RIDE by CAT JOHNSON - BAB 3

April 10, 20152comments

Sudah berpakaian lengkap dan tak pergi kemanapun sampai shift mereka dimulai, Leesa dan Holly mengambil secangkir kopi dari cerek yang selalu terisi di belakang bar. Kembali ke ruang ganti, mereka meminum kafein itu sedikit demi sedikit dari cangkir kertas dan kembali berbincang tentang semuanya atau tidak berbincang apa-apa, mengisi waktu sampai kerja malam yang panjang dimulai.

Salah satu gadis dari shif siang melenggang dengan parfum yang terlalu banyak dan mengganggu percakapan mereka, tapi tidak dengan perhatian serius Leesa mengenai apa yang telah mereka bahas sebelumnya. Solusi dari Holly untuk masalah keuangan Leesa menggodanya.

“Hei, Holly! Hey, Lisa! Dua gadis baru itu masih belum ada di sini?”

Holly cemberut dan menggelengkan kepalanya. “Belum. Mereka akan datang terlambat seperti biasanya.”

“Kalau begitu kalian berdua yang tampil. Aku sudah selesai dan Tiffany baru saja selesai sekarang. Oh, dan kalian akan mendapati seorang pemuda yang berulang tahun di sana, jadi kalian akan membutuhkan borgol. Tiff akan menunjukkannya pada kalian.”

Holly menyeringai, mengambil sepasang borgol berbulu dari lokernya. “Aku suka pemuda yang berulang tahun.”

Leesa tak bisa bilang dia menyukai rutinitas pemuda-berulang tahun mereka, tapi rasanya itu perubahan menyenangkan dari yang biasanya. Pada titik ini, setelah memamerkan kelebihan di atas panggung selama berbulan-bulan, apapun yang berbeda terasa menyenangkan, dia harap. Dia keluar mengikuti Holly. Tepian rok mini mengenai pipi pantat telanjangnya di setiap langkahnya.

Di atas panggung, Tiffani sedang memunguti potongan-potongan pakaiannya yang tadi dibuang dan tips terakhirnya. Saat musik berganti, dia berjalan kembali menghadap Leesa dan Holly. Dia berhenti di depan mereka sambil mengacungkan sebelah tinjunya. “Pria pemalu yang memakai topi putih besar sedang berulang tahun. Temannya bilang berikan saja apapun yang kita punya, termasuk ruang belakang. Pria yang lainnya sudah membayar. Aku berharap bisa tetap berada di sini, tapi aku harus menjemput anakku dari rumah pengasuhnya.”

“Tak apa-apa. Kami akan memperlakukannya dengan baik.” Holly menatap sekilas sekumpulan koboi bising yang kira-kira jumlahnya setengah lusin dan tersenyum pada Leesa. “Kau ingin mengajaknya ke ruang belakang nanti?”

“Apa?” Leesa menoleh pada Holly, lalu kembali melihat koboi itu dengan tanya.

“Ayolah. Itu sempurna! Dia sangat muda dilihat dari wajahnya. Mungkin tak pernah mendapatkan lap dance-nya sepanjang hidupnya. Dia akan menjadi pria yang sempurna untuk memotong gigimu.”

“Gigiku?” Leesa terengah-engah pada sugesti itu.

“Santai saja. Maksudku bukan menggunakan gigimu yang sesungguhnya, kecuali kau mau menggunakannya tentu saja. Itu hanya sebuah ekspresi. Maksudku, dia sempurna untuk perampokan uang ekstra pertamamu. Lihatlah dia. Dia mungkin datang di menit Cat Johnson saat udara menyentuh ‘itu’nya. Pria muda menyelesaikannya dengan sangat cepat jika mereka tak terlalu mabuk. Jika dia, mungkin kau akan mendapatkannya dalam jangka waktu yang panjang. Tapi dia imut. Tak akan terlalu buruk jika kau menghabiskan waktu ekstramu dengannya.”

Leesa melihat sekilas ke arah mereka lagi, dan mencoba memperkirakan sudah berapa lama mereka berada di sana dan sudah berapa banyak yang mereka konsumsi. Dia sadar apa yang sedang dia lakukan dan membuang pandangannya. Dia terlihat tidak bisa mengatakan tidak pada Holly, terutama karena dia masih serius mempertimbangkan untuk melakukannya.

“Kau mau memikirkannya lagi? Tak ada tekanan. Aku memang sangat menyukai koboi. Kelihatannya banyak dari mereka yang bisa diajak berkeliling, tapi aku akan senang mengambilnya kembali jika kau tak mau melakukannya.” Holly menjeda perkataannya dan menunggu jawaban, sembari menatap sekelompok pria muda yang membuatnya otomatis mengeluarkan air liur.

Seorang tukang pukul sudah meletakkan sebuah kursi di atas panggung. Mereka harus segera pergi ke sana dan memulai pertunjukannya. Leesa melihat sekali lagi ke sekelompok pria yang sedang merayakan pesta ulang tahun, menenggak bir, dan tertawa. Bisakah dia melakukan apa yang Holly ingin dia lakukan? Apa dia punya pilihan lain? Mungkin dia bisa memperoleh shift di restoran lokal untuk mendapatkan uang yang lebih banyak. Mungkin dia memang bertindak bodoh, seperti yang Holly bilang. Apa yang akan dilakukan selama beberapa menit di belakang? Apa yang akan terjadi dan siapa yang akan menjadi pilihannya. Dia bisa membayar biaya tagihannya dan menabung cukup uang untuk kembali kuliah dan menyelesaikan sarjananya.

Apa yang harus dia cemaskan? Dia cukup aman di klub. Kembali menatap sekilas pada koboi itu, dia melihat bahwa pria itu tidak terlihat seperti tipe yang berbahaya. Bahkan rasanya seperti sebuah batu mendarat dengan bergedebuk di perutnya, Leesa menggelengkan kepalanya. “Tak apa-apa. Kau tak harus mengambilnya, Holly. Aku yang akan melakukannya.”

Dia mencoba meneguk ludah untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba kering.

Holly menyeringai. “Bagus untukmu. Sekarang ayo. Waktunya pertunjukan.”

Mereka sudah sering melakukan pertunjukan ulang tahun berkali-kali pada bulan-bulan Leesa berada di klub telanjang. Biasanya seorang pria seperti yang lainnya. Dia tak pernah memperhatikannya sebagai sosok individu, tapi saat Holly memastikan subyek mereka dengan tangan saat di atas panggung, Leesa mendapati dirinya benar-benar mempelajari pria yang satu ini.

Benar-benar memalukan, dia menggelengkan kepalanya dan menarik tangannya dari genggaman Holly. Dia berusaha dengan setengah hati kembali duduk dengan pria lainnya daripada ditarik ke area lampu sorot. Bahkan saat dia menertawakan olokan dari para pria lainnya, wajahnya seperti bilang bahwa dia lebih baik menjadi pengamat daripada menjadi pusat perhatian, khususnya saat Holly mendorongnya ke kursi di atas panggung. Jakunnya bergerak liar di tenggorokannya saat Holly memborgol pergelangan tangannya di belakang kursi.

Holly memulai pertunjukan, mengelilinginya seperti seekor hewan yang tengah mengukur mangsanya sementara kerumunan bersorak. Bahkan di bawah lampu sorot terang yang akan menghilangkan semuanya kecuali warna-warna yang paling kuat, Leesa bisa melihat wajah pria itu mulai memerah. Keterkejutan pria itu hampir terpampang jelas, saat Holly menggoyangkan korsetnya dan memantulkan dadanya hanya dalam jarak beberapa inchi di depan wajahnya. Lalu Holly berpaling darinya untuk menghadapi orang-orang yang kagum, dan mulai berjalan angkuh menuju ke ujung panggung, meninggalkan koboi itu sendirian yang menatapnya pergi. Dia tampak hampir lega saat Holly sudah pergi dan mengambil perhatiannya.

Kasihan pria itu. Sedikit yang pria itu tidak tahu bahwa itu adalah isyarat bagi Leesa untuk bergabung dengan rutinitas. Setelah menaiki tangga menuju ke atas panggung, Leesa memutari kursi. Holly kembali dan mereka memburu pria itu bersama-sama, sementara ekspresi wajah dari pria menyedihkan itu hampir membuat orang tertawa, perpaduan antara malu dan antisipasi, seperti tidak yakin apakah yang akan terjadi itu baik atau buruk.

Entah kenapa perasaan malu dari pria itu memberi semangat pada Leesa. Berdiri menghadap pria itu, Leesa membungkuk dari pinggang, memberikan pantatnya pada para penonton. Siulan dan panggilan dari penonton dengan jelas memberikan apresiasi mereka. Mengaitkan tangan pada masing-masing lutut pria itu, Leesa menarik pahanya terpisah dan membuka kakinya lebar-lebar. Mata pria itu membelalak saat melihat tindakan itu. Leesa tertawa dan merasakan gelora kekuasaan di dalam dirinya.

Dilihat dari dekat, pria itu terlihat beberapa tahun lebih muda dari usianya sendiri. Pria itu mungkin datang langsung dari peternakannya kesini, di Kota Dosa, untuk satu malam yang liar. Dia bisa memberikannya. Satu malam yang tak akan pernah bisa dilupakan oleh pria itu. Dia menyukai ide itu. Sembari tersenyum, dia membungkuk lebih dekat ke telinga pria itu, agar dia bisa mendengar suaranya di tengah-tengah keriuhan. “Santai saja, koboi. Nikmatilah.”

Pria itu melompat saat ia bicara. Dia mendorong pria itu agar bisa melihat tatapan rusa yang terfokus padanya. Pria itu menelan ludahnya dengan kuat, lalu mengangguk lagi. “Ya, Nyonya.”

Leesa tersenyum melihat kesopanannya bahkan dalam situasi ini saat dia mengaturnya. Pria itu semanis saat pertama kali muncul. Leesa menyukai kenyataan bahwa pria itu terlihat tidak berdosa dan cenderung bersih. Untuk beberapa alasan, dia ingin mengotorinya sendikit. Sekarang saat dia melingkupkan kepalanya ke sekitar pria itu untuk memberikan sesuatu yang akan diingatnya malam ini, dia benar-benar sudah tak sabar untuk memulainya.

Melangkahkan kakinya di antara kedua lutut pria itu, Leesa membalikkan punggungnya menghadap sang pria dan melepaskan roknya. Dia menggoyangkan pipi pantatnya di depan wajah pria itu yang diiringi oleh teriakan dari para koboi lain. Leesa tidak bisa menahan diri untuk melirik dari balik bahunya. Dengan mulut sedikit menganga, pria itu terpukau oleh pantatnya. Pandangan Leesa turun dan yeah, bagian lainnya dari pria itu memperhatikannya juga. Tercetak jelas di celana jinsnya, dan harus Leesa akui, ‘itu’ terlihat mengesankan dari tempatnya berdiri.

Saat Leesa merasa tegang karena melihat dari balik bahunya, Holly melangkah ke belakang pria itu dan menggerayangi kemeja depan sang pria dengan kedua tangannya, lalu mulai melepaskan kancingnya. Holly menyentakkan bagian yang dimasukkan rapi ke dalam celana jins, dan membuka kemeja itu  untuk menyingkapkan dada yang hampir tak berbulu. Dia ramping, tapi pasti cocok dilihat dari garis tajam pada otot-otot dada dan perutnya.

Sementara itu, sang koboi menggeliat di kursinya di bawah pengawasan. Menghadap sepenuhnya pada pria itu lagi, Leesa menyusurkan sepatu bot berhak tinggi dari kulitnya ke ujung kursi di antara kedua paha pria itu. Pandangan pria itu turun ke kaki jenjang yang terekspos di depannya. Secara visual, dia mengikuti garis paha Leesa hingga sampai ke G-string berkilau yang menutupi apa yang menurut hukum harus ditutupi, tapi tidak banyak.

Sementara Holly mengitari panggung untuk mengumpulkan beberapa kertas dollar, Leesa membawa pertunjukan ke level berikutnya. Leesa mengangkangi koboi itu yang wajahnya memerah karena malu dan semakin mendekatinya. Satu-satunya benda yang memisahkan mereka hanyalah G-stringnya, celana jins denim pria itu, dan pakaian dalam apapun yang dikenakannya. Leesa tidak bisa berhenti mengagumi seperti apa itu tepatnya. Dia harap dia akan segera mencari tahu tentang pakaian dalam itu sesegera mungkin.

Saat menggoyangkan pinggulnya, Leesa merasakan tonjolan di celana jins itu secara langsung. Ia melihat nafas memburu pria itu karena kontak mereka. Dia sendiri tidak bisa menahan engahannya saat gesekan pada tonjolan pria itu membuatnya gelisah bukan main. Sekarang saat kemaluannya keluar dari hibernasi, dia benar-benar harus melampiaskannya. Dia bertemu pandang dengan pria itu dan merasakan pipinya menghangat. Wajah mereka begitu dekat, pria itu pasti bisa melihatnya bergairah.

Meskipun di tempat umum dan fakta bahwa seharusnya itu semua hanya untuk pertunjukan, entah bagaimana berubah menjadi momen yang intim. Leesa menghilangkan pemikiran itu dari kepalanya. Dia tidak pernah bersama seorang pria sejak ia putus dengan mantan pacar busuknya. Dia bahkan tak pernah melihat pria dengan ketertarikan seksual atau romantis sejak saat itu, karena dia sudah mati rasa setelah bersama mantannya. Tapi sekarang dia bergairah lagi.

Teriakan keras dari teman-teman pria itu mengingatkannya akan fakta bahwa dia di sini untuk menghibur penonton, jadi dia melakukannya. Leesa menebas dua sisi rompinya beberapa inchi dari wajah koboi itu. Di bawah pinggiran topi pria itu, mata birunya mengikuti aksinya sebelum kembali bertemu dengan matanya. Selama sejenak waktu terasa berhenti. Mereka seperti tidak lagi berada di bawah lampu sorot yang panas di ruangan yang riuh dan ramai. Bayangan gila masuk ke dalam pikirannya karena melihat kedua mata itu, saat pria itu menindihnya di atas tempat tidur. Kebutuhan mendesak di dalam dirinya memohon untuk segera dilepaskan.

Tubuhnya bereaksi dengan naluri binatang. Pria itu adalah contoh laki-laki yang diinginkan, dan dia adalah seorang wanita yang tak pernah bersama dengan pria seperti itu sementara ini. Itu menjelaskan semburan hangat yang dia rasakan di antara kedua kakinya. Dia menekan sekali lagi tonjolan di bawah celana denim itu dengan kasar, sebelum dia bangkit dan berbalik menghadap penonton. Dia mungkin memainkannya untuk mendapatkan tips dari penonton, tapi Leesa mengingat janjinya pada Holly.

Segera dia akan dekat secara pribadi dengan pria ini. Secepatnya. Dia berusaha untuk tidak membiarkan pikiran-pikiran kuat yang tak diinginkan mengenai pria asing ini menakutinya. Terakhir kali dia merasakan hal yang seperti ini pada seorang pria, ia membiarkan bagian-bagian tubuhnya selain otak melakukan keputusan paling buruk dalam hidupnya. Dia berakhir dengan dikeluarkan dari kampus di tahun terakhirnya. Itulah yang menyebabkannya berada di sini sekarang, hampir telanjang di atas panggung di bar yang penuh dengan pria, dan akan mengajak salah satu dari mereka kembali ke ruang khusus untuk mendapatkan uang dengan menyenangkannya.

Pemikiran itu menimbulkan ketakutan di hatinya, bahkan perutnya merasa gelisah saat memikirkan akan sendirian bersama pria itu—intim dengannya—seorang pria yang wajahnya memerah dan memanggilnya nyonya, dan pada waktu yang sama memenuhi hasratnya setelah sekali menatap mata biru itu. Tidak bermaksud menyebutkan godaan dari apa yang ada di dalam celan jins itu.

Leesa mengambil jarak antara dirinya dan koboi itu dengan melakukan satu kali putaran ke sekeliling panggung. Tangan-tangan berkeringat mendorong berlembar-lembar dollar kedalam garter yang ditutupi bulu di pahanya. Dia tidak bisa menahan diri untuk melihat sekali lagi ke pria yang berulang tahun itu di atas panggung. Leesa juga tak bisa menahan jantungnya yang berdegup kencang saat dia menyadari bahwa, meskipun Holly menari langsung di depannya, pandangan pria itu mengikutinya.

Lagunya mendekati akhir, begitu juga dengan rutinitas ulang tahun. Satu lagu untuk satu pelanggan. Itu adalah aturan dari Jerry, terutama karena pelanggan yang sudah naik ke atas panggung tidak turun ke lantai untuk memesan minuman yang harganya mahal. Sekarang saatnya untuk hal-hal pribadi, bagian di belakang-pintu-tertutup dari malam ini.

Di tengah-tengah teriakan dan sorakan dari penonton, dia menguatkan hati, tapi tidak bisa menghentikan debaran jantungnya saat melangkah ke tempat koboi tadi yang masih duduk di kursinya. Dari belakang, Holly melepaskan borgol di tangan pria itu dari kursi. Pria itu tidak bergerak kecuali membawa tangannya ke depan dan menggosok-gosok bekas borgol tadi. Lengan kemejanya terangkat, memperlihatkan lengan bawahnya yang kuat. Lalu Leesa memperhatikan garis merah di pergelangan tangannya, seolah-olah pria itu telah menarik kekangan. Meskipun ada bulu di atas besi, borgol itu sudah menandai tangannya.

“Apakah pergelangan tanganmu baik-baik saja? Sakitkah?” Dia menggeser pandangannya dari luka pria itu ke wajahnya dan melihatnya tersenyum.

“Sakit? Tidak, ini bukan apa-apa.” Dia menggelengkan kepalanya dan tertawa, suara yang membuat dirinya merasakan kehangatan.

Leesa meneguk ludahnya. Sekarang atau tidak sama sekali. “Oke. Bagus, karena sahabat-sahabatmu punya satu kejutan lagi.”

“Benarkah?” suaranya terdengar sedikit mencicit saat bertanya. Leesa tersenyum.

“Yup.” Dia meraih salah satu lengan pria itu. Kulitnya terasa hangat dan sedikit kasar karena lapisan rambutnya.

Pria itu bangkit dengan speenuh hati saat Leesa menariknya dari kursi. “Kejutan seperti apa?”

Meneguk ludah dengan kuat melalui gumpalan di tenggorokannya, dia menggambarkan kejutan itu. “Tak akan menjadi kejutan lagi jika aku memberi tahumu.”

Dengan satu tangan, pria itu berusaha menarik satu sisi kemejanya yang tersibak dan mengancingkannya sembari berjalan. Leena memiringkan wajahnya saat ia menuntun pria itu menuruni tangga. “Jangan khawatir. Aku akan membukanya lagi nanti.”

Pria itu menaikkan alisnya di balik pinggiran topinya, dan Leena bersumpah pipi pria itu lebih merah dari sebelumnya.

“Oh.”

Leena tertawa dan menarik pria itu menuju ke belakang. Seorang tukang pukul mengangguk ke arahnya saat ia melewatinya dan masuk ke salah satu kamar pribadi, yang benar-benar tak bisa disebut kamar sama sekali karena ukurannya lebih besar sedikit dari toilet. Hanya berisi sebuah kursi dan tidak ada yang lain. Seseorang telah meninggalkan sekotak tisu di depan kursi. Pemandangan itu membuat semuanya terlihat nyata. Dia menarik pintu di belakangnya sampai tertutup dan mendengarnya terkancing dengan bunyi klik. Lalu mereka sendirian sekarang.

Leena melihat ke sampingnya sekilas, dan melihat koboi itu tengah menatap kursi dan tisunya juga. Jika dia tidak melakukannya sekarang, dia takut dia akan mundur. Dengan satu tangan dia mendorong pria itu ke tempat duduk. Pria itu mendongak menatapnya dan menunggu. Dia merasa pria itu akan menunggunya sepanjang malam jika ia memaksanya. Dia pasti bertanggung jawab di sini.

Ada sebuah tombol di dinding di belakang kepala pria itu. Dia mendekatinya dan memutarnya.  Musik memenuhi ruangan kecil dan membuat mereka seperti lebih jauh lagi pergi dari para penonton di luar pintu itu. Saat ia berbalik, ia melihat mata pria itu fokus pada dadanya. Dia tidak bisa menyalahkan pria itu setelah semua yang terjadi, dia setengah telanjang dan mereka berada di klub telanjang. Pria itu mungkin malu, tapi tetap saja dia adalah pria.

Leena menggerakkan satu kuku jarinya dengan pelan ke dada telanjang pria itu, di sepanjang garis rambut yang indah yang terlihat di atas gaspernya. Jika dia tidak salah, pria itu gemetar karena sentuhan itu. Membuatnya ingin melihat jika ia bisa membuat pria itu bereaksi sekuat itu terhadap semua sentuhannya. “Apa yang kau ingin aku lakukan, koboi?”

Dia tak akan menanyakan hal itu pada pria lain, tapi pria ini entah bagaimana terlihat berbeda. Lebih aman.

Pria itu menelan ludahnya sebelum berkata. “Apa peraturannya?”

Hmm, mungkin ini bukan yang pertama kalinya pria itu berada di klub telanjang, jika dia tahu ada peraturannya. “Itu tak penting sekarang. Malam ini, akulah yang membuat peraturan.”

“Oh.” Selama sejenak, Leena pikir dia menakutinya dengan pernyataannya, sampai mata pria itu bertemu dengannya dengan terang-terangan dari balik topinya. “Apa yang ingin kau lakukan?”

Leena suka respon dari pria itu. Pilihannya. Dialah yang mengontrol. Pemikiran itu sedikit menenangkan kegelisahannya. Saat ia merasakan kehangatan yang dimulai di antara kedua kakinya dan menyebar ke seluruh tubuhnya, dia tidak bisa mengatakan pada pria itu apa yang sebenarnya ingin dilakukannya. Segala sesuatu tidak bisa menjadi sejauh itu. Tidak di sini. Tidak sekarang. Lain waktu, lain tempat, lain kehidupan mungkin. Mungkin itu bisa terjadi antara dirinya dan pria manis ini.

Mencoba menekan pemikiran sedih itu, dia malah fokus pada semua yang bisa dilakukannya di sini dan sekarang. “Kenapa tidak yang baru saja kutunjukkan padamu?”

Pria itu melepas topinya dan mengaitkannya pada kenop pintu. Setelah menyisirkan tangannya pada rambut pirang gelap keritingnya, dia mengangguk. “Oke.”

Leesa tersenyum melihat bagaimana pria itu terlihat menahan dirinya di kursi, seperti siap untuk apapun, baik atau buruk. Dia memutuskan untuk memulainya dengan perlahan, berpikir untuk berlaku lemah lembut pada koboi pemalunya saat pertama kali akan menjadi jalan yang terbaik. Menggoyangkan pinggulnya bersamaan dengan alunan musik, dia memulai dengan menggerakkan jari-jarinya ke seluruh tubuhnya, dari dada telanjangnya ke tali tipis yang melingkari pinggulnya.

Pandangan pria itu mengikuti pergerakan tangannya, tapi kemudian kembali menatap wajahnya. Pandangan intensnya mulai membuat Leesa sadar diri. Dia berbalik agar tidak bisa melihat pria itu menontonnya. Dia bergerak mundur, lebih dekat sampai ia menunggu di atas pria itu, lalu dia lebih dekat lagi. Dia menekan pria itu, pantatnya menindih selangkangannya. Tangan pria itu, hangat dan lebar, bergerak untuk menumpukannya dengan santai di pinggulnya.

Normalnya, pelanggan tidak dibolehkan untuk menyentuh para stripper, bahkan selama lap dance. Tapi malam ini Leesa tidak meminta pria itu untuk menyingkirkan tangannya. Malah, dia menggerak-gerakkan tubuhnya lebih keras di atas pria itu. Tangan sang pria meluncur ke tulang rusuknya. Satu ibu jari dengan santai menggesek sisi payudaranya, membuatnya merinding. Lagi, dia bisa meminta pria itu untuk tidak menyentuhnya. Tapi lagi-lagi dia tidak melakukannya.

Dia bisa merasakan garis tonjolan pria itu, keras seperti baja, mendorong daging empuk di pantatnya. Bagaimana bisa dia melakukan apa yang sudah Holly katakan? Apa dia buka saja celana pria itu dan menariknya? Haruskah dia bilang pada pria itu untuk melepaskan ikat pinggang dan celana jinsnya sendiri? Hiasan gesper dari sabuknya sangat besar dan kelihatannya tak akan mudah untuk membukanya. Khususnya setelah tangannya gemetar.

Menyenangkan pemikiran yang kemana-mana masih tidak mengubah fakta bahwa dia tidak pernah sebergairah ini karena seorang pria, orang asing, dalam waktu yang sangat lama. Berputar di bawah genggamannya, dia menghadap pria itu lagi dengan perlahan. Dia mengangkangi pria itu dan menekannya semakin dekat. Sekali lagi dia merasakan aliran listrik diantara mereka. Nafasnya terengah-engah.

Sinyal seksual terlihat jelas. Pria itu pasti merasakannya juga. Leesa bisa dengan mudah mengatakannya dengan melihatnya. Matanya sayu menginginkannya, fokus pada wajahnya. Tangan pria itu mencengkeram pinggulnya dengan erat. Dia merasakan nafas pria itu yang memburu, bahkan hembusan nafasnya sendiri memenuhi telinganya. Pria itu menekannya lebih dekat, menuntut gerakan memutarnya padanya. Tatapan pria itu tak pernah meninggalkannya, seperti ingin melihatnya bereaksi.

Jika reaksi adalah apa yang diinginkan oleh pria itu, maka dia mendapatkannya. Setiap pergerakan menambah kebutuhannya dan membawanya lebih dekat pada orgasmenya. Mencengkeram bagian belakang kursinya untuk menopang kakinya yang melemah, dia menyentakkan tubuhnya sampai putingnya menyentuh dada telanjang pria itu. Dalam sentuhan itu, pria itu mengeluarkan suara yang terdengar seperti setengah tertekan dan setengah sakit. Dia menambah kecepatan tusukan mereka dan tubuh Leesa meledak dalam gelombang kenikmatan.

Dengan mata terpejam, dia mendapatkan orgasmenya, dan koboi itu, seperti terasa selamanya, tapi di waktu yang sama tidak cukup lama. Dia baru saja membiarkan pelanggannya membuatnya ‘datang’. Tak pernah terjadi sebelumnya. Tak pernah dia menginginkannya sebelumnya. Jika dia tidak bergerak menjauhinya, pria itu mungkin akan melakukannya lagi saat dia merasa ketat sekarang. Saat akhirnya dia membuka matanya sambil terengah-engah, menarik wajahnya agar bisa melihat wajah pria itu, dia melihat keringat seperti manik-manik di bibir atas yang halus milik pria itu. Ereksinya masih menekannya. Dia bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh pria itu, keras dan tertekan di dalam celana jins yang ketat.  

Dia teringat bahwa dia di sini untuk menyenangkan pria itu, bukan untuk kepuasannya sendiri. Leesa mengubah posisinya, jadi kakinya yang goyah sekarang hanya mengangkang di salah satu kaki pria itu. Masih memulihkan diri dari klimaks yang tak diharapkan yang telah mengguncangnya, tangannya bergerak ke bawah dan menyentuh sabuk pria itu dengan lemah. Setelah memfokuskan otaknya untuk mempelajari bagaimana cara membukanya, dia menggesek sedikit dan mengatur gaspernya agar terlepas, yang terus diperhatikan oleh pria itu. Untungnya tidak sesulit yang dibayangkannya karena dia punya konsentrasi atau tenaga untuk bergumul dengan itu saat ini.

Dengan tangan gemetar, dia melepaskan kancing dan resleting di celana jins pria itu dan membukanya lebar-lebar. Tidak lagi terdesak, ereksinya berdiri tegak, terperangkap dalam kain bokser pendek biru tuanya. Dia menyentuhnya melalui lapisan tipis katun, menaikkan pandangannya pada wajah pria itu.

Dengan nafas berat, pria itu menatap tangannya seolah-olah dia memukulnya. Saat pria itu menyadari bahwa ia melihatnya, dia menaikkan pandangannya untuk melihatnya. Lidahnya keluar, dengan gugup dan nafas bergetar menjilat lidahnya. Dia tetap melihat pria itu saat tangannya menyelinap di bawah band elastis dan menyentuh kehangatannya, kulit sehalus beludru menutupi ereksinya yang keras. Dia meremasnya dengan perlahan, lemah lembut pada awalnya. Saat nafas itu bertambah cepat, begitu juga dengan kecepatannya sampai pria itu menutup matanya dan dia merasakan tubuh pria itu menegang di bawahnya.

Pria itu menggigit bibirnya saat tangannya menutupi milik Leesa. Dia menatap kagum pada tangan mereka yang bersatu, menggenggam miliknya. Meremas genggamannya yang erat di sekeliling miliknya yang panjang, pria itu menggerakkan tangan mereka bersama-sama. Pada awalnya pelan, lalu lebih cepat. Nafas pria itu meningkat seiring dengan kecepatan mereka meremas.

Tiba-tiba saja pria itu melepaskan genggamannya. Dia menjangkau dan mengambil selembar tisu dari kotak yang ada di depan kursi. Dengan menggertakkan gigi dan mata terpejam, Leena merasakan batang pria itu berdenyut di tangannya ketika dia mengambil tisu. Sekarang semuanya sudah selesai, Leena tak yakin apa yang harus dia lakukan. Pria itu, di sisi lain, terlihat sangat nyaman dengan situasi ini.

Memulihkan diri dengan cepat, pria itu membuka mata dan tertawa kecil. Dia menggelengkan kepalanya saat mengambil lebih banyak tisu dan menghapus tangannya. Ketika pria itu membereskan seluruh kekacauan dan melemparkannya ke sudut ruangan yang mendarat di tempat sampah, dia kembali memperhatikan Leena. Sekali lagi Leena merasakan pengamatan yang cermat lewat pandangan intens dari pria itu.

“Itu tadi...” Pria itu menggelengkan kepalanya sekali lagi, seolah-olah kehilangan kata-kata. Suaranya lembut dan terengah-engah.

“Ya, benar.” Suaranya sendiri terdengar terengah-engah juga. Leena menelan ludahnya dan menyadari bahwa dia masih bertengger di kaki pria itu, dan pria itu mungkin bisa merasakan kebasahan dan panas yang tidak bisa ditampung oleh G-stringnya. Dia bergerak untuk bangkit, namun pria itu menggenggam tangannya dan menghentikannya.

“Tunggu. Bisakah aku bertemu denganmu lagi?”

“Bertemu denganku?”

Bertemu dengannya sekarang? Apa dia membicarakan tentang pekerjaan tangan lainnya besok? Atau mungkin lebih dari sekedar pekerjaan tangan lain kali. Setelah apa yang dilakukannya dengan pria itu, dia mungkin mengharapkannya melakukan itu dan lebih lagi dengan semua pelanggan. Kenapa dia tidak membuat asumsi seperti itu?

“Yeah.” Pria itu mengangguk. “Kapan kau selesai di sini? Mungkin kita bisa bertemu setelah ini untuk minum. Atau besok. Aku harus ada di suatu tempat beberapa jam lagi, tapi aku bisa mengajakmu makan siang, atau makan malam jika kau tak bekerja.”

Leesa merasakan kedua alisnya terangkat. “Maksudmu seperti kencan?”

“Yup.” Pria itu menyeringai. “Aku benar-benar ingin bertemu denganmu lagi.”

Kenapa? Untuk seks, atau dia benar-benar menyukainya? Itu pasti ketertarikan yang sama. Dia merasakannya juga, tapi pria itu bahkan tak mengenalnya. Pria itu tak mengetahui apapun lebih dari apa yang dia lakukan untuknya setengah jam yang lalu atau lebih. Mungkin pria itu benar-benar ingin lebih mengenalnya. Apakah dia bisa semanis kelihatannya? Itu semua membuat kepala Leesa berputar. “Um...”

