“Siap untuk pergi ke
lantai atas?” Koboi itu menyelinap di depan wanita itu.
Wanita itu tak memperhatikannya sementara dia menatap
pintu. Dia harus memastikan Bruno dan teman-temannya tidak melenggang masuk ke
dalam tanpa tiket, atau entah bagaimana tidak membelinya, atau mungkin mendapatkan
tiket dengan cara yang kurang terhormat seperti dirinya. Mata Chase berkerut
dengan senyuman yang diarahkan padanya. Senyum sama yang dilihatnya kemarin
malam, pada saat pria itu mengajaknya kencan setelah membersihkan dirinya dari
apa yang telah dilakukannya padanya. Melihatnya di sini benar-benar kebetulan
yang aneh. Satu hal yang bekerja dalam kehati-hatiannya sehingga dia
menerimanya dengan senang hati.
Leesa telah menemukan selama waktunya berada di Vegas,
bahwa untuk kota yang besar, bisa menjadi sebuah dunia yang kecil. Pelariannya
pada pria yang sama yang diberikan tariannya merupakan perjuangan yang panjang,
ya, dan sesuatu seperti itu sudah pernah terjadi padanya sebelumnya. Setidaknya
ini bukan kebetulan yang tidak menyenangkan. Dari semua pria yang ditemuinya di
klub pada malam hari, pria ini mungkin satu-satunya orang yang paling
dipercayainya untuk menolongnya, tak ada pertanyaan apapun. Tak ada penjara
lidi profesional juga.
Pria itu mungkin berharap akan mengulangi kejadian semalam,
tapi dia tidak akan memaksanya. Leesa merasakan getaran itu darinya di klub.
Dia adalah seorang pria, ya, dia menarik, tapi dia juga seorang jentelmen dan
akan menghargai kata tidak...jika Leesa bisa mengatakan padanya tidak. Cara
pria itu membuatnya merasakan, dia tak yakin bisa mengatakan kata itu.
Apa yang aneh adalah Leesa tidak yakin apakah pria itu
mengenalinya atau tidak. Dia berpakaian berbeda di sana jadi tak ada alasan
bagi pria itu untuk menghubungkannya. Dia pikir dia melihat kilasan pengenalan
di wajah pria itu, tapi pria itu tidak mengatakan apapun atau mengingatnya dari
kemarin malam. Pria itu memang mengundangnya ke lantai atas, tapi dia tidak
yakin Chase benar-benar mengundang orang asing. Leesa sudah memperhatikan
beberapa koboi lain berbicara dengan gadis-gadis yang kelihatannya baru mereka
temui, dan beberapa dari mereka dengan senang hati ikut ke pesta ini juga.
Rupanya koboi populer dengan para wanita.
Apakah koboi manis tak berdosanya adalah seorang playboy?
Melirik sekilas ke arah pria itu lagi, dia menyadari bahwa ia akan berurusan
dengan Chase nanti. Yang terpenting sekarang adalah dia keluar dari area publik
sebelum dia tertangkap basah.
Memaksakan senyuman, dia mengangguk untuk menjawab
pertanyaan terakhir dari pria itu. “Aku siap.”
Jawabannya membuat seringaian yang bahkan lebih lebar
dari pria itu yang menunjukkan gigi putih dan kuatnya. Pria ini bisa menjadi
pria yang ada di poster untuk kehidupan pedesaan yang baik dan bagus.
“Bagus.” Pria itu memang imut. Dia meraih tangannya dan
mengaitkan jari-jarinya dengan miliknya, seolah-olah mereka adalah siswa SMA
dalam kencan pertama mereka. Leesa harus mengakui bahwa dia menyukainya. Tangan
kuat Chase yang menggenggam tangannya membuatnya merasa aman, tapi arah yang
ditujunya tidak. Ketika Chase menariknya ke pintu utama, dia menahan
sneakersnya dan menyentakkan genggaman pria itu.
Chase berhenti. “Apa kau melupakan sesuatu?”
“Um, tidak. Hanya saja banyak sekali orang di luar sana.
Mungkin kita bisa pergi melalui pintu belakang?” Dia sudah menjangkau semua
pintu keluar di belakang.
Rupanya Chase dan teman-temannya adalah selebriti,
meskipun dia tidak yakin artis dalam bidang apa. Orang-orang berjejer untuk
mendapatkan tanda tangan Chase, jadi mungkin pria itu diyakinkan untuk menghindari
adegan penyerbuan fans di lorong.
Pria itu berhenti dan melihat sekilas ke arah pintu
masuk. Untungnya hanya ada sekelompok kecil orang-orang yang berkeliaran di
luar sana. “Kupikir beberapa orang tidak mendapatkan tiket. Tentu. Kita bisa
menuju ke belakang jika kau mau. Meskipun kebanyakan selama balapan yang sudah
kulakukan tahun ini, aku tak yakin aku adalah satu-satunya orang yang akan
ditunggui oleh fans.”
Leesa mengangguk, tak mengerti seringai protes pria itu
atau kenapa caranya menunggang mendikte berapa banyak fans yang menunggunya.
Berpikir tentang hal itu, dia tidak yakin juga apa yang ditunggangi oleh pria
itu. Dia tebak, pasti kuda. Koboi menunggangi kuda, kan? Itu tak masalah. Leesa
merasa lega mereka akan keluar melalui pintu belakang, dimana kemungkinan kecil
dia akan dibunuh oleh Bruno dan skuad pukulnya.
Chase berhenti sejenak, melirik ke tas yang menggantung
di pundak Leesa yang beratnya agak ke kiri. “Apa kau mau aku membawakannya
untukmu? Kelihatannya cukup berat.”
“Um, tidak. Tak apa-apa. Ini tidak seberat itu.” Sial. Dia harus menjelaskan tas raksasa
yang sudah dibawanya kemana-mana. “Aku, uh, dalam perjalanan ke luar kota untuk
sedikit liburan. Aku hanya ingin membunuh waktu di kasino sebelum busku
berangkat.”
Membunuh waktu. Berusaha agar tidak terbunuh. Terserah.
“Kapan?”
Pertanyaan pria itu mengejutkannya. Dia benar-benar
pembohong yang buruk. “Apa?”
“Busmu. Kapan kau harus berangkat?”
“Oh, aku uh belum membuat rencana sebenarnya. Aku akan
menaiki bus kapanpun kumau.”
Pria itu menyeringai lebar. “Semangat bebas, huh?”
Leesa mengangatk bahu. “Yup, itulah aku. Aku pergi
kemanapun angin membawaku.”
Pria itu tak tahu betapa lucunya ide itu. Chase pasti tak
pernah melihat hidungnya di depan buku belajar selama 24/7 kembali ke kampus.
Dia terbiasa memiliki setiap saat yang terjadwal di setiap hari dan waktunya,
tepat di bawah makanannya dan saat dia mandi. Segala sesuatunya benar-benar
telah berubah.
“Aku senang mendengarnya.” Senyum pria itu yang begitu
lebar mengatakan yang sebenarnya.
“Kenapa?” Sial, dia bisa benar-benar menyukai pria ini.
“Karena mungkin dengan kau memiliki semangat bebas
artinya kau akan sedikit lama berada di sekitar sini.” Meskipun Chase
menyeringai dan dalam suasana hati yang baik, dia masih terlihat mencari tahu
melalui jiwanya saat pria itu menatapnya begitu dalam.
Leesa menelan ludahnya. “Mungkin.”
Untuk waktu yang lucunya terasa sangat lama, salah satu momen lain menyusup ke benak mereka. Tak
peduli jika ruangan penuh dengan orang-orang asing dan ramai. Itu seperti saat
terjadi di atas panggung klub, terasa bagaikan hanya mereka berdua yang ada di
dunia ini.
Leesa menepiskan perasaan itu. “Bisakah kita pergi ke
atas?”
“Tentu.”
Raut wajah Chase hanya bisa dikategorikan ke dalam riang
gembira. Lalu tangannya diremas oleh pria itu dan dia ditarik menuju ke pintu
belakang. Dia menahan nafas dengan takut saat Chase meraih pintu dan
mendorongnya lebar, lalu, dia memang jentelmen, menunggunya keluar terlebih
dulu.
Mengamati lorong, ke kiri lalu ke kanan, dia melihat
wajah-wajah yang ia takuti. Dia menarik topinya lebih rendah melebihi dahinya.
Melihat pantai sudah bersih sekarang, dia bertanya, “Jalan mana yang menuju ke
lift?”
Chase mengedikkan kepalanya ke kanan. “Ada di atas sini.”
Leesa mengangguk, berharap di atas sini dengan logat koboi berarti lebih dekat daripada lebih
jauh. Segera, dia pikir. Segera
mereka akan berada di lantai atas di kamar Chase, di lantai yang dia bilang
tadi akan sepenuhnya dikuasai oleh teman-teman koboinya, dan Bruno bersama
teman-teman pembunuhnya tak akan mampu menemukannya. Di samping itu, dari
sekarang mereka seharusnya mengikuti ponselnya di tas diaper keluarga yang tak
terduga.
Setiap langkah kakinya di lantai lorong terdengar
menggema di dinging dan kepalanya, seperti metronom yang mendetakkan waktu.
Waktu yang ia tahu tidak ia miliki. Waktu yang tak bisa ia sia-siakan jika
ingin bertahan hidup. Lalu Leesa mendengar suara familiar dan oh-sangat-ramah
“ding” yang terdengar di dekat lift. Dia hampir menangis karena suara itu.
Tangan Chase meremasnya dengan erat saat mereka berdiri
di depan pintu kuningan yang tertutup. Pria itu menekan tombolnya lalu
tersenyum padanya. Nantinya dia harus berurusan dengan jantungnya yang berdebar
setiap kali dia melihat pria itu. Lebih buruknya lagi, betapa kuatnya tubuhnya
bereaksi setiap kali pria itu melihatnya. Dia juga harus mencari tahu apakah
pria itu mengenalnya atau tidak. Tapi untuk sekarang, hanya dengan melihat
pintu lift bergeser sudah membuatnya senang.
Chase mengisyaratkan padanya untuk melangkah kedalam,
sebelum pria itu mengikutinya dengan langkah kecil di belakangnya. Pria itu
menekan tombol yang menuju ke lantainya. Salah satu dari nomor-nomor yang lebih
besar. Dia berusaha untuk tidak panik. Jika dia harus kabur ke lantai bawah,
itu akan menghambatnya. Lebih lama dengan setiap level dari lift menjauhi
tanah. Apa dia akan merasa aman lagi? Mungkin tidak. Bahkan jika dia kabur, dia
akan selalu melihat melalui bahunya, penasaran kapan mereka akan menangkapnya.
Bahkan tidak tahu menahu kenapa mereka menginginkannya mati.
Leesa pasti sudah mendesah tanpa menyadarinya. Saat ia
mendongak, Chase melihatnya dengan ekpresi prihatin di wajahnya. “Kau baik-baik
saja?”
Dia berusaha tersenyum. “Yeah, baik.”
Chase mengangguk, meskipun dia terlihat tidak terlalu
yakin dengan jawabannya. Lalu pintu terbuka dan tiba-tiba saja keributan dan
keramaian benar-benar jauh dari pikirannya. Leesa tentunya berharap teman-teman
Chase menghuni seluruh lantai, karena itu lebih terlihat seperti pesta
persaudaraan daripada hotel pada saat ini, sampai ke tong yang diletakkan dalam
ember besar yang diisi dengan es.
Cheese tidak melepaskan tangan Leesa, yang mana dia
berterima kasih untuk itu, tapi pria itu otomatis menarik keluar dari lift
sambil menggerutu. “Apa-apaan?”
Pria itu berhenti di depan pria yang Leesa kenali sebagai
koboi yang duduk di sebelah meja Chase hari ini, dan kemarin malam di klub.
“Jeez, Garret. Kau bilang kakaknya Aaron mengambil
beberapa bir, ukan sebuah tong. Apa kau tidak berpikir kita sedikit
memaksanya?”
Pria yang Chase panggil Garret mengangkat bahu. “Apa yang
bisa mereka lakukan? Melempar kita keluar?”
“Um, yeah. Sebenarnya mereka bisa.” Tubuh Chase tegang di
sebelah Leesa. Saat pria itu melihatnya lagi, tidak lagi dengan senyuman yang
biasanya.
Leesa sendiri tidak terlalu senang. Jika mereka
dikeluarkan dari sini, lalu apa yang akan dia lakukan? Dia akan kembali ke
tempat dimana dia berada satu jam yang lalu. Mungkin dia bisa melompati bus
seperti yang sebelumnya direncanakannya, tapi jika Jerry dan kakaknya punya
setengah otak, mereka akan mengawasi semua bus yang pergi sejak mereka tahu dia
berada di sini. Seorang anak yang kelihatannya baru saja lulus SMA mendekati
mereka, dengan segelas besar plastik merah di tangannya. Anak itu meneguk bir,
lalu melirik sekilas dari Chase ke Garret. “Ada apa dengan kalian berdua?”
“Ah, jees. Aku lupa bahkan Skeeter tak cukup tua untuk
minum. Kau tahu berapa banyak masalah yang akan kita dapatkan karena melayani
anak di bawah umur?” Chase menggerakkan sebelah tangannya yang bebas ke
wajahnya.
Garret menggelengkan kepalanya. “Oke, oke, santai saja.
Aku mendengarmu. Aku tak tahu kapan kau terjebak dalam lumpur, tapi aku akan
menanganinya. Skeeter, kau dan yang lain pindahkan tongnya ke kamarku.”
“Uh, tidak. Pindahkan ke kamar yang lain.” Chase melihat
sekilas ke Leesa, lalu kembali ke Garret.
Leesa memperhatikan kedua alis Garret naik. Pria itu
menyeringai angkuh dan mengangguk dengan perlahan. “Oh, baiklah. Aku mengerti.”
Saat pandangan Garret beralih ke Leesa, Chase
menggelengkan kepalanya. “Diamlah, Garret.”
“Apa?” Pandangan lebar tak bersalah milik Garret
tergambar terlalu nyata. “Aku tak mengatakan apapun.”
Dengusan yang dikeluarkan Chase mengatakan apa yang
dipikirkan mengenai jawabannya. Mungkin mereka berdua mengenali Leesa dari
klub. Dan setelah apa yang dilakukannya pada pria itu, mungkin mereka mengira
Chase akan sibuk dengannya di kamar itu. Tuhan, mungkin mereka pikir dia
melayani mereka semua dengan harga yang tepat. Itukah kenapa mereka membawanya
ke atas sini?
Dia selesai dengan dirinya sendiri dengan setuju
melakukan apa yang kemarin dia lakukan untuk uang. Leesa tidak seharusnya
peduli dengan yang Garret atau pria lainnya pikirkan tentangnya. Kenyataannya
adalah, dia tak bisa peduli sekarang. Dia harus menjaga dirinya sendiri aman.
Dia heran apa yang harus dilakukannya agar tetap seperti itu.
“Ayo.” Chase menariknya ke salah satu kamar yang lebih
jauh dari lorong. Dia tidak terlalu tertarik berada di sana lebih lama lagi.
Chase lebih selaras dengan emosinya daripada yang ia bayangkan. Pria itu
berhenti di tengah-tengah langkah.
“Maaf soal Garret tadi. Dia hanyalah orang idiot.
Biasanya aku lebih banyak mengabaikan semua perkataannya.” Saat dia hanya mengangguk
dan tidak mengatakan apapun, pria itu melanjutkan. “Mereka akan minum dari tong
itu sampai besok pagi. Aku berharap bisa tidur sebelum matahari terbit karena
aku harus menyetir besok.”
“Yeah, rencana yang bagus.” Sekali ketakutan dan
adrenalin meninggalkan tubuhnya, kesempatan yang bagus dia bisa tidur sambil
berdiri. Tuhan, Leesa ingin sekali tidur dengan aman di kamar Chase malam ini.
Dia benar-benar akan memberikan semuanya untuk kemewahan itu.
Chase memasukkan kartu kunci ke pintu. “Kau bisa meletakkan
tasmu di kamarku dan itu akan aman. Kau tak perlu memikulnya kemanapun di
pundakmu sepanjang malam.”
Leesa ingin sekali memikulnya kemanapun. Seluruh
hidupnya, semenyedihkan apapun jumlahnya di dalamnya, ada di dalam tas itu.
Maklum, tas itu berisi sikat gigi dan deodoran, beberapa pakaian ganti, dan
dompet compang-camping yang berisi seluruh uangnya sejak ia mengosongkan
rekeningnya di mesin ATM dalam perjalanannya ke kasino. Ada juga sebuah foto
tua dari keluarganya. Satu yang harus kau bawa ke mall selama liburan atau yang
lainnya, saat kau berpakaian yang cocok, biasanya sweater dengan warna
menjijikkan. Susah dipercaya hidupnya harus hilang dari hal itu ke hal
ini—melarikan diri dari hidupnya di Vegas tanpa apapun kecuali pakaian yang
harus dibawanya.
Dia melirik sekilas untuk mendapati Chase yang
mengawasinya lagi. “Um, terima kasih telah mengundangku ke pesta.”
Chase mengeluarkan dengusan yang mengejek. “Pesta. Yeah.
Maaf, aku tahu itu akan menjadi pesta tong saat aku mengajakmu. Mereka bisa
melebihi batas kadang-kadang.”
Leena mengangkat bahu. “Tak apa-apa. Aku ingat bagaimana
rasanya saat kuliah. Itulah yang anak-anak dapatkan saat kau mengumpulkan
mereka bersama.”
Chase tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Anak-anak.”
“Apa?”
“Kau tidak terlalu tua.” Pria itu melebarkan pintu
setelah menjentikkan tangannya ke saklar di dinding, menunggu Leesa masuk
sebelum ia mengikutinya kedalam.
“Aku jauh lebih tua daripada—bagaimana kau
memanggilnya—Skeeter? Darimana dia mendapatkan nama itu?”
Chase tertawa keras sekarang. “Aku akan menyuruhnya
memberitahumu.”
Ajaibnya, dia merasakan dirinya tersenyum. “Aku
menantinya”
Pintu menutup di belakang mereka dengan bunyi klik yang
jelas, dan Leesa merasakan kegelisahan baru dari hanya berdua saja dengan
Chase. Hampir gugup, seakan-akan dia menginginkan sesuatu terjadi, tapi di
waktu yang sama takut jika itu terjadi.
“Biarkan aku mengambilnya untukmu.” Pria itu meraih tali
tasnya.
“Um.” Leesa ragu-ragu. Dia benar-benar tak ingin
dompetnya berada terlalu jauh darinya, jika sewaktu-waktu dia membutuhkannya.
Pakaian, sikat gigi, semua itu adalah barang-barang yang bisa dia tinggalkan
atau ganti, tapi tidak dengan uang.
“Biarkan aku mengeluarkan sesuatu dari tas itu dulu.”
“Tentu. Aku akan keluar dan mengambil dua bir untuk
kita.” Chase tertawa. “Dan meyakinkan tong itu sudah di suatu tempat yang jauh
dari pandangan.”
“Terima kasih. Segelas bir terdengar sangat bagus.” Untuk
kedua kalinya dalam beberapa menit, Leesa terkejut dengan reaksinya sendiri.
Dia bukan peminum, tapi setelah hari yang dia lalui, dan dengan perasaan yang
mengaduknya, dia tentu bisa minum.
“Bagus.” Pria itu memperlihatkan gigi putih yang cantik
padanya, setelah itu menghilang.
Leesa melihat ke sekeliling kamar. Sudah pasti para laki-laki
yang mengerjakan ruangannya. Tidak banyak barang pribadi yang berada di sana,
tapi apa itu, yang memenuhi lantai. Setidaknya ranjangnya rapi, kebaikan
pembantu rumah tangga dia yakin.
Chase akan kembali dalam sekejap, jadi Leesa menjatuhkan
tasnya di ranjang terdekat dan mulai mencari-cari sampai menemukan dompetnya
yang terkubur di paling bawah. Mungkin dia harus membawanya sepanjang waktu.
Hidup ini, dunia bersembunyi dan mencari harga adalah hidupnya, semuanya
terlalu baru. Dia berharap tidak berada dalam keadaan seperti itu dalam waktu
lama untuk terbiasa.
Pintu terbuka lagi dan Chase masuk, membawa dua gelas
merah besar yang sama dengan yang dibawa Skeeter. “Ini dia.”
Leesa mendorong dompetnya ke depan saku kaosnya yang
kebesaran dengan nama kampusnya di bagian depan, dengan tulisan besar berwarna
hitam. “Terima kasih.”
