
            “Kau bahkan membawaku ke kamarmu di kencan pertama kita.” Dia mengamati pria itu dari balik bulu matanya. Sementara itu dia berharap ini tidak akan menjadi satu-satunya kencan mereka.
            Merasa sedang aman pada saat ini berarti dia tak bisa lagi mengabaikan daya tarik hebat diantara mereka berdua. Kemana dia pikir hal ini bisa berlanjut? Segera dia harus menemukan cara untuk keluar dari kota bahkan meskipun dia tidak tahu akan pergi kemana. Dia kemungkinan besar tak akan bertemu dengan Chase lagi. Pemikiran itu memuakkan.
            “Aku memang membawaku ke atas sini, kan?” Chase bergeser lebih dekat. “Aku pasti sudah menjanjikan bir dan keripik yang menggiurkan.”
            Pandangan Leesa jatuh ke bibir pria itu dan membayangkan bagaimana rasanya. Itu adalah salah satu yang tidak mereka lakukan kemarin malam. Dia merasakan pria itu keras di tangannya, merasakan pria itu tegang saat datang, tapi dia tak pernah merasakan bibir itu di bibirnya. Tiba-tiba saja, dia menginginkannya. Saatnya tepat, atau setepat hal itu akan terjadi, ketika Chase menyondongkan tubuhnya lebih dekat.
            Mulut pria itu lembut saat menyatu dengan miliknya. Sentuhannya cukup keras untuk membiarkannya tahu bahwa pria itu mau menerima apapun yang akan ia berikan, tapi pastinya pria itu menginginkan lebih. Dia merasakan nafas memburu pria itu saat memiringkan kepalanya dan menggerakkan mulutnya pada miliknya. Dia berharap dirinya terasa pasta gigi daripada bir, tapi Chase tidak terlihat keberatan ketika tangan pria itu berpindah dari tangannya ke lengannya dan akhirnya ke wajahnya.  
            Pria itu merangkum wajahnya seolah-olah dia adalah boneka porselen yang takut dipecahkannya, tapi juga takut membiarkannya pergi. Dia menyukainya.
            Chase menarik diri hanya untuk berkata, “Aku menginginkanmu lebih dari apapun saat ini. Itulah kenapa aku akan berhenti menciummu.”
            “Apa?” Itu adalah hal terakhir yang diinginkan atau diharapkan didengarnya dari pria itu.
            “Bagaimana lagi kau akan mempercayaiku bahwa aku mengajakmu keluar karena aku menyukaimu, bukan karena aku ingin menyelesaikan apa yang sudah kita mulai?”
            “Salah satunya kau memang setulus yang terlihat, atau kau adalah pembohong terbaik dengan mengambil kesempatan terbaik yang pernah kutemui dalam hidupku.”
            Mengejutkannya, pria itu menyeringai. “Terkadang aku berharap bisa secepat laki-laki lain dalam mengambil kesempatan, tapi aku mendapatkan bahwa lebih mudah tetap pada kenyataan. Kecil kemungkinannya mendapatkan masalah dari kebohonganmu sendiri dengan cara itu.”
            Leesa menahan nafas. Jika saja dia punya kebebasan untuk menceritakan kebenaran saat ini juga tanpa membuatnya atau orang lain terbunuh. Dia tersenyum untuk menerangi suasana hatinya lagi. “Kau sangat pintar untuk ukuran hanya seorang anak.”
            Alis pirang pasir milik Chase terangkat. “Seorang anak, huh?”
            Leesa menyeringai. “Yeah.”
            “Aku akan menunjukkan padamu anak macam apa aku ini.” Senyumnya mengingkari nadanya saat pria itu mencondongkan tubuhnya lagi dan melakukan apa yang dijanjikannya. Dia menciumnya dengan seluruh gairah pria. Tak ada lagi jiwa anak laki-laki dalam dirinya, saat pria itu menarik kepalanya di tangannya dan mengklaim mulutnya.
            Lalu sebuah ketukan terdengar keras di pintu. Leesa melompat dan jantungnya mulai berdegup kencang sampai ia mendengar, “Pengiriman pizza.”
            Tersenyum, pria itu berdiri. “Terselematkan oleh pizza.”

            “Yeah.” Sayangnya.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger