Sudah berpakaian
lengkap dan tak pergi kemanapun sampai shift mereka dimulai, Leesa dan Holly
mengambil secangkir kopi dari cerek yang selalu terisi di belakang bar. Kembali
ke ruang ganti, mereka meminum kafein itu sedikit demi sedikit dari cangkir
kertas dan kembali berbincang tentang semuanya atau tidak berbincang apa-apa,
mengisi waktu sampai kerja malam yang panjang dimulai.
Salah satu gadis dari shif siang melenggang dengan parfum
yang terlalu banyak dan mengganggu percakapan mereka, tapi tidak dengan
perhatian serius Leesa mengenai apa yang telah mereka bahas sebelumnya. Solusi
dari Holly untuk masalah keuangan Leesa menggodanya.
“Hei, Holly! Hey, Lisa! Dua gadis baru itu masih belum
ada di sini?”
Holly cemberut dan menggelengkan kepalanya. “Belum.
Mereka akan datang terlambat seperti biasanya.”
“Kalau begitu kalian berdua yang tampil. Aku sudah
selesai dan Tiffany baru saja selesai sekarang. Oh, dan kalian akan mendapati
seorang pemuda yang berulang tahun di sana, jadi kalian akan membutuhkan
borgol. Tiff akan menunjukkannya pada kalian.”
Holly menyeringai, mengambil sepasang borgol berbulu dari
lokernya. “Aku suka pemuda yang berulang tahun.”
Leesa tak bisa bilang dia menyukai rutinitas
pemuda-berulang tahun mereka, tapi rasanya itu perubahan menyenangkan dari yang
biasanya. Pada titik ini, setelah memamerkan kelebihan di atas panggung selama
berbulan-bulan, apapun yang berbeda terasa menyenangkan, dia harap. Dia keluar
mengikuti Holly. Tepian rok mini mengenai pipi pantat telanjangnya di setiap
langkahnya.
Di atas panggung, Tiffani sedang memunguti
potongan-potongan pakaiannya yang tadi dibuang dan tips terakhirnya. Saat musik
berganti, dia berjalan kembali menghadap Leesa dan Holly. Dia berhenti di depan
mereka sambil mengacungkan sebelah tinjunya. “Pria pemalu yang memakai topi
putih besar sedang berulang tahun. Temannya bilang berikan saja apapun yang
kita punya, termasuk ruang belakang. Pria yang lainnya sudah membayar. Aku
berharap bisa tetap berada di sini, tapi aku harus menjemput anakku dari rumah
pengasuhnya.”
“Tak apa-apa. Kami akan memperlakukannya dengan baik.”
Holly menatap sekilas sekumpulan koboi bising yang kira-kira jumlahnya setengah
lusin dan tersenyum pada Leesa. “Kau ingin mengajaknya ke ruang belakang
nanti?”
“Apa?” Leesa menoleh pada Holly, lalu kembali melihat
koboi itu dengan tanya.
“Ayolah. Itu sempurna! Dia sangat muda dilihat dari
wajahnya. Mungkin tak pernah mendapatkan lap dance-nya sepanjang
hidupnya. Dia akan menjadi pria yang sempurna untuk memotong gigimu.”
“Gigiku?” Leesa terengah-engah pada sugesti itu.
“Santai saja. Maksudku bukan menggunakan gigimu yang
sesungguhnya, kecuali kau mau menggunakannya tentu saja. Itu hanya sebuah
ekspresi. Maksudku, dia sempurna untuk perampokan uang ekstra pertamamu.
Lihatlah dia. Dia mungkin datang di menit Cat
Johnson saat udara menyentuh ‘itu’nya. Pria muda menyelesaikannya dengan
sangat cepat jika mereka tak terlalu mabuk. Jika dia, mungkin kau akan mendapatkannya
dalam jangka waktu yang panjang. Tapi dia imut. Tak akan terlalu buruk jika kau
menghabiskan waktu ekstramu dengannya.”
Leesa melihat sekilas ke arah mereka lagi, dan mencoba
memperkirakan sudah berapa lama mereka berada di sana dan sudah berapa banyak
yang mereka konsumsi. Dia sadar apa yang sedang dia lakukan dan membuang
pandangannya. Dia terlihat tidak bisa mengatakan tidak pada Holly, terutama
karena dia masih serius mempertimbangkan untuk melakukannya.
“Kau mau memikirkannya lagi? Tak ada tekanan. Aku memang
sangat menyukai koboi. Kelihatannya banyak dari mereka yang bisa diajak
berkeliling, tapi aku akan senang mengambilnya kembali jika kau tak mau
melakukannya.” Holly menjeda perkataannya dan menunggu jawaban, sembari menatap
sekelompok pria muda yang membuatnya otomatis mengeluarkan air liur.
Seorang tukang pukul sudah meletakkan sebuah kursi di
atas panggung. Mereka harus segera pergi ke sana dan memulai pertunjukannya.
Leesa melihat sekali lagi ke sekelompok pria yang sedang merayakan pesta ulang
tahun, menenggak bir, dan tertawa. Bisakah dia melakukan apa yang Holly ingin
dia lakukan? Apa dia punya pilihan lain? Mungkin dia bisa memperoleh shift di
restoran lokal untuk mendapatkan uang yang lebih banyak. Mungkin dia memang
bertindak bodoh, seperti yang Holly bilang. Apa yang akan dilakukan selama
beberapa menit di belakang? Apa yang akan terjadi dan siapa yang akan menjadi
pilihannya. Dia bisa membayar biaya tagihannya dan menabung cukup uang untuk
kembali kuliah dan menyelesaikan sarjananya.
Apa yang harus dia cemaskan? Dia cukup aman di klub.
Kembali menatap sekilas pada koboi itu, dia melihat bahwa pria itu tidak
terlihat seperti tipe yang berbahaya. Bahkan rasanya seperti sebuah batu
mendarat dengan bergedebuk di perutnya, Leesa menggelengkan kepalanya. “Tak
apa-apa. Kau tak harus mengambilnya, Holly. Aku yang akan melakukannya.”
Dia mencoba meneguk ludah untuk membasahi tenggorokannya
yang tiba-tiba kering.
Holly menyeringai. “Bagus untukmu. Sekarang ayo. Waktunya
pertunjukan.”
Mereka sudah sering melakukan pertunjukan ulang tahun
berkali-kali pada bulan-bulan Leesa berada di klub telanjang. Biasanya seorang
pria seperti yang lainnya. Dia tak pernah memperhatikannya sebagai sosok
individu, tapi saat Holly memastikan subyek mereka dengan tangan saat di atas
panggung, Leesa mendapati dirinya benar-benar mempelajari pria yang satu ini.
Benar-benar memalukan, dia menggelengkan kepalanya dan
menarik tangannya dari genggaman Holly. Dia berusaha dengan setengah hati
kembali duduk dengan pria lainnya daripada ditarik ke area lampu sorot. Bahkan
saat dia menertawakan olokan dari para pria lainnya, wajahnya seperti bilang
bahwa dia lebih baik menjadi pengamat daripada menjadi pusat perhatian,
khususnya saat Holly mendorongnya ke kursi di atas panggung. Jakunnya bergerak
liar di tenggorokannya saat Holly memborgol pergelangan tangannya di belakang
kursi.
Holly memulai pertunjukan, mengelilinginya seperti seekor
hewan yang tengah mengukur mangsanya sementara kerumunan bersorak. Bahkan di
bawah lampu sorot terang yang akan menghilangkan semuanya kecuali warna-warna
yang paling kuat, Leesa bisa melihat wajah pria itu mulai memerah. Keterkejutan
pria itu hampir terpampang jelas, saat Holly menggoyangkan korsetnya dan
memantulkan dadanya hanya dalam jarak beberapa inchi di depan wajahnya. Lalu
Holly berpaling darinya untuk menghadapi orang-orang yang kagum, dan mulai
berjalan angkuh menuju ke ujung panggung, meninggalkan koboi itu sendirian yang
menatapnya pergi. Dia tampak hampir lega saat Holly sudah pergi dan mengambil
perhatiannya.
Kasihan pria itu. Sedikit yang pria itu tidak tahu bahwa
itu adalah isyarat bagi Leesa untuk bergabung dengan rutinitas. Setelah menaiki
tangga menuju ke atas panggung, Leesa memutari kursi. Holly kembali dan mereka
memburu pria itu bersama-sama, sementara ekspresi wajah dari pria menyedihkan
itu hampir membuat orang tertawa, perpaduan antara malu dan antisipasi, seperti
tidak yakin apakah yang akan terjadi itu baik atau buruk.
Entah kenapa perasaan malu dari pria itu memberi semangat
pada Leesa. Berdiri menghadap pria itu, Leesa membungkuk dari pinggang,
memberikan pantatnya pada para penonton. Siulan dan panggilan dari penonton
dengan jelas memberikan apresiasi mereka. Mengaitkan tangan pada masing-masing
lutut pria itu, Leesa menarik pahanya terpisah dan membuka kakinya lebar-lebar.
Mata pria itu membelalak saat melihat tindakan itu. Leesa tertawa dan merasakan
gelora kekuasaan di dalam dirinya.
Dilihat dari dekat, pria itu terlihat beberapa tahun
lebih muda dari usianya sendiri. Pria itu mungkin datang langsung dari
peternakannya kesini, di Kota Dosa, untuk satu malam yang liar. Dia bisa
memberikannya. Satu malam yang tak akan pernah bisa dilupakan oleh pria itu.
Dia menyukai ide itu. Sembari tersenyum, dia membungkuk lebih dekat ke telinga
pria itu, agar dia bisa mendengar suaranya di tengah-tengah keriuhan. “Santai
saja, koboi. Nikmatilah.”
Pria itu melompat saat ia bicara. Dia mendorong pria itu
agar bisa melihat tatapan rusa yang terfokus padanya. Pria itu menelan ludahnya
dengan kuat, lalu mengangguk lagi. “Ya, Nyonya.”
Leesa tersenyum melihat kesopanannya bahkan dalam situasi
ini saat dia mengaturnya. Pria itu semanis saat pertama kali muncul. Leesa
menyukai kenyataan bahwa pria itu terlihat tidak berdosa dan cenderung bersih.
Untuk beberapa alasan, dia ingin mengotorinya sendikit. Sekarang saat dia
melingkupkan kepalanya ke sekitar pria itu untuk memberikan sesuatu yang akan
diingatnya malam ini, dia benar-benar sudah tak sabar untuk memulainya.
Melangkahkan kakinya di antara kedua lutut pria itu,
Leesa membalikkan punggungnya menghadap sang pria dan melepaskan roknya. Dia
menggoyangkan pipi pantatnya di depan wajah pria itu yang diiringi oleh
teriakan dari para koboi lain. Leesa tidak bisa menahan diri untuk melirik dari
balik bahunya. Dengan mulut sedikit menganga, pria itu terpukau oleh pantatnya.
Pandangan Leesa turun dan yeah, bagian lainnya dari pria itu memperhatikannya
juga. Tercetak jelas di celana jinsnya, dan harus Leesa akui, ‘itu’ terlihat
mengesankan dari tempatnya berdiri.
Saat Leesa merasa tegang karena melihat dari balik
bahunya, Holly melangkah ke belakang pria itu dan menggerayangi kemeja depan
sang pria dengan kedua tangannya, lalu mulai melepaskan kancingnya. Holly
menyentakkan bagian yang dimasukkan rapi ke dalam celana jins, dan membuka
kemeja itu untuk menyingkapkan dada yang
hampir tak berbulu. Dia ramping, tapi pasti cocok dilihat dari garis tajam pada
otot-otot dada dan perutnya.
Sementara itu, sang koboi menggeliat di kursinya di bawah
pengawasan. Menghadap sepenuhnya pada pria itu lagi, Leesa menyusurkan sepatu
bot berhak tinggi dari kulitnya ke ujung kursi di antara kedua paha pria itu.
Pandangan pria itu turun ke kaki jenjang yang terekspos di depannya. Secara
visual, dia mengikuti garis paha Leesa hingga sampai ke G-string berkilau yang
menutupi apa yang menurut hukum harus ditutupi, tapi tidak banyak.
Sementara Holly mengitari panggung untuk mengumpulkan
beberapa kertas dollar, Leesa membawa pertunjukan ke level berikutnya. Leesa
mengangkangi koboi itu yang wajahnya memerah karena malu dan semakin
mendekatinya. Satu-satunya benda yang memisahkan mereka hanyalah G-stringnya,
celana jins denim pria itu, dan pakaian dalam apapun yang dikenakannya. Leesa
tidak bisa berhenti mengagumi seperti apa itu tepatnya. Dia harap dia akan
segera mencari tahu tentang pakaian dalam itu sesegera mungkin.
Saat menggoyangkan pinggulnya, Leesa merasakan tonjolan
di celana jins itu secara langsung. Ia melihat nafas memburu pria itu karena
kontak mereka. Dia sendiri tidak bisa menahan engahannya saat gesekan pada
tonjolan pria itu membuatnya gelisah bukan main. Sekarang saat kemaluannya
keluar dari hibernasi, dia benar-benar harus melampiaskannya. Dia bertemu pandang
dengan pria itu dan merasakan pipinya menghangat. Wajah mereka begitu dekat,
pria itu pasti bisa melihatnya bergairah.
Meskipun di tempat umum dan fakta bahwa seharusnya itu
semua hanya untuk pertunjukan, entah bagaimana berubah menjadi momen yang
intim. Leesa menghilangkan pemikiran itu dari kepalanya. Dia tidak pernah
bersama seorang pria sejak ia putus dengan mantan pacar busuknya. Dia bahkan
tak pernah melihat pria dengan ketertarikan seksual atau romantis sejak saat
itu, karena dia sudah mati rasa setelah bersama mantannya. Tapi sekarang dia
bergairah lagi.
Teriakan keras dari teman-teman pria itu mengingatkannya
akan fakta bahwa dia di sini untuk menghibur penonton, jadi dia melakukannya. Leesa
menebas dua sisi rompinya beberapa inchi dari wajah koboi itu. Di bawah
pinggiran topi pria itu, mata birunya mengikuti aksinya sebelum kembali bertemu
dengan matanya. Selama sejenak waktu terasa berhenti. Mereka seperti tidak lagi
berada di bawah lampu sorot yang panas di ruangan yang riuh dan ramai. Bayangan
gila masuk ke dalam pikirannya karena melihat kedua mata itu, saat pria itu
menindihnya di atas tempat tidur. Kebutuhan mendesak di dalam dirinya memohon
untuk segera dilepaskan.
Tubuhnya bereaksi dengan naluri binatang. Pria itu adalah
contoh laki-laki yang diinginkan, dan dia adalah seorang wanita yang tak pernah
bersama dengan pria seperti itu sementara ini. Itu menjelaskan semburan hangat
yang dia rasakan di antara kedua kakinya. Dia menekan sekali lagi tonjolan di
bawah celana denim itu dengan kasar, sebelum dia bangkit dan berbalik menghadap
penonton. Dia mungkin memainkannya untuk mendapatkan tips dari penonton, tapi
Leesa mengingat janjinya pada Holly.
Segera dia akan dekat secara pribadi dengan pria ini.
Secepatnya. Dia berusaha untuk tidak membiarkan pikiran-pikiran kuat yang tak
diinginkan mengenai pria asing ini menakutinya. Terakhir kali dia merasakan hal
yang seperti ini pada seorang pria, ia membiarkan bagian-bagian tubuhnya selain
otak melakukan keputusan paling buruk dalam hidupnya. Dia berakhir dengan
dikeluarkan dari kampus di tahun terakhirnya. Itulah yang menyebabkannya berada
di sini sekarang, hampir telanjang di atas panggung di bar yang penuh dengan
pria, dan akan mengajak salah satu dari mereka kembali ke ruang khusus untuk
mendapatkan uang dengan menyenangkannya.
Pemikiran itu menimbulkan ketakutan di hatinya, bahkan
perutnya merasa gelisah saat memikirkan akan sendirian bersama pria itu—intim dengannya—seorang
pria yang wajahnya memerah dan memanggilnya nyonya, dan pada waktu yang sama
memenuhi hasratnya setelah sekali menatap mata biru itu. Tidak bermaksud
menyebutkan godaan dari apa yang ada di dalam celan jins itu.