Di samping soda dan kue kering yang diambilnya sembari
menunggu Chase selesai dalam kegiatan tanda tangan, dia tak bisa mengingat
terakhir kali dia makan. Mungkin kemarin malam sebelum bekerja. Bir dingin yang
berbusa meluncur ke tenggorokannya dengan mudah. Terlalu mudah. Sebelum Leesa
mengetahuinya, gelasnya hampir kosong, dan dia hanya mengambil tiga tegukan
besar.
Ada satu kursi, satu meja, dan dua ranjang. Menyadari hal
itu, dia duduk di kursi, lalu meletakkan gelasnya yang hampir kosong ke atas
meja. Chase duduk di pinggir tempat tidur yang paling dekat dengannya. Kamarnya
tidak besar jadi mereka cukup dekat. Cukup dekat sehingga dia bisa melihat
dengan jelas mata pria itu menatapnya lekat-lekat.
Pria itu menyesap minumannya sedikit demi sedikit dari
gelasnya. “Hei, kau lapar? Kita bisa memesan pizza. Kami menemukan tempatnya di
menu yang bisa mengirimkan.”
Dia tertawa, merasa sudah lebih ringan. “Tentu saja kau
melakukannya. Bagaimana tentang pria dan pizza?”
“Apa?” Pria itu mengerutkan dahi. “Itu makanan yang
sempurna.”
“Dan kenapa bisa begitu?” Rasanya hampir normal. Seperti
percakapan dua orang yang tertarik lainnya setelah baru saja bertemu. Dia
mengkilas balik pada pertemuan pertamanya dengan Chase kemarin malam, dan
mengingat tak ada yang tipikal atau normal mengenai hal itu.
“Itu mengandung karbohidrat, sayuran, mentega—daging juga
jika kau memesannya dengan topping. Kau tak perlu garpu dan pisau, atau bahkan
piring untuk memakannya. Serbet bisa dipilih, tergantung dari seberapa rapi
yang kau inginkan dan jika kau berada di rombongan yang serabutan. Itu ada di
kotak penyimpanannya, dan—ini adalah kunci—sisanya masih bagus saat dingin di
pagi berikutnya ketika kau bangun.” Dia menjentikkan jarinya pada alasan
terakhir dan menyeringai.
“Lihat? Sempurna.”
Leesa tersenyum. “Kau benar. Itu sempurna. Aku juga mau.”
Dia merasa dia benar-benar bisa makan, dan lebih dari sekedar kue kering asin.
Menjadi lapar lebih baik daripada dua belas jam terakhir saat semua yang
dirasakannya seperti muntah.
“Aku akan menemukan nomornya dan menelpon. Berikan aku
waktu sejenak.” Pria itu melirik sekilas ke gelasnya. “Kau perlu bir lagi.”
“Tidak. Aku pikir tidak usah.” Dia mengangkat tangannya.
Pria itu mengabaikan protesnya dengan mengibaskan
tangannya dan mengambil gelasnya. “Jangan bodoh. Ini pesta. Aku akan menelpon
agar punya kita bisa diisi kembali.”
Dia memperhatikan pria itu tidak bergerak untuk
membawanya keluar dengannya dimana pria lainnya berada, atau bahkan membawa
mereka masuk. Itu bagus untuknya. Dia jauh lebih aman di kamar ini yang tenang
dan mereka tak akan menarik perhatian sekuriti atau pelanggan hotel lain yang
mungkin mengeluhkan kebisingannya. Atau tongnya. Dia menggelengkan kepala.
Pesta tong di salah satu hotel kasino terbagus di Vegas.
Seluruh lantai dipenuhi koboi dengan seperti Chase, Garret, dan Skeeter. Hanya
saja saat dia pikir segala sesuatu tak bisa menjadi lebih aneh lagi, daripada
pelariannya dari bos dan kakak gangsternya, mereka melakukannya. Apakah dia
telah jatuh ke lubang kelinci?
Pintu terbuka dan menghentikan lamunannya, tapi alih-alih
Chase, Garret menyerudukkan kepalanya kedalam.
“Hei, maaf. Aku hanya ingin mengambil sesuatu.”
Pria itu bergerak ke kulkas kecil dan menarik sebotol
minuman keras dan beberapa kaleng soda.
“Aku mencampur beberapa bourbon dan soda. Kau mau?”
“Tidak, terima kasih.”
Garret melihat dia sekilas dari posisinya dekat kulkas.
“Kau tahu, kau terlihat familiar. Apa kau berada di pertandingan minggu ini?”
Leesa heran lagi, pertandingan apa
yang sedang dia bicarakan? Tapi setidaknya pertanyaannya yang lain
terjawab—pria itu tidak mengingatnya dari kemarin malam. Apakah Chase
mengenalnya?
Dia menggelengkan kepalanya. “Tidak.”
Pria itu menyeringai, cukup lebar untuk menandingi
ekspresi Chase yang biasanya. “Kalau begitu kau melewatkan betapa hebatnya aku
menunggang.”
“Aku takut iya. Maaf.”
Kedua tangan penuh, Garret mengangguk. “Tak apa-apa.
Datanglah ke kamar sebelah dan aku akan menceritakannya padamu semuanya.”
Pintunya menjeblak terbuka lagi dan Chase kembali
mengintrupsi mereka. Kedua alisnya terangkat tinggi di bawah tepian topi
koboinya saat melihat Garret berbicara dengannya. Dia dengan tajam menatap
barang-barang yang lemah keseimbangannya di lengan Garret. “Sudah mendapatkan
apa yang kau butuhkan?”