Ketukan di pintu menginterupsi jawaban Leesa, meskipun sebenarnya dia tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan pria itu.

“Hei, waktunya sudah habis! Salah satu gadis lainnya membutuhkan ruangan itu.” Suara tukang pukul terdengar melewati pintu tipis, mengembalikannya pada kenyataan.

Leesa menatap pria yang berada di bawahnya dan menyadari bahwa celana jinsnya masih terbuka lebar, serta boksernya terekspos. “Oke, Bruno. Berikan aku satu menit.”

Leesa bangkit dan kali ini pria itu membiarkannya, terlebih karena tangannya sibuk merapikan pakaiannya. Leesa menarik ujung rompinya bersama-sama dan menyilangkan kedua lengannya menutupi dada telanjangnya, tiba-tiba merasa terekspos sekarang, dan momen fantasi di antara mereka telah dihancurkan oleh kehidupan nyata.

Dengan kemeja terkancing dan dimasukkan ke dalam gasper sabuk celana jinsnya sekali lagi, koboi itu berdiri dan memegang topi di depan tubuhnya dengan kedua tangan. “Jadi, soal kencan kita...”

Leesa melirik pintu sekilas, tahu bahwa waktu mereka benar-benar terbatas. Mungkin itu yang terbaik. Kemana hal ini bisa berjalan dengannya? Dia tahu jawabannya. Tidak dimanapun.

“Maafkan aku. Aku tidak berkencan dengan pelanggan.” Dia berbalik saat merasakan tangan pria itu di sikunya. Dia berhenti dan menunggu.

“Oh, baiklah. Um, ini untukmu.”

Menoleh ke belakang, Leesa melihat pria itu memegang uang yang terlipat di tangannya. Dia menyurukkannya ke tangannya. Leesa melompat dan menggelengkan kepalanya. “Teman-temanmu yang membayar lap dance.” Sisanya, tiba-tiba dia tidak menginginkan uang itu.

“Aku tahu. Mereka memberitahuku bahwa mereka sudah membayarnya, tapi ini tips. Dariku.”

Leesa menelan ludahnya. Dia sudah melakukannya untuk uang ekstra. Bukan begitu? Lalu kenapa dia tidak mau uangnya? Karena mengambilnya untuk apa yang sudah dilakukannya dan di atas membeli-dan-membayar lap dance, membuatnya menjadi seperti sesuatu yang tak pernah dibayangkannya. Bahkan jika pada waktu lain dan di lain tempat, mungkin dia akan melakukannya dengan pria ini karena menyukainya.  

Dengan mata menutup untuk menyembunyikan air mata yang membanjiri matanya, dia mengambil uang itu. “Terima kasih.” Lalu dia pergi meninggalkan ruangan dan pria itu tanpa melihat kembali.

Leesa samar-samar menyadari salah satu gadis baru sedang menari dekat tiang di atas panggung. Dia cukup sadar dengan sekelilingnya untuk dibebaskan dari tugas tampil lagi sesegera mungkin, sejak para gadis lain di shift ini akhirnya datang. Dia berharap bisa bersembunyi sampai pria itu dan teman-temannya telah pergi. Dia berjalan lurus menuju ke lokernya dan menemukan Holly di sana.

Wajah Holly terangkat saat melihatnya. “Jadi, bagaimana tadi?”

“Baik.” Dia tetap menguburkan kepalanya di dalam loker, berpura-pura sedang menaruh tips kedalam dompetnya, saat dia benar-benar hanya butuh untuk memperoleh ketenangan kembali.

“Temannya memberikanku uang untuk lap dancemu, setelah kau menghilang dengan cepat bersama pria yang berulang tahun itu ke belakang.”

Leesa mendongak dan mengambil uang yang ditawarkan Holly. “Terima kasih.”

“Apa kau, kau tahu, mendapatkan uang tambahan saat berada di sana?”

Leesa tahu pasti apa yang Holly tanyakan. “Ya, aku mendapatkannya.”

Tentu saja Holly akan meneriakinya jika dia mengatakan bahwa dia tidak menaikkan harga, tidak meminta bayaran di muka, bahkan tidak meminta uang apapun jadi....apa? Membalut pria itu untuk kesenangan? Dia menatap sekilas pada uang yang terlipat. Jumlahnya dua puluh dollar. Dia merasa ingin tertawa dan menangis secara bersamaan. Dia sudah menjual jiwanya untuk dua puluh dollar dan karena itu, entah bagaimana dia merasa tak akan pernah menjadi sama lagi.

Tangan Holly menyentuh bahunya. “Kau tak apa-apa?”

“Yeah.” Dia berbohong.

“Dia bukan seorang bajingan atau apapun itu, kan? Aku benar-benar berpikir dia adalah pria yang manis.”

Leesa bisa mendengar nada prihatin di suara Holly. Keprihatinan itu hanya untuk Leesa yang telah melakukannya. Ditambah dengan kenyataan bahwa pria itu memang manis, jenis pria yang mungkin akan membuatnya jatuh cinta, jika dia tidak hanya memberinya layanan secara seksual untuk uang. Air matanya benar-benar jatuh sekarang.