Leesa mengambil jarak antara dirinya dan koboi itu dengan
melakukan satu kali putaran ke sekeliling panggung. Tangan-tangan berkeringat
mendorong berlembar-lembar dollar kedalam garter yang ditutupi bulu di pahanya.
Dia tidak bisa menahan diri untuk melihat sekali lagi ke pria yang berulang
tahun itu di atas panggung. Leesa juga tak bisa menahan jantungnya yang
berdegup kencang saat dia menyadari bahwa, meskipun Holly menari langsung di
depannya, pandangan pria itu mengikutinya.
Lagunya mendekati akhir, begitu juga dengan rutinitas
ulang tahun. Satu lagu untuk satu pelanggan. Itu adalah aturan dari Jerry,
terutama karena pelanggan yang sudah naik ke atas panggung tidak turun ke
lantai untuk memesan minuman yang harganya mahal. Sekarang saatnya untuk
hal-hal pribadi, bagian di belakang-pintu-tertutup dari malam ini.
Di tengah-tengah teriakan dan sorakan dari penonton, dia
menguatkan hati, tapi tidak bisa menghentikan debaran jantungnya saat melangkah
ke tempat koboi tadi yang masih duduk di kursinya. Dari belakang, Holly
melepaskan borgol di tangan pria itu dari kursi. Pria itu tidak bergerak
kecuali membawa tangannya ke depan dan menggosok-gosok bekas borgol tadi.
Lengan kemejanya terangkat, memperlihatkan lengan bawahnya yang kuat. Lalu
Leesa memperhatikan garis merah di pergelangan tangannya, seolah-olah pria itu
telah menarik kekangan. Meskipun ada bulu di atas besi, borgol itu sudah
menandai tangannya.
“Apakah pergelangan tanganmu baik-baik saja? Sakitkah?”
Dia menggeser pandangannya dari luka pria itu ke wajahnya dan melihatnya
tersenyum.
“Sakit? Tidak, ini bukan apa-apa.” Dia menggelengkan
kepalanya dan tertawa, suara yang membuat dirinya merasakan kehangatan.
Leesa meneguk ludahnya. Sekarang atau tidak sama sekali. “Oke.
Bagus, karena sahabat-sahabatmu punya satu kejutan lagi.”
“Benarkah?” suaranya terdengar sedikit mencicit saat
bertanya. Leesa tersenyum.
“Yup.” Dia meraih salah satu lengan pria itu. Kulitnya
terasa hangat dan sedikit kasar karena lapisan rambutnya.
Pria itu bangkit dengan speenuh hati saat Leesa menariknya
dari kursi. “Kejutan seperti apa?”
Meneguk ludah dengan kuat melalui gumpalan di
tenggorokannya, dia menggambarkan kejutan itu. “Tak akan menjadi kejutan lagi
jika aku memberi tahumu.”
Dengan satu tangan, pria itu berusaha menarik satu sisi
kemejanya yang tersibak dan mengancingkannya sembari berjalan. Leena
memiringkan wajahnya saat ia menuntun pria itu menuruni tangga. “Jangan khawatir.
Aku akan membukanya lagi nanti.”
Pria itu menaikkan alisnya di balik pinggiran topinya,
dan Leena bersumpah pipi pria itu lebih merah dari sebelumnya.
“Oh.”
Leena tertawa dan menarik pria itu menuju ke belakang.
Seorang tukang pukul mengangguk ke arahnya saat ia melewatinya dan masuk ke
salah satu kamar pribadi, yang benar-benar tak bisa disebut kamar sama sekali
karena ukurannya lebih besar sedikit dari toilet. Hanya berisi sebuah kursi dan
tidak ada yang lain. Seseorang telah meninggalkan sekotak tisu di depan kursi.
Pemandangan itu membuat semuanya terlihat nyata. Dia menarik pintu di
belakangnya sampai tertutup dan mendengarnya terkancing dengan bunyi klik. Lalu
mereka sendirian sekarang.
Leena melihat ke sampingnya sekilas, dan melihat koboi
itu tengah menatap kursi dan tisunya juga. Jika dia tidak melakukannya
sekarang, dia takut dia akan mundur. Dengan satu tangan dia mendorong pria itu
ke tempat duduk. Pria itu mendongak menatapnya dan menunggu. Dia merasa pria
itu akan menunggunya sepanjang malam jika ia memaksanya. Dia pasti bertanggung
jawab di sini.
Ada sebuah tombol di dinding di belakang kepala pria itu.
Dia mendekatinya dan memutarnya. Musik
memenuhi ruangan kecil dan membuat mereka seperti lebih jauh lagi pergi dari
para penonton di luar pintu itu. Saat ia berbalik, ia melihat mata pria itu
fokus pada dadanya. Dia tidak bisa menyalahkan pria itu setelah semua yang
terjadi, dia setengah telanjang dan mereka berada di klub telanjang. Pria itu
mungkin malu, tapi tetap saja dia adalah pria.
Leena menggerakkan satu kuku jarinya dengan pelan ke dada
telanjang pria itu, di sepanjang garis rambut yang indah yang terlihat di atas
gaspernya. Jika dia tidak salah, pria itu gemetar karena sentuhan itu. Membuatnya
ingin melihat jika ia bisa membuat pria itu bereaksi sekuat itu terhadap semua
sentuhannya. “Apa yang kau ingin aku lakukan, koboi?”
Dia tak akan menanyakan hal itu pada pria lain, tapi pria
ini entah bagaimana terlihat berbeda. Lebih aman.
Pria itu menelan ludahnya sebelum berkata. “Apa
peraturannya?”
Hmm, mungkin ini bukan yang pertama kalinya pria itu
berada di klub telanjang, jika dia tahu ada peraturannya. “Itu tak penting
sekarang. Malam ini, akulah yang membuat peraturan.”
“Oh.” Selama sejenak, Leena pikir dia menakutinya dengan
pernyataannya, sampai mata pria itu bertemu dengannya dengan terang-terangan
dari balik topinya. “Apa yang ingin kau lakukan?”
Leena suka respon dari pria itu. Pilihannya. Dialah yang
mengontrol. Pemikiran itu sedikit menenangkan kegelisahannya. Saat ia merasakan
kehangatan yang dimulai di antara kedua kakinya dan menyebar ke seluruh
tubuhnya, dia tidak bisa mengatakan pada pria itu apa yang sebenarnya ingin
dilakukannya. Segala sesuatu tidak bisa menjadi sejauh itu. Tidak di sini.
Tidak sekarang. Lain waktu, lain tempat, lain kehidupan mungkin. Mungkin itu
bisa terjadi antara dirinya dan pria manis ini.
Mencoba menekan pemikiran sedih itu, dia malah fokus pada
semua yang bisa dilakukannya di sini dan sekarang. “Kenapa tidak yang baru saja
kutunjukkan padamu?”
Pria itu melepas topinya dan mengaitkannya pada kenop
pintu. Setelah menyisirkan tangannya pada rambut pirang gelap keritingnya, dia
mengangguk. “Oke.”
Leesa tersenyum melihat bagaimana pria itu terlihat
menahan dirinya di kursi, seperti siap untuk apapun, baik atau buruk. Dia
memutuskan untuk memulainya dengan perlahan, berpikir untuk berlaku lemah
lembut pada koboi pemalunya saat pertama kali akan menjadi jalan yang terbaik.
Menggoyangkan pinggulnya bersamaan dengan alunan musik, dia memulai dengan
menggerakkan jari-jarinya ke seluruh tubuhnya, dari dada telanjangnya ke tali
tipis yang melingkari pinggulnya.
Pandangan pria itu mengikuti pergerakan tangannya, tapi
kemudian kembali menatap wajahnya. Pandangan intensnya mulai membuat Leesa
sadar diri. Dia berbalik agar tidak bisa melihat pria itu menontonnya. Dia
bergerak mundur, lebih dekat sampai ia menunggu di atas pria itu, lalu dia
lebih dekat lagi. Dia menekan pria itu, pantatnya menindih selangkangannya.
Tangan pria itu, hangat dan lebar, bergerak untuk menumpukannya dengan santai
di pinggulnya.
Normalnya, pelanggan tidak dibolehkan untuk menyentuh
para stripper, bahkan selama lap dance. Tapi malam ini Leesa
tidak meminta pria itu untuk menyingkirkan tangannya. Malah, dia
menggerak-gerakkan tubuhnya lebih keras di atas pria itu. Tangan sang pria
meluncur ke tulang rusuknya. Satu ibu jari dengan santai menggesek sisi
payudaranya, membuatnya merinding. Lagi, dia bisa meminta pria itu untuk tidak
menyentuhnya. Tapi lagi-lagi dia tidak melakukannya.
Dia bisa merasakan garis tonjolan pria itu, keras seperti
baja, mendorong daging empuk di pantatnya. Bagaimana bisa dia melakukan apa
yang sudah Holly katakan? Apa dia buka saja celana pria itu dan menariknya?
Haruskah dia bilang pada pria itu untuk melepaskan ikat pinggang dan celana
jinsnya sendiri? Hiasan gesper dari sabuknya sangat besar dan kelihatannya tak
akan mudah untuk membukanya. Khususnya setelah tangannya gemetar.
Menyenangkan pemikiran yang kemana-mana masih tidak
mengubah fakta bahwa dia tidak pernah sebergairah ini karena seorang pria, orang
asing, dalam waktu yang sangat lama. Berputar di bawah genggamannya, dia
menghadap pria itu lagi dengan perlahan. Dia mengangkangi pria itu dan
menekannya semakin dekat. Sekali lagi dia merasakan aliran listrik diantara
mereka. Nafasnya terengah-engah.
Sinyal seksual terlihat jelas. Pria itu pasti
merasakannya juga. Leesa bisa dengan mudah mengatakannya dengan melihatnya.
Matanya sayu menginginkannya, fokus pada wajahnya. Tangan pria itu mencengkeram
pinggulnya dengan erat. Dia merasakan nafas pria itu yang memburu, bahkan
hembusan nafasnya sendiri memenuhi telinganya. Pria itu menekannya lebih dekat,
menuntut gerakan memutarnya padanya. Tatapan pria itu tak pernah
meninggalkannya, seperti ingin melihatnya bereaksi.
Jika reaksi adalah apa yang diinginkan oleh pria itu,
maka dia mendapatkannya. Setiap pergerakan menambah kebutuhannya dan membawanya
lebih dekat pada orgasmenya. Mencengkeram bagian belakang kursinya untuk
menopang kakinya yang melemah, dia menyentakkan tubuhnya sampai putingnya
menyentuh dada telanjang pria itu. Dalam sentuhan itu, pria itu mengeluarkan
suara yang terdengar seperti setengah tertekan dan setengah sakit. Dia menambah
kecepatan tusukan mereka dan tubuh Leesa meledak dalam gelombang kenikmatan.
Dengan mata terpejam, dia mendapatkan orgasmenya, dan
koboi itu, seperti terasa selamanya, tapi di waktu yang sama tidak cukup lama.
Dia baru saja membiarkan pelanggannya membuatnya ‘datang’. Tak pernah terjadi
sebelumnya. Tak pernah dia menginginkannya sebelumnya. Jika dia tidak bergerak
menjauhinya, pria itu mungkin akan melakukannya lagi saat dia merasa ketat
sekarang. Saat akhirnya dia membuka matanya sambil terengah-engah, menarik
wajahnya agar bisa melihat wajah pria itu, dia melihat keringat seperti
manik-manik di bibir atas yang halus milik pria itu. Ereksinya masih
menekannya. Dia bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh pria itu, keras dan
tertekan di dalam celana jins yang ketat.
Dia teringat bahwa dia di sini untuk menyenangkan pria
itu, bukan untuk kepuasannya sendiri. Leesa mengubah posisinya, jadi kakinya
yang goyah sekarang hanya mengangkang di salah satu kaki pria itu. Masih memulihkan
diri dari klimaks yang tak diharapkan yang telah mengguncangnya, tangannya
bergerak ke bawah dan menyentuh sabuk pria itu dengan lemah. Setelah
memfokuskan otaknya untuk mempelajari bagaimana cara membukanya, dia menggesek
sedikit dan mengatur gaspernya agar terlepas, yang terus diperhatikan oleh pria
itu. Untungnya tidak sesulit yang dibayangkannya karena dia punya konsentrasi
atau tenaga untuk bergumul dengan itu saat ini.
Dengan tangan gemetar, dia melepaskan kancing dan
resleting di celana jins pria itu dan membukanya lebar-lebar. Tidak lagi terdesak,
ereksinya berdiri tegak, terperangkap dalam kain bokser pendek biru tuanya. Dia
menyentuhnya melalui lapisan tipis katun, menaikkan pandangannya pada wajah
pria itu.
Dengan nafas berat, pria itu menatap tangannya
seolah-olah dia memukulnya. Saat pria itu menyadari bahwa ia melihatnya, dia
menaikkan pandangannya untuk melihatnya. Lidahnya keluar, dengan gugup dan
nafas bergetar menjilat lidahnya. Dia tetap melihat pria itu saat tangannya
menyelinap di bawah band elastis dan menyentuh kehangatannya, kulit sehalus
beludru menutupi ereksinya yang keras. Dia meremasnya dengan perlahan, lemah
lembut pada awalnya. Saat nafas itu bertambah cepat, begitu juga dengan
kecepatannya sampai pria itu menutup matanya dan dia merasakan tubuh pria itu
menegang di bawahnya.
Pria itu menggigit
bibirnya saat tangannya menutupi milik Leesa. Dia menatap kagum pada tangan
mereka yang bersatu, menggenggam miliknya. Meremas genggamannya yang erat di
sekeliling miliknya yang panjang, pria itu menggerakkan tangan mereka
bersama-sama. Pada awalnya pelan, lalu lebih cepat. Nafas pria itu meningkat
seiring dengan kecepatan mereka meremas.
Tiba-tiba saja pria itu melepaskan genggamannya. Dia
menjangkau dan mengambil selembar tisu dari kotak yang ada di depan kursi.
Dengan menggertakkan gigi dan mata terpejam, Leena merasakan batang pria itu
berdenyut di tangannya ketika dia mengambil tisu. Sekarang semuanya sudah
selesai, Leena tak yakin apa yang harus dia lakukan. Pria itu, di sisi lain,
terlihat sangat nyaman dengan situasi ini.
Memulihkan diri dengan cepat, pria itu membuka mata dan
tertawa kecil. Dia menggelengkan kepalanya saat mengambil lebih banyak tisu dan
menghapus tangannya. Ketika pria itu membereskan seluruh kekacauan dan
melemparkannya ke sudut ruangan yang mendarat di tempat sampah, dia kembali
memperhatikan Leena. Sekali lagi Leena merasakan pengamatan yang cermat lewat
pandangan intens dari pria itu.
“Itu tadi...” Pria itu menggelengkan kepalanya sekali
lagi, seolah-olah kehilangan kata-kata. Suaranya lembut dan terengah-engah.
“Ya, benar.” Suaranya sendiri terdengar terengah-engah
juga. Leena menelan ludahnya dan menyadari bahwa dia masih bertengger di kaki
pria itu, dan pria itu mungkin bisa merasakan kebasahan dan panas yang tidak
bisa ditampung oleh G-stringnya. Dia bergerak untuk bangkit, namun pria itu
menggenggam tangannya dan menghentikannya.
“Tunggu. Bisakah aku bertemu denganmu lagi?”
“Bertemu denganku?”
Bertemu dengannya sekarang? Apa dia membicarakan tentang
pekerjaan tangan lainnya besok? Atau mungkin lebih dari sekedar pekerjaan
tangan lain kali. Setelah apa yang dilakukannya dengan pria itu, dia mungkin
mengharapkannya melakukan itu dan lebih lagi dengan semua pelanggan. Kenapa dia
tidak membuat asumsi seperti itu?
“Yeah.” Pria itu mengangguk. “Kapan kau selesai di sini?
Mungkin kita bisa bertemu setelah ini untuk minum. Atau besok. Aku harus ada di
suatu tempat beberapa jam lagi, tapi aku bisa mengajakmu makan siang, atau
makan malam jika kau tak bekerja.”
Leesa merasakan kedua alisnya terangkat. “Maksudmu
seperti kencan?”
“Yup.” Pria itu menyeringai. “Aku benar-benar ingin
bertemu denganmu lagi.”
Kenapa? Untuk seks, atau dia benar-benar menyukainya? Itu
pasti ketertarikan yang sama. Dia merasakannya juga, tapi pria itu bahkan tak
mengenalnya. Pria itu tak mengetahui apapun lebih dari apa yang dia lakukan
untuknya setengah jam yang lalu atau lebih. Mungkin pria itu benar-benar ingin
lebih mengenalnya. Apakah dia bisa semanis kelihatannya? Itu semua membuat
kepala Leesa berputar. “Um...”
Ketukan di pintu menginterupsi jawaban Leesa, meskipun
sebenarnya dia tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan pria itu.
“Hei, waktunya sudah habis! Salah satu gadis lainnya
membutuhkan ruangan itu.” Suara tukang pukul terdengar melewati pintu tipis,
mengembalikannya pada kenyataan.
Leesa menatap pria yang berada di bawahnya dan menyadari
bahwa celana jinsnya masih terbuka lebar, serta boksernya terekspos. “Oke,
Bruno. Berikan aku satu menit.”
Leesa bangkit dan kali ini pria itu membiarkannya,
terlebih karena tangannya sibuk merapikan pakaiannya. Leesa menarik ujung
rompinya bersama-sama dan menyilangkan kedua lengannya menutupi dada
telanjangnya, tiba-tiba merasa terekspos sekarang, dan momen fantasi di antara
mereka telah dihancurkan oleh kehidupan nyata.
Dengan kemeja terkancing dan dimasukkan ke dalam gasper
sabuk celana jinsnya sekali lagi, koboi itu berdiri dan memegang topi di depan
tubuhnya dengan kedua tangan. “Jadi, soal kencan kita...”
Leesa melirik pintu sekilas, tahu bahwa waktu mereka benar-benar
terbatas. Mungkin itu yang terbaik. Kemana hal ini bisa berjalan dengannya? Dia
tahu jawabannya. Tidak dimanapun.
“Maafkan aku. Aku tidak berkencan dengan pelanggan.” Dia
berbalik saat merasakan tangan pria itu di sikunya. Dia berhenti dan menunggu.
“Oh, baiklah. Um, ini untukmu.”
Menoleh ke belakang, Leesa melihat pria itu
memegang uang yang terlipat di tangannya. Dia menyurukkannya ke tangannya.
Leesa melompat dan menggelengkan kepalanya. “Teman-temanmu yang membayar lap dance.” Sisanya, tiba-tiba dia tidak menginginkan uang itu.
“Aku tahu. Mereka memberitahuku bahwa mereka sudah
membayarnya, tapi ini tips. Dariku.”
Leesa menelan ludahnya. Dia sudah melakukannya untuk uang
ekstra. Bukan begitu? Lalu kenapa dia tidak mau uangnya? Karena mengambilnya
untuk apa yang sudah dilakukannya dan di atas membeli-dan-membayar lap dance, membuatnya menjadi seperti sesuatu yang tak pernah dibayangkannya.
Bahkan jika pada waktu lain dan di lain tempat, mungkin dia akan melakukannya
dengan pria ini karena menyukainya.
Dengan mata menutup untuk menyembunyikan air mata yang
membanjiri matanya, dia mengambil uang itu. “Terima kasih.” Lalu dia pergi
meninggalkan ruangan dan pria itu tanpa melihat kembali.
Leesa samar-samar menyadari salah satu gadis baru sedang
menari dekat tiang di atas panggung. Dia cukup sadar dengan sekelilingnya untuk
dibebaskan dari tugas tampil lagi sesegera mungkin, sejak para gadis lain di
shift ini akhirnya datang. Dia berharap bisa bersembunyi sampai pria itu dan
teman-temannya telah pergi. Dia berjalan lurus menuju ke lokernya dan menemukan
Holly di sana.
Wajah Holly terangkat saat melihatnya. “Jadi, bagaimana
tadi?”
“Baik.” Dia tetap menguburkan kepalanya di dalam loker,
berpura-pura sedang menaruh tips kedalam dompetnya, saat dia benar-benar hanya
butuh untuk memperoleh ketenangan kembali.
“Temannya memberikanku uang untuk lap dancemu,
setelah kau menghilang dengan cepat bersama pria yang berulang tahun itu ke
belakang.”
Leesa mendongak dan mengambil uang yang ditawarkan Holly.
“Terima kasih.”
“Apa kau, kau tahu, mendapatkan uang tambahan saat berada
di sana?”
Leesa tahu pasti apa yang Holly tanyakan. “Ya, aku
mendapatkannya.”
Tentu saja Holly akan meneriakinya jika dia mengatakan
bahwa dia tidak menaikkan harga, tidak meminta bayaran di muka, bahkan tidak
meminta uang apapun jadi....apa? Membalut pria itu untuk kesenangan? Dia
menatap sekilas pada uang yang terlipat. Jumlahnya dua puluh dollar. Dia merasa
ingin tertawa dan menangis secara bersamaan. Dia sudah menjual jiwanya untuk
dua puluh dollar dan karena itu, entah bagaimana dia merasa tak akan pernah
menjadi sama lagi.
Tangan Holly menyentuh bahunya. “Kau tak apa-apa?”
“Yeah.” Dia berbohong.
“Dia bukan seorang bajingan atau apapun itu, kan? Aku
benar-benar berpikir dia adalah pria yang manis.”
Leesa bisa mendengar nada prihatin di suara Holly. Keprihatinan
itu hanya untuk Leesa yang telah melakukannya. Ditambah dengan kenyataan bahwa
pria itu memang manis, jenis pria yang mungkin akan membuatnya jatuh cinta,
jika dia tidak hanya memberinya layanan secara seksual untuk uang. Air matanya
benar-benar jatuh sekarang.
Masih menyembunyikan wajahnya, Leesa menggelengkan
kepalanya. “Tidak, kau benar. Dia memang pria yang baik. Aku baik-baik saja,
sungguh. Aku hanya lelah. Aku akan menyiramkan air ke wajahku dan berusaha
bangun sebelum aku harus pergi lagi.”
“Baiklah, Sayang. Ambil waktumu. Biarkan yang datang
terlambat menghibur penonton sebentar, lalu aku akan tampil. Ambil semua waktu
yang kau butuhkan.”
“Terima kasih.” Leesa membanting pintu loker dan menuju
ke kamar mandi privat yang ada di dekat ruangan Jerry, alih-alih kamar mandi
wanita umum yang ada di depan. Pintu ruangan Jerry tidak tertutup sempurna.
Dia lewat dengan berjinjit, sedang tidak dalam suasana
hati yang baik untuk dipanggil dan diteriaki oleh pria itu karena mengganggunya
selama pertemuan sebelumnya. Melalui celah, terlihat bahwa Jerry sedang sendiri
dan berbicara lewat telepon.
“Yeah, dia tiba-tiba masuk ke kantor dan melihatnya
bersama uangnya.”
Leesa menghentikan langkahnya. Jerry sudah memelankan
suaranya saat berbicara, sesuatu yang jarang dilakukannya, jadi itu menarik
perhatiannya dan membuatnya mendengarkan lebih dekat lagi, seperti apa yang
sudah dikatakan pria itu. Jerry pasti membicarakan tentang dia. Dia melangkah
ke sisi pintu, tidak terlihat tapi masih bisa mendengarkan.
“Ayolah, Johnny. Kau pikir itu perlu? Dia hanyalah jalang
yang bodoh. Siapa yang akan dia ceritakan?”
Leesa menelan ludahnya. Apa atau siapa yang telah dia
lihat yang tak seharusnya dia tahu? Apa yang cukup buruk hingga membuat kakak
Jerry, Johnny, memintanya untuk melakukan sesuatu yang bahkan orang seperti
Jerry tak ingin melakukannya?
“Tidak, kau masih bertanggung jawab. Aku hanya bilang,
melawan dia rasanya sedikit drastis, mengingat...”
Perutnya seperti tertohok. Melawan dia? Apakah hidupnya
berada dalam bahaya, hanya karena melakukan kesalahan bodoh dalam penilaian dan
masuk saat terjadi transaksi bisnis ilegal?
“Tidak, aku akan membereskannya. Aku punya Bruno yang akan
melakukannya setelah shift...Ayolah, Bung! Aku harus mengelola klub. Jika kita
mengeluarkannya sebelum shift selesai, aku akan menjadi gadis kecil...”
Leesa tidak mau menunggu untuk mendengar sisanya. Dia
kembali secepat dan sepelan yang dia bisa dan kemudian, saat dia sudah berada
dalam jarak yang bagus dari kantor, dia berbalik dan pergi. Di lokernya, dia
menarik jaket yang panjangnya selutut yang tersisa dari kostumnya, mengganti
sepatunya dan menjejalkan sisa pakaiannya kedalam dompetnya yang terlalu besar.
Holly masih berada di sana untuk berganti nomor
berikutnya. Dia berhenti menalikan tali sepatu botnya dan mengerutkan dahi pada
Leesa. “Apa yang terjadi, Sayang?”
Panik, Leesa tidak tahu apa yang harus dikatakan padanya.
Dia perlu membeli beberapa waktu dan keselamatan untuk dirinya sendiri, tapi
dia juga merasa dia harus mengeluarkan Holly dari kejadian itu dan
memastikannya aman. “Aku tak bisa memberitahumu. Holly, aku ingin kau melakukan
sesuatu untuk kita berdua, oke?”
Mengerutkan dahi, Holly mengangguk. “Oke.”
Leesa melihat sekilas ke ruangan Jerry dengan gugup. “Jika
siapapun--Jerry, Bruni, siapapun—bertanya dimana aku, katakan saja bahwa aku
berada di toilet wanita yang berada di depan. Katakan pada mereka aku kram,
atau aku tak tahu, diare kronis. Sesuatu yang menahan mereka untuk mencari
sementara. Bisa?”
Dia tidak bisa menahan perasaan bahwa jika dia tidak
segera pergi sekarang, mungkin dia tak akan pernah mendapatkan kesempatan.
“Baiklah. Lebih baik aku tak tahu kenapa, kan?” Ekspresi
Holly mengatakan pada Leesa bahwa dia cukup mengetahui sisi lusuh dari dunia
ini untuk keluar dari hal itu.
“Ya, memang benar.”
“Oke, Sayang. Aku akan melakukan apa yang kubisa untuk
memberimu beberapa saat.” Holly menariknya untuk memeluknya. Mereka berdua tahu
saat ini bisa jadi adalah saat terakhir mereka untuk bertemu.
“Terima kasih. Aku harus pergi.” Ketakutan dan kepanikan
Leesa membungkam tangisannya yang mungkin akan keluar. Adrenalin benar-benar
obat yang kuat.
Holly melepaskan pelukannya. “Semoga beruntung.”
Dan dengan begitu Leesa pergi. Pergi kemana dia tidak
tahu. Hanya saja tempat itu harus jauh dari sini.
Translated by Alya Feliz
+ comments + 2 comments
awwww... pria imut.. kayak logan lerman atau mungkin sean o pry.. :D
Yeni Lestari Ihiiyyy....kayaknya Sean o pry lebih cucok ya. Innocent guy *mata lophe lophe*
Post a Comment