“Yup.” Garret mengangguk tapi tidak bergerak untuk pergi.
“Bagus. Biarkan aku membukakan pintu untukmu karena
tanganmu penuh.” Dengan begitu, Chase secara efektif mengusirnya.
Garret melemparkan pandangan ingn tahu sebelum memberi
seringai pada Leesa. “Sampai jumpa lagi. Pergilah ke kamar sebelah saat kau
bosan di sini.”
Chase terlihat seperti ingin menendang pantat Garret
gara-gara komen itu, tapi justru dia berkata, “Gadis yang undang dari M&G
baru saja pergi dengan lift. Aku melihatnya pergi ke kamar Aaron dan Skeeter.”
“Benarkah?” Garret membelalakkan matanya.
“Yup.” Chase mengangguk, ekspresi puas dengan diri
sendiri tergambar di wajahnya.
Garret terlihat tidak bisa keluar dari ruangan dengan
cukup cepat. Pintu terbanting di belakangnya dan dia bahkan tidak memandang
mereka balik.
Leesa tertawa. “Pasti itu gadis yang lainnya.”
Chase memberikannya satu gelas yang tadi dibawanya dengan
hanya satu tangan bersama gelas lain. Pinggirannya dipenuhi dengan busa. “Eh,
dia adalah tipenya, bukan tipeku.”
Leesa mengambil satu tegukan bir. Lagi-lagi itu meluncur
dengan terlalu lancar di tenggorokannya. Dia harus benar-benar mengisi ulangnya
dengan air dari bak westafel kamar mandi, sejak dia meminum apapun selama 24
jam terakhir. Dia tak menyadari betapa hausnya dirinya sejak mulai minum.
Merasa sedikit pusing karena kekurangan makanan dan terlalu banyak bir, dia
memutuskan untuk menanyakan pertanyaan yang paling penting di pikirannya, yang
mungkin adalah ide buruk. “Bagaimana tipemu?”
“Kau,” pria itu menjawabnya dengan satu kata, tapi cukup
untuk membuat hatinya melayang. Lalu pria itu mengangkat gelas plastiknya
padanya untuk bersulang dalam diam dan mengambil tegukan panjang.
Berpikir bahwa Leesa mengira dirinya adalah tipe pemalu
dan pendiam. Memang benar pria itu bukanlah bermulut besar, tapi saat dia
berbicara, apa yang dia katakan bisa menohok. Leesa meletakkan gelas yang
tersisa setengahnya dan penasaran kapan pizza-nya akan datang. Lalu dia
menyadari bahwa untuk pertama kalinya selama lebih dari 12 jam, dia benar-benar
melupakan tentang Jerry dan Bruno beserta sisanya selama beberapa menit. Leesa
tak yakin apakah itu adalah hal yang baik atau buruk, dan saat ini dia tak
peduli.
“Aku memesan setengah pepperoni dan setengah biasa karena
aku tak tahu apa yang kau sukai.” Kembali ke tenggerannya di ujung ranjang,
Chase melanjutkan percakapan seolah-olah Garret tak pernah ada di sana
sebelumnya.
Leesa tersenyum. “Kau terlalu manis.”
“Jangan biarkan hal itu mengelabuimu.” Senyum malaikatnya
menyimpan sentuhan iblis dan dia menyesal tidak duduk di ranjang sebelahnya.
Mungkin saat pizza-nya datang, dia akan memperbaikinya.
Melihat sekilas koboi yang duduk berhadapan dengannya
melalui pinggiran gelas merah besar miliknya, dia kembali menyesap. Dia bisa
merasakan bahwa pria itu tak akan keberatan jika ia bergabung dengannya.
“Jadi...” Koboi pemalu yang pertama kali ditemuinya
kemarin malam, tiba-tiba kembali dengan kekuatan penuh seakan-akan dia
menendangkan hak sepatu botnya ke karpet. “Pizza-nya seharusnya sudah datang.”
“Yup, kupikir juga begitu. Tiga puluh menit atau kurang,
bukan?” Dia benar-benar tersenyum. Betapa aneh rasanya. Rasanya seperti para
pria itu mengejarnya bermil-mil jauhnya, saat dalam kenyataan mereka bisa turun
ke bawah sekarang. Mungkin karena birnya. Mungkin karena itu bisa duduk dan
tidak harus pindah, atau karena berada di belakang pintu di ruang pribat
daripada di publik. Atau karena Chase
yang membuatnya merasa seperti ini. Apapun itu, dia merasa aman pada saat ini.
Perintah Jerry untuk mencelakainya tak akan hilang, tapi
untuk sementara dia bisa berpura-pura klub telanjang dan kehidupannya di sana
tak pernah ada.
“Um, jadi mengenai kemarin malam...” pipi Chase memerah
di bawah bayang-bayang topi koboinya.
Mungkin Leesa tak bisa berpura-pura kehidupannya di klub
telanjang tak pernah ada sama sekali.
“Yeah?” Hatinya jatuh. Sangat banyak baginya
mengira-ngira, lebih kepada berharap, pria itu tak mengenalinya. Tuhan, dia
benar-benar bodoh. Apa pria itu mengundangnya ke sini hanya untuk mendapatkan
seks yang lebih?
“Aku penasaran, berharap sebenarnya, bahwa kau datang ke
M&G hari ini kau berubah pikiran.”
Penjaga Leesa, yang tadi sedikit tergelincir, kembali ke
tempatnya semula. “Berubah pikiran tentang apa?”
“Saat aku mengajakmu keluar, kau bilang kau tak
mengencani pelanggan. Aku berharap kau datang untuk menemukanku karena kau
berubah pikiran mengenai hal itu. Atau kau tahu, jika kau tidak melakukannya,
mungkin aku bisa menjanjikanmu untuk tidak pernah lagi menjadi pelanggan. Apa
itu dihitung?”
Leesa tertawa. Lagi-lagi pria itu membingungkan dan
mengejutkannya. Apakah mungkin dia benar-benar semanis dan se-tak bersalah ini?
Bahwa dia benar-benar hanya menginginkan kencan? “Kenapa kau ingin mengajakku
keluar, Chase?”
Pria itu menghela nafas panjang dan mengeluarkannya
dengan perlahan. Lalu dia berdiri dan bergerak lebih dekat dengannya.
Bertengger di ujung meja, dia mendorong dua gelas itu jauh-jauh darinya,
kemudian menggenggam kedua tangannya. “Aku tahu apa yang kau pikirkan.”
“Apa yang kupikirkan?” Hatinya sedikit berdebar. Tuhan,
bagaimana dirinya menginginkan pria itu menjadi benar-benar semanis ini. Dia
berharap dengan sekuat tenaga bahwa semua itu bukan hanya karena pria itu ingin
membawanya ke tempat tidur.
“Kau takut jika aku hanya mengajakmu keluar karena apa
yang telah terjadi di antara kita pada akhirnya.” Pipi pria itu memerah tapi
tetap memelihara kontak mata dan benar-benar serius.
“Benarkah?”
“Tidak. Maksudku jangan salah paham. Kau dan aku,
bersama-sama, benar-benar luar biasa...”
Dia tersenyum saat pria itu bicara tergesa-gesa dan
wajahnya memerah. Pria itu pasti memperhatikan ekspresi gelinya dan tersenyum
sendiri. “Aku tahu aku terlihat dan terdengar seperti baru saja terjatuh dari
truk lobak.”
Leesa tertawa mendengar hal itu. “Tidak...oke,
sepertinya.”
“Aku tahu itu mungkin terlihat seperti aku tipe pria yang
tertarik pada gadis pertama yang memberiku perhatian, tapi aku sudah memiliki
beberapa pengalaman, kau tahu, di bagian itu.”
Dia merasakan kedua alisnya terangkat pada pernyataan
pria itu. “Kau adalah pria yang imut, Chase. Aku yakin banyak gadis yang
memberikanmu perhatian.”
Pria itu buru-buru melanjutkan. “Aku mengatakan padamu
hal itu karena aku ingin kau tahu bahwa kau dan aku...kemarin malam...bukan
karena itu aku mengajakmu keluar. Aku sudah pernah dengan beberapa wanita,
melakukan hal-hal yang lebih jauh dari yang kita lakukan.”
Kegugupan dan wajah merahnya yang tiba-tiba muncul
menunjukkan kenyataan bahwa pria itu tak terbiasa berbicara seperti ini.
“Lalu kenapa kau mengajakku keluar?” Suaranya terdengar
sama ragunya dengan yang ia rasakan.
Chase menggenggam tangannya dengan lebih erat. “Karena
aku menyukaimu.”
“Kau tidak mengenalku.” Ia menggelengkan kepalanya.
“Aku cukup tahu bahwa aku ingin lebih mengenalmu.”
“Bukan karena kau ingin mengakhiri apa yang sudah kita
mulai?”
Pria itu menggelengkan kepalanya. “Astaga. Aku akan
berbohong padamu jika aku tidak pernah memikirkan hal itu ratusan kali sejak
kemarin malam. Aku pasti gila jika tak ingin bersama dengan wanita secantik
dirimu. Tapi jika apa yang kuinginkan hanyalah berhubungan intim, aku bisa
mengambil salah satu gadis di M&G seperti yang dilakukan oleh yang lainnya.
Tak perlu makan malam. Astaga, tak ada perbincangan juga. Terdengar buruk, aku
tahu, tapi jika itu yang dicari oleh pria, penunggang banteng bercinta dengan
dengan para fans benar-benar sesuatu yang nyata.”
Dari semua yang bisa diakui oleh pria untuknya, dan
meskipun kelegaan yang dia rasakan karena pria itu tidak berbuat baik padanya
hanya agar bisa masuk ke dalam celananya, hanya satu yang mengganjal
pikirannya. “Penunggang banteng? Kau menunggangi banteng?”
Pria itu tertawa seakan-akan dia bercanda, lalu
menatapnya dengan lebih dekat, keterkejutan tergambar jelas di wajahnya. “Kau
benar-benar tak tahu?”
Leesa menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku kira, aku tak
tahu, kau menunggangi kuda, kutebak.”
Chase menyeringai lebar. “Bagus.”
“Kenapa bagus?”
“Karena itu berarti kau tidak datang ke M&G untuk
menemui penunggang lain karena kau adalah seorang fan. Itu berarti kau
benar-benar datang karena kau ingin melihatku lagi. Bagaimana kau
mengetahuinya? Apakah salah satu dari mereka menyebutkan dimana kami berada
hari ini?”
“Ya, benar.” Leesa berharap itu memang benar. Dia merasa
buruk karena berbohong, tapi dia tak bisa mengakui bahwa dia bertemu dengannya
secaranya tak sengaja sementara dirinya bersembunyi untuk hidupnya.
“Aku senang.” Pria itu meremas tangannya. “Kau tak pernah
menjawabku. Apa kau sudah berubah pikiran soal kencan kita?”
“Aku di sini, kan? Kita akan segera makan bersama.” Ia
melirik sekilas ke gelasnya yang berada di dekat meja. “Dan kita juga
minum-minum. Terdengar seperti kencan bagiku, bukan begitu?”
“Ya, benar.” Pria itu menyeringai sampai sudut matanya
berkerut.
Sial, kenapa tiba-tiba dia terdorong untuk bercumbu
dengan pria itu? Alasan yang sama yang dia harapkan bisa mereka lakukan saat
kencan yang sebenarnya. Dia menyukainya. Sangat.
“Kau bahkan membawaku ke kamarmu di kencan pertama kita.”
Dia mengamati pria itu dari balik bulu matanya. Sementara itu dia berharap ini
tidak akan menjadi satu-satunya kencan mereka.
Merasa sedang aman pada saat ini berarti dia tak bisa
lagi mengabaikan daya tarik hebat diantara mereka berdua. Kemana dia pikir hal
ini bisa berlanjut? Segera dia harus menemukan cara untuk keluar dari kota
bahkan meskipun dia tidak tahu akan pergi kemana. Dia kemungkinan besar tak
akan bertemu dengan Chase lagi. Pemikiran itu memuakkan.
“Aku memang membawaku ke atas sini, kan?” Chase bergeser
lebih dekat. “Aku pasti sudah menjanjikan bir dan keripik yang menggiurkan.”
Pandangan Leesa jatuh ke bibir pria itu dan membayangkan
bagaimana rasanya. Itu adalah salah satu yang tidak mereka lakukan kemarin
malam. Dia merasakan pria itu keras di tangannya, merasakan pria itu tegang
saat datang, tapi dia tak pernah merasakan bibir itu di bibirnya. Tiba-tiba
saja, dia menginginkannya. Saatnya tepat, atau setepat hal itu akan terjadi,
ketika Chase menyondongkan tubuhnya lebih dekat.
Mulut pria itu lembut saat menyatu dengan miliknya.
Sentuhannya cukup keras untuk membiarkannya tahu bahwa pria itu mau menerima
apapun yang akan ia berikan, tapi pastinya pria itu menginginkan lebih. Dia
merasakan nafas memburu pria itu saat memiringkan kepalanya dan menggerakkan
mulutnya pada miliknya. Dia berharap dirinya terasa pasta gigi daripada bir,
tapi Chase tidak terlihat keberatan ketika tangan pria itu berpindah dari
tangannya ke lengannya dan akhirnya ke wajahnya.
Pria itu merangkum wajahnya seolah-olah dia adalah boneka
porselen yang takut dipecahkannya, tapi juga takut membiarkannya pergi. Dia
menyukainya.
Chase menarik diri hanya untuk berkata, “Aku menginginkanmu
lebih dari apapun saat ini. Itulah kenapa aku akan berhenti menciummu.”
“Apa?” Itu adalah hal terakhir yang diinginkan atau
diharapkan didengarnya dari pria itu.
“Bagaimana lagi kau akan mempercayaiku bahwa aku
mengajakmu keluar karena aku menyukaimu, bukan karena aku ingin menyelesaikan
apa yang sudah kita mulai?”
“Salah satunya kau memang setulus yang terlihat, atau kau
adalah pembohong terbaik dengan mengambil kesempatan terbaik yang pernah
kutemui dalam hidupku.”
Mengejutkannya, pria itu menyeringai. “Terkadang aku
berharap bisa secepat laki-laki lain dalam mengambil kesempatan, tapi aku
mendapatkan bahwa lebih mudah tetap pada kenyataan. Kecil kemungkinannya
mendapatkan masalah dari kebohonganmu sendiri dengan cara itu.”
Leesa menahan nafas. Jika saja dia punya kebebasan untuk
menceritakan kebenaran saat ini juga tanpa membuatnya atau orang lain terbunuh.
Dia tersenyum untuk menerangi suasana hatinya lagi. “Kau sangat pintar untuk
ukuran hanya seorang anak.”
Alis pirang pasir milik Chase terangkat. “Seorang anak,
huh?”
Leesa menyeringai. “Yeah.”
“Aku akan menunjukkan padamu anak macam apa aku ini.”
Senyumnya mengingkari nadanya saat pria itu mencondongkan tubuhnya lagi dan
melakukan apa yang dijanjikannya. Dia menciumnya dengan seluruh gairah pria.
Tak ada lagi jiwa anak laki-laki dalam dirinya, saat pria itu menarik kepalanya
di tangannya dan mengklaim mulutnya.
Lalu sebuah ketukan terdengar keras di pintu. Leesa
melompat dan jantungnya mulai berdegup kencang sampai ia mendengar, “Pengiriman
pizza.”
Tersenyum, pria itu berdiri. “Terselematkan oleh pizza.”
“Yeah.” Sayangnya.
Post a Comment