Masih menyembunyikan wajahnya, Leesa menggelengkan kepalanya. “Tidak, kau benar. Dia memang pria yang baik. Aku baik-baik saja, sungguh. Aku hanya lelah. Aku akan menyiramkan air ke wajahku dan berusaha bangun sebelum aku harus pergi lagi.”

“Baiklah, Sayang. Ambil waktumu. Biarkan yang datang terlambat menghibur penonton sebentar, lalu aku akan tampil. Ambil semua waktu yang kau butuhkan.”

“Terima kasih.” Leesa membanting pintu loker dan menuju ke kamar mandi privat yang ada di dekat ruangan Jerry, alih-alih kamar mandi wanita umum yang ada di depan. Pintu ruangan Jerry tidak tertutup sempurna.

Dia lewat dengan berjinjit, sedang tidak dalam suasana hati yang baik untuk dipanggil dan diteriaki oleh pria itu karena mengganggunya selama pertemuan sebelumnya. Melalui celah, terlihat bahwa Jerry sedang sendiri dan berbicara lewat telepon.

“Yeah, dia tiba-tiba masuk ke kantor dan melihatnya bersama uangnya.”

Leesa menghentikan langkahnya. Jerry sudah memelankan suaranya saat berbicara, sesuatu yang jarang dilakukannya, jadi itu menarik perhatiannya dan membuatnya mendengarkan lebih dekat lagi, seperti apa yang sudah dikatakan pria itu. Jerry pasti membicarakan tentang dia. Dia melangkah ke sisi pintu, tidak terlihat tapi masih bisa mendengarkan.

“Ayolah, Johnny. Kau pikir itu perlu? Dia hanyalah jalang yang bodoh. Siapa yang akan dia ceritakan?”

Leesa menelan ludahnya. Apa atau siapa yang telah dia lihat yang tak seharusnya dia tahu? Apa yang cukup buruk hingga membuat kakak Jerry, Johnny, memintanya untuk melakukan sesuatu yang bahkan orang seperti Jerry tak ingin melakukannya?

“Tidak, kau masih bertanggung jawab. Aku hanya bilang, melawan dia rasanya sedikit drastis, mengingat...”

Perutnya seperti tertohok. Melawan dia? Apakah hidupnya berada dalam bahaya, hanya karena melakukan kesalahan bodoh dalam penilaian dan masuk saat terjadi transaksi bisnis ilegal?

“Tidak, aku akan membereskannya. Aku punya Bruno yang akan melakukannya setelah shift...Ayolah, Bung! Aku harus mengelola klub. Jika kita mengeluarkannya sebelum shift selesai, aku akan menjadi gadis kecil...”

Leesa tidak mau menunggu untuk mendengar sisanya. Dia kembali secepat dan sepelan yang dia bisa dan kemudian, saat dia sudah berada dalam jarak yang bagus dari kantor, dia berbalik dan pergi. Di lokernya, dia menarik jaket yang panjangnya selutut yang tersisa dari kostumnya, mengganti sepatunya dan menjejalkan sisa pakaiannya kedalam dompetnya yang terlalu besar.

Holly masih berada di sana untuk berganti nomor berikutnya. Dia berhenti menalikan tali sepatu botnya dan mengerutkan dahi pada Leesa. “Apa yang terjadi, Sayang?”

Panik, Leesa tidak tahu apa yang harus dikatakan padanya. Dia perlu membeli beberapa waktu dan keselamatan untuk dirinya sendiri, tapi dia juga merasa dia harus mengeluarkan Holly dari kejadian itu dan memastikannya aman. “Aku tak bisa memberitahumu. Holly, aku ingin kau melakukan sesuatu untuk kita berdua, oke?”

Mengerutkan dahi, Holly mengangguk. “Oke.”

Leesa melihat sekilas ke ruangan Jerry dengan gugup. “Jika siapapun--Jerry, Bruni, siapapun—bertanya dimana aku, katakan saja bahwa aku berada di toilet wanita yang berada di depan. Katakan pada mereka aku kram, atau aku tak tahu, diare kronis. Sesuatu yang menahan mereka untuk mencari sementara. Bisa?”

Dia tidak bisa menahan perasaan bahwa jika dia tidak segera pergi sekarang, mungkin dia tak akan pernah mendapatkan kesempatan.

“Baiklah. Lebih baik aku tak tahu kenapa, kan?” Ekspresi Holly mengatakan pada Leesa bahwa dia cukup mengetahui sisi lusuh dari dunia ini untuk keluar dari hal itu.

“Ya, memang benar.”

“Oke, Sayang. Aku akan melakukan apa yang kubisa untuk memberimu beberapa saat.” Holly menariknya untuk memeluknya. Mereka berdua tahu saat ini bisa jadi adalah saat terakhir mereka untuk bertemu.

“Terima kasih. Aku harus pergi.” Ketakutan dan kepanikan Leesa membungkam tangisannya yang mungkin akan keluar. Adrenalin benar-benar obat yang kuat.

Holly melepaskan pelukannya. “Semoga beruntung.”


Dan dengan begitu Leesa pergi. Pergi kemana dia tidak tahu. Hanya saja tempat itu harus jauh dari sini.

Translated by Alya Feliz
Share this article :

+ comments + 2 comments

Apr 8, 2015, 10:47:00 AM

awwww... pria imut.. kayak logan lerman atau mungkin sean o pry.. :D

Apr 8, 2015, 5:21:00 PM

Yeni Lestari Ihiiyyy....kayaknya Sean o pry lebih cucok ya. Innocent guy *mata lophe lophe*

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. OPEN MINDED - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger